Filsafat, Memoir, Racauan

Pertemuan Luka Lama

Luka lama yang kita bawa, merusak apa yang ada. Kerja keras kita, cinta yang kita bina, dan cerita yang kita cipta.

Luka lama adalah fantasmagoria. Kau lihat ia di sudut mata, menggoda untuk masuk ke dunia niskala. Kau akan terjebak di dalamnya dan tanpa sadar menarik semua yang bahagia menjadi nestapa.

Luka lama diberikan orang tua. Dalam usaha coba-coba membuat manusia, mereka menanamkan kasih sayang hingga mengakar, hanya untuk mencerabutnya dengan cinta atau dengan kasar, meninggalkan lubang pertama, luka terdalam. Tidak ada manusia yang akan luput dari luka yang dibuat orang tua.

Luka lama diberikan saudara kandung, dari perebutan kasih sayang, atau kompetisi menjadi lebih terang. Dalam berjuang, menjadi buah matang atau busuk di pohon yang sama. Tumbuh jadi peneduh atau jadi benalu. Cinta dan benci tiada henti.

Luka lama tinggal selamanya. Pada keluarga ia ditahan dengan tawa dan kebahagiaan serta perjuangan.

Luka lama diberikan yang terkasih. Cinta demi cinta yang berlalu memberikan nikmat dan laknat. Ada yang melukai demi kehormatan, ada yang demi cinta, ada yang demi keluarga, demi diri sendiri, dan demi bintang-bintang, Tuhan dan agama. Ada yang demi kesehatan fisik dan mental, dan yang paling sering terjadi, luka lama cinta dibuat karena luka lama lain.

Luka lama yang kita bawa, merusak apa yang ada. Luka lama adalah gerbang yang indah dan menggoda menuju keniscayaan hidup. Jika kau pikir mengejarnya akan menyembuhkannya, kau adalah golongan yang merugi.

Takdir pernah mempertemukan aku dengan sebuah Luka Lama, dan aku mengajaknya untuk menyembuhkan dan menutup diri. Kupikir, karena tidak kukejar, mungkin ini takdir untuk mengakhiri sakitnya.

Ia bilang, “Tak ada yang perlu dibicarakan.”

Kata-kata terakhir itu menghantui. Dan Luka Lama justru terus ku rawat berdarah, hingga suatu hari ia menganga dan merusak lagi, kali ini bisa membuat aku melukai banyak orang, seperti seorang bocah membawa pistol ke sekolah karena luka lama yang dibuat keluarga dan kawan-kawannya. Dor… Dor … Dor…

Maka untuk bertahan hidup dan membangun kemanusiaan, luka lama harus ditabur garam, antiseptik, atau dibakar. Sakitnya akan membuat sadar, apa yang punya hari ini, dimana kau, siapa yang ada di sampingmu, bagaimana kalian bisa saling kenal dan saling sayang, apa yang sedang dibangun. Luka lama adalah kehidupan yang menyuruh mati pelan-pelan.

Ambil nafas hidupmu dalam-dalam. Dan hiduplah sekarang, yang berlalu detik demi detik, huruf demi huruf. Luka Lama adalah cerita. Tapi sekarang, adalah menulis. Yang kau baca kau tulis di pikiran. Dan jika kau cinta maka kau kerjakan di kenyataan, kau tulis di peradaban.


Terima kasih telah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan, iklannya tak menghasilkan, dengan lisensi Creative Commons, Atribution, Non commercial. Kamu boleh pakai konten ini selama memberikan link sumber dan bukan untuk tujuan komersial. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, silahkan traktir saya kopi murah.

Anthropology, Ethnography, Film, Filsafat, Gender, Racauan

Ibu Kita Lonte, Lalu Mau Apa? Kajian Legenda Kelam Malin Kundang dan Pangku untuk Indonesia

Disclaimer: Tulisan ini mengandung spoiler.

Pengantar untuk yang malas baca atau terlalu sibuk bekerja

Kita mulai kisah ini dengan fiksi bertema ekofeminisme:

Sejak zaman kolonial, ibu pertiwi kita, Indonesia, dianggap lonte. Ia dieksploitasi habis-habisan lewat kolonialisme yang membawa industrialisasi dan modernitas ke tanah ini, memperbudak anak-anaknya, anak-anak lonte, nenek moyang kita. Ketika kita merdeka, anak-anak pertama ibu, penggagas kemerdekaan, berniat menaikkan harkat martabat ibu kita dengan mengatur sendiri bagaimana harusnya ibu kita melonte: memilih pelanggan yang mana untuk ibu, supaya keluarga kita bisa hidup lebih layak. Mas Nono adalah nama kakak kita yang menjadi pemimpin keluarga, ketika bapak kolonial kita sudah kabur ke negaranya.

Pergumulan kekuasaan antara adik-kakak, dengan dukungan beberapa pelanggan ibu yang kebapakan dengan ideologinya masing-masing, membuat saudara bunuh saudara, saling menggulingkan, saling fitnah untuk kekuasaan: anak lelaki mana yang bisa menguasai dan mengatur bagaimana ibu kita melonte, siapa saudara yang dapat lebih banyak uang dari tubuh ibu. Pada akhirnya Mas Nono lengser dan diambil alih oleh Mas Toto. Mas Toto berkuasa 32 tahun untuk menjadi mucikari Ibu. Mas Toto membayangkan ibu yang terhormat dengan propaganda “ibuisme negara”, dan memaksa anak-anak perempuan ibu untuk melonte hanya untuk suaminya—terlepas suaminya toksik atau diam-diam menjual istrinya demi bisnis, istri/ ibu yang baik menjaga rahasia opresi rapat-rapat, kata Mas Toto. 32 tahun kemudian anak-anak ibu bertengkar lagi, karena ibu kelelahan kerja dan tidak ada uang masuk. Anak-anak kelaparan dan lagi-lagi kekuasaan bergulir, minta tolong tetangga, minta tolong menir IMF untuk bayar hutang, nyonya World Bank untuk menolong keluarga lonte yang anaknya banyak dan entah bapak yang mana yang mau tanggung jawab.

Ibu sering lelah dan tak bisa kerja, atau kadang marah sampai menangis dan mengamuk karena anak-anaknya yang durhaka. Ketika itu terjadi, air mata ibu menjelma tsunami dan banjir bandang, kemarahan ibu menjelma gunung meletus, kebakaran hutan, dan gempa bumi. Anak-anak ibu yang paling bungsulah korbannya–termasuk adik-adik mereka yang masih dalam kandungan ibu yang terpaksa diaborsi. Anak-anak korban amarah ibu adalah yang tinggal paling dekat dengan ibu, dan sering disuruh kakak-kakaknya untuk melihat ibu diperkosa. Lalu kakak-kakak yang hidup akan mengubur adik-adik yang mati dekat ibu. Ada yang mengubur dengan menangis dan tersedu-sedu dan rindu dendam; ada juga yang mengubur karena takut sama ibu, tapi sebenarnya tidak peduli. Kakak yang tak peduli itulah yang sesungguhnya menunggu dirinya dewasa untuk bisa bersetubuh dengan ibu, seperti bapak-bapak yang membayarnya sebagai mucikari.

Tapi ada juga kalanya, anak-anak Ibu sayang sama Ibu. Ibu dilihat apa adanya, ibu dirawat, adik-adik dirawat, rumah dirawat, dibersihkan dan direnovasi di mana yang perlu. Tidak sembarang robohkan dan ganti seenaknya. Tubuh ibu dimandikan air kembang, ibu dimasakkan makanan enak, dan ibu bangga pada anak-anaknya yang nilai sekolahnya bagus. Dipuji tetangga bahkan sampai bisa merantau ke luar negeri. Anak-anak ini mengasuh dan mengayomi adik-adik kita yang muda dan bodoh, berusaha untuk membuat kerja Ibu semakin ringan. Sayangnya, anak-anak baik ibu semakin hari semakin sedikit–karena rumah tangga kita terpengaruh oleh kebijakan kampung global. Perang antar rumah tangga, dan bapak-bapak di rumah tetangga yang suka jajan di rumah kita, membuat anak-anak ibu yang paling jahat, seringkali berkuasa di rumah kita ini. Dan siklus kehancuran kembali dimulai.

Legenda Kelam Malin Kundang (LKMK) dan Pangku, adalah dua film Indonesia tahuh ini yang bicara soal Ibu yang Lonte. Ibu kita semua, orang Indonesia, orang terjajah. Kedua film punya dua tokoh ibu lonte di dunia yang berbeda. Pengantar untuk orang malas ini adalah buat mereka yang tidak punya daya baca, atau tidak punya waktu. Tapi jika sedang niat baca dan ada waktu, jika kalian telusuri blog ini, berikut yang akan kalian temukan: 

Di bagian pertama, Tentang Dua Film, saya akan menjelaskan kenapa saya memilih dua film ini, yang dibuat oleh sutradara rintisan, dalam ekologi film Indonesia hari ini yang menguasai 65% pasar film di negara kita. Film-film ini dibuat oleh sutradara-sutradara lelaki yang paham isu gender, berpikiran kritis, dan didukung oleh filmmaker dan kru yang paling mutakhir di Indonesia. Dan kesamaan kedua film ini secara tematis, membuat saya terdorong sekali untuk menulis kajian komparasi soal keduanya.

Di bagian kedua, Citra Tubuh Perempuan, saya menjelaskan bahwa nilai moral di masyarakat, ditentukan dari bagaimana masyarakatnya memaknai tubuh perempuan atau yang feminin (termasuk di dalamnya alam). Semakin parah pemaknaan terhadap tubuh perempuan, maka semakin jatuh moral sebuah masyarakat: parah artinya tubuh perempuan dianggap bukan tubuh manusia yang punya keinginan, punya kecerdasan, dan bisa mengambil keputusan sendiri. Kedua film melihat tubuh perempuan dengan cara berbeda, dan para perempuan mengambil keputusan dengan cara berbeda. Apa implikasinya? Silakan baca sendiri. 

Di bagian ketiga, saya bicara tentang Anak Lelaki Pelacur dalam Superstruktur Minang dan Pantura. Saya melihat kedua film digarap dengan baik, beberapa kru adalah orang lokal yang mengerti budayanya, atau melibatkan orang lokal sebagai bagian dari riset. Di sini saya akan menjabarkan bagaimana kedua film mempresentasikan moda produksi kebudayaan dalam memaknai pelacuran. Satu film melihat dari sudut pandang feminis radikal, dimana pelacuran adalah eksploitasi; film lain melihat dari sudut pandang feminis materialisme, dimana pelacuran adalah kerja buruh. Ini menghasilkan status berbeda pada anak lelakinya: yang pertama adalah anak pelacur tanpa status; yang kedua adalah anak kampung yang punya jejaring. 

Di bagian keempat, saya bicara soal Politik Estetika yang dipakai kedua film. Film pertama memakai impressionisme horor, untuk menyelami pikiran individu dan memberikan ketakutan dari dalam diri. Film kedua memakai realisme sosial untuk memaparkan relasi sosial dan memberikan ketakutan dari luar: negara, kapitalisme, pemerintah yang sama sekali tidak berperan kecuali merepotkan mereka yang kerja keras. Politik estetika bergerak dalam penentuan distribusi estetis: apa yang boleh dan tidak boleh di lihat, siapa yang boleh membuat dan boleh menontonnya, dan lain-lain. Saya berargumen bahwa kedua film memiliki rezim estetikanya sendiri, tapi sedang terancam oleh usaha negara yang buta fim tapi haus kepentingan untuk membuat kebijakan “membantu film Indonesia.” yang hendak memaksakan rezimnya (lagi) dalam film Indonesia–sesuatu yang kita semua harus waspadai.

Di setiap akhir halaman, saya akan kasih tombol “traktir yang nulis kopi,” buat yang ingin kasih saya bantuan reimbursement kopi-kopi sekeliling Yogyakarta selama JAFF 2025, yang habis buat bikin tulisan panjang ini–hanya untuk mereka yang sedang kelebihan rejeki dan tidak diteror pinjol tiap bulan. Selamat membaca!

Klik di sini untuk menuju halaman berikutnya: Tentang Dua Film.

Daftar Isi

Ethnography, Filsafat, Politik, Racauan

Banjir Bandang Sumatra Barat dan Kemakmuran Kota

Dulu, ketika saya masih menjadi jurnalis internasional, dua kali saya mengedit liputan musibah di Sumatra Barat. Yang terakhir—kalau ingatan saya betul—adalah banjir bandang sekitar tahun 2024, dengan visual yang nyaris sama: rumah hanyut, jalan putus, relawan berjibaku, narasi “bencana alam” yang masuk ke ruang tamu melalui layar ponsel. Hari ini saya kembali melihatnya—hanya saja posisi saya berubah. Tak lagi ikut mengedit tulisan reporter, melainkan menjadi penonton yang menua bersama pola kerusakan yang tidak ikut berubah.

Dalam salah satu liputan dulu, seorang aktivis lingkungan berkata dengan suara pelan, seolah takut terdengar heroik: “Yang nebang pohon itu warga lokal juga.” Kalimat ini masih terngiang karena menolak simplifikasi. Hutan yang gundul bukan hanya akibat investor dari kota; mata pencaharian warga di desa ikut berada dalam pusaran yang sama. Di antara keduanya berdiri negara yang menyediakan surat izin, menaungi transaksi, dan meminjamkan bahasa pembangunan untuk menenangkan hati semua pihak. Semacam perkawinan gelap yang berlangsung lama sekali.

Governmentality: Seni Mengatur Melalui Keinginan dan Ketakutan

Michel Foucault—seorang filsuf Prancis yang membedah cara kerja kekuasaan modern—menyebut fenomena ini governmentality. Istilah itu ia uraikan dalam kuliah Security, Territory, Population (1977–78) dan The Birth of Biopolitics (1978–79). Governmentality merujuk ke cara negara mengatur manusia dengan membentuk keinginan mereka, ketakutan mereka, dan orientasi hidup mereka. Foucault menyebutnya conduct of conduct—bagaimana perilaku diatur bukan melalui paksaan langsung, melainkan melalui cara hidup sehari-hari.

Dalam logika ini, pembangunan bekerja sebagai kompas moral. Orang diajak percaya bahwa hidup “layak” berarti punya rumah tembok, kendaraan bermotor, dan pemasukan stabil. Jika itu hanya bisa dicapai lewat tambang, ladang sawit, atau pembangunan resor, maka jalan itulah yang dianggap paling masuk akal. Tidak ada perintah untuk merusak hutan, tetapi negara menciptakan situasi yang membuat pilihan itu tampil sebagai satu-satunya langkah rasional.

Gesekan yang Tidak Pernah Usai

Antropolog Anna Lowenhaupt Tsing menulis Friction: An Ethnography of Global Connection (2005), sebuah studi etnografis tentang bagaimana perusahaan logging, aparat negara, aktivis, dan komunitas lokal bersinggungan dalam proyek kayu di Kalimantan. Yang ia temukan bukan benturan dua kekuatan, melainkan gesekan berlapis-lapis. Janji pembangunan, tawaran kerja, tekanan aparat, bahasa konservasi, dan kalkulasi ekonomi keluarga bercampur membentuk keputusan yang rumit. Hutan tumbang bukan karena konspirasi tunggal, tetapi karena rangkaian negosiasi yang tidak pernah simetris.

Celia Lowe, antropolog lain yang meneliti konservasi di Kepulauan Togean dalam Wild Profusion (2006), melihat pola serupa. Konservasi hadir sebagai wacana mulia, tapi dampaknya sering berupa pengaturan ulang hidup masyarakat lokal—cara mereka memancing, menebang, merawat keluarga. Negara menghadirkan dirinya sebagai penjaga biodiversitas, padahal akses terhadap perubahan struktural tetap dimonopoli pusat. Dalam kasus Sumatra Barat, konservasi adalah lahan yang boleh dieksploitasi oleh yang diberi ijin; yang dijaga adalah akses, bukan demi alam dan masa depan warganya.

Keduanya memperlihatkan bahwa persoalan lingkungan selalu bergantung pada relasi sosial dan ekonomi yang jauh dari sederhana. Yang tumbuh bukan sekadar kerusakan, melainkan rasa tak berdaya yang diproduksi ulang dari generasi ke generasi.

Ketika Politik Ditutup Rapat-Rapat

James Ferguson, dalam The Anti-Politics Machine (1990), membongkar bagaimana proyek “pembangunan” di Lesotho mengubah isu ketimpangan, kolonialisme, dan politik tanah menjadi sekadar persoalan teknis. Tanah dirampas dengan bahasa “manajemen sumber daya”. Kemiskinan dipetakan sebagai masalah “keterampilan”. Struktur sejarah yang melahirkan masalah dianggap terlalu rumit untuk dibahas; yang ditawarkan hanyalah workshop dan rekomendasi proyek.

Pola ini terasa akrab di Indonesia. Banjir bandang dibahas dalam bahasa mitigasi. Deforestasi ditimbang sebagai hambatan investasi. Izin tambang diterjemahkan sebagai kebutuhan energi nasional. Dan di atas kertas, semuanya tampak sah. Politik diluruhkan menjadi administrasi.

Saat menonton liputan Sumatra Barat hari ini, saya merasa sedang menyaksikan versi lokal dari anti-politics machine itu. Semua pihak sibuk dengan tugasnya: pejabat membahas SOP, perusahaan menawarkan CSR, warga mendambakan pemasukan stabil. Pertanyaannya tentang siapa yang memperkaya diri sering tersingkir oleh diskusi teknis yang lebih “aman” dan lebih mudah dicerna publik.


Dalam konteks global yang lebih baru, Naomi Klein melalui This Changes Everything (2014) mengurai bagaimana kapitalisme dan krisis iklim tidak pernah bisa dipisahkan. Krisis ekologis global adalah hasil dari sistem ekonomi yang memaksa bumi bekerja tanpa istirahat demi pertumbuhan tanpa batas. Klein mencatat bahwa negara-negara kaya, perusahaan, hingga lembaga finansial internasional turut menyandarkan struktur kekuasaan mereka pada eksploitasi alam negara-negara seperti Indonesia.Kate Raworth, lewat Doughnut Economics (2017), menekankan bahwa pembangunan yang mengejar pertumbuhan tak terbatas selalu melampaui batas ekologis. Dan ketika itu terjadi, beban terberat jatuh pada masyarakat di pinggiran: petani, pekerja tambang, nelayan, dan warga yang tinggal di bantaran sungai—mereka yang gambarnya selalu muncul kembali dalam liputan bencana.

Jika ditambah laporan-laporan terbaru dari IPCC (2021–2023), jelas bahwa kerusakan ekologis bukanlah insiden; ia adalah hasil langsung dari arah pembangunan global yang tidak berubah sejak revolusi industri.

Siapa yang Masih Berdaya Mengubah Ini?

Pertanyaan “siapa yang bersalah?” sering membuat kita berjalan berputar-putar. Yang mungkin lebih penting adalah “siapa yang masih punya daya untuk mengubah arah pembangunan ini?”

Beberapa titik daya tampak jelas:

1. Kelas pekerja dan masyarakat lokal
Mereka yang paling terdampak justru memiliki posisi tawar paling kecil. Namun sejarah menunjukkan bahwa perubahan besar banyak dimulai dari gerakan mereka—ketika tuntutan ekonomi sehari-hari bertemu dengan kesadaran ekologis. Gerakan tani, gerakan anti-tambang, dan solidaritas desa–kota membuka kemungkinan itu.


2. Kelas menengah urban yang menikmati hasil eksploitasi
Sering berada di zona nyaman, tetapi sesungguhnya memiliki modal sosial, jaringan, dan kemampuan untuk mendorong perubahan politik. Kesadaran bahwa gaya hidup kota ditopang perusakan desa adalah langkah awal untuk membangun solidaritas lintas kelas.


3. Para pekerja kreatif dan intelektual—film, media, seni, riset
Mereka yang mengolah narasi publik memiliki peran strategis. Mereka dapat menyingkap struktur yang membuat bencana tampak alamiah, padahal merupakan hasil pilihan ekonomi-politik.


4. Negara dan pejabat publik
Meski sering menjadi penghulu dalam perkawinan gelap tanah dan modal, mereka tetap memegang kunci: kebijakan tata ruang, izin tambang, pajak karbon, perlindungan masyarakat adat. Tanpa perubahan kebijakan, perubahan sosial hanya akan berjalan separuh.


5. Investasi
Sumber modal adalah mesin pembangunan; mengubah arah modal berarti mengubah arah masa depan. Kesadaran soal “uang dari mana”—mulai dari CSR hingga capital venture—membantu kita melihat bahwa lingkungan tidak hanya rusak oleh perilaku individu, tetapi oleh arsitektur ekonomi yang mengatur seluruh gerak masyarakat.


6. Bayangan tentang kemajuan
Selama kemajuan didefinisikan sebagai pertumbuhan tanpa batas, hutan akan terus digunduli dan sungai akan terus sesak. Mengubah wawasan tentang masa depan—dari pertumbuhan ke keberlanjutan, dari ekstraksi ke perawatan—adalah kerja politik dan budaya sekaligus.






Ketika Sumatra Barat kembali diterjang banjir bandang, saya tidak melihat bencana itu sebagai peristiwa alam yang berdiri sendiri. Ia bagian dari kisah panjang relasi kuasa, gosokan kepentingan, dan mimpi-mimpi yang diarahkan oleh negara dan pasar. Tidak ada pahlawan dalam cerita ini, tetapi selalu ada orang-orang yang mencoba bertahan dan mencari jalan lain. Dan mungkin, dari sanalah sebuah perubahan perlahan dimulai—dari mereka yang berani membayangkan masa depan yang tidak mengulang bab lama yang sama.

Kate Raworth, lewat Doughnut Economics (2017), menekankan bahwa pembangunan yang mengejar pertumbuhan tak terbatas selalu melampaui batas ekologis. Dan ketika itu terjadi, beban terberat jatuh pada masyarakat di pinggiran: petani, pekerja tambang, nelayan, dan warga yang tinggal di bantaran sungai—mereka yang gambarnya selalu muncul kembali dalam liputan bencana.

Jika ditambah laporan-laporan terbaru dari IPCC (2021–2023), jelas bahwa kerusakan ekologis bukanlah insiden; ia adalah hasil langsung dari arah pembangunan global yang tidak berubah sejak revolusi industri.

Siapa yang Masih Berdaya Mengubah Ini?

Pertanyaan “siapa yang bersalah?” sering membuat kita berjalan berputar-putar. Yang mungkin lebih penting adalah “siapa yang masih punya daya untuk mengubah arah pembangunan ini?”

Beberapa titik daya tampak jelas:

Kelas pekerja dan masyarakat lokal

Mereka yang paling terdampak justru memiliki posisi tawar paling kecil. Namun sejarah menunjukkan bahwa perubahan besar banyak dimulai dari gerakan mereka—ketika tuntutan ekonomi sehari-hari bertemu dengan kesadaran ekologis. Gerakan tani, gerakan anti-tambang, dan solidaritas desa–kota membuka kemungkinan itu.

Kelas menengah urban yang menikmati hasil eksploitasi

Sering berada di zona nyaman, tetapi sesungguhnya memiliki modal sosial, jaringan, dan kemampuan untuk mendorong perubahan politik. Kesadaran bahwa gaya hidup kota ditopang perusakan desa adalah langkah awal untuk membangun solidaritas lintas kelas.

Para pekerja kreatif dan intelektual—film, media, seni, riset

Mereka yang mengolah narasi publik memiliki peran strategis. Mereka dapat menyingkap struktur yang membuat bencana tampak alamiah, padahal merupakan hasil pilihan ekonomi-politik.


Negara dan pejabat publik

Meski sering menjadi penghulu dalam perkawinan gelap tanah dan modal, mereka tetap memegang kunci: kebijakan tata ruang, izin tambang, pajak karbon, perlindungan masyarakat adat. Tanpa perubahan kebijakan, perubahan sosial hanya akan berjalan separuh.

Investasi

Sumber modal adalah mesin pembangunan; mengubah arah modal berarti mengubah arah masa depan. Kesadaran soal “uang dari mana”—mulai dari CSR hingga capital venture—membantu kita melihat bahwa lingkungan tidak hanya rusak oleh perilaku individu, tetapi oleh arsitektur ekonomi yang mengatur seluruh gerak masyarakat.

Bayangan tentang kemajuan

Selama kemajuan didefinisikan sebagai pertumbuhan tanpa batas, hutan akan terus digunduli dan sungai akan terus sesak. Mengubah wawasan tentang masa depan—dari pertumbuhan ke keberlanjutan, dari ekstraksi ke perawatan—adalah kerja politik dan budaya sekaligus.



Ketika Sumatra Barat kembali diterjang banjir bandang, saya tidak melihat bencana itu sebagai peristiwa alam yang berdiri sendiri. Ia bagian dari kisah panjang relasi kuasa, gosokan kepentingan, dan mimpi-mimpi yang diarahkan oleh negara dan pasar. Tidak ada pahlawan dalam cerita ini, tetapi selalu ada orang-orang yang mencoba bertahan dan mencari jalan lain. Dan mungkin, dari sanalah sebuah perubahan perlahan dimulai—dari mereka yang berani membayangkan masa depan yang tidak mengulang bab lama yang sama.


Terima kasih telah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan, iklannya tak menghasilkan, dengan lisensi Creative Commons, Atribution, Non commercial. Kamu boleh pakai konten ini selama memberikan link sumber dan bukan untuk tujuan komersial. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, silahkan traktir saya kopi murah.

Ethnography, Filsafat, Memoir, Politik, Racauan

Keniscayaan Komunitas | Bagian 6:  Mengembangkan Imajinasi Bersama

Ringkasan

  • Mengikuti Benedict Anderson, komunitas hanya hidup sejauh kita mampu membayangkannya bersama—bukan sebagai struktur, tetapi sebagai hubungan yang terus diperbarui.
  • Tanpa iman, lembaga mengecil menjadi mesin administrasi; dengan iman, ia menjadi ruang imajinasi masa depan.
  • Komunitas berkelanjutan memandang dirinya sebagai cerita tanpa akhir; tidak ada puncak, nabi terakhir, atau generasi pamungkas—hanya rantai kontinuitas.
  • Etos kerja hidup dari kesadaran naratif: setiap tindakan kecil adalah kalimat dalam cerita panjang yang kita tulis bersama.
  • Komunikasi adalah syarat regenerasi; tak ada pembaruan jika imajinasi tidak dibagikan dan visi tidak disuarakan.
  • Tantangan terbesar bukan menjaga masa lalu, tetapi membuat diri kita layak dibayangkan oleh mereka yang akan datang.
  • Komunitas bertahan bukan karena besar atau mapan, tetapi karena mencintai cara mereka bekerja—dan membuka ruang bagi sesuatu yang belum pernah dibayangkan.

Baca dari Bagian 1: Ritual ke Institusi


Benedict Anderson menulis bahwa bangsa—sebuah entitas sebesar itu—hanya bisa berdiri karena ia diimajinasikan bersama. Keberadaannya ditopang oleh kesadaran kolektif yang tidak pernah sepenuhnya kasat mata: kesediaan saling percaya pada orang yang tidak pernah kita temui, kesediaan merasa terhubung dengan masa depan yang belum kita lihat.

Gagasan itu relevan bukan hanya untuk negara, tetapi untuk setiap komunitas, lembaga, atau ekosistem sosial yang ingin bertahan lebih dari satu generasi. Pada akhirnya, komunitas hidup bukan karena struktur, tetapi karena cara orang-orang di dalamnya membayangkan diri mereka dalam hubungan dengan orang lain, dengan masa lalu, dan dengan masa depan. Dan di sinilah krisis banyak komunitas modern bermula: mereka berhenti membayangkan diri mereka bersama.

AT-AT Melawan Manusia Purba, dengan gaya Rembrant. Komunitas masa lalu melawan masa depan yang fiktif.

Dalam dunia yang bergerak cepat, identitas pekerjaan makin rapuh. Namun cara bekerja—etika, imajinasi, disiplin moral—justru semakin penting. Sebab yang memberi keberlanjutan bukanlah daftar tugas, tetapi cara tugas itu dilaksanakan. Menjadi kompeten dan profesional adalah fondasi sebuah institusi yang sehat; untuk itu perlu ada batasan yang jelas tentang cara belajar dan cara bekerja, dan bagaimana cara berdiskusi ketika sebuah kebijakan diambil. 

Imajinasi kolektif masa depan tidak membutuhkan pahlawan tunggal, tetapi kebiasaan orang biasa yang bekerja dengan cara yang benar. Itulah iman baru: bukan percaya pada jabatan atau gelar, tetapi percaya bahwa tindakan yang dikerjakan dengan integritas selalu membuahkan masa depan yang layak dihuni. Anderson mengingatkan: komunitas bertahan karena ia bersedia menjadikan dirinya ruang bagi generasi yang belum lahir. Ini bukan sekadar regenerasi. Ini adalah kesediaan untuk diubah.

Peradaban, kata Harari, selalu bertahan karena fiksi kolektif. Tetapi yang menentukan masa depan bukan fiksi itu sendiri—melainkan keyakinan pada fiksi itu. Iman, dalam pengertian ini, bukan religius semata: ia adalah keberanian mempercayai sesuatu yang belum terbukti, dan bekerja demi mewujudkan ide itu.

Tanpa iman, lembaga mengecil menjadi ruang administratif. Dengan iman, ia menjadi ruang imajinasi masa depan.

Komunitas yang berkelanjutan memahami dirinya sebagai cerita yang tidak selesai. Tidak ada generasi yang menjadi “puncak” atau “penutup”; semuanya menjadi penghubung. Tidak ada “Nabi terakhir,” atau “Pemimpin penutup zaman.” Yang ada adalah kemungkinan-kemungkinan untuk menjadi relevan bersama lewat struktur yang memastikan bahwa pemegang kebijakan adalah orang-orang kompeten. Yang ada adalah reinkarnasi dalam Samsara. Imajinasi kolektif inilah yang menjaga etos kerja tetap hidup: ketika seseorang membersihkan ruang, menutup pintu, mengajar satu murid, atau memperbaiki sistem, ia sadar bahwa tindakannya akan menjadi bagian dari cerita yang lebih panjang. Tapi untuk itu pula, ia harus belajar untuk bicara dan mengkomunikasikan cerita yang ia bayangkan atas kerja yang ia lakukan. Sehingga tidak ada yang tertinggal dan terasing dalam narasi kebungkaman dan keenganan. 

Tantangan terbesar bukan mempertahankan masa lalu, tetapi membuat diri kita layak dibayangkan oleh mereka yang datang kemudian. Pertanyaannya adalah: bagaimana kita bekerja hari ini agar mereka ingin melanjutkannya besok?

Masa depan diimajinasikan bersama. Komunitas yang bertahan bukanlah mereka yang paling besar, paling kaya, atau paling tua, tetapi yang paling mampu mencintai cara mereka bekerja—dan dengan itu, terus membuka ruang bagi orang lain untuk menambahkan sesuatu yang belum pernah dibayangkan.

Dan dengan itu, segala perubahan dan rintangan bisa dihadapi bersama. Karena kita ingin bersama, kita cinta untuk bersama, dan kita tidak bisa membangun peradaban yang kita bayangkan, tanpai kolaborasi di imajinasi kita.


Terima kasih telah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan, iklannya tak menghasilkan, dengan lisensi Creative Commons, Atribution, Non commercial. Kamu boleh pakai konten ini selama memberikan link sumber dan bukan untuk tujuan komersial. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, silahkan traktir saya kopi murah.

Berlangganan

Masukan email kamu untuk dapatkan update. Gratis.