Filsafat, Memoir, Racauan

Islam dan Saya (Bagian IV dari IV-Habis)

Lihat dari bagian I.

Setelah banyak membaca dan belajar, saya tiba-tiba sadar kalau selain kedamaian dan kekuatan spiritual, Islam juga memberikan ketakutan-ketakutan pada saya. Ketakutan-ketakutan ini membatasi pikiran dan kehidupan saya. Misalnya: saya takut pada anjing karena haram, saya takut pada orang asing (dengan agama asing), saya takut pada makanan yang dibuat orang beragama berbeda, dan saya takut pada seks, saya takut pada LGBT. Setelah banyak membaca dan belajar saya tergoda untuk menantang ketakutan-ketakutan itu. Godaan yang membuat saya menjadi lebih dewasa.

ANJING

cute-dog-widescreen-high-definition-wallpaper-desktop-background-dog-free-images

photo: HD Wallpaper

Dulu ketika umur saya lima atau enam tahun, Mama mengajarkan sebuah dzikir ketika menghadapi ketakutan, “Ya Hafidz”, maha penjaga atau maha pemelihara. Saya berdoa agar anjing itu tidak mengejar, menjilat apalagi menggigit saya. Konon ludah anjing najis dan harus dicuci dengan tanah 7 kali. (sekarang saya tidak akan menyebut nama itu lagi gara-gara seorang selebtweet yang alimnya seperti eksibisionis yang suka pamer titit, sampai saya jijik. Itu lho yang pentolan Gerakan Antimo).

Misi untuk menantang ketakutan-ketakutan itu saya jalankan. Saya buang jauh-jauh doa minta dijaga–setiap melihat anjing, saya berusaha mendekati dan membelainya. Karena teman-teman saya banyak pecinta anjing, ketakutan itu berubah menjadi kecintaan. Kini saya merasa bahwa cuci tangan dengan sabun cukup untuk menghilangkan ludah anjing. Apalagi anjing peliharaan jaman sekarang bersih-bersih dan lebih sering ke dokter untuk perawatan daripada saya. Sekarang, salah satu cita-cita saya adalah: punya anjing.

ORANG ASING DAN MAKANANNYA

maxresdefault
Photo: Chinese Master Chef UK. ytimg.com

Saya juga diajarkan untuk takut pada orang asing dengan agama asing dan makanan mereka karena banyak sekali keharaman menyangkut makanan: awas ada alkoholnya, awas minyak babi, awas makanan dimasak dengan perlengkapan bekas memasak babi dan awas babi, anjing, kadal, buaya, haram ini haram itu. Papa saya sampai sekarang enggan makan di rumah orang kristen atau orang Cina non muslim walaupun itu saudara atau sahabatnya sendiri dan makanan sudah dilabeli “halal”, dipisahkan dari meja “Mengandung Babi”. Phobia itu tak hilang dari Papa saya yang tak relijius-relijius amat.

Saya melawan ketakutan soal asing dan makanan asing dengan logika dan riset. Sebagai antropolog yang kerjaannya harus bergaul, ketakutan soal makanan ini berbahaya, karena makan adalah tanda keakraban dengan subjek. Menolak suguhan di budaya manapun akan dianggap kasar. Kalau cuma menolak makan babi atau anjing karena muslim, masih tidak masalah. Tapi kalau menolak SEMUA MAKANAN termasuk yang sudah dilabeli “halal” hanya karena yang memasak berbeda agama, itu namanya mencari musuh.

Apalagi soal alkohol. Rata-rata semua makanan ada alkoholnya, dan kebanyakan alami– dan itu HALAL. Ketika makan bakso dengan cuka, itu alkohol. Ketika makan tape, itu alkohol. Duren, itu alkohol. Ada kawan yang menolak makan sushi karena menggunakan arak beras dan mirin di dalamnya, menurut saya itu argumen yang benar-benar tolol. Karena arak beras dan mirin di sushi tidak untuk mabuk, dan fungsinya sama seperti cuka, untuk memberi keasaman. Kalau segitu takutnya pada alkohol, makan buah-buahan saja. Tapi jangan makan duren, pepaya, nanas, anggur, dan salak–semuanya mengandung alkohol!

Intinya, semua dogma dan mitos soal makanan di Islam baiknya dipelajari benar-benar dan ditantang dengan logis. Soal Babi, misalnya. Hari ini semua muslim bisa makan babi, karena daging babi sudah ada yang halal: daging babi organik yang terbuat dari tempe dan sayur-sayuran sudah tersedia di pasaran dengan rasa yang otentik! Saya  sudah memastikannya–rasanya ENAK. Dan ketakutan pada masakan orang asing, itu yang paling harus disingkirkan. Orang mengundang kita ke rumahnya, kita harus sopan. Orang sudah tahu bahwa kita muslim, dia membuatkan makanan halal, KITA HARUS MAKAN! Jangan suuzhon!

SEKS & LGBT

discoveringsexuality
Photo: Parenthood by fire

Terakhir masalah seksualitas. Bukan muhrim itu masalah besar buat orang yang dibesarkan di tradisi islam konservatif.  Dulu ada kawan saya yang  sama sekali tidak berani melihat perempuan! Apalagi menyentuh, dia takutnya setengah mati, bisa keringat dingin. Tentunya ini bisa disembuhkan dengan… PACARAN! Ya, saya sangat menyarankan pacaran dengan bertanggung jawab. Belajar membuat batas, belajar mengontrol dan belajar melepas kontrol. Itu penting!

Ketakutan akan seks, lawan jenis atau sesama jenis itu ketakutan tidak beralasan. Lebih logis takut pada kecoak yang bisa menyebarkan penyakit. Saya menyembuhkan ini dengan banyak bersahabat dengan perempuan, belajar feminisme, belajar teori seksualitas dan kesehatan reproduksi dan pacaran tadi. Islam yang melarang pacaran itu Islam yang tidak akan saya ikuti. Terserah kalau Felix Siauw mau larang-larang anaknya sendiri, nanti juga  anaknya akan melanggar. Ha-Ha.

Ketakutan pada seks juga membawa pada ketakutan pada LGBT atau homophobia. Ketakutan ini saya lawan dengan belajar kajian gender dan memperbanyak kawan-kawan gay. Dari mereka saya belajar dan tahu banyak hal. Mereka menghargai orientasi seksual saya seperti saya menghargai orientasi seksual mereka. Kadang kami saling menggoda. Kawan saya bilang, “Semua orang itu ada homo di dirinya. Lu cobain dulu dah.”

Lalu saya jawab, “Kalo nih bray, kalo gua homo. Gua juga pasti pilih-pilih. Kalo cowoknya kayak elu, gak bakal konak gua! Lu pernah nyobain M***k gak? Kalo belom lu AMATIR! Jangan-jangan lu salah jalan.” Haha.

Saya pernah beberapa kali tidur seranjang dengan sahabat-sahabat saya–ada yang gay, ada yang perempuan bukan muhrim. Aman-aman saja, kami tidak saling iseng secara seksual dan menghormati privasi kami masing-masing. Karena kalau tidak jodoh dan tidak nafsu, masa mau dipaksakan? Apalagi kalau sudah jadi modus operandi, seperti kawan sastrawan kita yang tersohor itu. Kalau ada yang memaksa, itu namanya pelecehan seksual. Teriak aja biar tetangga pada bangun. Hahaha.

*

Achdiyat A. Miharja pernah menulis seperti ini di novel Atheis-nya (saya parafrase): Ada dua sebab ketakutan. Ketakutan karena tahu dan ketakutan karena tidak tahu. Ketakutan karena tahu adalah ketika kita sudah memastikan sesuatu bisa menyakiti kita. Misalnya kita lihat api bisa membakar dan menyakiti kita, maka kita takut pada api dan berusaha mengendalikannya. Ketakutan karena tahu adalah ketakutan yang kita perlukan untuk hidup. Ketakutan kedua adalah yang berbahaya: ketakutan karena tidak tahu. Kita takut gelap karena tidak tahu ada apa di kegelapan itu. Kita takut orang asing karena tidak kenal. Ketakutan karena tidak tahu adalah bentuk kepengecutan, dan bisa membawa kepada malapetaka.

Melawan ketakutan adalah kewajiban jika ingin hidup dengan tenang. Apa enaknya hidup dibayangi dengan ketakutan? Allah tidak akan menolong orang yang tidak menolong dirinya sendiri. Untuk apa minta tolong pada Tuhan atas kegoblokan diri sendiri? Walau begitu, tidak semua hal bisa menjadi logis. Kita tidak bisa melogikakan Cinta, misalnya. Saya bisa berkali-kali menyakiti orang tua saya, menjadi anak durhaka, tapi orang tua saya tetap mencintai saya dengan sepenuh hati dan jiwa mereka–logika macam apa itu?

Saya bisa berdebat, bertengkar, dan berbeda pendapat dengan sahabat dan kawan saya, tapi di akhir perdebatan kami akan kembali bicara tentang hal-hal lain yang menyenangkan, ngeteh, ngopi dan bersilaturahmi, sebeda apapun kami. Hubungan yang saya bangun dengan orang-orang yang saya sayang tapi sangat berbeda dengan saya adalah hal mistis. Ini juga yang Islam berikan pada saya.

Islam memberikan sebuah kepastian bahwa hidup pantas dihidupi. Hidup pantas dihidupi dengan segala peperangan, kehilangan, cinta, rejeki, musibah, dan kematian. Dan kematian adalah misteri yang bisa dibaca melalui tanda-tanda yang perlu interpretasi. Mendekatkan diri kepada Allah seperti mendekatkan diri kepada alam semesta, takdir dan kepasrahan tanpa batas. Seperti mengakui kekecilan kita sebagai entitas yang hidup dalam debu biru yang sangat kecil.

Tidak ada yang lebih nyata sekaligus puitis selain cinta dan kematian, yang semuanya dirangkum dalam Islam versi hidup saya.

Saya ingat pertama kali saya shalat setelah beberapa tahun murtad, adalah ketika saya dilanda banyak masalah sekaligus: kegalauan percintaan, ekonomi pribadi, ekonomi keluarga, dan sakit psikologis krisis seperempat abad. Saat semua masalah itu menghantam keras, saya tidak punya cara lain selain shalat dan berdoa. Dan di situ saya begitu malu padaNya; bahwa pada akhirnya saya menyerah pasrah. Dan di situ, Islam dan saya menjadi begitu akrab, begitu bebas, dan begitu rahasia karena sedetil apapun saya bercerita, Anda takkan pernah mengerti penuh pengalaman dan perasaan yang saya alami. Cuma saya dan Allah SWT yang tahu.

Menjadi Antropolog yang belajar soal manusia, kebudayaan, dan kemanusiaan sedikit banyak mengembalikan saya pada Islam versi saya ini, yaitu Islam inklusif yang selalu belajar dari banyak orang. Islam saya bukan agama terinstitusi, yang butuh pengakuan dan butuh pembelaan–ia adalah ikatan pribadi saya dengan Allah SWT. Saya membutuhkan Islam seperti saya membutuhkan udara, air, makan, tempat tinggal, dan seni. Islam versi saya adalah yang membebaskan diri sendiri, tapi tidak membebaskan orang lain–karena kebebasan adalah urusan masing-masing, kita hanya bisa tunjukkan jalan buat yang butuh petunjuk saja.

 

 

 

 

10 pemikiran pada “Islam dan Saya (Bagian IV dari IV-Habis)

  1. Membaca ini saya langsung teringat pada pemikiran para transcendentalist bahwa sebenarnya Tuhan itu tidak butuh perantara karena toh nyatanya institusi dan orang-orang yang menanunginya kerap kali membuat kita muak. Tentu ini bukan perkara agama apa dan siapa Tuhan-nya tetapi manusia-nya. Kita dan diri kita setiap hari dihadapkan banyak pertanyaan tentang Tuhan dan firman-Nya dan sesekali berpikir semuanya tampak tak rasional. Anda juga mungkin gila dan tersesat saat itu haha… Tidak maksud saya Anda sedang berproses, yah semua manusia memang seharusnya berproses. Berproses untuk memahami Tuhan dan alam semesta melalui diri kita sendiri. Dengan begitu setidaknya kita bisa merasakan kedamaian Tuhan seutuhnya dan tidak mudah menistakan manusia lain atas dasar agama. Terima kasih sudah membagikan kisah ini…saya ambil hal-hal baiknya saja XD

  2. Maaf Mas , menurut hemat Saya untuk memvonis itu harus ada patokannya. Alkohol dan cuka pada buah buahan itu sama tapi beda . Sama karena ya sama pada alkoholnya. Namun pada ke haram annya , apakah sama ?. Tentu harus di kaji dahulu.

    Alkohol haram dalam Islam karena berdasarkan Hadits Nabi : Semua yang bersifat memabukan itu haram.
    Alkohol tetap haram walaupun digunakan sampai tidak mabuk . Hukum haramnya bukan sampai mabuknya , tapi pada penggunaan ‘ yang bersifat memabukkan.

    Cuka pada buah buahan tidaklah dharamkan , karena itu adalah senyawa yang terkandung di dalam benda suci , bukan najis. Mengkonsumsi buah buahan sampai mabuk umpamanya itu tidak haram . Karena buah buahan itu bukan yang bersifat memabukkan . Ini tentu buah buahan yang dikonsumsi di ketahui secara umum dan bisa tidak memabukkan. Beda dengan yang sudah umum diketahui memabukkan, buah ganja umpamanya.

    Namun masalah akan jadi lain jika buah buahan di permentasikan .

    Hasil permentasi buah buahan yang pada hasil ujungnya adalah asam cuka , hukumnya bisa halal bisa juga haram . Itu tergantung dari cara melakukan permentasinya . Apakah sesuai cara hukum fikih atau tidak.

    Jika memenuhi sarat dan ketentuan fikih maka halal , boleh di gunakan .
    Sedangkan jika tidak , maka tidak.

    Soal ketakutan Mas mengkonsumsi buah buahan . Saya rasa itu bukan ketakutan tapi lebih pada penyama rataan masalah .

  3. Saya disini bukan protes soal kepercayaan, itu urusan anda. Saya cuma tergelitik dengan fakta yang menurut saya kurang tepat. Cuka tidak sama dengan alkohol gugus OH nya berbeda. Cuka adalah asam asetat (-COOH) sementara alkohol (-OH). Keduanya sama sama hasil fermentasi tapi jelas produk yang berbeda. Alkohol didalam buah buahan kadarnya kurang dari 1% sehinggak tidak beresiko memabukan (Walau harus saya akui 5% pun tidak buat mabuk sebenarnya, saya pernah mencoba). Kadar alkohol dalam buah ini bisa naik melalui proses (lagi) fermentasi. Kadar alkohol yang tinggi ini yang memabukan. Menurut saya yang sesungguhnya islam larang adalah mabuk karena mabuk bisa memicu banyak perilaku buruk lain. Walaupun sebenarnya tergantung dari attitude individu itu sendiri. Menurut saya (lagi) yang berusaha Islam tekankan adalah mencegah daripada mengobati (ini slogan umum yang harusnya bisa diterima semua golongan). Kalau anda merasa bisa mengendalikan diri ketika anda mabuk, ya silakan.
    Tapi inti dari komentar saya adalah kalimat anda yang melarang orang-orang relijius untuk makan buah dan cuka dengan alasan mengandung alkohol jelas tidak rasional, kontradiktif dengan pola pikir anda yang saya kira rasional.
    Kalopun anda delete komen saya setelah ini, tidak masalah yang penting saya sudah berusaha menyampaikan satu bagian ilmu pengetahuan yang tampaknya banyak anda abaikan di blog ini (re: sains)

    1. “Kalimat anda yg melarang orang-orang relijius untuk makan buah dan cuka dengan alasan mengandung alkohol jelas tidak rasional”–>>saya setuju sekali dengan ini. Mohon dikutip di bagian mana saya nulis begitu biar bisa saya revisi.

      Saya tidak delete komentar kalo buat diskusi mah. Heheh…

  4. sya pikir anda memang sudah benar-benar gila….
    dan “sayangnya” (sya tidak suka ini) orang yg paling pandai itu orang yg gila.

Tinggalkan Balasan ke Andy Bowgehl Batalkan balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.