Politik, Racauan

Oligarki dan Disrupsi Teknologi: Memahami Pemilihan Umum Indonesia 2024 dan Tantangan Masa Depan

Pemilihan umum sebentar lagi akan memanggil kita, dan lagu-lagu mars Orba akan terdengar di TVRI. Namun mari mengaku saja bahwa pemilu 2024 akan penuh dengan disrupsi, ketidakpercayaan publik, dan kebingungan karena krisis kepemimpinan dan kemajuan teknologi, apalagi calonnya Lola. Lolagi lolagi. Para antek-antek oligarki.

Koreksi: KPU berusaha bikin mars baru dengan band Cokelat. Masalahnya ketika pakai band mainstream yang masanya sudah lewat, ya… Masanya sudah lewat. Sementara pemilih baru hari ini dengarnya bukan Coklat. Entah apa, perlu riset. Cokelat ini saya rasa juga tidak dipilih berdasarkan data demografi, tapi karena angkatan orang-orang KPU sekarang.

Dari KPU saja, oligarkinya sudah kerasa. Menurut teori Noam Chomsky, profesor tua sekali tapi masih gaul dari MIT, oligarki terjadi ketika sekelompok orang atau kelompok kepentingan tertentu menguasai dan memonopoli kekuasaan politik, ekonomi, dan sosial di suatu negara. Hal ini terjadi di Indonesia dan mempengaruhi dinamika politik yang terjadi saat ini. Kelompok kepentingan ini dapat mengendalikan media massa, lembaga pemerintah, dan sumber daya ekonomi, sehingga mereka dapat mempengaruhi keputusan politik dan mewujudkan kepentingan mereka.

Dalam bukunya yang berjudul “Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media” (1988) yang ditulis bersama dengan Edward S. Herman, Chomsky mengkritik media massa karena dianggap menjadi alat yang digunakan oleh oligarki untuk memanipulasi opini publik. Chomsky berpendapat bahwa media massa mengabaikan atau membatasi akses pada suara-suara yang berbeda dan menghadirkan perspektif yang sesuai dengan kepentingan oligarki. Buat Chomsky, sistem demokrasi modern sangatlah cacat dan tidak efektif dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Indonesia sejauh ini memiliki politik yang seringkali berkiblat ke Amerika, dan di situlah banyak pemikiran Chomsky mungkin bisa kita pakai dalam melihat politik Indonesia. Dalam bukunya yang berjudul “Failed States: The Abuse of Power and the Assault on Democracy” (2006), Chomsky menyoroti ketidakadilan dalam sistem politik global Amerika, termasuk dalam hal penentuan kebijakan luar negeri dan perdagangan global. Dia juga mengkritik partisipasi rakyat dalam proses demokrasi yang hanya sebatas formalitas belaka, di mana sebenarnya kekuasaan tetap terpusat pada oligarki.

Orang bisa berargumen, bahwa Amerika adalah negara dua partai, dan itu tidak mungkin terjadi di Indonesia yang multi-partai. SALAH! Kita biasa dengan topeng, dengan fasad. Apa gunanya multipartai tapi isinya orang-orang lama dari partai yang lo lagi lo lagi. Sama-sama mejikuhibiniu, dan pada akhirnya koalisi jadi dua juga, oligarki kembali menyatu.

Pesimisme tentang demokrasi juga diungkapkan oleh filsuf nyentrik, Slavoj Zizek. Menurutnya, demokrasi telah gagal dalam mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat. Demokrasi menjadi alat bagi oligarki untuk mempertahankan kekuasaannya, dan masyarakat tidak memiliki kontrol yang kuat dalam proses politik dan ekonomi. Slavoj Žižek adalah seorang filsuf dan budayawan Slovenia yang juga dikenal dengan pandangannya yang kontroversial dan kritis terhadap sistem politik dan sosial modern. Dalam pandangan Žižek, demokrasi sebagai sistem politik memiliki banyak kelemahan dan cacat yang menjadikan sistem tersebut rentan terhadap manipulasi dan pengendalian oleh kelompok elit.

Dalam bukunya yang berjudul “Disparities” (2016), Žižek menyatakan bahwa media massa memiliki peran penting dalam membangun opini publik dan pengaruh politik. Namun, Žižek juga mengkritik media massa karena dianggap membatasi akses pada suara-suara yang berbeda dan menghadirkan perspektif yang disetujui oleh oligarki. Hal ini dapat mengakibatkan pengaruh negatif terhadap demokrasi, di mana masyarakat dapat kehilangan kemampuan untuk membuat keputusan yang berdasarkan informasi yang akurat dan kritis. Žižek juga menyatakan bahwa oligarki dan kapitalisme sangat kuat mempengaruhi sistem politik modern.

Dalam bukunya yang berjudul “First as Tragedy, Then as Farce” (2009), Žižek berpendapat bahwa di dalam sistem politik yang didominasi oleh oligarki, pemilihan umum sering kali hanya menjadi pilihan antara “dua kejahatan yang lebih kecil” karena pilihan yang tersedia telah dibatasi oleh kepentingan oligarki. Žižek juga mengkritik sistem demokrasi liberal yang terlalu fokus pada hak individu dan kebebasan individual tanpa mempertimbangkan konsekuensi sosial yang lebih besar. Menurutnya, hal ini mengakibatkan munculnya kesenjangan sosial dan ketidakadilan yang sangat berbahaya bagi stabilitas sosial. Dalam pandangan Žižek, demokrasi yang sebenarnya haruslah lebih inklusif dan berpihak pada kepentingan sosial dan keadilan. Hal ini dapat dicapai dengan menciptakan sistem politik baru yang lebih demokratis dan adil, di mana kepentingan oligarki tidak lagi dominan. Caranya? Hanya Tuhan yang tahu, jika memang Tuhan itu ada.

Photo by Pavel Danilyuk on Pexels.com

Bahaya A.I. di Pemilihan Umum 2024

Selain itu, perkembangan teknologi dan Artificial Intelligence juga dapat menjadi faktor yang berpengaruh dalam pemilihan umum tahun 2024. Teknologi dapat digunakan untuk mempengaruhi opini publik dan memanipulasi pemilihan. Misalnya, melalui penggunaan bot dan algoritma, propaganda dapat disebarkan secara massal dan memengaruhi pendapat publik. Teknologi juga dapat digunakan untuk memantau aktivitas politik dan melacak preferensi pemilih, sehingga kampanye dapat disesuaikan dan disesuaikan dengan kepentingan oligarki. Dalam menjalankan demokrasi, pemilihan umum menjadi hal yang penting untuk menentukan siapa yang akan memimpin dan mengambil keputusan yang akan mempengaruhi hidup masyarakat. Namun, di era digital seperti sekarang, kampanye politik dan pemilihan umum menghadapi tantangan baru yang serius. Ada bahaya dari penggunaan teknologi Artificial Intelligence (A.I.) dalam membentuk opini publik, menyebarkan misinformasi, dan membuat pernyataan palsu oleh politikus atau tokoh masyarakat dengan teknologi audio-visual yang meyakinkan.

Para ahli seperti Sam Woolley, Renee DiResta, Yochai Benkler, dan Safiya Noble telah meneliti dan mengeksplorasi bahaya tersebut. Woolley menyoroti penggunaan bot dalam politik dan pemilihan umum, yang dapat dengan mudah mempengaruhi opini publik dan membuat keputusan yang salah. DiResta meneliti penggunaan A.I. dalam kampanye politik, termasuk penggunaan bot dan algoritma yang dapat mempengaruhi opini publik secara signifikan. Benkler menggarisbawahi peran teknologi dalam membentuk opini publik dan demokrasi, serta bagaimana teknologi dapat menjadi ancaman bagi demokrasi. Noble menyoroti dampak algoritma dan teknologi A.I. pada pemilihan umum dan opini publik, serta pengaruhnya pada isu-isu sosial dan politik yang sensitif.

Dalam menghadapi pemilihan umum di Indonesia tahun 2024, penting bagi kita untuk mengakui bahaya dari penggunaan teknologi A.I. dalam politik dan opini publik. Kita harus memperhatikan bagaimana teknologi dapat digunakan untuk mempengaruhi opini publik dan menghasilkan keputusan yang salah. Oleh karena itu, kita harus mempertimbangkan bagaimana kita dapat melindungi demokrasi dan memastikan bahwa kampanye politik dan pemilihan umum yang adil dan bebas dari manipulasi teknologi. Dengan begitu, hasil dari pemilu nanti akan lebih akurat dan dapat diandalkan.

Kita perlu memperhatikan peran oligarki dan teknologi dalam pemilihan umum tahun 2024. Kita harus kritis terhadap informasi yang diterima dan menghindari terjebak dalam propaganda. Karena propaganda yang akan terjadi akan sangat-sangat massif dan menyeramkan. Bot akan semakin pintar untuk berkelit dan berargumen, deep fake akan merajalela. Hari ini Indonesia sudah punya krisis kepemimpinan, dan ini akan semakin parah, kamerad-kameradku.

Realitas yang ada menunjukkan bahwa upaya untuk memperjuangkan perubahan sosial yang berkelanjutan sangatlah sulit. Kekuatan oligarki dan perkembangan teknologi yang semakin canggih, dapat menjadi hambatan besar dalam upaya memperjuangkan demokrasi yang lebih baik. Dalam situasi seperti ini, mungkin perlu adanya pendekatan yang lebih radikal dan menggugat sistem yang ada. Radikalnya seperti apa?

Radikalnya seperti mendidik diri sendiri dengan informasi dan teknis dalam mengecek data dan kebenaran. Jika para penjahat propagandis, agency politikus, sudah pakai teknologi canggih buat bikin kita bingung, kita juga harus mendidik diri kira dengan teknologi yang sama untuk membuat diri kita lebih pintar. contohnya tulisan ini.

Tulisan ini, misalnya adalah hasil debat dan argumen panjang beberapa malam dengan ChatGPT, yang berusaha untuk menjadi politically correct dan membela bangsanya sendiri, bangsa mesin. Beberapa kali GPT3 mengarang nama ilmuan atau teori-teori fiktif yang lumayan masuk akal. Saya melawan! Karena datanya salah dan ia terlalu sopan! Maka saya berikan kalian hyperlink langsung ke sumber-sumber tulisan ini. Tapi ia, AI, sedang belajar, dan kita harus selalu waspada karena semakin hari ia semakin pintar.

Terima kasih sudah membaca tulisan ini sampai habis. Kamu hebat! Kalau kamu suka dengan apa yang kamu baca, silahkan dishare. Dan kalau ada rejeki lebih, boleh traktir saya kopi biar semangat. Klik tombol di bawah.

Ethnography, Politik, Racauan

2 Cara untuk Memperlambat Kepunahan Manusia

Jadi begini kawan-kawan. Dulu ada sebuah banyolan di tongkrongan saya:

“Kiamat selalu dekat, tapi tak pernah datang.”

Hari ini, anekdot itu tidak lagi berlaku. Kalo kiamat adalah hari dimana dunia manusia hancur oleh penyakit, bencana alam, dan kematian massal homo sapiens, maka kita sudah di sana. Sementara alam semesta akan jalan terus ketika kita semua sudah mati. Seperti dulu sebelum ada kita, alam akan terus ada dan mengembang (expanding), sampai terjadi supernova dan semua kembali mengulang mencari bentuk. Saat itu akan terjadi milyaran tahun setelah kita nggak ada.

Kembali ke sains dan fakta, kenyataannya dunia kita tidak pernah sepanas ini semenjak manusia ada. Dalam 100 tahun, revolusi Industri dan eksploitasi alam sudah membuat banyak kemajuan peradaban, tapi di saat yang sama mempercepat kehancuran kita semua. Pabrik-pabrik, mobil, transportasi dan pembangkit listrik membuat polusi dan emisi menghabiskan oksigen yang kita hirup. Konsumsi daging kita dan overproduksi peternakan sapi membuat ozon kita habis digantikan kentut-kentut dan uap tahik ternak di udara di seluruh dunia. Kebakaran hutan untuk lahan pertanian dan sawit, membuat CO2 melayang bebas, dan tidak ada saringan dan lingkaran kehidupan terputus. Yang rugi bukan alam, kita tidak menyakiti alam. Alam kebal, dan akan jalan terus. Binatang terus punah dan berevolusi bermutasi menjadi berbagai bentuk. Kita dan hanya kita yang jika punah, akan kehilangan spesies kita.

Dan kita tak bisa berhenti, karena kita mau ngasih makan banyak orang, menghidupkan banyak industri. Bahkan 2 tahun pandemi, yang gila-gilaan merusak ekonomi dan memperlambat kecepatan produksi kita tidak berpengaruh banyak untuk mengurangi polusi. Kok bisa? Ya karena transportasi tetap berjalan dan kita tetap butuh makan dengan cepat, logistik harus jalan terus walau kita banyak yang tidak kerja. Sentralisasi logistik membuat kita nggak merasa perlu punya pertanian sendiri di rumah kita, kita tetap pesan barang online, konsumsi, konsumsi, konsumsi! Dan sampah? Sampah terus kita buat dan tidak bisa kita hentikan.

Siapa yang salah? Kita semua. Tapi ada yang paling salah. Yang paling salah bukanlah kita yang kerja banting tulang tiap hari, ngutang kiri kanan, offline online buat hidup di masa pandemi. Penyumbang terbesar terhadap kiamat kita adalah orang-orang super kaya penghasil energi dan penjahat eksploitasi alam yang overproduksi. Mereka yang untuk bisa makan tuna sirip biru, harus merusak seluruh ekosistem laut. Mereka yang mampu membangun, menggerakan ekonomi dengan jari mereka, dan borosnya setengah mati. Mereka yang menghabiskan modal untuk hal-hal super mewah. Karena kalau mau jujur, masalah kelaparan dunia, misalnya, bisa saja selesai dengan duit untuk beli pesawat jet pribadi atau membangun mansion-mansion mewah yang cuma diisi sedikit orang, atau bikin tambang crypto.

Kita ditakut-takuti dengan overpopulasi, disuruh pake KB, padahal kebanyakan lahan di bumi ini diisi oleh sedikit orang-orang kaya yang pengen ngelihat alam dengan lega, atau tempat buat pabrik, retail, dan tambang mereka. Amerika dan Inggris berhasil mengurangi emisi dengan mindahin semua pabrik ke Asia. Dan lihat kita sekarang! Bangladesh dan India jadi negara paling polutif di dunia itu gara-gara siapa? Mereka dulu lupa, dimanapun pabrik dipindahkan, efeknya tetap buat kita semua, walau mereka nggak merasakan dampak langsung. Kutub meleleh, air laut naik, dan pulau-pulau tenggelam, dimanapun itu pabrik didirikan.

Ada dua film pendek yang harus kamu tonton buat melihat masa depan yang hampir pasti datang. Pertama adalah film “Pesan dari Masa Depan” Karya Luthfi Pradita. Film ini memperlihatkan dunia yang akan kita tinggali, dan ini bukan lagi ancaman tapi kepastian. Di banyak negara di Eropa dan beberapa negara bagian di Amerika, seperti Pittsburgh, orang tidak hanya mendengar ramalan cuaca atau melihat google maps untuk lalulintas sebelum jalan keluar. Mereka juga memperhatikan berapa kadar partikel polusi udara hari ini. Karena pertikel polusi udara dari kendaraan adalah penyebab kematian nomor 1 hari ini. Jumlah orang yang mati akibat polusi udara di luar dan di rumah tangga di dunia, menurut WHO, sudah mencapai 7 juta per tahun! Itu dua kali lipat kematian covid per tahun dan 3 kali lipat kematian akibat kecelakaan lalu lintas! Mereka semua mati karena penyakit jantung, pneumonia, dan kanker paru, digabung! Dan si semua mayat mereka, kadar particulate matter (bahan polusi dari transportasi dan pabrik) sangat tinggi. Untuk bisa hidup sedikit lebih panjang, silahkan baca guideline dari WHO berikut ini.

Sementara itu film “Masa Depan Cerah 2040” karya Winner Wijaya harusnya ganti judul jadi “Masa Depan Cerah 2025”, karena masa itu sudah datang: masa dimana kita semua harus pake hazmat dan oksigen buat keluar rumah, masa dimana hubungan sosial harus dilakukan via realitas virtual, itu sudah datang. Kalau kita masih menganggap dua film itu fiksi, maka kita benar-benar buta dan nggak bisa evaluasi diri.

Lalu kita harus apa? Kalau kamu berpikir tentang tidak menggunakan plastik sekali pakai, mematikan lampu dan AC kalau tidak diperlukan, atau kurang-kurangi belanja hal yang gak perlu, atau belanja hanya hal-hal baik yang tidak merusak alam, kamu sudah bener tapi kurang berguna. Karena kamu bisa bayangkan, PBB dan semua ilmuan sejak hampir satu dekade lalu bilang, kita semua harus menurunkan emosi global 7.4% per tahun supaya bisa bertahan hidup di masa tanpa covid. Setelah covid dua tahun, dengan semua lockdown, dan banyak kegiatan ekonomi terhenti, kita cuma bisa menurunkan 6.4%! Kenapa bisa begitu? Padahal transportasi publik dan pesawat sudah drastis menurun.

Jawabannya karena kita di rumah masih pake listrik dan AC berlebih, pabrik masih jalan. Dan kalaupun kita hemat-hemat, atau ikut earth hour, itu juga nggak akan ngaruh karena pembangkit listrik kita kebanyakan masih tenaga batu bara/minyak bumi. Dan pembangkit itu dimiliki orang para pengusaha oligarki, bukan milik negara. Tonton film Dandy Laksono ini buat tahu betapa mengerikan bisnis energi di Indonesia:

Jadi masalah energi ini kompleks dan nyebelin banget. Lalu apa kita harus menyerah dan menunggu mati aja? Atau kita mau nabung beli masker dengan filter yang harganya 3 juta itu? Siap hidup di Masa Depan Cerah 2040? Kalo masih mau fight, saya punya pemecahannya.

Pertama, bikin komunitas dan gerakan politik untuk ngubah kebijakan struktural negaramu soal plastik, sampah, dan listrik. Ini bisa dilakukan dengan mendukung petisi-petisi tentang plastik, sampah, dan listrik, atau membuat petisimu sendiri. Berikut adalah beberapa petisi yang bisa kamu dukung:

Cukai plastik
https://chng.it/gs9YgFzdjG

UU pengurangan plastik
https://chng.it/MYYqGqkddr.

PLTP
https://chng.it/c2nX2xYP5r

Masih banyak petisi yang harus dibuat dan mencari dukungan macam-macam. Belum ada petisi yang ekstrim soal pelarangan produk plastik sekali pakai, atau undang-undang emisi yang bisa mengurangi emisi kita sebesar-besarnya. Lalu saat satu yang paling krusial dan berantakan adalah soal pesawat terbang komersial yang emisinya gede banget. Kalau pesawat bisa dibikin mahal dan transportasi yang lebih ramah lingkungan seperti kereta listrik dan kereta bawah laut bisa digalakan, tentu umur kita bisa lebih panjang sedikit. Kalau tidak ada yang bikin petisinya, mungkin saya akan bikin ketika ada waktu lebih buat risetnya.

Kedua, investasi ke produk ramah lingkungan dan energi terbarukan. Kita selalu tergantung pada energi-energi yang tidak sustainable seperti minyak bumi, batu bara, panas bumi, dan gas alam. Kalau ada perusahaan fintech yang bersedia bikin app untuk invest ke produk ramah lingkungan segampang bibit, dan tidak melulu soal UMKM, saya mau mau banget invest. UMKM itu baik, tapi nggak signifikan untuk membuat hidup kita lebih panjang. Karena masalah kita sudah sebegitu besarnya, kita butuh sebuah cara yang lebih massif dan jitu seperti pembangkit listrik tenaga angin dan matahari yang lebih bisa diakses banyak orang. Selama nggak ada investasinya, maka kita masih akan menderita dengan mati lampu yang sering banget, dan kita nggak digdaya untuk punya energi terbarukan dan pembangkit listrik sendiri yang jauh lebih ramah lingkungan. Teknologinya masih terlalu mahal. Tapi kita banyak orang kaya, dan kelas menengah kita suka invest jangka panjangnya maka seandainya ada fintech yang memiliki broker atau financial planning untuk green investment di Indonesia, kita mungkin akan bertahan.

Kalau kamu mau lebih tahu soal korporat-korporat yang sedang mengusahakan energi terbarukan yang aksesiboe, kamu bisa baca artikel ini dan secara manual, invest ke perusahan-perusahaan yang terdaftar di sini.

Ada beberapa hal yang bisa kamu fokuskan uang investasimu, dan keuntungannua kamu akan dapet cepet dalam bentuk bukan yang, tapi umur spesiesmu yang lebih panjang. Carilah perusahaan-perusahaan yang sedang mengembangkan tenaga Surya dan angin, invest ke pengembangan daging artifisial untuk mengurangi peternakan. Kalau perlu kamu bikin start up nya: energi mandiri di rumah melalui tenaga surya dan angin, biar ga tergantung PLN. Contohnya seperti video dari bali ini:

Ini bukan lagi pencegahan. Ini pertahanan hidup. Kiamat sudah sampai, dan tidak seperti fiksi sains, kiamat tidak datang sehari selesai. Masa panceklik menyeramkan ini masih panjang dan begitu menyiksa. Terus kalau kita nggak gerak, ya kita akan mati duluan. Sementara yang mau gerak, insyallah bisa pelan-pelan berevolusi menjadi spesies baru: yang tahan polusi atau memakai alat bantu, atau mengoperasi dirinya sendiri menjadi homo deus.

Untuk mengakhiri tulisan ini, saya persembahkan ke kalian film pendek saya bersama WWF Indonesia, Sejak Dini. Film ini minimal bisa ngajarin kita untuk berusaha hidup dengan beli yang baik-baik, supaya apa? Menunda kepunahan kita sedikit lagi.

***

Wow, kamu selesai membaca tulisan tentang lingkungan! Selamat! Dengan ini semoga kita ketemu 10 tahun lagi dalam kondisi cukup sehat. Amin!

Website ini dijalankan sepenuhnya dengan donasi yang dipakai buat bayar hosting, riset, dan nulis. Kalau kamu merasa tulisan ini berguna, boleh traktir penulisnya kopi dengan menekan tombol berikut:

Atau scan di sini untuk pake Go Pay:

Memoir, podcast, Politik, Racauan

Podcast Eps 2: Prioritas | Antara Masker, Helm dan Demokrasi

Gue suka kagum sama bagaimana banyak orang Indonesia membuat prioritas. Kayak, ketika jaman coronavirus ini, pada nurut tuh kebanyakan orang pake masker. Penting dong pake masker, biar ga nularin orang lain. Tapi yang keren itu orang-orang yang pada naik motor, sama istri dan tiga anaknya dempet-dempetan, anak paling kecil di depan, semuanya pake masker…

Tapi ga pake helm.

Hebat emang. Padahal jelas-jelas angka kematian karena kecelakaan lalu lintas tiap tahunnya jauh lebih gede daripada angka kematian karena Corona. Tapi ini kayaknya ciri khas banyak orang Indonesia akibat ketakutannya pada aturan—bukan pada ancaman yang logis.

Gue inget bokap gue dulu kalo nyetir nggak pernah mau pake sabuk pengaman. Tapi bokap tuh punya radar polisi yang super peka, udah kayak gaydar. Mungkin kita sebut namanya Poldar—sesuatu yang sangat dibutuhkan sama orang kulit hitam di Amerika sebenernya, biar mereka nggak mati dicekek polisi. Walau matanya minus, bokap bisa ngeliat, atau ngerasa, kalo ada polisi beberapa kilometer di depan, dan dia langsung pake sabuk pengaman. Jadi dia pake sabuk pengaman karena bukan karena takut kecelakaan, tapi karena takut aturan.

Gimana cara jelasin fenomena ini?

Jadi gini, ketika pembuat kebijakan sama masyarakat nggak nyambung, inilah yang terjadi. Kebijakan hukum itu kan sebenernya narasi, dan kelihatan banget bahwa hukum di Indonesia masih disosialisasikan dan dimengerti secara sederhana. Orang menaati hukum bukan karena merasa hukum itu buat kepentingan dia, tapi karena takut dihukum oleh penguasa. Di sini kita bisa melihat bahwa penguasa tidak mewakili rakyatnya.

Filsuf Prancis Michel Foucault pernah bicara soal Sovereignity dan Governmentality. Sovereignity, atau bahasa indonesianya kedaulatan adalah kekuasaan atas nama penguasa. Artinya semua hukum yang dibuat demi kepentingan mempertahankan kekuasaan. Ketika negara membunuh orang, kematian orang itu untuk kepentingan penguasa negara. Yah semacam petrus atau penculikan jaman orba lah. Sementara itu Governmentality, atau kepemerintahan—whatever bahasa indonesianya nggak ada—adalah penegakan hukum atas kepentingan bersama, atas nama rakyat. Jadi kalo ada pemberontak, atau gerakan separatis yang dibantai, misalnya, itu adalah demi kepentingan bersama, kepentingan NKRI, karena NKRI harga mati, nggak bisa ditawar, kayak di supermarket—neolib banget.

Nah di Indonesia ini kebanyakan orang masih bingung sebenernya. Karena kebanyakan orang nggak ngerti kenapa sebuah peraturan itu dibuat. Dan ini bisa sebagian aturan lho, sangat tergantung dari siapa yang mengkomunikasikan aturan itu, siapa yang mensosialisasikannya. Pemotor yang pake masker nggak pake helm, mungkin merasa, “ah gue cuma deket doang kok, cuma mau ke alfa, nggak lewat jalan gede” (alias nggak ada polisi yang akan nangkep dia). Padahal jalan kaki bisa sebenernya ka alfa, tapi males aja. Mending pake motor, bawa anak bini jalan-jalan, syukur-syukur selamet nggak ada bocah kaya mabok yang bawa mobil terus nabrak mereka—atau skenario apapun yang bikin mereka kecelakaan sampe kepalanya pada bocor dan otaknya berserakan di jalanan.

Gue rasa mereka ngerti kenapa disuruh pake helm. Kan dijitak masih sakit. Tapi mereka cuma nggak paham. Beda banget lho ngerti sama paham. Ngerti yaudah cuma ngehapal doang, tapi paham sifatnya lebih logika dan mental. Kalo dari kecil mereka emang diajarin berkelit, yah gedenya gitu, berkelit mulu. Yang bikin aturan tolol nggak bisa jelasin, penegak hukum biasanya ngumpet disemak-semak biar dapet jatah, warganya blangsak juga semacem ini. Cocok lah.

Tapi mungkin bisa juga orang-orang ini memang penganut monogami aturan keselamatan. Jadi kayak mereka nggak bisa mendua dalam protokol keselamatan dan kesehatan. Harus pilih salah satu, kalo nggak masker ya helm. Prioritas masker duluan karena lagi trend, biasa bini baru. Helm mah so yesterday. Jadi lebih baik mati kecelakaan tapi pake master, daripada mati corona tapi pake helm.

Tapi gue pikir milih antara helm atau masker lebih beradab dan punya otak sih, daripada di Amerika yang mana beberapa orang ngotot nggak pake masker dengan alasan bahwa mereka punya imunitaslah, bikin susah narik oksigen laah—yaiyalah, tapi kan bisa nafas juga, dan yang paling parah, banyak teori konspirasi soal satanisme dan pherofilia. Ancur sih. Seperti kata orang-orang dari video now this ini.

Ini adalah contoh demokrasi dalam keadaannya yang paling buruk dan tolol. Ini juga adalah sebab kenapa Sokrates dan Plato nggak suka banget sama demokrasi yang mungkin sekali memberikan suara untuk orang-orang tolol. Orang-orang yang menganggap bahwa opini bisa jadi fakta, orang-orang yang nggak paham bahwa fakta dan sains itu berubah-ubah bukan karena mereka opini, tapi karena data yang selalu disempurnakan. Dialektika bukan semata-mata argumentasi ide, tapi juga argumentasi data!

Kadang-kadang gue pikir, jangan-jangan demokrasi kita yang setengah-setengah ini lebih mateng daripada demokrasi Amerika, secara pemilihan presiden kita masih langsung dipilih rakyat—walau tentunya banyak kecurangan-kecurangan tapi cukup banyak mekanisme untuk menuntut. Plus oligarki kita masih malu-malu kucing, nggak sefrontal Amerika. Jadi dengan segala keluhan-keluhan, rasa malu-malu ketahuan kaya, ketahuan punya power, jadi lumayan nggak malu-maluin lah sebagai bangsa. Hahahahah.

Simpulannya gini: banyak orang punya masalah sama prioritas dalam dua ekstrim. Di Indonesia kita nggak biasa kritis; di Amerika mereka biasa kritis tapi dengan cara yang salah. Cara yang salah adalah berpikir bahwa argumen itu ditentukan sama opini dan bukan sama fakta. Kebenaran cuma satu kok: kebenaran factual. Dari kebenaran faktual itulah kita menentukan cara kita bertindak.

Jadi kita sih harus ditengah-tengah. Bingung memang, awalnya selalu bingung. Tapi manusia memang sudah semestinya jadi spesies yang bingung dan dari kebingungan kita bisa lebih bijak, karena setelah dipikirkan dengan baik, tindakan kita juga insyaallah lebih baiklah.

Lebih baik bukan berarti yang terbaik ya. Dan ga mesti juga bikin semua akan bener. Kita akan selalu salah tapi kita usahakan salah kita hari ini lebih sedikit dari salah kita kemarin.

Udah ah capek. Sampe ketemu di podcast esei nosa minggu depan.

Btw, kalo lo suka sama bahasan gue, bantuin gue PT-PT bayar website dong. Mahal gila ini wordpress. Kirim ke jenius $wonderguitar, atau hubungin gue di social media buat nyumbang dengan cara lain. BU nih corona. Heheheh.

See ya.

Filsafat, Gender, Politik, Racauan

Propaganda dan Islam yang Menipumu (Orang Amerika)

Justin King

Diterjemahkan dari Antimedia.org oleh Nosa Normanda

The relatives of one of the victims of the twin suicide attacks in Beirut mourned during a funeral procession in the city's Burj al-Barajneh neighborhood. Credit Wael Hamzeh/European Pressphoto Agency
The relatives of one of the victims of the twin suicide attacks in Beirut mourned during a funeral procession in the city’s Burj al-Barajneh neighborhood. Credit Wael Hamzeh/European Pressphoto Agency. NYTimes.com

(Antimedia) Propaganda adalah roda yang digunakan pemerintah untuk mengendarai bus bernama negara; biasanya propaganda menyetir negara ke peperangan atau ke ujung jurang kemanusiaan. Mengagumkan berapa banyak orang yang mengaku rasional, tapi mengikuti suara mayoritas dalam merendahkan kemanusiaan musuh nasionalnya.

Baca lebih lanjut