Alam, Eksistensialisme, Perlawanan, Puisi, Uncategorized

Jiwa-Jiwa Yang Mati Sia-Sia

Jiwa-jiwa yang mati sia-sia
apa cerita yang bisa kita tapa

Semua yang telah direnggut paksa tak akan ada yang kembali jua
lalu perjuangan ini buat apa selain buat nanti di sebuah masa

Jiwa-jiwa yang mati sia-sia
siapa mereka kita sudah lupa

Semua yang telah terbawa sungai arwah menuju ekor ular
yang dia makan sendiri dan terdaur dalam sungai waktu

Jiwa-jiwa yang mati sia-sia
kenapa harus kita kenang

Semua harus tercatat dan terbahas kita daur ulang dalam karya
agar semu selalu ingat bahwa di sisik-sisik ular ada nyawa-nyawa

Jiwa-jiwa yang mati sia-sia
bagaimana caranya bermakna

Semua boleh terlupa tetapi air sungai yang mengalir tidak boleh sama
sisik ular yang terdaur harus lebih berwarna hingga kiamat tiba

Alam, Eksistensialisme, Perlawanan, Puisi, Uncategorized

Terjebak di Goa Kehilangan

540

Aku terbangun terkena silau cahaya rembulan
Entah sudah berapa lama aku terbaring di goa ini
Punggungku sakit, mungkin beberapa rusuk patah
Suaraku hilang,

Aku haus…

Aku ingin air…

Ada tetesan yang terdengar, menggaung di udara

Tik…

Tik…

Tik…

Aku berusaha bangun dan membawa tubuhku yang rapuh
Yang bergeser adalah luka-luka di dalam luka

Tik…

Tik…

Tik…

Aku mengikuti kemana arah tetesan
“Ke sini…” Kata sebuah suara
Terjebak di goa yang sama

Tik…
“Ke sini…”
Tik…
“Minumlah…”
Tik…

Aku menegak tetes demi tetes air
Yang jatuh dari stalaktit
Tawar tapi tajam rasanya
Setajam langit-langit

Aku pandangi langit-langit

Jutaan tahun menetes
“–sekarang kau bisa mendengar dan melihat kami”

Pusaran waktu
Pusara tanpa
Nisan batu
terkandung
di dalam setiap tetes

Seorang wanita
yang kehilangan suami

Seorang pria
yang kehilangan istri

Seorang anak
yang kehilangan orang tua

Satu pusara tanpa nama
mengandung jutaan nyawa
yang terbuang percuma

Aku masih menegak
setiap tetes demi tetes
dan luka-luka di tubuhku
menutup dan sembuh

Kekuatanku kembali
sakit kubawa berdiri
Kurasa aku bisa lari
karena menegak air

Kehilangan

Air pengetahuan tentang mereka
yang tinggal nama, kenangan
dan ketidakjelasan

Kesakitan jatuh ditukar
kekuatan kesadaran dan dendam
kesumat pada waktu dan rezim membeku

Aku akan memanjat ke luar
menuju cahaya rembulan
dan kuteriakan setiap nama
dari tetes yang kutelan

New York –  Washington DC, 20-22 Januari 2016 

 

 

 

 

Eksistensialisme, Perlawanan, Puisi

TEROR

3193080175_ec1291f559

Kau pergi dan teror tak juga berhenti
padahal dulu tekadmu mengakhirinya

Kami tak pernah berniat untuk melawan
kami hanya ingin hidup tenang, tersembunyi

Kau yang nyalakan api bilang, “Kita terteror!
mulut dibungkam, hak dirampas, dan diam

adalah dosa!”

Kau bilang.
Lalu kau maju menantang teror
Lalu mereka bilang kau meneror

Mereka punya muka sepuluh rupa
gada sebesar gala bernama negara
menggodam seluruh nusantara
hingga tak mampu bersuara
bahkan melepas lara

Dan kau masih maju meneror
tanpa bom, tanpa senjata, tanpa apa
hanya dengan kata dan bahasa
terormu tajam mereka rasa

Tapi itu dahulu ketika kau belum berlalu
waktu semua masih punya waktu
untuk diam dalam pilu
pikiran setajam sembilu

Hari ini mereka bawa nama Tuhan,
atau sekedar pura-pura gila
demi surga atau kuasa
mengerjai si putus asa

Dan itulah teror hari ini
sementara kau jadi pahlawan
yang hilang, katanya tidak dilupakan
tapi tak banyak yang meneruskan

Karena pilu membuatmu seperti sembilu
sekali tajam, sudah itu berlalu

Sementara dogma membuat mereka seperti hama
berani kalau ramai, bubar dipestisida

Kau kami ingat, mereka kami lupa
kelupaan lebih mengerikan
Karena kau hilang sendirian
mereka hilang menghilangkan

Teror hari ini lebih mencekam
semenjak kau ditelan malam.

NYC, Januari 2015

Cinta, Eksistensialisme, Puisi, Uncategorized

Siapa Yang Tahu

 

siapa yang tahu

Kesepian menghisap
Keramaian menyekap
Kerinduan mendekap
Kecintaan menyingkap

Kau tahu isi hatiku
Tak ada apa di situ
Tak ada cinta tak ada nafsu
Hanya rasa yang menggebu

Siapa yang tahu?
Rasanya kau kenal padaku?
Begitupun aku
Rasanya kukenal padaku

Siapa yang tahu?
Isi hatimu
Yakin atau ragu
Cair atau beku

Siapa yang tahu
Mata itu
Masih telaga biru
Apa juga musim semi daunan
Atau sudah datang dingin

Siapa yang tahu?

Aku tak peduli
Sakit bila peduli

Aku tak peduli
Biar sakit aku
tak peduli

Ssshh sh sh shhh…

Kemari
Biarkukecup sekali
Agar terkenang sampai mati
Biar hanya sekali
Sampai engkau ingin lagi

Kemari…

2008