Meditasi Tulis, Prosa

Meditasitulis #1: Di Kota Ini, Semua adalah Fana

Aku memutuskan untuk packing dan keluar dari kamar kosku malam ini. Di dalam backpack hijauku ada satu liter air putih, dua pasang baju, tiga celana dalam, dan sebuah buku catatan dari kulit dan isinya separuh penuh dengan puisi dan gambar-gambar. Aku memutuskan untuk menjadi diriku 15 tahun yang lalu, berkelana, sendiri, dan hidup apa adanya. Aku pakai kaosku yang paling nyaman, celana jeans belel, dan sepatu converse kanvas lusuh yang sudah lama tidak kupakai. Dan aku keluar dari kamar, mengunci pintu dan berjalan turun tangga. Di bawah kamar kos, aku tinggalkan kunci kamarku di meja dekat kamar penunggu kos. Lalu aku keluar pagar, berjalan kaki ke jalanan, meninggalkan semua barang-barang, mobil, semua harta yang kupunya–yang tidak banyak. 

Tadi terakhir kali aku melihat jam adalah jam 11.30 malam. Aku tinggalkan dua jam tangan lumayan mewah yang dulu kubeli waktu aku masih punya penghasilan besar di kamar itu. Aku tidak berniat kembali ke kehidupan ini, karena aku menemukan jalan untuk kembali ke kehidupan lain, sebuah kehidupan yang sudah lama kutinggalkan. Aku berjalan di pinggir jalan raya, dan malam ini adalah saatnya, malam yang tepat untuk mencari jalan pulang. Bulan besar merah menggelantung di langit tanpa awan, dan orang-orang lalu lalang dengan mobil dan motor tidak sadar bahwa ada yang aneh dengan bulan itu. Bulan begitu dekat, seperti menarik semua mereka yang berunsur air. Suara air comberan di bawah trotoar begitu besar seperti arus sungai yang mengamuk. Tapi kota ini terlalu sibuk untuk mendengar fenomena alam seperti itu.

Photo by Sayantan Kundu on Pexels.com

Aku menyusuri trotoar yang tak terlalu panjang, karena kota ini tak pernah ramah pada pejalan kaki. Jalan raya menurun dan mobil lalu lalang ketika lampu hijau seperti dikejar setan. Angin semakin besar, kukira dari mobil yang lalu lalang dengan cepat, tapi tidak. Angin ini dari langit, dibawa oleh bulan merah jahat itu. Aku mencari tanda-tanda yang dibilang Mama yang bukan Mama di dalam mimpi yang bukan mimpi yang kudapat pagi tadi–ini cerita lain yang kusimpan setelah perjalanan ini kulalui. Aku mencari celah di jalan, sesuatu yang berbeda dari kenyataan sehari-hari. Ada kucing yang berlari menyebrang jalan. Sebuah mobil melintas cepat dan melindasnya. Kucing itu lari ke arahku dengan tubuh yang aneh: terpelintir. 

Ada rasa takut bercampur jijik dan bulu kudukku merinding. Kucing itu meloncat-loncat kesakitan di depanku, lalu terkapar gemetar. Dia belum mati, tapi pasti organ dalam dan tulang-tulangnya sudah remuk. Matanya terbelalak mengeluarkan air mata darah. Tubuhku merinding dan aku gemetar kuat. Tremor. Tremor yang dulu menjangkiti ketika aku trauma kembali. Aku menangis ketakutan. Aku ingin mematikan kucing ini tapi tidak bisa. Mata besarnya yang penuh urat merah kesakitan menatapku tajam, dan cahaya mobil yang lalu-lalang membuat mata itu mengkilat-kilat. Aku muntah di pinggir jalan. Aku muntah banyak sekali. Tubuhku gemetar hebat. Mobil dan motor terus lewat-lewat. Ada seorang bapak menarik gerobak berhenti dan melihatku. Ia nampak lelah, menarik gerobak menanjak. Tapi matanya kosong menatap nanar. Sementara perutku terus terkocok dan aku terus muntah. Awalnya makanan, tapi lama-kelamaan lendir-lendiri hijau dan merah. 

Kucing sekarat itu bergerak pelan-pelan, menjilat-jilati muntahku. Ia bergerak-gerak dan aku terus muntah. Perlahan sambil menjilati muntahku tubuh terpelintirnya meregang, dan ia kembali seperti semula, semakin lahap memakan muntahku. Sementara si bapak dengan gerobak terus menatapku muntah, seperti sedang menyaksikan sebuah drama yang menyedihkan, karena perlahan ia menangis. Kepalaku pusing, perutku sakit dan aku terus muntah. Tubuhku mengurus, tanganku menirus, dan rambutku… rambutku memanjang. Aku sudah mengeluarkan seluruh isi perut dan entah apalagi. Sementara si kucing makan dengan cepat, ia menggemuk dan tambah kekar, dan si bapak tetap diam di situ, sampai aku terjatuh duduk, dan melihat bahwa mobil-mobil sudah hilang, jalanan malam sepi, kucing masih makan dan si bapak gerobak terdiam terpaku.

Aku merasa sangat lelah, dan aku tidak bisa mengingat aku dimana. Ini bukan jalan dari kosanku. Ini bukan pinggir jalan raya yang tadi, karena di samping jalan yang tadinya tembok semen, berubah menjadi kebun… bukan… hutan. Hutan lebat. Dan kucing yang memakan muntahku tidak cuma menggemuk, ia membesar.. Terus membesar, dan bulunya berubah menjadi loreng. Ia menjadi harimau besar yang terus menjilati aspal bekas muntahanku. Si bapak mengecil, menjadi seorang anak kecil dengan baju lusuh kebesaran. Ia melepas gerobaknya, dan gerobak itu berjalan mundur di jalan turunan. Si anak menghampiriku, ia masih menangis. Lalu ia memelukku. “Kamu sudah makan?” Tanya anak itu, aku menelungkup di dadanya dan air mataku turun. 

“Kamu sudah makan?” suara itu datang dari dalam mulutku, dan seperti berkedip, aku ada di pinggir jalan Margonda, dan anak itu sedang berdiri memperhatikan aku. Ia menggelengkan kepalanya, dan aku tawarkan nasi goreng yang baru kumakan dua sendok. Aku suruh anak itu untuk duduk di sebelahku, dan dia makan dengan lahap. 

“Nama kamu siapa?”

“Ari, Kak.”

“Kok malam-malam masih di jalanan?”

“Nunggu bapak,” jawab Ari sambil makan lahap. “Kak ini boleh dibungkus?”

“Kenapa? Habisin aja?” Kataku.

“Buat ade, kak.”

“Ade kamu dimana?”

Ari menunjuk ke sebuah gerobak di seberang jalan pinggir trotoar. Aku ingin membelikan satu porsi lagi, kurogoh kantong, tinggal recehan. Kubuka tas selempang hijau lusuhku, yang kupakai sejak SMA. Ada dompet, tidak ada uangnya. Lalu kubilang pada tukang nasi goreng untuk membungkus nasi goreng itu. 

Ari mengambil sebungkus nasi goreng lalu berlari menyebrang menuju gerobak. Ia masuk ke dalam gerobak itu. Perutku berbunyi. Rasanya perutku kosong sekali, apalagi sehabis muntah itu. Tapi aku ingat kejadian ini, nasi goreng di pinggir Margonda, anak bernama Ari. Tapi aku lupa ini kapan tepatnya. Kalau kulihat dari pakaian, tas, sepatu butut, sorjan jawa warna ungu, rambutku yang panjang, ini tubuhku ketika aku mahasiswa. Pantas aku tak punya uang sepeserpun dan selalu lapar. 

Aku berjalan ke arah gerobak untuk melihat Ari. Di gerobak itu, Ari dan adiknya yang masih balita tertidur seperti janin kembar yin yang, dengan sebungkus nasi goreng di tengah-tengah mereka. Aku memutuskan untuk menunggu bapak mereka sampai. Aku duduk di trotoar, membongkar-bongkar tasku. Cuma ada satu buku catatan, pulpen bocor, dan buku puisi Arthur Rimbaud. Ada pembatas kertas bon yang sudah terhapus di sebuah halaman:

As I drifted on a river I could not control,
No longer guided by the bargemen’s ropes.
They were captured by howling Indians
Who nailed them naked to coloured posts.

Ketika aku hanyut di sungai yang tak bisa kukontrol,
Tidak diarahkan tali nahkoda tongkang
Mereka ditangkap para Indian yang melolong
Yang memaki mereka di tiang-tiang berwarna

“Hei,” suara seorang perempuan yang lembut menyapaku. Ana. Ia duduk di sampingku. Ana adalah mantan kekasihku yang tidak pernah jadi kekasihku. Seperti Mama yang bukan Mama yang kutemui sehari sebelum ini, Ana yang ini juga bukan Ana. “Kamu nggak tahu mau pulang kemana ya?”

“Iya, Na.” Jawabku. “Gue bahkan nggak tahu ini tepatnya kapan.”

“Ini malam itu, waktu lo ketemu gue di jalan, terus nganter gue ke kosan gue.”

“Tapi…” aku melihat ke gerobak. Seorang bapak lusuh–bapak yang tadi menatapku nanar ketika aku muntah, datang dan membawa sebungkus nasi. Ia membangunkan anak-anaknya dan menyuruh mereka makan. 

“Yuk,” ajak Ana. Kami berdiri lalu berjalan menyusuri Margonda. Menuju kosannya. 

Kami berjalan menyusuri Margonda yang bukan Margonda. Karena Margonda terakhir kali aku lewat, adalah jalan lebar yang macet dengan banyak gedung-gedung dan apartemen. Margonda ini tidak ada gedung apartmen satupun. Aku ingat bahwa setiap hari aku tidur di tempat-tempat berbeda. Kadang di kampus, di kantin, di kosan teman, di halte bus, dan kadang di kosan Ana. 

Kami masuk ke gang-gang kecil, dan sampai di sebuah pagar dengan kos-kosan petak yang berderet. Kami masuk, dan aku ingat semua detail kosan Ana. Aku masih hafal bau kosannya, tempat tidur di bawah dengan seprai biru muda, dan semua tertata rapih. Buku-bukunya di rak kecil namun padat, kebanyakan non fiksi. Kami punya kesamaan, kami tidak begitu suka fiksi karena kami mudah terbawa cerita. Ana menutup pintu, lalu mengambil handuk dari gantungan di pintu, melemparkannya padaku. 

“Mandi. Kamu bau.”

Aku ingat kami cukup intim. Tapi dia Ana yang bukan Ana, aku ragu membuka baju. Ana mengambil sebuah baju merah dari dalam lemari. “Nih, udah gue cuci.” Bajuku, aku ingat suatu hari, beberapa tahun dari sekarang, ia mengirimiku fotonya dengan baju itu, sambil mengucapkan selamat ulang tahun padaku. 

Kutaruh tasku, dan aku masuk kamar mandi. Iya, aku bau. Bajuku juga apek. Pintu kamar mandi itu tidak bisa dikunci, atau tertutup dengan baik. Sudahlah, kupikir. Aku buka seluruh bajuku dan aku mengguyur tubuhku dengan air dingin. Ada yang memelukku dari belakang. Ana. “Aku kangen,”

Photo by cottonbro on Pexels.com

Aku membalik tubuhku. Bibirnya merekah. Matanya yang selalu sayu. Dan aku menciumnya, rahangnya terbuka, lidah kami bersatu. Ada bunyi krak kecil setiap kali kami berciuman dengan penuh nafsu, ketika ia membuka mulutnya lebar-lebar untuk menghisap lidahku. Tapi kali itu ia tidak hanya menghisap lidahku, ia menghisap seluruh nafasku. Aku tidak bisa bernafas! Dan ia berubah menjadi air, dan aku tenggelam. Aku tenggelam di dalam air tanpa dasar. Ana menghilang, menjadi buih-buih.  

Aku sulit bernafas dan aku tak tahu arah. Aku tak tahu mana atas mana bawah, tidak ada cahaya yang jelas, seperti tenggelam di malam hari. Sampai aku melihat cahaya merah: bulan merah. Aku berenang menuju cahaya itu, tapi seperti tidak pernah sampai. Aku melihat ke sekelilingku, ini bukan laut, bukan kolam. Ini adalah langit, karena di bawahku adalah kota yang bercahaya. Cairan ini bukan air, ini udara. Aku sesak dengan udara. Lalu aku pasrahkan semua udara mengisi tubuhku, dan aku hembuskan jadi buih-buih. 

Aku pejamkan mataku, dan aku bisa bernafas lagi. Ada suara ombak. Aku buka mataku, dan aku sedang duduk bersila di sebuah pantai. Suara burung camar, dan suara tawa anak-anak kecil. Ada suara musik di kejauhan, orang-orang bermain gitar dan membawa gendang, bernyanyi lagu-lagu yang akrab di telinga tapi aku tak tahu apa. Di laut, ada seorang perempuan yang menepi. Mama yang bukan Mama. Dengan daster yang basah ia datang padaku. 

“Nak. Kamu nggak apa-apa?”

“Nggak apa-apa, Ma.” Kataku. “Maaf ya Ma, harus ketemu Mama dalam kondisi kayak gini. Di tempat entah dimana kayak gini lagi.”

“Kata orang, bagian laut yang ini bisa nyembuhin penyakit. Penyakit apapun, dari diabetes, jantung, stroke–”

“–penyakit jiwa?”

“Ya, mungkin aja. Coba nanti kamu berenang ke tengah, Nak.”

“Kan abang nggak bisa berenang, Ma.”

“Pasti bisa. Itu kan laut yang bukan laut, air yang bukan air.” Kata Mama sambil senyum. Benar, ia Mama yang bukan Mama. Karena sudah lama aku tidak melihat Mamaku seperti itu, seperti tidak ada yang hilang, seperti tidak ada beban pikiran. 

“Lihat, semua orang sudah mulai pada pulang,” kata Mama. Sekelompok orang dengan gitar dan gendang masuk ke laut. Mereka tenggelam dan bersama tenggelamnya mereka musik menghilang. 

“Kamu bisa ikut pulang sama mereka,” kata Mama. “Kamu selalu bisa ke sini, nangis, ketawa, tenang, sedih, tapi apa yang ada di sini, jangan kamu bawa ke sana.”

Jadi ini saja? Perjalanan ini berakhir di sini, di sebuah pantai yang tidak jelas, dengan Mama yang bukan Mama. 

Dari semak-semak di pantai, seekor harimau keluar. 

“Eh, Hitler…” kata Mama. 

Harimau itu mengecil dan menjadi kucing lagi. Ia meringkuk di kaki Mama. 

“Kalau kamu nggak pulang, kasihan Mama di sana. Kasihan semua orang yang kamu tinggal. Yang di sini kan sudah kamu tinggal semua, biarin aja kita di sini. Kita nggak kemana-mana kok.”

Aku mengambil tangan Mama, dan Mama mencium keningku, membisikan sebuah mantra dan meniup keningku. Ia tersenyum lagi. Memelukku. Benar-benar bukan Mama, karena Mama dan aku tidak bisa berpelukan, ada pandemi di luar sana. Lalu aku berlari ke laut, pas ketika matahari menguak berwarna ungu, dan bulan merah tenggelam. Lalu aku menyelam, dan air berubah menjadi kata-kata. Aku menjadi orang yang sedang mengetik ini. 

Ini adalah mimpi yang bukan mimpi, dimana aku bertemu Mama yang bukan Mama, Ana yang bukan Ana, Ari, adiknya dan bapaknya yang bukan mereka. 

Lalu aku berpikir, apakah aku harus mulai packing, dan meninggalkan semua ini: kosan, komputer, mobil, kehidupanku, hanya untuk bertemu Mama yang bukan Mama, dan semua yang sudah berlalu dan tak mungkin kembali ke hidupku. Semua yang sebenarnya tidak lebih baik dari hari ini. Tapi toh sudah berlalu, dan aku bersamamu. Membawamu ke dunia itu.

Ah, sudahlah, aku pergi dulu. Aku ingin menyusuri trotoar dan mencari Hitler. Siapa tahu aku bisa menyelamatkannya sebelum ia terlindas mobil. 


Ini adalah bagian pertama dari meditasi tulis, kategori baru di eseinosa sebuah cara terapi menulis yang saya kembangkan untuk perlahan memperbaiki isi otak saya. Jika kamu suka dengan apa yang kamu baca dan ingin membaca lebih banyak cerita sureeal seperti ini, traktir saya kopi dengan menekan tombol di bawah ini:

Filsafat, Memoir, Racauan

Islam dan Saya (Bagian IV dari IV-Habis)

Lihat dari bagian I.

Setelah banyak membaca dan belajar, saya tiba-tiba sadar kalau selain kedamaian dan kekuatan spiritual, Islam juga memberikan ketakutan-ketakutan pada saya. Ketakutan-ketakutan ini membatasi pikiran dan kehidupan saya. Misalnya: saya takut pada anjing karena haram, saya takut pada orang asing (dengan agama asing), saya takut pada makanan yang dibuat orang beragama berbeda, dan saya takut pada seks, saya takut pada LGBT. Setelah banyak membaca dan belajar saya tergoda untuk menantang ketakutan-ketakutan itu. Godaan yang membuat saya menjadi lebih dewasa.

ANJING

cute-dog-widescreen-high-definition-wallpaper-desktop-background-dog-free-images

photo: HD Wallpaper

Dulu ketika umur saya lima atau enam tahun, Mama mengajarkan sebuah dzikir ketika menghadapi ketakutan, “Ya Hafidz”, maha penjaga atau maha pemelihara. Saya berdoa agar anjing itu tidak mengejar, menjilat apalagi menggigit saya. Konon ludah anjing najis dan harus dicuci dengan tanah 7 kali. (sekarang saya tidak akan menyebut nama itu lagi gara-gara seorang selebtweet yang alimnya seperti eksibisionis yang suka pamer titit, sampai saya jijik. Itu lho yang pentolan Gerakan Antimo).

Misi untuk menantang ketakutan-ketakutan itu saya jalankan. Saya buang jauh-jauh doa minta dijaga–setiap melihat anjing, saya berusaha mendekati dan membelainya. Karena teman-teman saya banyak pecinta anjing, ketakutan itu berubah menjadi kecintaan. Kini saya merasa bahwa cuci tangan dengan sabun cukup untuk menghilangkan ludah anjing. Apalagi anjing peliharaan jaman sekarang bersih-bersih dan lebih sering ke dokter untuk perawatan daripada saya. Sekarang, salah satu cita-cita saya adalah: punya anjing.

ORANG ASING DAN MAKANANNYA

maxresdefault
Photo: Chinese Master Chef UK. ytimg.com

Saya juga diajarkan untuk takut pada orang asing dengan agama asing dan makanan mereka karena banyak sekali keharaman menyangkut makanan: awas ada alkoholnya, awas minyak babi, awas makanan dimasak dengan perlengkapan bekas memasak babi dan awas babi, anjing, kadal, buaya, haram ini haram itu. Papa saya sampai sekarang enggan makan di rumah orang kristen atau orang Cina non muslim walaupun itu saudara atau sahabatnya sendiri dan makanan sudah dilabeli “halal”, dipisahkan dari meja “Mengandung Babi”. Phobia itu tak hilang dari Papa saya yang tak relijius-relijius amat.

Saya melawan ketakutan soal asing dan makanan asing dengan logika dan riset. Sebagai antropolog yang kerjaannya harus bergaul, ketakutan soal makanan ini berbahaya, karena makan adalah tanda keakraban dengan subjek. Menolak suguhan di budaya manapun akan dianggap kasar. Kalau cuma menolak makan babi atau anjing karena muslim, masih tidak masalah. Tapi kalau menolak SEMUA MAKANAN termasuk yang sudah dilabeli “halal” hanya karena yang memasak berbeda agama, itu namanya mencari musuh.

Apalagi soal alkohol. Rata-rata semua makanan ada alkoholnya, dan kebanyakan alami– dan itu HALAL. Ketika makan bakso dengan cuka, itu alkohol. Ketika makan tape, itu alkohol. Duren, itu alkohol. Ada kawan yang menolak makan sushi karena menggunakan arak beras dan mirin di dalamnya, menurut saya itu argumen yang benar-benar tolol. Karena arak beras dan mirin di sushi tidak untuk mabuk, dan fungsinya sama seperti cuka, untuk memberi keasaman. Kalau segitu takutnya pada alkohol, makan buah-buahan saja. Tapi jangan makan duren, pepaya, nanas, anggur, dan salak–semuanya mengandung alkohol!

Intinya, semua dogma dan mitos soal makanan di Islam baiknya dipelajari benar-benar dan ditantang dengan logis. Soal Babi, misalnya. Hari ini semua muslim bisa makan babi, karena daging babi sudah ada yang halal: daging babi organik yang terbuat dari tempe dan sayur-sayuran sudah tersedia di pasaran dengan rasa yang otentik! Saya  sudah memastikannya–rasanya ENAK. Dan ketakutan pada masakan orang asing, itu yang paling harus disingkirkan. Orang mengundang kita ke rumahnya, kita harus sopan. Orang sudah tahu bahwa kita muslim, dia membuatkan makanan halal, KITA HARUS MAKAN! Jangan suuzhon!

SEKS & LGBT

discoveringsexuality
Photo: Parenthood by fire

Terakhir masalah seksualitas. Bukan muhrim itu masalah besar buat orang yang dibesarkan di tradisi islam konservatif.  Dulu ada kawan saya yang  sama sekali tidak berani melihat perempuan! Apalagi menyentuh, dia takutnya setengah mati, bisa keringat dingin. Tentunya ini bisa disembuhkan dengan… PACARAN! Ya, saya sangat menyarankan pacaran dengan bertanggung jawab. Belajar membuat batas, belajar mengontrol dan belajar melepas kontrol. Itu penting!

Ketakutan akan seks, lawan jenis atau sesama jenis itu ketakutan tidak beralasan. Lebih logis takut pada kecoak yang bisa menyebarkan penyakit. Saya menyembuhkan ini dengan banyak bersahabat dengan perempuan, belajar feminisme, belajar teori seksualitas dan kesehatan reproduksi dan pacaran tadi. Islam yang melarang pacaran itu Islam yang tidak akan saya ikuti. Terserah kalau Felix Siauw mau larang-larang anaknya sendiri, nanti juga  anaknya akan melanggar. Ha-Ha.

Ketakutan pada seks juga membawa pada ketakutan pada LGBT atau homophobia. Ketakutan ini saya lawan dengan belajar kajian gender dan memperbanyak kawan-kawan gay. Dari mereka saya belajar dan tahu banyak hal. Mereka menghargai orientasi seksual saya seperti saya menghargai orientasi seksual mereka. Kadang kami saling menggoda. Kawan saya bilang, “Semua orang itu ada homo di dirinya. Lu cobain dulu dah.”

Lalu saya jawab, “Kalo nih bray, kalo gua homo. Gua juga pasti pilih-pilih. Kalo cowoknya kayak elu, gak bakal konak gua! Lu pernah nyobain M***k gak? Kalo belom lu AMATIR! Jangan-jangan lu salah jalan.” Haha.

Saya pernah beberapa kali tidur seranjang dengan sahabat-sahabat saya–ada yang gay, ada yang perempuan bukan muhrim. Aman-aman saja, kami tidak saling iseng secara seksual dan menghormati privasi kami masing-masing. Karena kalau tidak jodoh dan tidak nafsu, masa mau dipaksakan? Apalagi kalau sudah jadi modus operandi, seperti kawan sastrawan kita yang tersohor itu. Kalau ada yang memaksa, itu namanya pelecehan seksual. Teriak aja biar tetangga pada bangun. Hahaha.

*

Achdiyat A. Miharja pernah menulis seperti ini di novel Atheis-nya (saya parafrase): Ada dua sebab ketakutan. Ketakutan karena tahu dan ketakutan karena tidak tahu. Ketakutan karena tahu adalah ketika kita sudah memastikan sesuatu bisa menyakiti kita. Misalnya kita lihat api bisa membakar dan menyakiti kita, maka kita takut pada api dan berusaha mengendalikannya. Ketakutan karena tahu adalah ketakutan yang kita perlukan untuk hidup. Ketakutan kedua adalah yang berbahaya: ketakutan karena tidak tahu. Kita takut gelap karena tidak tahu ada apa di kegelapan itu. Kita takut orang asing karena tidak kenal. Ketakutan karena tidak tahu adalah bentuk kepengecutan, dan bisa membawa kepada malapetaka.

Melawan ketakutan adalah kewajiban jika ingin hidup dengan tenang. Apa enaknya hidup dibayangi dengan ketakutan? Allah tidak akan menolong orang yang tidak menolong dirinya sendiri. Untuk apa minta tolong pada Tuhan atas kegoblokan diri sendiri? Walau begitu, tidak semua hal bisa menjadi logis. Kita tidak bisa melogikakan Cinta, misalnya. Saya bisa berkali-kali menyakiti orang tua saya, menjadi anak durhaka, tapi orang tua saya tetap mencintai saya dengan sepenuh hati dan jiwa mereka–logika macam apa itu?

Saya bisa berdebat, bertengkar, dan berbeda pendapat dengan sahabat dan kawan saya, tapi di akhir perdebatan kami akan kembali bicara tentang hal-hal lain yang menyenangkan, ngeteh, ngopi dan bersilaturahmi, sebeda apapun kami. Hubungan yang saya bangun dengan orang-orang yang saya sayang tapi sangat berbeda dengan saya adalah hal mistis. Ini juga yang Islam berikan pada saya.

Islam memberikan sebuah kepastian bahwa hidup pantas dihidupi. Hidup pantas dihidupi dengan segala peperangan, kehilangan, cinta, rejeki, musibah, dan kematian. Dan kematian adalah misteri yang bisa dibaca melalui tanda-tanda yang perlu interpretasi. Mendekatkan diri kepada Allah seperti mendekatkan diri kepada alam semesta, takdir dan kepasrahan tanpa batas. Seperti mengakui kekecilan kita sebagai entitas yang hidup dalam debu biru yang sangat kecil.

Tidak ada yang lebih nyata sekaligus puitis selain cinta dan kematian, yang semuanya dirangkum dalam Islam versi hidup saya.

Saya ingat pertama kali saya shalat setelah beberapa tahun murtad, adalah ketika saya dilanda banyak masalah sekaligus: kegalauan percintaan, ekonomi pribadi, ekonomi keluarga, dan sakit psikologis krisis seperempat abad. Saat semua masalah itu menghantam keras, saya tidak punya cara lain selain shalat dan berdoa. Dan di situ saya begitu malu padaNya; bahwa pada akhirnya saya menyerah pasrah. Dan di situ, Islam dan saya menjadi begitu akrab, begitu bebas, dan begitu rahasia karena sedetil apapun saya bercerita, Anda takkan pernah mengerti penuh pengalaman dan perasaan yang saya alami. Cuma saya dan Allah SWT yang tahu.

Menjadi Antropolog yang belajar soal manusia, kebudayaan, dan kemanusiaan sedikit banyak mengembalikan saya pada Islam versi saya ini, yaitu Islam inklusif yang selalu belajar dari banyak orang. Islam saya bukan agama terinstitusi, yang butuh pengakuan dan butuh pembelaan–ia adalah ikatan pribadi saya dengan Allah SWT. Saya membutuhkan Islam seperti saya membutuhkan udara, air, makan, tempat tinggal, dan seni. Islam versi saya adalah yang membebaskan diri sendiri, tapi tidak membebaskan orang lain–karena kebebasan adalah urusan masing-masing, kita hanya bisa tunjukkan jalan buat yang butuh petunjuk saja.

 

 

 

 

Memoir, Racauan

Islam dan Saya (Bagian II dari IV)

Lihat Bagian I

Saya tidak mau cerita horor. Saya cuma mau bilang bahwa suara mengaji Mama saya bukan hanya memberikan kekuatan untuk menahan sakit, tapi juga memberikan keberanian dan kesenduan tersendiri buat saya, buat bayi-bayi di ruangan itu, dan buat makhluk-makhluk lain. Suaranya tidak seperti pengaji di Tilawatul Quran, atau ustadzah atau ustadz yang sering kita lihat di televisi. Suara mengaji Mama sama seperti suara ia bicara–tapi dengan tajwid dan nada yang benar. Tidak ada yang spesial dari suara itu, kecuali kejujuran dan getaran-getaran karena kekagumannya pada firman-firman Allah yang ia mengerti. Ia menangis seperti saya menangis ketika mendengar lagu Jingga oleh Efek Rumah Kaca.

baby-hand-in-big-hand
Photo: Vivapartnership

Mama saya adalah salah satu muslim terbaik yang saya kenal. Ia tidak memakai Jilbab dan ia perokok berat–sampai sekarang. Tanpa atribut keislaman apapun, Mama adalah orang paling cerewet yang menyuruh saya shalat dan mengaji–FPI mah, lewat. Menurut Mama tugasnya adalah menunjukkan jalan dan mengingatkan anak-anaknya akan pentingnya amal ibadah. Mama tidak peduli apakah saya melaksankannya atau tidak, yang penting ia memastikan saya bisa mengaji dan shalat, dan ia takkan pernah lelah untuk mengingatkan saya.

Dalam saat-saat paling parah dan paling putus asa di hidup saya, adalah kata-kata Mama, suara mengaji Mama dan nasihat Mama yang selalu membuat saya merasa syahdu dan kuat. Seperti suara-suara di alam bawah sadar. Di saat-saat itu, shalat menjadi begitu khusyuk dan bermakna. Di saat-saat itulah saya sadar betapa cinta Mama kepada saya berguna begitu besar dalam menjelaskan kehidupan yang tanpa batas dan permasalahan-permasalah hidup yang tak mungkin dijawab dengan logika, seintens apapun saya membaca, mencari tahu dan berpikir. Saya tidak bisa mendustakan nikmat tersebut.

Sejak saya kecil Mama mengkursuskan saya mengaji, bahkan menyekolahkan saya di Madrasah Ibtidaiyah Raudhatul Azhar. Sebuah sekolah kecil dengan sedikit sekali murid yang Mama percaya lebih bisa membuat saya jadi anak soleh daripada sekolah islam bonafid seperti yang di Kemang itu–padahal saya yakin alasannya juga karena sekolah islam saya lebih murah, dekat rumah, dan guru-gurunya masih tetangga.

Sekolah dekat rumah dan dengan guru yang dekat adalah langkah orang tua saya yang paling jitu untuk menghadapi anak yang gila seperti saya. Saya pernah direferensikan ke psikolog anak waktu TK karena hiperaktif, dipermasalahkan di SD swasta yang bonafid karena saya suka berteriak-teriak di kelas atau menyelengkat teman yang sedang lomba lari,  lalu pernah juga menimpuk kepala guru dengan bata di sekolah lain. Pokoknya, saya anak yang sangat bermasalah. Madrasah dengan kontrol ketat guru/tetangga, adalah jawaban terbaik. Buktinya, saya baru bisa baca-tulis ketika saya sekolah di Madrasah, dengan rotan sebagai cara untuk saya bisa konsentrasi. Cara lain tidak akan mempan.

Di Madrasah saya belajar dasar-dasar Islam, dari Aqidah Ahlaq, Al-Quran Hadist, Bahasa Arab, Sejarah Islam dan Fiqh (tentunya hampir semua saya sudah lupa, kecuali sejarah islam, karena saya suka sejarah). Saya juga belajar alat musik pertama saya: rebana. Walau tugas saya hanya memukul dua kali setiap 4/4 ketuk. Dub-dub, dub-dub, dub-dub. Dan saya tetap nakal sampai seorang kawan sekelas membully saya habis-habisan. Si kawan pembully ini selalu ranking 1, jadi saya kesal dan berusaha mengejarnya dengan belajar. Tentu saja saya tidak pernah menang baik dalam hal berkelahi ataupun pelajaran. Tapi paling tidak saya lulus SD dengan kemampuan membaca yang cukup akut.

bersambung ke bagian ke III.

Memoir, Racauan, Uncategorized

Islam dan Saya (Bagian I dari IV)

Disclaimer: Saya mengaku sebagai seseorang yang masih suka shalat dan puasa (walau bolong-bolong), masih percaya pada spiritualitas  (atau Allah SWT), tidak percaya pada institusi bernama agama (atau agama yang diinstitusikan–termasuk Ustad-Ustad yang saya tidak kenal dekat dan suka omong sembarangan), dan memilih jalan hidup yang selalu mencari tanpa pernah selesai sampai saya mati. Saya menerima takdir saya sebagai orang yang selalu bodoh tapi senang berdiskusi, dan sebal  jika dinasihati tanpa mau didengarkan. Jadi kalau setelah membaca tulisan ini Anda mau menasihati saya, saya akan langsung hapus komentar Anda. Kalau Anda ngeyel saya akan flag akun Anda, biar kita terasing satu sama lain. Ha-ha-ha-ha.

 

Saya lahir dan dibesarkan dalam keluarga muslim yang moderat. Mama saya seorang pencari Tuhan yang pernah berkelana dari pesantren ke pesantren karena itu ketika bicara soal Islam saya harus bicara soal Mama saya. Mama hampir hafal Al-Quran dan terjemahannya, sekali mengaji kalau ia sedang khusyuk bisa khatam satu-dua kali. Dia tidak pernah meninggalkan shalat kecuali kalau diharuskan (untuk perempuan), dia juga sering puasa dan shalat malam dengan penuh doa dan tangis.

Mama saya adalah seorang semi-paranormal. Ia bisa melihat makhluk halus tapi memilih untuk menganggap mereka seperti kucing dapur. Tanyalah padanya, dan ia akan menyangkal. Ia juga punya kemampuan menyembuhkan beberapa penyakit ringan, dari masuk angin sampai ketempelan jin–ya, saya pernah beberapa kali ketempelan Jin, dan Mama akan mengurut sambil membaca doa-doa, menekan jempol kaki, lalu berdoa lagi sambil meniup air putih, diminumkan pada saya dan saya langsung teler dan tidur, besoknya sembuh.

Dan ketika saya, anak lelakinya yang paling ringkih ini, sakit parah hingga harus bedrest atau diopname, suara mengaji Mama yang akan membuat saya bisa tidur dan tahan terhadap segala kesakitan. Sejak kecil saya beberapa kali diopname, dari typhus, dilempar beling, demam berdarah, dan banyak lagi–suara mengaji Mama selalu menemani.

Ada satu ingatan yang saya tidak bisa lupa. Suatu kali ketika usia saya 9 atau 10 tahun, saya diopname di rumah sakit Harapan Kita. Saya satu kamar dengan bayi-bayi yang bermasalah (ada yang penisnya hilang, ada yang jantungnya tidak bekerja dll.), beberapa dari mereka di inkubator sedang sisanya di ranjang bayi. Tempat tidur saya ada di paling pojok ruangan, persis di dekat jendela.

Entah kenapa saya ditempatkan di kamar itu, mungkin karena biayanya tidak terlalu mahal. Mama tidur di bawah ranjang saya, di atas sajadahnya. Seperti biasa, setiap malam Mama shalat dan mengaji. Suatu malam, saya melihat ke jendela saya ketika mama sedang mengaji. Ada seorang perempuan, usianya sekitar tiga puluhan, melihat ke dalam kamar dari luar jendela. Matanya sendu, dan sepertinya semakin Mama mengaji wajahnya semakin pilu–seperti menikmati melankolia. Saya tahu karena entah kenapa saya tidak takut untuk terus melihat perempuan itu. Saya kasihan, dia sepertinya kesepian, dan suara mengaji Mama menghiburnya dengan cara yang sangat aneh.

Entah surah apa dan ayat berapa, suara mengaji Mama seperti obat bius buat saya. Saya perlahan tertidur. Ketika saya bangun pagi itu, dan duduk menghadap jendela, saya baru sadar. Saya ada di lantai atas–mungkin lantai tiga atau empat saya lupa persisnya. Dari kamar saya di siang hari saya bisa melihat lanskap luar rumah sakit. Ada kuburan yang sangat luas jauh di luar lapangan parkir rumah sakit. Artinya, tadi malam, perempuan itu…

Bersambung ke bagian II

 

Screen Shot 2016-01-08 at 5.01.51 PM
photo: etsy.com