Filsafat, Politik, Racauan

Pelukis Tanpa Kelingking

horses2

Kau dan aku adalah debu-debu semesta. Kita begitu kecil dan tak berarti, maka kurasa kita harus menerima kenyataan ini. Semua hal yang kita anggap penting hari ini, dari agama sampai cinta, cuma dongeng belaka. Tenang saja, bahkan ketika kiamat datang, cuma kita yang mati, semesta jalan terus dan akhirat cuma ada di buku-buku dan artefak yang kita tinggalkan.


Homo Erectus ada sejak 1,9 juta tahun yang lalu dan punah sekitar 70 ribu tahun yang lalu. Spesies kita, Homo Sapiens, muncul di Afrika sekitar 200 ribu tahun yang lalu, dan mulai menunjukkan bukti fisik seperti manusia modern sekitar 50.000 tahun lalu. Itu baru fisiknya saja, akalnya bisa jadi lebih primitif daripada Homo Erectus yang sudah bisa membuat rumah dari kayu dengan lantai kulit binatang.

Bukti tertua yang membuat manusia dianggap manusia seperti kita bukan dari bentuk fisiknya, tapi dari karya-karya yang ditinggalkan. Misalnya lukisan di gua Lascaux di Perancis, yang tidak hanya bergaya realisme, tapi juga menunjukkan sebuah narasi cerita tentang pergerakan binatang-binatang. Lukisan gua berumur 16.000 tahun tersebut, adalah gambar bergerak pertama yang diciptakan manusia. Dari cap tangan yang ditinggalkan di goa, kita tahu bahwa manusia yang melukis gambar-gambar itu, kehilangan jari kelingking kanan.

Fakta-fakta di atas bukanlah topik utama esei ini. Saya hanya mencantumkannya untuk memperlihatkan porsi kita sebagai manusia dan betapa kecilnya kita bahkan dibanding spesies yang terdekat dengan kita, Homo Erectus. Saya bahkan belum membandingkan manusia dengan dinosaurus, atau alam semesta secara keseluruhan, yang akan membuat kita lebih kecil lagi. Tapi paling tidak, dengan semua ini, saya bisa bilang kalau saya seorang agnostik, dan agama cuma dongeng buat sebuah spesies manusia yang numpang di semesta ini.

Logika dan bukti-bukti konkrit evolusi, teknologi perhitungan karbon, serta perkembangan keilmuan membuat saya lebih tenang menjalani hidup sebagai entitas yang keberadaannya tidak penting-penting amat. Fakta-fakta ini membantu saya seperti kitab suci atau agama membantu seseorang untuk menanggung hidup dan kegalauannya. Agama mengajarkan betapa kecilnya manusia, betapa fananya hidup, bahwa ada akhirat yang lebih nyata dari yang nyata. Sains mengajarkan saya hal yang sama, tentang betapa kecilnya manusia, tanpa embel-embel akhirat, surga atau neraka. Sains memberikan ruang kebebasan untuk saya dalam memaknai hidup saya sendiri dengan banyak buku, banyak cerita, banyak karya yang bisa saya tinggalkan.

Akhirat, surga atau neraka tidak pernah menjadi ambisi saya. Ambisi saya adalah meninggalkan hasil kerja untuk membantu orang-orang hari ini dan orang-orang di masa depan, seperti pelukis tanpa kelingking. Inilah penanda keberadaan kita hari ini: bahwa rentang ruang dan waktu 16, 000 tahun, terbaca hari ini dan memberi arti bagi kita, sesama manusia. Si pelukis tidak mengenal kata atau konsep seni. Ia melakukannya demi inspirasi dari dewa-dewa yang kita sudah tidak kenal hari ini, demi merekam kehidupan di luar goa, atau mungkin seperti legenda Aborigin di Australi, melukis mimpi di goa untuk menciptakan dunia di luar.

Aih, kecilnya kita. Kecilnya saya. Dan dalam kekecilan itu, hidup jadi terasa begitu ringan. Kita mudah sekali stress hari-hari ini, apalagi yang tinggal di kota besar dan terhubung internet dan jaringan global. Orang-orang kesepian ada di mana-mana. Hubungan interpersonal di sekeliling kita saja bisa membuat nafas kita termegap-megap, bisa membuat seorang remaja menembaki jamaah gereja atau anak-anak kecil di sekolahan, apalagi krisis global.

Hari-hari ini kita terus menerus disajikan krisis. Dari krisis timur tengah, krisis blok ekonomi, hingga krisis lingkungan. Yang buat saya paling mandeg dan ujung dari semua krisis dengan ancaman paling berat adalah krisis lingkungan. Krisis lingkungan ini adalah akibat dari 100 tahun industrialiasasi, 100 tahun eksploitasi, 100 tahun perang ideologi. Kalau saya mau meminjam judul buku Gabriel Garcia Marques, inilah 100 Tahun Kesunyian kita.

Saya tidak perlu menjelaskan panjang lebar sebab-akibat kronologi bencana ini, atau kontroversi pengusaha-pengusaha konservatif tolol bahwa bumi baik-baik saja. Saya hanya perlu melihat ke taman di belakang apartemen saya di Washington DC, bahwa pohon dan tumbuhan yang minggu lalu sudah habis rontok semua daunnya, kini sudah tumbuh lagi karena salju tak juga datang. Saya juga masih ingat sebelum saya berangkat ke Amerika, saya melawan nyamuk-nyamuk di punggung gunung Merapi, yang penduduknya seumur-umur belum pernah digigit nyamuk di desanya yang terkenal tinggi dan dingin.

Dari membaca berita-berita pun kita bisa tahu separah apa keadaan di berbagai tempat. Bahkan konflik di Suriah, misalnya, dipicu oleh kekeringan panjang yang membuat petani-petani gagal panen dan meningkatkan arus urbanisasi ke kota-kota yang pemimpinnya despotik. Atau para petani di Jawa seringkali gagal panen karena curah hujan yang tidak menentu, hingga mereka harus belajar meramal hujan, Yang jelas, orang-orang yang terkena dampak langsung dari korporasi-korporasi bajingan ini kebanyakan bukan orang yang salah. Bukan mereka yang mengambil kebijakan-kebijakan itu.

Melihat konferensi COP 21 dipenuhi sposor perusahaan dan rendahnya representasi suku pedalaman di sana, kita masih jauh dari optimis. Apalagi NGO-NGO macam Greenpeace seringkali bermain busuk juga di beberapa lini, misalnya tidak mau mengakui bahwa salah satu penyebab efek rumah kaca adalah peternakan sapi yang massif di Amerika. Eropa, Amerika dan Cina adalah penyumbang utama emisi di dunia ini. Dan kalau mereka berhenti berproduksi, maka seluruh dunia cuma akan menyumbang emisi kurang dari 10 persen. Tapi artinya, kegiatan ekonomi global pun akan terhenti. Modernitas akan terhenti.

Mungkin itu tidak buruk-buruk amat tapi itu tidak mungkin. Kata Stephen Hawking, jika kita tidak menemukan cara untuk mengubah moda produksi industri kita, maka 50 tahun lagi spesies kita tidak akan bisa hidup di bumi ini. Itulah hari kiamat bagi manusia. Apa lalu saya galau memikirkannya seperti para agamis? Atau seperti orang-orang yang menghitung pahala atau dosanya? atau seperti para hedonis yang ingin sepuas-puasnya menikmati hidup yang cuma sebentar ini?

Ah, tidak. Saya tidak galau. Saya cuma berharap, semoga suatu hari ada entitas hidup lain yang bisa melihat karya-karya saya ini, dan mendapatkan manfaat dari karya-karya tersebut untuk mengenal masa lalu mereka dan membuat masa depan yang lebih baik daripada spesies saya yang bodoh-bodoh ini. Ironis, spesies saya ini sudah berpikir tentang luar angkasa, tentang interstelar, teknologinya sudah begitu maju, tapi kerja untuk mencerdaskan sesamanya seringkali mandeg dan mungkin kami akan berakhir lagi-lagi dengan menara Babel, dimana orang-orang tolol menghancurkan mahakarya dan hasil peradaban demi mencari jawaban atas kebingungan mereka.

Sudahlah. Saya bukan orang yang punya ambisi dan nampaknya tidak akan pernah punya ambisi itu. Saya sama saja seperti pelukis goa tanpa jari kelingking itu, saya melakukan semua ini karena saya menyukainya, karena saya mencintai kehidupan, pahit-manisnya. Habis ini saya kembali akan membaca sejarah dunia, atau kisah seorang gadis buta yang belajar Darwin dari seorang gila.

Selamat menikmati hidup dan selamat berjuang.

 

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.