
Saya adalah badut Zarathustra yang sedang menyebrangi tali tipis. Lihatlah bagaimana saya berusaha sampai ke ujung.
Bagian ketiga adalah BLUES. Seperti Jazz, Blues adalah musik yang penuh improvisasi. Namun berbeda dengan Jazz, mood dalam musik blues, seperti namanya adalah kegundahan, kegalauan akan cinta dan kebebasan. Stuart Hall, ahli Kajian Budaya asal Jamaika, menulis bahwa kebudayaan orang kulit hitam di Amerika, yang melahirkan musik Blues, adalah budaya yang ‘rindu’ pada Afrika yang hilang dan mereka ketahui hanya dari cerita-cerita tentang tanah leluhur.[1] Berbeda dengan diaspora orang Cina yang kebanyakan datang atas motivasi politis dan ekonomi, membuat grup-grupnya sendiri dalam pecinan, dan memiliki hubungan langsung dengan benua asalnya, budaya Afrika-Amerika lebih mengenaskan. Orang-orang kulit hitam masuk dari jalur perbudakan. Kristenisasi dan perbudakan membuat mereka tercerabut dan melupakan akar mereka, tanpa punya kebebasan untuk berhubungan dengan benua asalnya. Yang membuat Blues adalah sebuah kerinduan akan akar yang ‘diimajinasikan’. Blues adalah musik yang hadir sebagai campuran dari kesedihan, opresi dan darah, Di tangan para budak kulit hitam, musik Gospel di gereja diinterpretasi ulang menjadi Blues, dengan masalah personal dan sosial di dalamnya.
Ervin Ruhlelana, seperti semua orang Indonesia, tidak pernah masuk kapal budak. Kita diperbudak di tanah kita sendiri, kita menjual, dan menafikkan tanah dan tradisi kita sendiri. Maka blues yang bisa kita hasilkan adalah jiplakan dari opresi di dunia barat, sebuah penyesalan atas tindakan-tindakan yang salah. Kita dapat memainkannya dengan empati kita, dan kesedihan lokal kita yang tentunya berbeda dengan kesedihan Robert Johnson atau Gary B.B. Coleman. Setan yang menyakiti kita jauh berbeda; mereka bukan para pedagang budak atau pemilik perkebunan kapas atau kelompok Ku Klux Klan. Setan kita terlihat setiap kali kita bercermin.
Kira-kira beginilah cara Ervin bermain Blues. Dalam Surat Untuk Earth, Surat untuk seorang kekasih yang tinggal serumah dengan tokoh utama. Simbol sebuah tempat, sebuah hubungan yang kini ditinggalkan. Sebenarnya hanya sekedar pertengkaran dan perpisahan yang menimbulkan kerinduan dan harapan. Sederhana. Cerita ini membuka bagian Blues dengan cinta yang tak terwujud dengan baik, semestinya berakhir tapi tetap diperjuangkan. Dan memang begitulah esensi Blues yang berbeda dengan grunge. Blues bertahan dengan penderitaan, grunge lebih masokis dan nihilis, terobsesi pada kematian dan bunuh diri.
Dalam Jutaan Bilangan Silang, Tisyu-tisyu astrologi, dan Nebula-nebula Berkarat, kita seperti diajak membedah kepala Ervin dan melihat isi pikirannya. Tulisan ini nampaknya adalah usaha-usaha untuk melawan writer’s block, karena writer’s block adalah kehampaan dan kerinduan akan kreativitas, namun juga ketidakmampuan untuk mencipta. Dalam cerpen ini, seorang perempuan tinggal di kepala si narator, kedinginan. Ada badai salju. Namun narator tak mampu menolong, ia tak bisa menguasai kepalanya sendiri dan membiarkan si perempuan kedinginan terus menerus. Kisah ini penuh teka-teki jika kau bertanya, namun juga penuh pernyataan jika kau hanya ikuti. Semesta yang kacau balau. Seperti sebuah improvisasi blues tanpa struktur yang jelas.
Terlebih lagi di cerita selanjutnya, Segelas Tangisan Lirih, Sekuntum Bunga Berwarna Nila, dan Retasan Jari-jari hangatnya di Kepalaku, pintu interpretasi tiba-tiba ditutup total. Cerita ini sangat personal, dengan segala tanda-tanda dan asosiasi yang hanya bisa digapai jika kita bisa membuka otak Ervin Ruhlelana dan mencari hubungan-hubungan antara neuron-neuron serta imaji-imaji didalamnya. Pintu makna dalam cerita ini tertutup oleh kurangnya keterangan, dan lautan kata yang hanya memberikan perasaan perih, terganggu dan terjebak dalam ketidaktahuan.
Setelah itu kita dibawa menuju pintu lain, Semalam Bersama Mimpi Lusid. Berbeda dengan kisah sebelumnya, Mimpi Lusid berisi manual untuk masuk ke dalam labirin-labirin mimpi sendiri, dan secara sengaja menjebak diri sendiri, melihat jauh ke dalam. Seperti film Inception, yang masuk ke dalam mimpi kita sendiri lapisan demi lapisan. Tapi di sini banyak sekali pintu. Dalam cerita ini kita bisa melihat tatanan referensi demi referensi yang bisa saja membuka pintu-pintu lain yang tak ada batasnya. Yang tak tersedia hanyalah jalan kembali, kau bisa terus masuk, tapi kau tak mungkin kembali.
Blues penuh dengan kekerasan yang lembut. Paradoks memang, tapi itulah adanya. Ia dibuat bukan hanya dari referensi dan pengalaman, tetapi juga dengan darah, secara genetik. Seperti lukisan post-modern Jean-Michel Basquiat: ia menggurat dan bermain wacana dengan insting Afrikanya, insting penuh dengan kode-kode genetika yang dibentuk oleh opresi ratusan tahun. Tubuh menjadi alat untuk mengekspresikan kode-kode genetik itu menjadi sebuah karya.

Basquiat tidak mengikuti pengaruh seni Afrika. Afrika terdapat dalam dirinya secara genetis. Sejak usia 4 tahun ia sudah bisa melukis, membaca dan menulis. Seperti maestro-maestro lukis yang beraliran non-classic, gaya graffiti adalah pilihan Basquiat (artinya sebenarnya ia bisa memakai gaya lain tapi tidak ia lakukan). Namun berbeda dengan maestro seperti Picasso, misalnya, Basquiat memiliki sebuah orisinalitas yang sulit untuk disamai pelukis lain—Orisinalitas dalam darah afrikanya[2]. Dalam lukisan Ernok di atas, kita bisa melihat mimik panik sang anak Voodoo Ernok yang melihat tangan kanannya yang tembus pandang, sementara tangan kirinya kirinya pekat berwarna kuning serta kaku. Ernok melihat ke dalam dirinya sendiri dan mendapatkan warna-warna darah dalam nadinya. Ernok hitam, seorang bocah Afrika, namun tubuhnya dikendalikan oleh dua pihak: yang pertama darah dan insting Afrikanya, yang kedua aturan sosial eksternal yang memberikan warna kuning dan menguncinya menayatu dengan tembok. Warna kulitnya yang hitam melayang di antara dua dunia tersebut.
Ervin Ruhlelana tentunya bukan Basquiat. Ia tidak memiliki genetik negroid dan sejarah panjang perbudakan kulit hitam. Ketika ia bermain dengan wacana opresi dan Blues, ia layaknya Eric Clapton yang paham nada dan perasaan, tapi tidak pengalaman genetika dalam darahnya. Dalam dunia lukis, ketika kita hendak memaknai genre Blues dalam buku ini, nampaknya kita harus melihat Pablo Picasso.

Banyak kritikus berpendapat bahwa Picasso terpengaruh topeng-topeng Afrika ketika ia membuat lukisan tentang pelacur-pelacur di jalan Avignon, Barcelona, dengan gaya ini. Tidak ada opresi afrika yang ia rasakan, tidak ada alegori alam atau dewa-dewa afrika sama sekali, namun ia berhasil, paling tidak, menangkap gaya, sudut-sudut dan persepektifnya. Picasso menyangkal keterkaitan lukisan ini dengan suku tribal Afrika, tapi banyak sekali kritik yang meragukan klaim Picasso tersebut karena kedekatan gaya antara lukisan ini dengan seni Afrika di Oceania. Lukisan ini juga menjadi sebuah titik balik kesenian Picasso, karena dari sini ia mulai bereksplorasi dengan kubisme.
Pada bagian Blues, Ruhlelana memakai kata Blues untuk mengaitkan dengan musik sedih yang dibawa di dalam darah Afrika. Namun sekali lagi, ia bukan Basquiat. Ia lebih mirip Eric Clapton atau Picasso yang bermain-main dengan gaya dan rasa yang bersumber dari empati. Dan seperti Picasso yang membicarakan pelacur-pelacur kaukasoid di Jalan Avignon, Ruhlelana juga bicara tentang pengalaman-pengalaman personal, imaji perempuan-perempuan, dan seksualitas.
Surat untuk Earth memperkuat pengaruh lokalitas dan hubungan antara pria dengan tanah dan dengan rumah. Sesuatu yang bertentangan dengan Blues yang merindukan rumah yang jauh. Yang dirindukan Ruhlelana adalah sosok, bukan ruang. Ini yang membedakan Blues dalam buku ini dengan blues Missisipi atau lukisan Basquiat. Blues Ruhlelana tidak berkelana. Ia ada di satu tempat yang sama dan masuk ke dalam semestanya sendiri. Sedih, dingin dan kesepian, seperti seorang perempuan yang sedari tadi meminta jaket di dalam alam pikiran Ruhlelana.
Bersambung ke bagian ke IV
Catatan Kaki
[1] Stuart Hall. “Cultural Identity and Diaspora.” Dalam William, Patrick & Laura Chrisman (editor). Colonial & Postcolonial Theory: A Reader. Harvester Whaeatsheaf, 1993.
[2] Secara pribadi saya enggan memakai kata orisinal, karena orisinal berkaitan dengan esensi bawaan. Seni dalam kacamata postmodern selalu saling mempengaruhi, maka sebuah karya yang ‘unik’ lebih afdol disebut ‘Otentik’, yaitu memiliki rasa yang tidak dimiliki karya lain. Namun dalam konteks Basquiat dan Blues saya harus memakai kata ‘orisinalitas.
2 pemikiran pada “Badut Zarathustra dan Labirin Ruhlelana (Bagian III dari V)”