Ethnography, Filsafat, Memoir, Politik, Racauan, Workshop

Keniscayaan Komunitas | Bagian 4: Ilusi Kemapanan

Ringkasan

  • Setiap sistem yang berhasil akhirnya percaya bahwa dirinya tidak akan runtuh — itulah ilusi berbahaya yang menghancurkan banyak lembaga, dari Gereja hingga perusahaan modern.
  • Kompleksitas birokrasi sering disalahartikan sebagai stabilitas; padahal ia hanya menambah berat bagi sistem yang sudah kelelahan.
  • Ritual administratif menggantikan nilai moral: rapat tanpa arah, program yang hanya menjadi tradisi, struktur yang tampak hidup tapi kosong di dalam.
  • Ketika sistem lebih sibuk memelihara dirinya ketimbang menjalankan misinya, itulah tanda pengerasan institusi — pengeroposan yang tak terlihat sampai terlambat.

Setiap peradaban yang berhasil menata dirinya sendiri akan, pada akhirnya, menciptakan mitos tentang keabadiannya. Mesir kuno memiliki piramida, Kekaisaran Romawi memiliki hukum, Gereja memiliki liturgi, dan modernitas memiliki birokrasi. Namun di balik setiap struktur yang tampak kokoh, selalu ada satu kesamaan: keyakinan bahwa sistem yang berjalan baik hari ini akan selalu berjalan baik besok. Dan itulah ilusi paling berbahaya dari semua — ilusi kemapanan.

Dalam buku The Collapse of Complex Societies, antropolog Joseph Tainter menulis bahwa kehancuran jarang datang karena kekacauan, tetapi karena kompleksitas yang tak lagi produktif. Setiap sistem sosial yang tumbuh—dari suku kecil hingga negara industri—terus menambah lapisan struktur, prosedur, dan spesialisasi. Awalnya, kompleksitas ini meningkatkan efisiensi. Tapi di titik tertentu, biaya pemeliharaannya melampaui manfaatnya. Sama seperti mesin tua yang memerlukan lebih banyak energi untuk berfungsi, institusi yang terlalu besar akhirnya menghabiskan sumber daya hanya untuk menjaga dirinya tetap hidup.

Kita bisa melihat pola ini dalam sejarah agama, negara, hingga perusahaan modern. Ketika Gereja Katolik menjadi lembaga politik, ia membutuhkan semakin banyak hierarki untuk memastikan ortodoksi. Ketika negara-bangsa modern lahir, ia menciptakan birokrasi yang rumit untuk mengatur pajak, warga, dan perang. Ketika korporasi global tumbuh, mereka menciptakan divisi, komite, dan sistem evaluasi untuk mengawasi karyawan—hingga akhirnya, lebih banyak orang bekerja untuk memelihara sistem ketimbang menjalankan misinya.

Dan ironinya, semakin rumit sebuah sistem, semakin ia merasa aman.

Karena kompleksitas menciptakan kesan kontrol. Tapi sejarah menunjukkan: justru di puncak kontrol, manusia sering kehilangan arah moralnya.

Dalam antropologi modern, banyak peneliti menyebut fase ini sebagai institutional ossification — pengerasan sistem sosial. Pada tahap ini, lembaga tidak lagi menjadi alat untuk melayani tujuan, melainkan menjadi tujuan itu sendiri. Kehidupan sosial berubah menjadi ritual administratif: rapat yang tak menghasilkan keputusan, laporan yang tak pernah dibaca, program yang dijalankan hanya karena “sudah tradisi.” Seperti agama yang mengulangi doa tanpa iman, banyak institusi modern terus bekerja tanpa kesadaran mengapa mereka bekerja.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di lembaga besar. Ia juga menjalar ke ruang-ruang kecil, ke komunitas budaya dan organisasi kreatif. Di sana, bentuk baru dari birokrasi spiritual muncul. Ritualnya bukan lagi misa atau rapat direksi, melainkan “check-in komunitas”, “rencana kolaborasi”, atau “diskusi keberlanjutan” yang diulang tanpa aksi nyata. Semua orang sibuk memelihara struktur agar tampak hidup, padahal di dalamnya sudah kosong.
Inilah fase imitasi vitalitas — ketika gerakan yang dulu hidup dari ide kini hidup dari format.

Kita bisa menelusuri akar psikologisnya. Manusia, seperti yang dikatakan Harari, tidak hidup dari kebenaran, tapi dari narasi yang memberi rasa aman. Dan narasi kemapanan adalah candu sosial paling halus:

“Kita sudah punya sistem.”
“Kita tinggal melanjutkan.”
“Yang penting tetap berjalan.”

Ketika kepercayaan terhadap tujuan digantikan oleh kepercayaan terhadap sistem, manusia berhenti bertanya “mengapa” dan hanya bertanya “bagaimana.” Bagaimana melanjutkan program? Bagaimana mempertahankan anggota? Bagaimana mencari dana?

Pertanyaan-pertanyaan “bagaimana” menjaga sistem tetap hidup; tapi hanya pertanyaan “mengapa” yang menjaga moralitasnya. Sementara itu, kepercayaan bahwa sistem ini sudah saklek, membuat kekakuan yang beresiko membuat sendi-sendi antar departemen jadi patah.

Mengapa kita melakukan ini semua?

Dalam konteks ekosistem kreatif modern, ini tampak jelas. Banyak lembaga yang awalnya dibangun untuk membebaskan pekerja kreatif dari sistem industri, kini menciptakan versi kecil dari industri itu sendiri: dengan struktur, hierarki, dan simbol prestise yang sama. Kita mengganti kata “atasan” dengan “mentor”, “target” dengan “visi”, dan “profit” dengan “kolaborasi”—namun perilakunya tetap sama. Yang berubah hanya bahasa moralnya, bukan logikanya. Dan ketika moralitas menjadi kosmetik, maka struktur sebaik apa pun tak lagi memiliki jiwa dan semangat yang sama.

Sejarah Eropa abad pertengahan memberi pelajaran menarik tentang ini. Ketika biara-biara kehilangan arah spiritualnya, Gereja mencoba menyelamatkan moral publik dengan cara… membangun lebih banyak biara.
Alih-alih mereformasi nilai, mereka memperbanyak bentuk. Fenomena serupa kini terjadi di dunia modern: ketika lembaga gagal menghasilkan dampak, solusinya bukan introspeksi, melainkan ekspansi — lebih banyak program, lebih banyak proyek, lebih banyak “inisiatif.” Padahal setiap lapisan baru hanya menambah berat tubuh yang sudah kelelahan.

Dalam antropologi, kita menyebut ini ritual kompensasi — kecenderungan manusia menambah aktivitas simbolik untuk menutupi kehilangan makna. Sama seperti masyarakat agraris kuno yang memperbanyak upacara saat panen gagal, lembaga modern memperbanyak rapat ketika moral kerja menurun. Dan sama seperti upacara itu tak menumbuhkan padi, rapat itu pun tak menumbuhkan perubahan.

Di sinilah ilusi kemapanan mencapai puncaknya. Orang-orang di dalam sistem benar-benar percaya bahwa mereka masih produktif, masih berjuang, masih relevan. Padahal yang mereka lakukan hanyalah memelihara simbol perjuangan, bukan perjuangan itu sendiri. Masjid dibuat di banyak sekali tempat, tapi kosong.

Namun sejarah juga menunjukkan: setiap kemapanan memiliki titik balik. Kadang ia datang dari krisis seperti kebakaran, kebangkrutan, atau konflik moral; atau dari satu individu yang berani mempertanyakan struktur.

Pencerahan sering datang bukan dari keheningan, tapi dari kejutan dan force majeur. Perubahan seringkali dimulai dari disonansi — dari keberanian untuk mengatakan bahwa sistem yang nyaman ini sebenarnya sedang sekarat.

Jika ada pelajaran dari ribuan tahun sejarah sosial manusia, mungkin ini: semua institusi akan gagal, kecuali mereka yang mampu mengenali kegagalannya lebih awal. Kekuasaan bisa diwariskan, kekayaan bisa dijaga, tapi kesadaran moral hanya bisa diperbarui. Dan kesadaran itu tak bisa diadministrasikan; ia harus diperjuangkan kembali, setiap generasi.

Bersambung ke bagian V: Regenerasi dan Krisis Kesadaran.


Terima kasih telah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan, iklannya tak menghasilkan, dengan lisensi Creative Commons, Atribution, Non commercial. Kamu boleh pakai konten ini selama memberikan link sumber dan bukan untuk tujuan komersial. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, silahkan traktir saya kopi murah.

Berlangganan

Masukan email kamu untuk dapatkan update. Gratis.

Ethnography, Filsafat, Politik, Racauan, Workshop

Keniscayaan Komunitas | Bagian 3: Rantai Kegagalan & Evolusi Moral yang Mandek

Ringkasan:

  • Kegagalan jarang satu momen; ia rantai panjang—hilangnya konteks, hilangnya rasa syukur, hilangnya rasa malu.
  • Generasi penerus mewarisi bangunan, tapi tidak mewarisi rasa genting yang melahirkannya.
  • Max Weber menyebutnya routinization of charisma: energi pendiri membeku menjadi prosedur.
  • Komunitas runtuh bukan karena kekurangan talenta, tapi karena kelebihan asumsi: bahwa sistem akan menjaga dirinya sendiri.
  • Ketika pembelajaran berhenti dan kontribusi berubah menjadi formalitas, kegagalan hanya tinggal menunggu waktu.

Baca dari awal (bagian 1: Dari Ritual ke Institusi)


Ketika suatu peradaban memasuki fase kedua keberadaannya, masalah yang dihadapi bukan lagi kelaparan, perang, atau wabah — melainkan kehilangan makna. Dan di dalam kehilangan makna itu, sering tersembunyi sumber kehancuran yang paling dalam: stagnasi moral.

Dalam konteks sejarah panjang manusia, ini bukan hal baru. Setiap kali manusia berhasil menciptakan sistem yang menstabilkan hidupnya, sistem itu perlahan menggantikan dorongan spiritual yang dulu membuatnya lahir. Ritual menggantikan iman; prosedur menggantikan tanggung jawab; kenyamanan menggantikan panggilan.
Begitulah agama-agama besar kehilangan kekuatan moralnya, partai politik kehilangan idealismenya, dan komunitas budaya kehilangan urgensinya.

Yuval Noah Harari pernah menulis bahwa peradaban adalah kompromi antara makna dan efisiensi. Manusia menciptakan lembaga agar hidupnya lebih efisien, tapi dalam proses itu ia harus mengorbankan spontanitas yang memberi makna. Setiap struktur yang terlalu efisien akhirnya membunuh dorongan spiritual yang melahirkannya.
Dan ketika generasi kedua lahir di dalam struktur itu, mereka tidak lagi mewarisi semangat perjuangan — hanya kebiasaannya.

Kita bisa melihat hal ini dalam skala mikro: sebuah ruang kreatif yang lahir dari keresahan. Generasi pertama membangunnya dengan darah dan waktu; mereka bertahan karena rasa tanggung jawab dan cinta pada gagasan.
Namun generasi kedua tumbuh dalam hasil dari perjuangan itu: ruang yang sudah berdiri, fasilitas yang tersedia, nama yang dikenal. Mereka mewarisi struktur, tapi bukan pergulatannya.Dan di sinilah rantai kegagalan moral dimulai — bukan karena niat buruk, tetapi karena kehilangan konteks.

1. Psikologi Lintas Generasi

Dalam antropologi sosial, ini dikenal sebagai paradoks generasi penerus. Dalam masyarakat agraris tradisional, anak petani yang lahir dari kerja keras ayahnya sering tak mau lagi ke sawah. Mereka ingin menjadi guru, pegawai, atau pedagang — profesi yang lebih “bersih” karena pengaruh modernisasi.

Di sisi lain, dalam masyarakat industrial, anak buruh pabrik ingin menjadi pekerja kantoran. Dan dalam masyarakat kreatif modern, anak dari idealisme sosial ingin menjadi “pekerja budaya” yang nyaman — hidup dari reputasi gerakan, bukan lagi dari perjuangan.

Fenomena ini berakar pada satu kecenderungan manusia:

Setiap generasi memandang hasil perjuangan pendahulunya sebagai kondisi alamiah, bukan keajaiban sosial.

Ketika sebuah ruang kreatif berhasil menyediakan tempat tinggal, dukungan finansial, atau pengakuan, maka nilai-nilai yang dulu diperjuangkan (etos kerja, kemandirian, tanggung jawab) perlahan kehilangan konteks.

Harari dalam 21 Lessons for the 21st Century menulis bahwa ketika manusia modern kehilangan ancaman eksistensial, ia menciptakan krisis baru: krisis relevansi. Manusia tidak lagi takut mati, tetapi takut menjadi tidak berguna. Dalam komunitas kreatif yang mapan, krisis relevansi ini tampak sebagai keengganan untuk bekerja di luar zona nyaman — bukan karena malas, tapi karena kehilangan narasi yang memberi makna pada kerja.

2. Ketika Makna Hilang, Struktur Membusuk

Sosiolog Max Weber menyebut ini sebagai routinization of charisma — proses di mana kekuatan karismatik pendiri suatu gerakan diubah menjadi sistem administratif yang bisa diwariskan. Namun dalam proses itu, api spiritual memudar. Gerakan yang dulunya digerakkan oleh “panggilan” berubah menjadi “pekerjaan.” Dan pekerjaan yang seharusnya menjadi bentuk kontribusi berubah menjadi formalitas.

Dalam banyak lembaga sosial, fase ini terasa ketika para anggotanya mulai berbicara lebih banyak tentang hak ketimbang tanggung jawab, lebih banyak tentang kenyamanan ketimbang pembaruan. Ketika sebuah lembaga mencapai tahap itu, ia tak lagi berevolusi. Ia hanya bertahan. Dan sesuatu yang hanya bertahan, cepat atau lambat, akan membusuk.

Di sinilah “rantai kegagalan” menemukan bentuk paling stabilnya: kegagalan moral yang tidak terasa sebagai kegagalan. Sistem masih berjalan — rapat masih diadakan, proyek masih diumumkan, laporan masih ditulis — tapi tak ada lagi yang hidup. Seperti tubuh yang masih bergerak setelah mati, organisasi tetap tampak aktif tapi kehilangan vitalitas. Dan karena kematian ini datang perlahan, tak seorang pun merasa bertanggung jawab.

3. Etika Kemandekan

Dalam antropologi moral, kemandekan sosial tidak hanya persoalan ekonomi, tetapi persoalan etika interaksi manusia. Ketika individu tidak lagi merasa tanggung jawab personal terhadap keberlanjutan sistem yang menaunginya, ia akan menggantungkan hidup pada kerja orang lain. Ini menciptakan kultur ketergantungan yang ironis: mereka yang hidup dari ruang idealisme justru menolak prinsip dasar idealisme itu sendiri — kerja sebagai bentuk etika, bukan transaksi.

Kita bisa mengingat kisah klasik Plato dalam Republik, tentang tiga kelas masyarakat: penguasa (filosof), penjaga (militer), dan pekerja (rakyat). Plato memperingatkan bahwa kehancuran negara akan datang ketika tiap kelas lupa perannya: ketika penguasa ingin berkuasa demi kehormatan, penjaga ingin hidup nyaman, dan rakyat ingin menikmati tanpa bekerja. Skala boleh berubah, tapi logikanya tetap sama: sebuah komunitas akan gagal ketika anggotanya berhenti memainkan perannya secara etis.

Dalam konteks komunitas kreatif modern, ini tampak sederhana: sebagian anggota berhenti bekerja dengan semangat pencipta, dan mulai berperilaku seperti penyewa — tinggal di dalam sistem tanpa ikut merawatnya.
Mereka menikmati ruang yang dibangun dengan pengorbanan orang lain, tapi menolak ikut menanggung beban pemeliharaannya. Dan inilah bentuk paling halus dari kegagalan moral: bukan korupsi uang, tapi korupsi tanggung jawab.

4. Keterputusan Rantai Pembelajaran

Dalam masyarakat tradisional, pengetahuan diturunkan melalui apprenticeship — magang dan teladan.
Anak belajar bukan dari instruksi, tapi dari disiplin yang dihayati. Namun dalam banyak ekosistem modern, hubungan ini terputus. Generasi muda tidak lagi meniru cara pendahulunya bekerja, melainkan hanya menikmati hasilnya. Mereka tidak lagi melihat mentor sebagai sumber teladan, tetapi sebagai “penyedia peluang.”

Ini menjelaskan kenapa banyak komunitas kreatif gagal menciptakan generasi baru yang setara atau lebih baik: mereka kehilangan mekanisme transmisi nilai. Ilmu bisa diajarkan, tapi etos harus dicontohkan — dan untuk dicontohkan, harus ada kerendahan hati untuk belajar. Ketika generasi baru merasa bahwa ruang itu “sudah milik mereka,” bukan lagi “tanggung jawab bersama,” maka pembelajaran berhenti di sana.

Bersambung ke bagian IV: Institusi, Iman, dan Ilusi Kemapanan


Terima kasih telah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan, iklannya tak menghasilkan, dengan lisensi Creative Commons, Atribution, Non commercial. Kamu boleh pakai konten ini selama memberikan link sumber dan bukan untuk tujuan komersial. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, silahkan traktir saya kopi murah.

Berlangganan

Masukan email kamu untuk dapatkan update. Gratis.

Politik, Racauan, Workshop

Managemen Konflik part 1: Konflik Hadir dari Cara Orang-orang menghadapi Konflik

Konflik itu tanda kehidupan. Semua orang pasti menghadapi konflik. Tapi justru, karena caranya beda-beda, maka mereka nggak ketemu pemecahanya, komunikasi jadi ancur, hubungan ancur, output… Ya pasti ancur. Jadi ketika terlibat sebuah konflik, kita harus tahu dulu bagaimana cara kita dan orang lain menghadapi konflik, terus kerjasama buat cari cara terbaik untuk mencapai tujuan bersama.

Untuk mengidentifikasi konflik, kita harus paham cara yang sering kita atau orang lain lakukan untuk menghadapi konflik, karena cara-cara inilah yang seringkali justru menghasilkan konflik besar, kalau tidak bisa diatur dengan baik dan tidak dikenali. Ada banyak cara orang menghadapi konflik. Salah duanya adalah kabur, atau mati. Tapi itu ga usah kita itung lah ya. Nggak menyelesaikan masalah. Ini aja, ada 5 cara orang yang cukup berkomitmen untuk tuk menyelesaikan projectnya (bukan masalahnya).

1. Cara kolaborasi

Orang yang menangani konflik dengan cara kolaborasi lebih mementingkan proses daripada hasil, dan cara ini hanya bisa dilakukan kalau prosesnya panjang, intens, dan banyak ngobrol. Tujuannya untuk mencapai hasil terbaik buat semua pihak. Masalah, kalau cara kolaborasi ini dipakai dalam waktu singkat dan terhadap orang-orang yang masih asing. Yang ada bukannya kolaborasi, tapi hasil yang carut marut.

2. Cara Menghindar

Ada orang yang lebih suka menghindari konflik dengan cara mengesampingkannya. Bisa aja ketika dikesampingkan, memang karena ada hal lain yang lebih krusial untuk diurus dulu. Tapi jadi buruk kalau konflik dikesampingkan karena takut untuk dihadapi, atau malas untuk dibahas, terus kamu malah diam aja. Akhirnya akan jadi menumpuk dan sistemnya collapse.

3. Cara Akomodatif

Ada yang ketika mengalami konflik, cenderung lebih mengalah dan memberikan akomodasi terhadap permintaan orang lain. Ini bisa menyelesaikan masalah, tapi bisa membuat masalah lebih besar karena nantinya si orang akomodatif ini bisa tereksploitasi. Cara ini hanya boleh dilakukan  kalau tujuannya bukan hasil, tapi memperkuat hubungan sosial.

4. Cara kompetitif

Ini biasanya dilakukan oleh orang yang berpikir hasil-hasil-hasil. Di sini dia tidak perduli akan orang lain atau grupnya, yang penting hasilnya bagus. Dia bahkan bisa mengerjakan semua sendirian, sangat tidak baik untuk dinamika grup. Konflik tidak diurus, diselesaikan  secara sepihak dengan kekuatannya sendiri. Usahakan jangan pakai cara ini, karena ini merusak hubungan antar personal. Plus, ini bisa bikin gila.

5. Cara Kompromi

Ini biasanya dilakukan oleh people pleaser, untuk memuaskan semua pihak. Biasanya cara ini kita lakukan ketika kita sudah menyerah terhadap hasilnya dan tidak ada waktu lagi. Cara ini efektif untuk bikin konflik dan project kelar. Tapi harus diingat, tidak ada satupun orang akan puas.

Kamu sendiri tipe apa? Jawab dalam hati saja.

**

Nah, kalau kita sudah paham cara-cara orang untuk menghadapi konflik, kita jadi punya mata elang dalam melihat beberapa cara orang-orang dalam menyelesaikan konflik. Sebagai manager/producer/director, kita harus sadar kita cenderung seperti apa, dan bikin jarak: lihat orang-orang di grup kita kayak gimana.

Sekarang mari masuk ke cara mengatur konflik yang mengandung orang dengan cara yang beda-beda dalam menghadapi konflik.

Meta sekali bukan? Konflikception? Hahaha..

1. Peka terhadap konflik

Biasanya kalau saya, selalu mulai dengan apakah ada perubahan-perubahan mood dalam ruang kerja. Itu bisa dilihat dari bagaimana orang-orang ngobrol, gosip-gosip terkini, atau… Bagaimana orang-orang TIDAK NGOBROL. Kalau tidak terbaca, perbanyak komunikasi dengan bertanya soal pendapat mereka soal projectnya. Bisa juga dilakukan dengan japri, biar tahu motivasi tiap orang dan cara-cara orang itu menghadapi konflik.

2. Sans sisbro, ambil jarak
Jangan tegang dulu, ambil jarak dan inget-inget orang kayak apa yang sedang konflik. Kalau kamu yang terlibat dalam konflik itu, minta tolong mediasi aja. Tapi jangan ambil dua pilihan ini: fight or flight. Jangan berantem, dan jangan kabur. Terus gimana? Bikin komunikasi yang dewasa, terstruktur dan berdebat secara bergiliran dengan saling mencatat dan mendengarkan keluhan orang. Jadilah NETRAL dan FOKUS KE FAKTANYA. Dan yang terpenting besarkan hati untuk terima fakta bahwa kamu salah.

3. Selidiki situasinya

Sebelum menghadapi konfliknya, ambil waktu buat menyelidiki dengan bertanya  pada pihak-pihak lain yang terkait. Pastikan tidak ada praduga. Bicara pada orang yang berkonflik secara terpisah dan pastikan kamu paham sudut pandang mereka. Biasanya kalau saya sih, saya tanya balik dengan pernyataan mereka untuk memastikan, “jadi lu ngerasa si anu nggak peduli sama project ini, dan banyakan lu yang kerja?”
Atau “Jadi lu ngerasa si Una susah dihubungin dan ga bilang dia butuhnya apa?”

4. Ambil keputusan cara ngehandlenya.

Coba, setelah masalah teridentifikasi, jawab pertanyaan berikut:

– Ini masalah lebay trivial, atau bisa jadi serius buat keseluruhan project? Lebay trivial tuh kayak, “gue ga suka dia banyak ketombe, geli aja.” Masalah serius kayak, “gue nggak suka dia banyak ketombe, ini kan pabrik coklat dan kerjaan dia ngaduk coklat cair. “

– Harus dibawa ke organisasi atau institusi, apa bisa ditanganin sendiri? Kalo cuma ribut antar orang yang ide kreatifnya clash, mungkin bisa dibicarakan internal. Tapi kalo pelecehan seksual, well hajar bae ke bos-bos.

– Ini masalah di dalam lingkaran kamu sendiri, atau jangan-jangan struktural dan harus dibawa ke atasan? Struktural berarti ada masalah aturan main. Coba dibicarakan apa aturan mainya bisa diubah.

– Ada hubungannya dengan legal nggak? Awas jangan sotoy, hukum harus dibicarakan sama orang hukum.

– Perlu kah diwakili oleh organisasi/serikatmu?

– Apakah kamu harus ambil keputusan prerogatif sendiri, atau harus ngumpulin orang untuk musyawarah mufakat atau voting? Semua kembali ke masalah waktu dan output projectnya.

– Apakah butuh waktu untuk emosi mereda sebelum melanjutkan project?

Jawab semua ini, lalu mulai “kerjakan” Solusi masalahnya. Ya, solusi bukan dicari, dia dikerjain satu-satu sampe beres.

5. Kasih semua orang ngomong tanpa interupsi

Kalo ada waktunya, kasih semua orang waktu buat bicara tanpa ada interupsi. Kalo bisa, ngobrol satu-satu sama semua orang yang terlibat secara privat. Pastikan data yang kamu dapat tidak tersebar atau kamu kasih tahu orang lain.

6. Setelah masalah per individual terkumpul, pertemukan semua orang.

Lihat mana yang mereka bisa katakan secara publik dan mana yang nggak. Emosi boleh ada tapi harus dikontrol. Diskusi harus kamu jalankan, tapi juga harus siap intervensi ketika diskusinya terlalu panas. Selain itu, ekplore alasan-alasan kenapa orang tidak setuju. Minta solusi dari semua orang. Ambil waktu istirahat, lalu berefleksi. Setelah itu ambil keputusan dan minta komitmen tiap orang untuk keputusan itu.

7. Pastikan konsisten dan Evaluasi

Jangan pikir masalah sudah kelar. Terus evaluasi dan peka terhadap konflik baru atau lanjutan. Konsisten pada keputusan yang sudah diambil.

8. Evaluasi diri sendiri untuk mencegah konflik mendatang

Jangan lupa buat evaluasi cara kamu dalam menangani konflik. Apa yang bisa bikin kamu lebih efektif salam menangani konflik itu? Apa saja yang harus kamu pelajari? Mungkin kamu juga perlua training dalam komunikasi, atau ethnografi untuk mengumpulkan data. Perbanyak bergaul, dan selalu belajar dari konflik.

***

Seperti biasa, Terima kasih sudah membaca sampai habis. Blog ini jalan dengan sumbangan, dan saya ingin bisa berusaha konsisten menulis. Kalau tulisan ini membantu kamu, jadilah patron saya dengan mentraktir saya kopi dengan klik di tombol di bawah ini. Thanks for reading.

Adapted from peoplehum.

Buku, Kurasi/Kritik, Racauan, Workshop

5 Produser Yang Bikin Nggak Produktif di Filmmaking

Setelah aktor dan sutradara, kini saatnya bahas soal produser. Produser adalah motornya sebuah film. Film sebagai sebuah barang adalah milik produser–ide nya milik sutradara. Tanpa produser, film hanya akan jadi angan-angan sutradaranya. Semua orang bisa jadi sutradara, tapi jarang yang benar-benar bisa jadi produser, karena dia butuh skill untuk membuat film “terjadi”. Karena kalo produsernya bagus, seringkali tanpa sutradara pun filmnya juga bisa jadi. Tapi tanpa produser, sutradara harus jadi produser biar filmnya jadi.

Tapi kasihan banget kalau sebuah film produsernya nggak produktif. Semua orang jadi susah, komunikasi jadi sulit, dan kalau sampai filmnya jadi, produsernya kemungkinan adalah orang lain atau tenaga gaib di film itu. Berikut adalah 5 produser gak produktif yang sebaiknta kamu hindari kalau diajakin proyekan.

1. Produser Tapi PA

Produser kayak gini sukanya melayani sutradara dan yes-yes aja tanpa bisa jadi sparing partner dalam argumen dan pengembangan ide. Dia nggak punya leadership dan seringkali cuma jadi bonekanya sutradara aja. Dia ga bisa bikin jembatan komunikasi antara sutradara dan kru lain, sehingga kalau dia dapat sutradara yang komunikasinya jelek, atau yang kurang dewasa, produksi filmnya bisa berantakan.

Namanya produser tapi kelakuan kayak PA (production assistant). Padahal tugas dia yang utama adalah mencari jalan supaya dia bisa gabut di set pas syuting karena semua berjalan baik. Perilaku PA-nya ini membuat ketika syuting, bisa jadi dia malah kalang kabut ngurusin semua yang ga keurus karena skala produksi salah perhitungan, atau komitmen kru nggak bisa dijaga.

Etos kerja produser tipe ini dihargai, tapi salah konteks. Mungkin harus belajar lagi ngikut produser lain, atau nyobain jadi sutradara, biar sekali-sekali punya visi.

2. Produser Bossy

Bossy itu berlagak boss tapi ga ada kharismanya. Nggak ngerti konsep, nggak ngerti hierarki, nggak ngerti teknis, terus petantang-petenteng nyuruh orang ini itu. Atau ambil kebijakan yang bakal punya konsekuensi produksi yang bikin rugi banget secara waktu dan uang dan hasil footage.

Hubungan dengan kru nggak terjaga karena komunikasi jelek, dan dia nggak sadar kalau komunikasi jelek karena merasa, well, dia boss. Dia rasa semua baik-baik saja karena dia boss yang maunya tahu beres. Nggak, boy. Produser nggak tahu beres, sebaliknya harus selalu curiga kalau sesuatu beres-beres aja. Minimal jadi punya plan B and plan C sampe Z.

Seringkali ini terjadi karena kurang pengalaman: produser dikerjai oleh sutradara atau kru yang lebih jago jualan daripada dia, sehingga dia terbawa suasana aman dan nyaman, dan nggak bikin planning yang rapih, nggak kritis dalam sebuah produksi. Mungkin cocoknya produser macam ini jadi executive produser saja.

3. Produser nggak gaul

Modal utama produser itu bukan duit tapi pergaulan dan managemen konflik. Dia harus kenal orang banyak yang cukup dekat hingga bisa dia pitch ide-idenya, atau ide sutradaranya. Dia pun harus jago milih teman mana yang mau diajak produksi.

Karena bukan cuma komitmen yang dibutuhkan tapi juga skill, dan skill nggak ada gunanya kalau ga ada komitmen. Produser yang gak gaul biasanya bukan orang yang berkomitmen, karena kalau dia penuh komitmen, maka dia akan punya banyak temen yang ngutang sama dia dan rela bantuin filmnya setengah mati.

Ketidakmampuan managemen konflik dan pergaulan sosial ini jadi masalah sangat besar, karena produksi adalah soal mengatur dan mendesain flow kerja. Produser yang cenderung menghindari konflik, tidak bisa mendamaikan pihak-pihak yang berfriksi, dan tidak bisa menjadi mediator, sebaiknya jangan jadi produser.

Karena kenikmatan produksi film adalah hasil kerja keras pra produksi, ketika semua konflik sudah teratasi, semua orang tersedia, semua fasilitas mencukupi, hingga ketika syuting, semua orang bisa menanggung penderitaan bersama dengan rela dan bahagia.

Syuting yang baik seperti seks yang enak: sakit-sakit-nikmat. Produser keren bisa bikin semua orang orgasme, dan orgasme butuh hubungan dan komunikasi yang enak.

4. Produser sotoy

Sotoy di industri film Indonesia ada di mana-mana. Bayangkan film sebagai media termutakhir saat ini: dia mengandung sastra, teater, seni rupa, seni lukis, seni musik, dan seni-seni lain. Produser yang mau jualan ide dan filmnya harus ngerti luar dalam apa yang dia jual. Tapi kalau dia kalah intelek sama sutradara, production designer, scriptwriter, dll, dia bisa salah jual barang dan ujung-ujungnua dianggap penipu.

Sotoy buat sutradara bisa berujung gak dipake orang lagi, ga ada yang mau kerja sama dia lagi. Tapi sotoy buat produser lebih parah: dia bahkan bisa masuk penjara! Sotoy soal budget, bisa jadi overbudget, sotoy soal konsep bisa dituntut sama eksekutif produser dan investor, sotoy soal seni yang dipakai di filmnya, bisa kena pasal Hak Cipta.

Produser kerjaan yang berat dan kudu teliti dan hati-hati. Orang sotoy di Indonesia punya kesempatan dan tempat buat dipercaya orang lain, tapi hasilnya bisa jadi buruk banget. Jadi produser adalah soal trust dan tanggung jawab. Nama dia akan jelek selama-lamanya kalau filmnya keluar dengan banyak masalah yang membuntutinya.

5. Produser power player

Dia humoris, jago bergaul, jago ngatur budget, jago jualan, tapi dia sering menggunakan posisinya untuk bermain kuasa dengan memeras orang lain baik dengan cara halus, atau dengan modal sosialnya. Dia bisa memeras orang dengan rayuan dan ancaman, dari deal soal harga sampai deal soal seks.

Produser kayak gini baiknya dipenjara saja selama-lamanya. Perilaku patron yang pervert, sudah saatnya hengkang dari muka bumi. Jadi sebelum kerja dengan produser manapun, sejago-jagonya dia, pastikan kalian minta kontrak yang jelas, atau referensi terpercaya sebelum kerja dari kawan-kawan lain kalau memang callingannya harian.

Kalau ketemu produset macam ini, jangan takut untuk cerita dan melawan balik. Cari temen-temen deket dulu, bikin asosiasi, atau masuk asosiasi. Produser kuat dan serem kayak gini harus dihajar dengan persatuan dan kesatuan!

***

Terima kasih sudah baca sampai habis. Blog ini dibiayai oleh sumbangan kalian, lumayan mahal biaya tahunannya. Kuy! Klik tombol di bawah ini: