Ethnography, Memoir, Racauan

Rejeki Udah Diatur, Tinggal Dikumpulin

Siapa yang ngatur rejeki? Yah waktu kamu lahir, keluargamu adalah ground Zero rejeki mu. Ada yang lahir kaya, ada yang lahir miskin. Ini dalam sosiologi disebut ascribed status, atau status yang hadir dari sononya. Jadi keluarga dan sanak saudara adalah sumber rejeki pertama, dari susu nyokap, duit bokap, pangkat om di kantornya, rejeki arisan tante, pencapaian sepupu-sepupu, dan lain-lain. Keluarga adalah dimana kita pertama kali ngatur dan ngumpulin rejeki kita.

Kita ga bisa ngatur lahir di keluarga kayak apa. Ada yang lahir di keluarga miskin dan disfungsional. Ada yang lahir di keluarga kaya dan disfungsional. Ada yang lahir di keluarga miskin fungsional dimana cinta dan usaha bokap nyokap keren banget buat gedein kita, ada yang lahir di keluarga kaya fungsional dimana kasih sayang dan kecukupan seringkali bikin kita manja dan takut buat terjun ke dunia, gampang baper, dan ga keluar-keluar dari rumah. Kalian dari keluarga apa? Tulis di komen lah, nanti kita ngobrol.

Sambil nunggu kalian komen, kita bisa mulai identifikasi keluarga sebagai sumber rejeki pertama kita. Membaca keluarga sendiri adalah tantangan paling sulit, karena kita terlalu dekat, terlalu terbawa konflik di dalamnya. Tapi biasanya, ketika ada acara keluarga dari mulai sunatan, lebaran, kawinan, kematian, kita bisa lihat sekompak apa keluarga kita. Ada keluarga yang sangking kompaknya sampe bisa bikin kawinan atau pemakaman gede-gedean walau semua orang miskin. Ada keluarga yang kaya banget, tapi sangking gak kompaknya, ketika ada anggota keluarga yang meninggal, yang dateng dikit dan yang nguburin bahkan bukan keluarganya. Masing-masing keluarga punya cara berbeda dalam berprodikai dan mengolah modalnya.

Ada keluarga kaya yang nggak suka berbagi dan sangat kompetitif, bangga-banggain prestasi anak dan pamer kekayaan, tapi begitu ada yang susah, perhitungannya setengah mati. Ada juga keluarga yang walau hidupnya pas-pasan tapi begitu ada anggota keluarga yang susah, semua kumpul guyub, bantuin sama-sama. Nggak ada yang salah dengan cara masing-masing keluarga mengatur rumah tangganya, toh mereka masih jadi keluarga–mungkin karena terpaksa.

Sekarang coba lihat keluargamu sendiri. Apa tata cara dan bahasa sosial mereka? Bagaimana mereka bekerja? Bisa nggak kamu ngobrol dan cari data sejarah keluargamu? Apakah keluargamu mantan ningrat, Raden Ayu atau Tubagus? Apa pengaruh keningratan itu? Atau jangan-nangan keluargamu adalah imigran dari Cina daratan, India, atau Arab? Ini semua menentukan rejeki awalmu. Dan ketika dunia kapitalis mulai jahat padamu, ketika bisnismu gagal semua, dan semua teman tidak bisa membantumu, sebelum kamu ke Allah, biasanya kamu ke keluarga. Bagaimana cara mereka membantumu?

Di luar keluarga kamu punya teman dan sahabat. Siapa lingkaran temanmu, juga menjadi sumber-sumber rejekimu. Kalau temanmu pada mabok semua dan ga ada yang bisa kerja, dan kamu orang yang baik dan bertanggung jawab, kamu akan mati dimakan teman-teman. Kalau sebaliknya, teman-temanmu yang kamu makan. Kalau kamu cuma berteman di internet dan introvert, itu masalah besar ketika kamu harus berjejaring dan bebas dari keluarga yang disfungsional, atau ketika kamu mau membantu keluarga disfungsionalmu.

Kemampuan bergaul dan komunikasi dimulai dari kemampuan membaca situasi dan keadaan sosial di lingkaran teman dan sahabat dekat. Jika itu saja kamu tidak berhasil, mungkin kamu harus ambil kelas atau baca buku how to yang sederhana untuk belajar ulang caranya bicara. Mungkin referensimu terlalu tinggi, atau terlalu kurang untuk bisa mengenal orang. Tanpa ilmu bergaul yang baik, kamu susah berjejariny dan rejekimu mandeg. Sudah diatur ada di situ, tapi kamu ga bisa dapet karena kamu ga tahu cara minta apalagi cara ngolahnya. Orang mikir kamu ga sopan dan ga empati, ngapain mereka sopan dan empati sama kamu?

Let say keluargamu disfungsional dan temen-temenmu ga bisa diandalkan. Kamu masuk ke dunia kerja. Kamu pilih kerjaan yang nggak usah bergaul, ga usah menjilat ga usah sosial. Kamu mau jadi sekrup di mesin yang besar, yang semua diatur sistem: jam kerja diatur, asuransi diatur, semua diatur. Kamu ga perlu kenal bosku cukup kenal supervisor di atas kamu satu tingkat, itu pun ga deket sama sekali. Di situ kamu lupa, bahwa sistem bisa dan seringkali akan collapse.

Krisis ekonomi, pandemi, bencana alam dan banyak lagi akan bikin sistem collapse dan kamu mau kemana ketika sistem itu hancur? Mungkin kamu bisa beruntung seperti orang Jepang tokoh bapaknya tokoh utama di 1Q84, yang sampai mati dikubur oleh jasa pemakaman yang ia pesan sendiri, dan selama hidup bekerja kayak robot, pensiun dengan dana investasi dan deposito. Itu kalau kebetulan bisa kerja let say, jadi PNS, yang sistemnya cenderung stabil. Di tahap itu rejeki yang diatur sudah kamu kumpulkan dan kamu atur sendiri. Tapi masa rejeki cuma duit? Si bapak itu keluarganya hancur, anaknya dia singkirkan dan dia ga mau kenal, cuma tahu Terima warisan aja. Bapak itu trauma karena istrinya selingkuh, dan ga mau berhubungan lagi dengan siapapun–termasuk anaknya sendiri. Itu pilihan dia sih, nggak apa-apa juga.

Bapak itu menggunakan solidaritas sosial yang ga kelihatan; karena semua sistem yang dibangun dan tempat dia hidup adalah sistem sosial. Ada orang-orang yang nggak dia kenal yang bangun rumahnya, sampai gali kuburnya. Dan itu mungkin tidak semenyakitkan kalau yang bangun rumah dan gali kubur adalah orang yang kita kenal. Itu ide bagus dalam menghindari baper di jaman ini. Kalau kamu lihat bahwa hidup sesepi itu lebih baik. Semua balik-balik sama kamu sendiri sih.

Rejeki sudah diatur, tapi hanya diawal ketika kita belum bisa atau dipaksa mengatur rejeki kita. Ketika kita punya tanggungan, rejeki tanggungan kita ya kita yang atur. Kita kumpulkan satu-satu dari keluarga, teman, kantor, atau bisnis sendiri dengan mengolah minimal ketiga sumber itu, ditambah sumber-sumber lain seperti investasi dan tabungan. Dan semua yang itu bisa membuat kita mengurus diri kita sendiri. Pertanyaan selanjutnya, bisa kah kita mengurus orang lain?

***

Saya bangga sekali degan saudara-saudara dan sahabat-sahabat yang membantu saya untuk tetap menulis, menyemangati, membaca, mengomentari, dan mentraktir saya kopi untuk membuat website ini tetap ada. Dulu saya menulis untuk diri sendiri, sekarang saya menulis untuk kalian semua. Terima kasih sudah membaca. Website ini saya buat supaya kalian nyaman membaca, dan saya butuh bantuan kalian untuk ikut patungan bayar domain dan hostingnya. Traktir saya kopi murahan dengan menekan tombol di bawah ini atau dengan gopay, biar kalian tetap nyaman membaca semua konten di sini.

Atau bisa juga via gopay:

Filsafat, Memoir, Racauan

Islam dan Saya (Bagian IV dari IV-Habis)

Lihat dari bagian I.

Setelah banyak membaca dan belajar, saya tiba-tiba sadar kalau selain kedamaian dan kekuatan spiritual, Islam juga memberikan ketakutan-ketakutan pada saya. Ketakutan-ketakutan ini membatasi pikiran dan kehidupan saya. Misalnya: saya takut pada anjing karena haram, saya takut pada orang asing (dengan agama asing), saya takut pada makanan yang dibuat orang beragama berbeda, dan saya takut pada seks, saya takut pada LGBT. Setelah banyak membaca dan belajar saya tergoda untuk menantang ketakutan-ketakutan itu. Godaan yang membuat saya menjadi lebih dewasa.

ANJING

cute-dog-widescreen-high-definition-wallpaper-desktop-background-dog-free-images

photo: HD Wallpaper

Dulu ketika umur saya lima atau enam tahun, Mama mengajarkan sebuah dzikir ketika menghadapi ketakutan, “Ya Hafidz”, maha penjaga atau maha pemelihara. Saya berdoa agar anjing itu tidak mengejar, menjilat apalagi menggigit saya. Konon ludah anjing najis dan harus dicuci dengan tanah 7 kali. (sekarang saya tidak akan menyebut nama itu lagi gara-gara seorang selebtweet yang alimnya seperti eksibisionis yang suka pamer titit, sampai saya jijik. Itu lho yang pentolan Gerakan Antimo).

Misi untuk menantang ketakutan-ketakutan itu saya jalankan. Saya buang jauh-jauh doa minta dijaga–setiap melihat anjing, saya berusaha mendekati dan membelainya. Karena teman-teman saya banyak pecinta anjing, ketakutan itu berubah menjadi kecintaan. Kini saya merasa bahwa cuci tangan dengan sabun cukup untuk menghilangkan ludah anjing. Apalagi anjing peliharaan jaman sekarang bersih-bersih dan lebih sering ke dokter untuk perawatan daripada saya. Sekarang, salah satu cita-cita saya adalah: punya anjing.

ORANG ASING DAN MAKANANNYA

maxresdefault
Photo: Chinese Master Chef UK. ytimg.com

Saya juga diajarkan untuk takut pada orang asing dengan agama asing dan makanan mereka karena banyak sekali keharaman menyangkut makanan: awas ada alkoholnya, awas minyak babi, awas makanan dimasak dengan perlengkapan bekas memasak babi dan awas babi, anjing, kadal, buaya, haram ini haram itu. Papa saya sampai sekarang enggan makan di rumah orang kristen atau orang Cina non muslim walaupun itu saudara atau sahabatnya sendiri dan makanan sudah dilabeli “halal”, dipisahkan dari meja “Mengandung Babi”. Phobia itu tak hilang dari Papa saya yang tak relijius-relijius amat.

Saya melawan ketakutan soal asing dan makanan asing dengan logika dan riset. Sebagai antropolog yang kerjaannya harus bergaul, ketakutan soal makanan ini berbahaya, karena makan adalah tanda keakraban dengan subjek. Menolak suguhan di budaya manapun akan dianggap kasar. Kalau cuma menolak makan babi atau anjing karena muslim, masih tidak masalah. Tapi kalau menolak SEMUA MAKANAN termasuk yang sudah dilabeli “halal” hanya karena yang memasak berbeda agama, itu namanya mencari musuh.

Apalagi soal alkohol. Rata-rata semua makanan ada alkoholnya, dan kebanyakan alami– dan itu HALAL. Ketika makan bakso dengan cuka, itu alkohol. Ketika makan tape, itu alkohol. Duren, itu alkohol. Ada kawan yang menolak makan sushi karena menggunakan arak beras dan mirin di dalamnya, menurut saya itu argumen yang benar-benar tolol. Karena arak beras dan mirin di sushi tidak untuk mabuk, dan fungsinya sama seperti cuka, untuk memberi keasaman. Kalau segitu takutnya pada alkohol, makan buah-buahan saja. Tapi jangan makan duren, pepaya, nanas, anggur, dan salak–semuanya mengandung alkohol!

Intinya, semua dogma dan mitos soal makanan di Islam baiknya dipelajari benar-benar dan ditantang dengan logis. Soal Babi, misalnya. Hari ini semua muslim bisa makan babi, karena daging babi sudah ada yang halal: daging babi organik yang terbuat dari tempe dan sayur-sayuran sudah tersedia di pasaran dengan rasa yang otentik! Saya  sudah memastikannya–rasanya ENAK. Dan ketakutan pada masakan orang asing, itu yang paling harus disingkirkan. Orang mengundang kita ke rumahnya, kita harus sopan. Orang sudah tahu bahwa kita muslim, dia membuatkan makanan halal, KITA HARUS MAKAN! Jangan suuzhon!

SEKS & LGBT

discoveringsexuality
Photo: Parenthood by fire

Terakhir masalah seksualitas. Bukan muhrim itu masalah besar buat orang yang dibesarkan di tradisi islam konservatif.  Dulu ada kawan saya yang  sama sekali tidak berani melihat perempuan! Apalagi menyentuh, dia takutnya setengah mati, bisa keringat dingin. Tentunya ini bisa disembuhkan dengan… PACARAN! Ya, saya sangat menyarankan pacaran dengan bertanggung jawab. Belajar membuat batas, belajar mengontrol dan belajar melepas kontrol. Itu penting!

Ketakutan akan seks, lawan jenis atau sesama jenis itu ketakutan tidak beralasan. Lebih logis takut pada kecoak yang bisa menyebarkan penyakit. Saya menyembuhkan ini dengan banyak bersahabat dengan perempuan, belajar feminisme, belajar teori seksualitas dan kesehatan reproduksi dan pacaran tadi. Islam yang melarang pacaran itu Islam yang tidak akan saya ikuti. Terserah kalau Felix Siauw mau larang-larang anaknya sendiri, nanti juga  anaknya akan melanggar. Ha-Ha.

Ketakutan pada seks juga membawa pada ketakutan pada LGBT atau homophobia. Ketakutan ini saya lawan dengan belajar kajian gender dan memperbanyak kawan-kawan gay. Dari mereka saya belajar dan tahu banyak hal. Mereka menghargai orientasi seksual saya seperti saya menghargai orientasi seksual mereka. Kadang kami saling menggoda. Kawan saya bilang, “Semua orang itu ada homo di dirinya. Lu cobain dulu dah.”

Lalu saya jawab, “Kalo nih bray, kalo gua homo. Gua juga pasti pilih-pilih. Kalo cowoknya kayak elu, gak bakal konak gua! Lu pernah nyobain M***k gak? Kalo belom lu AMATIR! Jangan-jangan lu salah jalan.” Haha.

Saya pernah beberapa kali tidur seranjang dengan sahabat-sahabat saya–ada yang gay, ada yang perempuan bukan muhrim. Aman-aman saja, kami tidak saling iseng secara seksual dan menghormati privasi kami masing-masing. Karena kalau tidak jodoh dan tidak nafsu, masa mau dipaksakan? Apalagi kalau sudah jadi modus operandi, seperti kawan sastrawan kita yang tersohor itu. Kalau ada yang memaksa, itu namanya pelecehan seksual. Teriak aja biar tetangga pada bangun. Hahaha.

*

Achdiyat A. Miharja pernah menulis seperti ini di novel Atheis-nya (saya parafrase): Ada dua sebab ketakutan. Ketakutan karena tahu dan ketakutan karena tidak tahu. Ketakutan karena tahu adalah ketika kita sudah memastikan sesuatu bisa menyakiti kita. Misalnya kita lihat api bisa membakar dan menyakiti kita, maka kita takut pada api dan berusaha mengendalikannya. Ketakutan karena tahu adalah ketakutan yang kita perlukan untuk hidup. Ketakutan kedua adalah yang berbahaya: ketakutan karena tidak tahu. Kita takut gelap karena tidak tahu ada apa di kegelapan itu. Kita takut orang asing karena tidak kenal. Ketakutan karena tidak tahu adalah bentuk kepengecutan, dan bisa membawa kepada malapetaka.

Melawan ketakutan adalah kewajiban jika ingin hidup dengan tenang. Apa enaknya hidup dibayangi dengan ketakutan? Allah tidak akan menolong orang yang tidak menolong dirinya sendiri. Untuk apa minta tolong pada Tuhan atas kegoblokan diri sendiri? Walau begitu, tidak semua hal bisa menjadi logis. Kita tidak bisa melogikakan Cinta, misalnya. Saya bisa berkali-kali menyakiti orang tua saya, menjadi anak durhaka, tapi orang tua saya tetap mencintai saya dengan sepenuh hati dan jiwa mereka–logika macam apa itu?

Saya bisa berdebat, bertengkar, dan berbeda pendapat dengan sahabat dan kawan saya, tapi di akhir perdebatan kami akan kembali bicara tentang hal-hal lain yang menyenangkan, ngeteh, ngopi dan bersilaturahmi, sebeda apapun kami. Hubungan yang saya bangun dengan orang-orang yang saya sayang tapi sangat berbeda dengan saya adalah hal mistis. Ini juga yang Islam berikan pada saya.

Islam memberikan sebuah kepastian bahwa hidup pantas dihidupi. Hidup pantas dihidupi dengan segala peperangan, kehilangan, cinta, rejeki, musibah, dan kematian. Dan kematian adalah misteri yang bisa dibaca melalui tanda-tanda yang perlu interpretasi. Mendekatkan diri kepada Allah seperti mendekatkan diri kepada alam semesta, takdir dan kepasrahan tanpa batas. Seperti mengakui kekecilan kita sebagai entitas yang hidup dalam debu biru yang sangat kecil.

Tidak ada yang lebih nyata sekaligus puitis selain cinta dan kematian, yang semuanya dirangkum dalam Islam versi hidup saya.

Saya ingat pertama kali saya shalat setelah beberapa tahun murtad, adalah ketika saya dilanda banyak masalah sekaligus: kegalauan percintaan, ekonomi pribadi, ekonomi keluarga, dan sakit psikologis krisis seperempat abad. Saat semua masalah itu menghantam keras, saya tidak punya cara lain selain shalat dan berdoa. Dan di situ saya begitu malu padaNya; bahwa pada akhirnya saya menyerah pasrah. Dan di situ, Islam dan saya menjadi begitu akrab, begitu bebas, dan begitu rahasia karena sedetil apapun saya bercerita, Anda takkan pernah mengerti penuh pengalaman dan perasaan yang saya alami. Cuma saya dan Allah SWT yang tahu.

Menjadi Antropolog yang belajar soal manusia, kebudayaan, dan kemanusiaan sedikit banyak mengembalikan saya pada Islam versi saya ini, yaitu Islam inklusif yang selalu belajar dari banyak orang. Islam saya bukan agama terinstitusi, yang butuh pengakuan dan butuh pembelaan–ia adalah ikatan pribadi saya dengan Allah SWT. Saya membutuhkan Islam seperti saya membutuhkan udara, air, makan, tempat tinggal, dan seni. Islam versi saya adalah yang membebaskan diri sendiri, tapi tidak membebaskan orang lain–karena kebebasan adalah urusan masing-masing, kita hanya bisa tunjukkan jalan buat yang butuh petunjuk saja.

 

 

 

 

Memoir, Racauan

Islam dan Saya (Bagian II dari IV)

Lihat Bagian I

Saya tidak mau cerita horor. Saya cuma mau bilang bahwa suara mengaji Mama saya bukan hanya memberikan kekuatan untuk menahan sakit, tapi juga memberikan keberanian dan kesenduan tersendiri buat saya, buat bayi-bayi di ruangan itu, dan buat makhluk-makhluk lain. Suaranya tidak seperti pengaji di Tilawatul Quran, atau ustadzah atau ustadz yang sering kita lihat di televisi. Suara mengaji Mama sama seperti suara ia bicara–tapi dengan tajwid dan nada yang benar. Tidak ada yang spesial dari suara itu, kecuali kejujuran dan getaran-getaran karena kekagumannya pada firman-firman Allah yang ia mengerti. Ia menangis seperti saya menangis ketika mendengar lagu Jingga oleh Efek Rumah Kaca.

baby-hand-in-big-hand
Photo: Vivapartnership

Mama saya adalah salah satu muslim terbaik yang saya kenal. Ia tidak memakai Jilbab dan ia perokok berat–sampai sekarang. Tanpa atribut keislaman apapun, Mama adalah orang paling cerewet yang menyuruh saya shalat dan mengaji–FPI mah, lewat. Menurut Mama tugasnya adalah menunjukkan jalan dan mengingatkan anak-anaknya akan pentingnya amal ibadah. Mama tidak peduli apakah saya melaksankannya atau tidak, yang penting ia memastikan saya bisa mengaji dan shalat, dan ia takkan pernah lelah untuk mengingatkan saya.

Dalam saat-saat paling parah dan paling putus asa di hidup saya, adalah kata-kata Mama, suara mengaji Mama dan nasihat Mama yang selalu membuat saya merasa syahdu dan kuat. Seperti suara-suara di alam bawah sadar. Di saat-saat itu, shalat menjadi begitu khusyuk dan bermakna. Di saat-saat itulah saya sadar betapa cinta Mama kepada saya berguna begitu besar dalam menjelaskan kehidupan yang tanpa batas dan permasalahan-permasalah hidup yang tak mungkin dijawab dengan logika, seintens apapun saya membaca, mencari tahu dan berpikir. Saya tidak bisa mendustakan nikmat tersebut.

Sejak saya kecil Mama mengkursuskan saya mengaji, bahkan menyekolahkan saya di Madrasah Ibtidaiyah Raudhatul Azhar. Sebuah sekolah kecil dengan sedikit sekali murid yang Mama percaya lebih bisa membuat saya jadi anak soleh daripada sekolah islam bonafid seperti yang di Kemang itu–padahal saya yakin alasannya juga karena sekolah islam saya lebih murah, dekat rumah, dan guru-gurunya masih tetangga.

Sekolah dekat rumah dan dengan guru yang dekat adalah langkah orang tua saya yang paling jitu untuk menghadapi anak yang gila seperti saya. Saya pernah direferensikan ke psikolog anak waktu TK karena hiperaktif, dipermasalahkan di SD swasta yang bonafid karena saya suka berteriak-teriak di kelas atau menyelengkat teman yang sedang lomba lari,  lalu pernah juga menimpuk kepala guru dengan bata di sekolah lain. Pokoknya, saya anak yang sangat bermasalah. Madrasah dengan kontrol ketat guru/tetangga, adalah jawaban terbaik. Buktinya, saya baru bisa baca-tulis ketika saya sekolah di Madrasah, dengan rotan sebagai cara untuk saya bisa konsentrasi. Cara lain tidak akan mempan.

Di Madrasah saya belajar dasar-dasar Islam, dari Aqidah Ahlaq, Al-Quran Hadist, Bahasa Arab, Sejarah Islam dan Fiqh (tentunya hampir semua saya sudah lupa, kecuali sejarah islam, karena saya suka sejarah). Saya juga belajar alat musik pertama saya: rebana. Walau tugas saya hanya memukul dua kali setiap 4/4 ketuk. Dub-dub, dub-dub, dub-dub. Dan saya tetap nakal sampai seorang kawan sekelas membully saya habis-habisan. Si kawan pembully ini selalu ranking 1, jadi saya kesal dan berusaha mengejarnya dengan belajar. Tentu saja saya tidak pernah menang baik dalam hal berkelahi ataupun pelajaran. Tapi paling tidak saya lulus SD dengan kemampuan membaca yang cukup akut.

bersambung ke bagian ke III.

Memoir, Racauan, Uncategorized

Islam dan Saya (Bagian I dari IV)

Disclaimer: Saya mengaku sebagai seseorang yang masih suka shalat dan puasa (walau bolong-bolong), masih percaya pada spiritualitas  (atau Allah SWT), tidak percaya pada institusi bernama agama (atau agama yang diinstitusikan–termasuk Ustad-Ustad yang saya tidak kenal dekat dan suka omong sembarangan), dan memilih jalan hidup yang selalu mencari tanpa pernah selesai sampai saya mati. Saya menerima takdir saya sebagai orang yang selalu bodoh tapi senang berdiskusi, dan sebal  jika dinasihati tanpa mau didengarkan. Jadi kalau setelah membaca tulisan ini Anda mau menasihati saya, saya akan langsung hapus komentar Anda. Kalau Anda ngeyel saya akan flag akun Anda, biar kita terasing satu sama lain. Ha-ha-ha-ha.

 

Saya lahir dan dibesarkan dalam keluarga muslim yang moderat. Mama saya seorang pencari Tuhan yang pernah berkelana dari pesantren ke pesantren karena itu ketika bicara soal Islam saya harus bicara soal Mama saya. Mama hampir hafal Al-Quran dan terjemahannya, sekali mengaji kalau ia sedang khusyuk bisa khatam satu-dua kali. Dia tidak pernah meninggalkan shalat kecuali kalau diharuskan (untuk perempuan), dia juga sering puasa dan shalat malam dengan penuh doa dan tangis.

Mama saya adalah seorang semi-paranormal. Ia bisa melihat makhluk halus tapi memilih untuk menganggap mereka seperti kucing dapur. Tanyalah padanya, dan ia akan menyangkal. Ia juga punya kemampuan menyembuhkan beberapa penyakit ringan, dari masuk angin sampai ketempelan jin–ya, saya pernah beberapa kali ketempelan Jin, dan Mama akan mengurut sambil membaca doa-doa, menekan jempol kaki, lalu berdoa lagi sambil meniup air putih, diminumkan pada saya dan saya langsung teler dan tidur, besoknya sembuh.

Dan ketika saya, anak lelakinya yang paling ringkih ini, sakit parah hingga harus bedrest atau diopname, suara mengaji Mama yang akan membuat saya bisa tidur dan tahan terhadap segala kesakitan. Sejak kecil saya beberapa kali diopname, dari typhus, dilempar beling, demam berdarah, dan banyak lagi–suara mengaji Mama selalu menemani.

Ada satu ingatan yang saya tidak bisa lupa. Suatu kali ketika usia saya 9 atau 10 tahun, saya diopname di rumah sakit Harapan Kita. Saya satu kamar dengan bayi-bayi yang bermasalah (ada yang penisnya hilang, ada yang jantungnya tidak bekerja dll.), beberapa dari mereka di inkubator sedang sisanya di ranjang bayi. Tempat tidur saya ada di paling pojok ruangan, persis di dekat jendela.

Entah kenapa saya ditempatkan di kamar itu, mungkin karena biayanya tidak terlalu mahal. Mama tidur di bawah ranjang saya, di atas sajadahnya. Seperti biasa, setiap malam Mama shalat dan mengaji. Suatu malam, saya melihat ke jendela saya ketika mama sedang mengaji. Ada seorang perempuan, usianya sekitar tiga puluhan, melihat ke dalam kamar dari luar jendela. Matanya sendu, dan sepertinya semakin Mama mengaji wajahnya semakin pilu–seperti menikmati melankolia. Saya tahu karena entah kenapa saya tidak takut untuk terus melihat perempuan itu. Saya kasihan, dia sepertinya kesepian, dan suara mengaji Mama menghiburnya dengan cara yang sangat aneh.

Entah surah apa dan ayat berapa, suara mengaji Mama seperti obat bius buat saya. Saya perlahan tertidur. Ketika saya bangun pagi itu, dan duduk menghadap jendela, saya baru sadar. Saya ada di lantai atas–mungkin lantai tiga atau empat saya lupa persisnya. Dari kamar saya di siang hari saya bisa melihat lanskap luar rumah sakit. Ada kuburan yang sangat luas jauh di luar lapangan parkir rumah sakit. Artinya, tadi malam, perempuan itu…

Bersambung ke bagian II

 

Screen Shot 2016-01-08 at 5.01.51 PM
photo: etsy.com