Pemilihan umum sebentar lagi akan memanggil kita, dan lagu-lagu mars Orba akan terdengar di TVRI. Namun mari mengaku saja bahwa pemilu 2024 akan penuh dengan disrupsi, ketidakpercayaan publik, dan kebingungan karena krisis kepemimpinan dan kemajuan teknologi, apalagi calonnya Lola. Lolagi lolagi. Para antek-antek oligarki.
Koreksi: KPU berusaha bikin mars baru dengan band Cokelat. Masalahnya ketika pakai band mainstream yang masanya sudah lewat, ya… Masanya sudah lewat. Sementara pemilih baru hari ini dengarnya bukan Coklat. Entah apa, perlu riset. Cokelat ini saya rasa juga tidak dipilih berdasarkan data demografi, tapi karena angkatan orang-orang KPU sekarang.
Dari KPU saja, oligarkinya sudah kerasa. Menurut teori Noam Chomsky, profesor tua sekali tapi masih gaul dari MIT, oligarki terjadi ketika sekelompok orang atau kelompok kepentingan tertentu menguasai dan memonopoli kekuasaan politik, ekonomi, dan sosial di suatu negara. Hal ini terjadi di Indonesia dan mempengaruhi dinamika politik yang terjadi saat ini. Kelompok kepentingan ini dapat mengendalikan media massa, lembaga pemerintah, dan sumber daya ekonomi, sehingga mereka dapat mempengaruhi keputusan politik dan mewujudkan kepentingan mereka.
Dalam bukunya yang berjudul “Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media” (1988) yang ditulis bersama dengan Edward S. Herman, Chomsky mengkritik media massa karena dianggap menjadi alat yang digunakan oleh oligarki untuk memanipulasi opini publik. Chomsky berpendapat bahwa media massa mengabaikan atau membatasi akses pada suara-suara yang berbeda dan menghadirkan perspektif yang sesuai dengan kepentingan oligarki. Buat Chomsky, sistem demokrasi modern sangatlah cacat dan tidak efektif dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Indonesia sejauh ini memiliki politik yang seringkali berkiblat ke Amerika, dan di situlah banyak pemikiran Chomsky mungkin bisa kita pakai dalam melihat politik Indonesia. Dalam bukunya yang berjudul “Failed States: The Abuse of Power and the Assault on Democracy” (2006), Chomsky menyoroti ketidakadilan dalam sistem politik global Amerika, termasuk dalam hal penentuan kebijakan luar negeri dan perdagangan global. Dia juga mengkritik partisipasi rakyat dalam proses demokrasi yang hanya sebatas formalitas belaka, di mana sebenarnya kekuasaan tetap terpusat pada oligarki.
Orang bisa berargumen, bahwa Amerika adalah negara dua partai, dan itu tidak mungkin terjadi di Indonesia yang multi-partai. SALAH! Kita biasa dengan topeng, dengan fasad. Apa gunanya multipartai tapi isinya orang-orang lama dari partai yang lo lagi lo lagi. Sama-sama mejikuhibiniu, dan pada akhirnya koalisi jadi dua juga, oligarki kembali menyatu.
Pesimisme tentang demokrasi juga diungkapkan oleh filsuf nyentrik, Slavoj Zizek. Menurutnya, demokrasi telah gagal dalam mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat. Demokrasi menjadi alat bagi oligarki untuk mempertahankan kekuasaannya, dan masyarakat tidak memiliki kontrol yang kuat dalam proses politik dan ekonomi. Slavoj Žižek adalah seorang filsuf dan budayawan Slovenia yang juga dikenal dengan pandangannya yang kontroversial dan kritis terhadap sistem politik dan sosial modern. Dalam pandangan Žižek, demokrasi sebagai sistem politik memiliki banyak kelemahan dan cacat yang menjadikan sistem tersebut rentan terhadap manipulasi dan pengendalian oleh kelompok elit.
Dalam bukunya yang berjudul “Disparities” (2016), Žižek menyatakan bahwa media massa memiliki peran penting dalam membangun opini publik dan pengaruh politik. Namun, Žižek juga mengkritik media massa karena dianggap membatasi akses pada suara-suara yang berbeda dan menghadirkan perspektif yang disetujui oleh oligarki. Hal ini dapat mengakibatkan pengaruh negatif terhadap demokrasi, di mana masyarakat dapat kehilangan kemampuan untuk membuat keputusan yang berdasarkan informasi yang akurat dan kritis. Žižek juga menyatakan bahwa oligarki dan kapitalisme sangat kuat mempengaruhi sistem politik modern.
Dalam bukunya yang berjudul “First as Tragedy, Then as Farce” (2009), Žižek berpendapat bahwa di dalam sistem politik yang didominasi oleh oligarki, pemilihan umum sering kali hanya menjadi pilihan antara “dua kejahatan yang lebih kecil” karena pilihan yang tersedia telah dibatasi oleh kepentingan oligarki. Žižek juga mengkritik sistem demokrasi liberal yang terlalu fokus pada hak individu dan kebebasan individual tanpa mempertimbangkan konsekuensi sosial yang lebih besar. Menurutnya, hal ini mengakibatkan munculnya kesenjangan sosial dan ketidakadilan yang sangat berbahaya bagi stabilitas sosial. Dalam pandangan Žižek, demokrasi yang sebenarnya haruslah lebih inklusif dan berpihak pada kepentingan sosial dan keadilan. Hal ini dapat dicapai dengan menciptakan sistem politik baru yang lebih demokratis dan adil, di mana kepentingan oligarki tidak lagi dominan. Caranya? Hanya Tuhan yang tahu, jika memang Tuhan itu ada.

Bahaya A.I. di Pemilihan Umum 2024
Selain itu, perkembangan teknologi dan Artificial Intelligence juga dapat menjadi faktor yang berpengaruh dalam pemilihan umum tahun 2024. Teknologi dapat digunakan untuk mempengaruhi opini publik dan memanipulasi pemilihan. Misalnya, melalui penggunaan bot dan algoritma, propaganda dapat disebarkan secara massal dan memengaruhi pendapat publik. Teknologi juga dapat digunakan untuk memantau aktivitas politik dan melacak preferensi pemilih, sehingga kampanye dapat disesuaikan dan disesuaikan dengan kepentingan oligarki. Dalam menjalankan demokrasi, pemilihan umum menjadi hal yang penting untuk menentukan siapa yang akan memimpin dan mengambil keputusan yang akan mempengaruhi hidup masyarakat. Namun, di era digital seperti sekarang, kampanye politik dan pemilihan umum menghadapi tantangan baru yang serius. Ada bahaya dari penggunaan teknologi Artificial Intelligence (A.I.) dalam membentuk opini publik, menyebarkan misinformasi, dan membuat pernyataan palsu oleh politikus atau tokoh masyarakat dengan teknologi audio-visual yang meyakinkan.
Para ahli seperti Sam Woolley, Renee DiResta, Yochai Benkler, dan Safiya Noble telah meneliti dan mengeksplorasi bahaya tersebut. Woolley menyoroti penggunaan bot dalam politik dan pemilihan umum, yang dapat dengan mudah mempengaruhi opini publik dan membuat keputusan yang salah. DiResta meneliti penggunaan A.I. dalam kampanye politik, termasuk penggunaan bot dan algoritma yang dapat mempengaruhi opini publik secara signifikan. Benkler menggarisbawahi peran teknologi dalam membentuk opini publik dan demokrasi, serta bagaimana teknologi dapat menjadi ancaman bagi demokrasi. Noble menyoroti dampak algoritma dan teknologi A.I. pada pemilihan umum dan opini publik, serta pengaruhnya pada isu-isu sosial dan politik yang sensitif.
Dalam menghadapi pemilihan umum di Indonesia tahun 2024, penting bagi kita untuk mengakui bahaya dari penggunaan teknologi A.I. dalam politik dan opini publik. Kita harus memperhatikan bagaimana teknologi dapat digunakan untuk mempengaruhi opini publik dan menghasilkan keputusan yang salah. Oleh karena itu, kita harus mempertimbangkan bagaimana kita dapat melindungi demokrasi dan memastikan bahwa kampanye politik dan pemilihan umum yang adil dan bebas dari manipulasi teknologi. Dengan begitu, hasil dari pemilu nanti akan lebih akurat dan dapat diandalkan.
Kita perlu memperhatikan peran oligarki dan teknologi dalam pemilihan umum tahun 2024. Kita harus kritis terhadap informasi yang diterima dan menghindari terjebak dalam propaganda. Karena propaganda yang akan terjadi akan sangat-sangat massif dan menyeramkan. Bot akan semakin pintar untuk berkelit dan berargumen, deep fake akan merajalela. Hari ini Indonesia sudah punya krisis kepemimpinan, dan ini akan semakin parah, kamerad-kameradku.
Realitas yang ada menunjukkan bahwa upaya untuk memperjuangkan perubahan sosial yang berkelanjutan sangatlah sulit. Kekuatan oligarki dan perkembangan teknologi yang semakin canggih, dapat menjadi hambatan besar dalam upaya memperjuangkan demokrasi yang lebih baik. Dalam situasi seperti ini, mungkin perlu adanya pendekatan yang lebih radikal dan menggugat sistem yang ada. Radikalnya seperti apa?
Radikalnya seperti mendidik diri sendiri dengan informasi dan teknis dalam mengecek data dan kebenaran. Jika para penjahat propagandis, agency politikus, sudah pakai teknologi canggih buat bikin kita bingung, kita juga harus mendidik diri kira dengan teknologi yang sama untuk membuat diri kita lebih pintar. contohnya tulisan ini.
Tulisan ini, misalnya adalah hasil debat dan argumen panjang beberapa malam dengan ChatGPT, yang berusaha untuk menjadi politically correct dan membela bangsanya sendiri, bangsa mesin. Beberapa kali GPT3 mengarang nama ilmuan atau teori-teori fiktif yang lumayan masuk akal. Saya melawan! Karena datanya salah dan ia terlalu sopan! Maka saya berikan kalian hyperlink langsung ke sumber-sumber tulisan ini. Tapi ia, AI, sedang belajar, dan kita harus selalu waspada karena semakin hari ia semakin pintar.
Terima kasih sudah membaca tulisan ini sampai habis. Kamu hebat! Kalau kamu suka dengan apa yang kamu baca, silahkan dishare. Dan kalau ada rejeki lebih, boleh traktir saya kopi biar semangat. Klik tombol di bawah.