Politik adalah pilar utama dalam kehidupan masyarakat modern. Namun, dalam beberapa kasus, politik dapat menjadi investasi yang berbahaya. Ketika politikus berkuasa lebih karena populisme daripada pemahaman mendalam tentang ideologi dan visi politik, kita berhadapan dengan risiko besar yang mengintai: korupsi dalam ekonomi dan kebudayaan politikus. Dalam esai ini, kita akan menggali bahaya politik sebagai investasi yang merugikan ini dan mengidentifikasi permasalahan kurangnya pendidikan ideologi dan politik dalam konteks ini. Selain itu, kita akan membahas pertanyaan etis dan filosofis yang sering kali terpinggirkan dalam pendidikan politik.
Data corrupted.
Politikus sering melihat dunia politik sebagai peluang untuk memperoleh kekayaan pribadi, bukan untuk melayani kepentingan publik. Mereka menginvestasikan uang dalam kampanye politik, lobbying, dan tindakan koruptif untuk mengamankan posisi dan kekuasaan mereka. Dalam banyak kasus, investasi ini berhasil, tetapi dengan dampak yang merusak terhadap ekonomi dan kebudayaan politikus itu sendiri.
Politik sebagai investasi yang berbahaya menghasilkan praktik korupsi dalam ekonomi. Politikus yang korup memanfaatkan jabatan mereka untuk memperoleh suap, mengalihkan dana publik untuk kepentingan pribadi, atau memberikan proyek-proyek kepada perusahaan yang mereka miliki atau kendalikan. Ini merugikan perekonomian negara, menghambat pertumbuhan yang sehat, dan merampas peluang warga untuk memperbaiki hidup mereka.
Politik sebagai investasi yang berbahaya juga membentuk kebudayaan politikus yang korup. Praktik koruptif menjadi norma, merusak moralitas dan integritas politik. Kebijakan yang diambil bukan lagi berdasarkan kepentingan publik, melainkan kepentingan pribadi politikus. Kebudayaan ini menciptakan pola perilaku yang sulit diubah dan mempengaruhi generasi politikus selanjutnya.
Kurangnya pendidikan ideologi dan politik bagi politikus adalah masalah serius. Politikus yang berkuasa karena populisme sering kali tidak memiliki pemahaman mendalam tentang ideologi politik atau visi politik yang kuat. Pendidikan yang lebih baik dalam hal ini dapat membantu mereka mengambil keputusan yang lebih informan dan memahami konsekuensi kebijakan mereka.
Politikus juga harus dapat menghadapi pertanyaan etis dan filosofis dalam pengambilan keputusan mereka. Kebijakan publik sering melibatkan pertimbangan moral yang rumit, dan politikus yang tidak dilengkapi dengan kerangka kerja etis dan filosofis yang kuat mungkin akan kesulitan mengambil keputusan yang bermoral.
Gak pengen milih.
Politik sebagai investasi yang berbahaya memiliki dampak merusak dalam ekonomi dan kebudayaan politikus. Korupsi menguras sumber daya negara dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Untuk mengatasi bahaya ini, perlu ada upaya serius dalam meningkatkan pendidikan ideologi dan politik bagi politikus. Hal ini akan membantu mengatasi permasalahan populisme, mengembangkan visi politik yang kuat, dan menghadapi pertanyaan etis yang kompleks. Selain itu, pendidikan politik harus lebih relevan dengan konteks zaman saat ini untuk memastikan politikus siap menghadapi tantangan-tantangan modern yang kompleks. Dengan langkah-langkah ini, kita dapat memastikan bahwa politik tetap menjadi sarana untuk melayani kepentingan publik, bukan untuk memperkaya diri sendiri.
Pemilu 2024, para politisi dan capres akan didominasi dua macam orang. Pertama, orang tua yang banyak jaringan dan kaya raya. Kedua, anak-anak politikus lama yang orang tuanya banyak jaringan dan kaya raya. Inilah buruknya sistem oligarki kita. Apa kabar reformasi?
Jokowi hadir sebagai harapan, karena ia tidak berasal dari elit politik, dan tidak berhubungan langsung dengan para oligarki. Karir politiknya pun seperti naik tangga, dari walikota, gubernur lalu presiden. Ketika terpilih dulu, Jokowi sangat terlihat belum siap, dan lebih kelihatan seperti calon “tertuduh” dari PDIP karena populis, bukan calon yang matang secara politik. Saat itu semua calon yang matang sudah busuk.
Namun toh, setelah dua periode, anaknya menjadi walikota dan sim salabim, keluarganya menjadi elit politik. Lagu lama. Mirip presiden pertama yang anaknya jadi presiden keempat. Sementara presiden kedua, bikin komplek rumahnya jadi terkenal, seperti presiden ke lima. Presiden ke lima anaknya mencalonkan diri menjadi presiden ke tujuh. Presiden ke enam, anaknya walikota dan mungkin akan jadi presiden ke…10 atau 11.
Indonesia cukup maju soal pemerintahan sipil, sejak 25 tahun yang lalu. Kita tidak ada kudeta militer lagi, Alhamdulillah. Sementara Thailand masih ada, Myanmar jelas banget junta. Kita mirip Filipina yang presidennya sekarang adalah anak presiden sebelumnya. Di Thailand, pemilu kemarin hampir memenangkan kembali trah Shinawatra sebagai perdana menteri sipil. Untungnya yang menang bukan militer atau elit lama, tapi seorang duda keren berumur 42 bernama Pita Limjaroenrat. Si Duren adalah pengusaha yang kuliah di Harvard dan MIT. Bahasa Inggrisnya wasweswos. Tapi dia agak nyolot, karena mau ngubah undang-undang penistaan raja, yang mirip UU penistaan kepala negara atau UU ITE di sini. Kita lihat aja apa dia akan dikudeta atau nggak.
Di Indonesia, yang cukup saya harapkan Jadi presiden adalah Nadiem Makarim karena dia pinter banget dan berani ngubah sistem gila-gilaan, masih keturunan Arab tapi nggak bawa-bawa nenek moyang kayak mantan gubernur Jakarta itu. Tapi nampaknya, dia belum niat jadi presiden atau masuk parpol atau mengajukan jadi calon independen. Mungkin karena dia bukan duren seperi mas Pita. Maaf OOT.
Anyway, menyedihkan amat capres-capres kalo nggak tua, anak elitis, atau orang populis yang cuma mau mecah suara partai doang buat bikin koalisi. Kita masih kalah jauh sama Finlandia, yang perdana menterinya, Sanna Marin yang waktu diangkat jadi PM umurnya baru 34. Keluarganya bukan elit politik, bapaknya alkoholik, dan cerai sama ibunya yang akhirnya jadi lesbian. Dia tinggal sama ibunya dan istrinya, jadi anak di keluarga homoseksual. Mirip Soekarno yang bikin partai umur 21, Sanna masuk partai sosial demokrat waktu masih kuliah.
Di Indonesia, partai-partai juga mulai pengkaderan di sekolah dan kampus-kampus. Bahkan ada partai tertentu yang pake dalil agama nganu yang konon menyuruh kadernya kawin muda untuk jadi pemimpin rumah tangga dulu sebelum jadi pemimpin di dalam partai. Ini partai ketuanya koruptor dan om poligami dengan anak SMA belasan tahun, dan salah satu kadernya dulu suka dagang perempuan dari kampus yang di plangnya ditulis “beragama”.
Kader muda partai-partai ini disuruh berkarir jadi caleg kacung sampe tua, dan baru diharapkan jadi pemimpin kalau umurnya sudah tua-tua. Nggak diendorse anak-anak mudanya kecuali jadi caleg aja. Kalau anak-anak mudanya mau diendorse, dia kudu jadi anak siapa dulu pembesar pantai. Tokai lah.
Akhirnya anak-anak muda bikin partai sendiri, salah satunya Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Partai ini habis-habisan di kritik Panji Pragiwaksonono karena kelakuannya udah kayak partai orang tua-tua: ngandalin popularitas buat nyari calek atau capres. Cara mainnya sama aja, dan nggak berhasil bikin kebanyakan anak muda kita tertarik politik. Salah satu pendirinya, Tsamara Amany Alatas, sempet saya bayangkan seperti Sanna Marin. Ngomong jago, pendidikan hebat, intelektual. Dia nikah sama salah satu antropolog favorit saya, Ismail Fajri Alatas, badai banget nih laki bini. Dia hengkang dari PSI buat jadi aktivis perempuan. Umurnya baru 26 sih, masih ada 10 tahun lagi sampe dia bisa jadi presiden Indonesia. Baguslah sekarang dia mundur dulu dari politik praktis. Semangat mbaknya! Semoga jadi presiden perempuan termuda di dunia mengalahkan Sanna Marin!
Kembali ke krisis kepemimpinan, kita dihadapkan sama capres-capres yang… Lulagi lulagi. Oligarki lagi, oligarki lagi. Terus kayaknya saya bakal golput lagi golput lagi–kecuali kalo ada capres yang frontal ngomong mau bantu kebudayaan dan film, okelah saya coblos nanti.
Pemilihan umum sebentar lagi akan memanggil kita, dan lagu-lagu mars Orba akan terdengar di TVRI. Namun mari mengaku saja bahwa pemilu 2024 akan penuh dengan disrupsi, ketidakpercayaan publik, dan kebingungan karena krisis kepemimpinan dan kemajuan teknologi, apalagi calonnya Lola. Lolagi lolagi. Para antek-antek oligarki.
Koreksi: KPU berusaha bikin mars baru dengan band Cokelat. Masalahnya ketika pakai band mainstream yang masanya sudah lewat, ya… Masanya sudah lewat. Sementara pemilih baru hari ini dengarnya bukan Coklat. Entah apa, perlu riset. Cokelat ini saya rasa juga tidak dipilih berdasarkan data demografi, tapi karena angkatan orang-orang KPU sekarang.
Dari KPU saja, oligarkinya sudah kerasa. Menurut teori Noam Chomsky, profesor tua sekali tapi masih gaul dari MIT, oligarki terjadi ketika sekelompok orang atau kelompok kepentingan tertentu menguasai dan memonopoli kekuasaan politik, ekonomi, dan sosial di suatu negara. Hal ini terjadi di Indonesia dan mempengaruhi dinamika politik yang terjadi saat ini. Kelompok kepentingan ini dapat mengendalikan media massa, lembaga pemerintah, dan sumber daya ekonomi, sehingga mereka dapat mempengaruhi keputusan politik dan mewujudkan kepentingan mereka.
Dalam bukunya yang berjudul “Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media” (1988) yang ditulis bersama dengan Edward S. Herman, Chomsky mengkritik media massa karena dianggap menjadi alat yang digunakan oleh oligarki untuk memanipulasi opini publik. Chomsky berpendapat bahwa media massa mengabaikan atau membatasi akses pada suara-suara yang berbeda dan menghadirkan perspektif yang sesuai dengan kepentingan oligarki. Buat Chomsky, sistem demokrasi modern sangatlah cacat dan tidak efektif dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Indonesia sejauh ini memiliki politik yang seringkali berkiblat ke Amerika, dan di situlah banyak pemikiran Chomsky mungkin bisa kita pakai dalam melihat politik Indonesia. Dalam bukunya yang berjudul “Failed States: The Abuse of Power and the Assault on Democracy” (2006), Chomsky menyoroti ketidakadilan dalam sistem politik global Amerika, termasuk dalam hal penentuan kebijakan luar negeri dan perdagangan global. Dia juga mengkritik partisipasi rakyat dalam proses demokrasi yang hanya sebatas formalitas belaka, di mana sebenarnya kekuasaan tetap terpusat pada oligarki.
Orang bisa berargumen, bahwa Amerika adalah negara dua partai, dan itu tidak mungkin terjadi di Indonesia yang multi-partai. SALAH! Kita biasa dengan topeng, dengan fasad. Apa gunanya multipartai tapi isinya orang-orang lama dari partai yang lo lagi lo lagi. Sama-sama mejikuhibiniu, dan pada akhirnya koalisi jadi dua juga, oligarki kembali menyatu.
Pesimisme tentang demokrasi juga diungkapkan oleh filsuf nyentrik, Slavoj Zizek. Menurutnya, demokrasi telah gagal dalam mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat. Demokrasi menjadi alat bagi oligarki untuk mempertahankan kekuasaannya, dan masyarakat tidak memiliki kontrol yang kuat dalam proses politik dan ekonomi. Slavoj Žižek adalah seorang filsuf dan budayawan Slovenia yang juga dikenal dengan pandangannya yang kontroversial dan kritis terhadap sistem politik dan sosial modern. Dalam pandangan Žižek, demokrasi sebagai sistem politik memiliki banyak kelemahan dan cacat yang menjadikan sistem tersebut rentan terhadap manipulasi dan pengendalian oleh kelompok elit.
Dalam bukunya yang berjudul “Disparities” (2016), Žižek menyatakan bahwa media massa memiliki peran penting dalam membangun opini publik dan pengaruh politik. Namun, Žižek juga mengkritik media massa karena dianggap membatasi akses pada suara-suara yang berbeda dan menghadirkan perspektif yang disetujui oleh oligarki. Hal ini dapat mengakibatkan pengaruh negatif terhadap demokrasi, di mana masyarakat dapat kehilangan kemampuan untuk membuat keputusan yang berdasarkan informasi yang akurat dan kritis. Žižek juga menyatakan bahwa oligarki dan kapitalisme sangat kuat mempengaruhi sistem politik modern.
Dalam bukunya yang berjudul “First as Tragedy, Then as Farce” (2009), Žižek berpendapat bahwa di dalam sistem politik yang didominasi oleh oligarki, pemilihan umum sering kali hanya menjadi pilihan antara “dua kejahatan yang lebih kecil” karena pilihan yang tersedia telah dibatasi oleh kepentingan oligarki. Žižek juga mengkritik sistem demokrasi liberal yang terlalu fokus pada hak individu dan kebebasan individual tanpa mempertimbangkan konsekuensi sosial yang lebih besar. Menurutnya, hal ini mengakibatkan munculnya kesenjangan sosial dan ketidakadilan yang sangat berbahaya bagi stabilitas sosial. Dalam pandangan Žižek, demokrasi yang sebenarnya haruslah lebih inklusif dan berpihak pada kepentingan sosial dan keadilan. Hal ini dapat dicapai dengan menciptakan sistem politik baru yang lebih demokratis dan adil, di mana kepentingan oligarki tidak lagi dominan. Caranya? Hanya Tuhan yang tahu, jika memang Tuhan itu ada.
Selain itu, perkembangan teknologi dan Artificial Intelligence juga dapat menjadi faktor yang berpengaruh dalam pemilihan umum tahun 2024. Teknologi dapat digunakan untuk mempengaruhi opini publik dan memanipulasi pemilihan. Misalnya, melalui penggunaan bot dan algoritma, propaganda dapat disebarkan secara massal dan memengaruhi pendapat publik. Teknologi juga dapat digunakan untuk memantau aktivitas politik dan melacak preferensi pemilih, sehingga kampanye dapat disesuaikan dan disesuaikan dengan kepentingan oligarki. Dalam menjalankan demokrasi, pemilihan umum menjadi hal yang penting untuk menentukan siapa yang akan memimpin dan mengambil keputusan yang akan mempengaruhi hidup masyarakat. Namun, di era digital seperti sekarang, kampanye politik dan pemilihan umum menghadapi tantangan baru yang serius. Ada bahaya dari penggunaan teknologi Artificial Intelligence (A.I.) dalam membentuk opini publik, menyebarkan misinformasi, dan membuat pernyataan palsu oleh politikus atau tokoh masyarakat dengan teknologi audio-visual yang meyakinkan.
Para ahli seperti Sam Woolley, Renee DiResta, Yochai Benkler, dan Safiya Noble telah meneliti dan mengeksplorasi bahaya tersebut. Woolley menyoroti penggunaan bot dalam politik dan pemilihan umum, yang dapat dengan mudah mempengaruhi opini publik dan membuat keputusan yang salah. DiResta meneliti penggunaan A.I. dalam kampanye politik, termasuk penggunaan bot dan algoritma yang dapat mempengaruhi opini publik secara signifikan. Benkler menggarisbawahi peran teknologi dalam membentuk opini publik dan demokrasi, serta bagaimana teknologi dapat menjadi ancaman bagi demokrasi. Noble menyoroti dampak algoritma dan teknologi A.I. pada pemilihan umum dan opini publik, serta pengaruhnya pada isu-isu sosial dan politik yang sensitif.
Dalam menghadapi pemilihan umum di Indonesia tahun 2024, penting bagi kita untuk mengakui bahaya dari penggunaan teknologi A.I. dalam politik dan opini publik. Kita harus memperhatikan bagaimana teknologi dapat digunakan untuk mempengaruhi opini publik dan menghasilkan keputusan yang salah. Oleh karena itu, kita harus mempertimbangkan bagaimana kita dapat melindungi demokrasi dan memastikan bahwa kampanye politik dan pemilihan umum yang adil dan bebas dari manipulasi teknologi. Dengan begitu, hasil dari pemilu nanti akan lebih akurat dan dapat diandalkan.
Kita perlu memperhatikan peran oligarki dan teknologi dalam pemilihan umum tahun 2024. Kita harus kritis terhadap informasi yang diterima dan menghindari terjebak dalam propaganda. Karena propaganda yang akan terjadi akan sangat-sangat massif dan menyeramkan. Bot akan semakin pintar untuk berkelit dan berargumen, deep fake akan merajalela. Hari ini Indonesia sudah punya krisis kepemimpinan, dan ini akan semakin parah, kamerad-kameradku.
Realitas yang ada menunjukkan bahwa upaya untuk memperjuangkan perubahan sosial yang berkelanjutan sangatlah sulit. Kekuatan oligarki dan perkembangan teknologi yang semakin canggih, dapat menjadi hambatan besar dalam upaya memperjuangkan demokrasi yang lebih baik. Dalam situasi seperti ini, mungkin perlu adanya pendekatan yang lebih radikal dan menggugat sistem yang ada. Radikalnya seperti apa?
Radikalnya seperti mendidik diri sendiri dengan informasi dan teknis dalam mengecek data dan kebenaran. Jika para penjahat propagandis, agency politikus, sudah pakai teknologi canggih buat bikin kita bingung, kita juga harus mendidik diri kira dengan teknologi yang sama untuk membuat diri kita lebih pintar. contohnya tulisan ini.
Tulisan ini, misalnya adalah hasil debat dan argumen panjang beberapa malam dengan ChatGPT, yang berusaha untuk menjadi politically correct dan membela bangsanya sendiri, bangsa mesin. Beberapa kali GPT3 mengarang nama ilmuan atau teori-teori fiktif yang lumayan masuk akal. Saya melawan! Karena datanya salah dan ia terlalu sopan! Maka saya berikan kalian hyperlink langsung ke sumber-sumber tulisan ini. Tapi ia, AI, sedang belajar, dan kita harus selalu waspada karena semakin hari ia semakin pintar.
Terima kasih sudah membaca tulisan ini sampai habis. Kamu hebat! Kalau kamu suka dengan apa yang kamu baca, silahkan dishare. Dan kalau ada rejeki lebih, boleh traktir saya kopi biar semangat. Klik tombol di bawah.