Filsafat, Politik, Racauan

Anak Sastra Harusnya Jadi Apa?

Di Fakultas Sastra/ilmu Budaya kita diajarkan prosa, puisi, drama, film, kritik, dan linguistik. Tapi kita gak diajarin hal terpenting: bahwa cerita adalah syarat untuk jadi manusia. Bahwasannya binatang yang punya akal bukan cuma manusia, tapi cuma manusia yang punya cerita dan tugas anak Sastra adalah mengerti cerita-cerita yang dibangun manusia.

FIB terjemahannya adalah Faculty of Humanity, ini aja udah ngaco, karena masa padanan kata budaya adalah humanity? Culture kemana culture? Culture adalah satu cerita saja. Gimana dengan cerita-cerita yang lain? Cerita ekonomi, bisnis, politik, kimia, biologi. Tidakkah sastrawan tugasnya menulis cerita-cerita asing untuk bisa menghubungkan manusia-manusia.

Dalam buku Sapiens, Harari bilang bahwa manusia bisa kerjasama karena cerita-cerita besar: agama, kapitalisme, ideologi, negara, perusahaan, itu semua naratif dan cerita, bentuknya abstrak.

Dan cuma manusia spesies yang bisa percaya pada cerita, kerjasama atau perang karena cerita, dan mati karena cerita. Spesies lain gak ada yang bisa gitu.

Pertanyaan gue jadinya, kenapa di FIB, ini gak diajarin sebagai dasar keilmuan gue dalam membuat peradaban? Padahal kerjaan gue sehari-hari, ya, bikin cerita. FIB ga ngajarin grand naratif kayak kritik kapitalisme. Definisi sastra jadi sempit banget. Gue dapet itu di FISIP & FISIP ga bilang itu cerita. Yang harusnya dipelajari FIB dari FISIP adalah: anak Sastra harus dapet penelitian lapangan! Kembalikan minimal matkul metodologi etnografi ke FIB.

FIB kayaknya takut ngomong kayak Rocky Gerung kalo agama, seperti semua institusi lain ya cuma cerita. Sapiens udah sangat bebal dengan itu semua, bahwa literally, kita hidup dalam sebuah cerita. Hell, gojek aja sekarang fiksi dalam surat legal dan kertas saham. Akhirnya anak Sastra banyak yang jadi pramugari, orang bank, apapun itu tanpa sadar kalo kantor mereka yang hidupi adalah fiksi yang dipercaya bareng-bareng, ampe pada depresi gara-gara kantor. Semua terlalu serius hidup dalam cerita.

Well, sekarang karena udah tahu, harusnya jadi punya pegangan kenyataan: kesehatan itu kenyatan, kematian itu kenyataan, makan, minum, berak, prokreasi itu kenyataan. Sisanya… Cuma cerita. Sans bae.

Dan anak Sastra/FIB harus bilang ini kalo ditanya kenapa kuliah di sastra: karena ilmu ini potensi kerjaannya adalah membuat peradaban, kehidupan. Dan cara lulusnya nggak cuma abstraksi doang, tapi juga melihat dengan jelas, cerita-cerita itu dipake buat apa di dunia nyata. Sastra adalah ilmu menciptakan… Termasuk menciptakan Tuhan, setan, atau ketiadaan. Serem kan.


Terima kasih sudah membaca sampe habis. Kalau kamu suka apa yang kamu baca, jangan lupa traktir saya kopi biar semangat menulis terus, dan saya jadi tahu bahwa ada yang membaca dan menghargai tulisan saya.

Filsafat, Politik, Racauan

PENTINGNYA MENANGGAPI GAJ AHMADA SECARA AKADEMIS

#notetoself

Apa yang dilakukan Tirto ID, UGM, Museum Nasional dan kaum akademis menanggapi wacana Kesultanan Majapahit, sangatlah penting, jauh lebih penting daripada menertawakannya.

Begitupun usaha-usaha yang dengan sabar dan rendah hati dilakukan oleh Thomas Djamaludin, Kepala LAPAN, dan Neil deGrass Tyson, Juru Bicara NASA, menanggapi wacana populer soal bumi datar, alien, dan UFO. Kesabaran dan kejernihan pikiran harus dikedepankan hari ini, khususnya untuk membuka komunikasi pada kaum awam yang bingung (The Perplexed).

Sebenarnya usaha-usaha menjelaskan kepada kaum awam ini, terhitung terlambat dan selama ini dihambat oleh banyak hal: media yang bias, birokrasi dan aturan politik yang berpihak pada kuasa bukan ilmu pengetahuan, dan pembatasan akses terhadap teks pengetahuan demi kapitalisme akibat ketidakkreatifan dunia akademis dalam mengolah modal.

Belum lagi kesombongan kelas kaum intelektual menara gading, yang jarang turun lapangan dan merasa pandai di kandang akademiknya sendiri. Kerendahatian diperlukan sekali hari-hari ini untuk membangun hubungan antara akademik dan praktis, intelektual kampus dan akar rumput.

Hinaan-hinaan terhadap kepolosan dan kebodohan orang lain, sudah semestinya dihilangkan, digantikan dengan konsistensi dalam mengajarkan budaya argumen dan pola pikir kritis. Harus lebih banyak buku-buku serta hoax-hoax populer yang dibahas, diklarifikasi, dan didialogkan dalam kerangka yang egaliter. Buktikan kalau Anda ahli bukan karena titel akademik Anda, dengan bicara yang santun dan pantas mengenai hal yang Anda geluti setengah mati dengan keringat, darah, dan uang yang banyak.

Populisme harus diameliorasikan, dibuat positif. Doktrin bahwa mayoritas selalu salah, atau prinsip moral dari Musuh Masyarakat buatan Ibsen, harus dibuang jauh-jauh. Populisme bisa benar dan berakal sehat, kalau institusi-institusi pendidikan dan politiknya berjalan baik. Jangan bangga menjadi kaum intelektual yang minoritas: sedihlah! Jangan bangga bahwa kau sarjana, khawatirlah karena jumlahmu yang berkualitas sangat sedikit di negeri ini.

Bagaimana ketika populasinya bebal? Kebebalan populasi seperti tubuh yang jarang olah raga, harus dilatih. Dan tidak ada yang bilang ini tugas gampang. Hari ini sudah banyak alat bantu pendidikan: internet, video, smartphone. Nikmat apalagi yang mau kau dustakan, duhai intelektual? Kau sudah tidak perlu lagi fotokopi pamflet, cukup imitasi populisme dengan membuat broadcast whatsapp, atau cara-cara hoax menyebar. SEO dimaksimalkan.

Dan jangan lupa, generasi bebal ini akan berganti–konon mereka hobi beranak banyak, tanpa berpikir tanggung jawab. Itu murid-murid potensial, itu masa depan. Jangan dibuang-buang.

Maka mari berterima kasih pada Habib Riziq, Ahok, MUI, Herman Sinung, dan orang-orang yang menantang akal kita dan menunjukkan masalah-masalah sosial di sekitar kita dengan gamblang. Sesungguhnya mereka lebh berarti dari beberapa profesor yang mengejar karir Jenjang Jabatan Akademik semata dengan membuat buku dan paper-paper hanya untuk poin saja–dan tidak bisa dibaca luas karena hukum properti intelektual.

Buni Yani mungkin berkontribusi lebih banyak untuk menunjukkan masalah dalam Islam Indonesia, daripada banyak akademisi yang membuat Ben Anderson bertanya-tanya beberapa hari sebelum kematiannya, “kenapa kajian soal Islam sangat kurang di Indonesia, padahal negeri ini sangat membutuhkannya?”

Kerjaan masih banyak. Tidak usah banyak kaget, atau terlalu serius, Fokus saja.

Tabik!

Anthropology, Filsafat, Kurasi/Kritik, Politik, Racauan, terjemahan

Peradaban Sains Islam, Bagian I: Kontribusi Ilmuan Arab

Diterjemahkan tanpa izin dari tulisan Hilel Ofek, di jurnal The New Atlantic, no. 30 tahun 2011, halaman 3-23, Why The Arabic World Turned Away From Science. 

 

Islam kontemporer tidak dikenal karena keterlibatannya dalam proyek sains modern. Tapi Islam adalah pewaris “Masa Keemasan” yang legendaris dari sains Arab yang sering dielu-elukan oleh para komentator, supaya Muslim dan Barat bisa saling menghormati dan mengerti satu sama lain. Presiden Obama, contohnya, di pidatonya tanggal 4 Juni 2009 di Kairo, memuji Muslim untuk kontribusi intelektual dan keilmuannya pada peradaban.

Islamlah yang membawa cahaya belajar selama berabad-abad, membuat jalan untuk Reinassance di Eropa dan masa Pencerahan. Inovasi di komunitas Muslim berkembang menjadi aljabar; kompas magnet dan alat navigasi; kemampuan kita menggunakan tinta dan mencetak; dan pengertian kita tentang bagaimana penyakit bisa menular dan bagaimana menyembuhkannya.

Puja-puji untuk era sains Dunia Arab biasanya dibuat untuk melayani titik politik yang lebih luas, karena biasanya ia jadi pendahuluan sebelum membicarakan masalah terkini wilayah tersebut. Puja-puji itu menjadi nasihat yang tersembunyi: Masa kehebatan sains dunia Arab memperlihatkan saat itu tidak ada halangan kategori atau asali untuk menjadi toleran, kosmopilitan, dan untuk maju dalam Islam Timur Tengah.

Siapapun yang sudah tahu soal Zaman Keemasan ini, yang secara kasar terbentang dari abad delapan sampai abad tiga belas masehi, pasti tercengang ketika membandingkannya dengan keadaan Timur Tengah hari ini–apalagi ketika membandingkan Timur Tengah dengan bagian dunia yang lain. Dalam bukunya yang terbit tahun 2002, What Went Wrong? (Apa Yang Salah?), sejarawan Bernard Lewis mencatat bahwa “selama berabad-abad, dunia Islam adalah yang terdepan dalam peradaban dan pencapaian manusia.” “Tidak ada seorangpun di Eropa,” tulis Jamil Ragep, seorang profesor Ilmu Sejarah di Universitas Oklahoma, “yang dapat memberikan titik terang tentang apa yang terjadi di dunia Islam sampai sekitar tahun 1600.” Aljabar, algoritma, alkimia, alkohol, alkali, nadir, zenith, kopi, dan lemon: ini adalah kata-kata turunan bahasa Arab, menunjukan kontribusi Islam kepada dunia Barat.

Namun hari ini, semangat keilmuan di dunia Muslim sekering gurun pasir. Fisikawan Pakistan, Pervez Amirali Hoodbhoy meletakannya dalam statistik menyedihkan di artikel tahun 2007 jurnal Physics Today: Negara-negara Muslim punya sembilan ilmuan, insinyur, dan teknisi per seribu orang, dibanding dengan negara-negara berkembang lain di dunia yang perbandingannya 40:1. Di negara-negara muslim terdapat 1800 universitas, tapi hanya sekitar 312 dari sarjana di sana yang telah menerbitkan artikel jurnal. Dari lima puluh universitas yang paling sering menerbitkan jurnal, dua puluh enam ada di Turki, sembilan ada di Iran, Malaysia dan Pakistan masing-masing punya tiga, Uganda, U.A.E, Saudi Arabia, Lebanon, Kuwait, Yordania, dan Azerbaijan masing-masing punya satu.

Kurang lebih ada 1,6 milyar Muslim di dunia, tapi hanya ada dua ilmuan dari negara Muslim yang memenangkan Hadiah Nobel di Sains (satu untuk fisika tahun 1979, yang lain untuk kimia di 1999). Empat puluh enam negara-negara Muslim jika digabungkan semua hanya berkontribusi 1 persen di literatur keilmuan dunia; Spanyol dan India, masing-masing berkontribusi lebih pada Literatur Sains Dunia dibanding semua negara Islam digabungkan. Malahan, walaupun Spanyol bukan superpower intelektual, Spanyol telah menerjemahkan lebih banyak buku dalam setahun daripada seluruh dunia Arab selama seribu tahun belakangan ini. “Walaupun banyak ilmuan berbakat dari dunia Muslim yang bekerja secara produktif di Barat,” kata peraih Nobel fisika, Steven Weinberg, “selama empat puluh tahun terakhir, saya belum melihat satupun paper oleh fisikawan atau astronomer dari negara Muslim yang pantas dibaca.”

Metriks perbandingan di dunia Arab juga mengatakan hal yang sama. Arab terdiri dari 5 persen dari populasi dunia, tapi hanya menerbitkan 1,1 persen dari buku di dunia, menurut laporan PBB, Arab Human Development Report tahun 2003. Antara tahun 1980-2000, Korea telah menghasilkan 16.328 hak paten, sementara sembilan negara Arab, termasuk Mesir, Saudi Arabia, dan UAE, dalam jangka tahun yang sama hanya menghasilkan 370, itupun kebanyakan didaftarkan oleh orang asing non-Arab. Sebuah studi tahun 1989 menemukan bahwa dalam satu tahun, Amerika Serikat menerbitkan 10.482 paper ilmiah yang banyak dikutip, sementara seluruh dunia Arab hanya menerbitkan empat. Ini mungkin terdengar seperti lelucon yang buruk, tapi majalah Nature menerbitkan sebuah sketsa tentang sains di dunia Arab tahun 2002, wartawannya hanya mengenali tiga area sains yang dikuasai negara-negara Islam: desalinasi (ilmu pemisahan garam), falconry (olah raga berburu dengan elang), dan reproduksi unta. Dorongan untuk membuat riset dan institusi keilmuan baru di dunia Arab jelas masih jauh– digambarkan di artikel in oleh Waleed Al Shobakky (lihat “Petrodollar Science,” (“Sains Dollar-Minyak”) edisi musim gugur 2008).

8cce9f0cc74fd58c3fb422a687df3d55

Melihat bahwa sains Arab adalah yang paling maju di dunia sampai abad ke tiga belas, maka sangatlah menggoda untuk mencari tahu, apa yang salah —  kenapa sains modern tidak muncul dari Baghdad atau Kairo atau Kordoba. Kita akan kembali ke pertanyaan ini belakangan, tapi sangatlah penting untuk ingat bahwa kejatuhan aktivitas sains adalah aturan, bukan pengecualian, dari peradaban-peradaban. Walau sudah umum untuk berasumsi bahwa revolusi keilmuan dan perkembangan teknologi tak terbendung, sebenarnya dunia Barat adalah satu-satunya kisah sukses peradaban yang periode mekarnya cukup lama. Seperti Muslim, Cina Kuno dan Peradaban India, semua pernah lebih maju dari Barat, tapi tidak membuat revolusi keilmuan.

Terlebih lagi, walau kejatuhan peradaban Arab tidak terlalu istimewa, alasan-alasan kejatuhannya menawarkan petunjuk kepada sejarah dan sifat Islam serta hubungannya dengan modernitas. Kejatuhan Islam sebagai kekuatan intelektual dan politik terjadi secara perlahan tapi jelas: sementara Masa Keemasan luar biasa produktifnya, dengan kontribusi yang dibuat pemikir Arab seringkali orisinil dan inovatif, tujuh ratus tahun terakhir telah memberikan cerita yang lain.

Kontribusi Orisinil Sains Arab

Saya harus memperingatkan tentang dua bagian dari istilah “sains Arab.” Ini adalah, pertama, karena ilmuan yang kita diskusikan di sini tidak semuanya Muslim (atau) Arab asli. Bahkan, kebanyakan pemikir terbesar dari era ini tidak berasal dari etnis Arab. Ini tidaklah mengejutkan ketika kita melihat bahwa selama beberapa abad di sepanjang Timur Tengah, Muslim adalah minoritas (sebuah trend yang baru berubah di akhir abad sepuluh). Peringatan kedua tentang “sains Arab,” adalah sains saat itu berbeda dengan sains saat ini. Sains pre-modern, walau tidak buta akan fungsi-guna suatu ilmu, mencari pengetahuan utamanya dalam rangka mengerti pertanyaan-pertanyaan filosofi mengenai makna, keberadaan, kebaikan, dan lain sebagainya. Sains modern, kebalikannya, tumbuh dari revolusi pemikiran yang mengorientasi ulang politik untuk kenyamanan individual, melalui penguasaan terhadap alam. Sains modern menyingkirkan pertanyaan metafisika kuno dan menggantinya jadi (meminjam kata-kata Francis Bacon) usaha untuk mendapatkan kenikmatan dan kesombongan diri. Apapun yang diambil oleh sains modern dari sains Arab, aktivitas intelektual pada abad pertengahan Islam tidak sama dengan revolusi sains Eropa, yang datang dari perpecahan radikal dengan filsafat  kuno. Karena itulah ketika kita menggunakan isitlah “sains” untuk kemudahan membaca, penting sekali untuk ingat bahwa kata ini tidak ditemukan sampai abad ke sembilan belas; kata terdekat dalam bahasa Arab adalah ilm (ilmu), yang artinya “pengetahuan,” dan ilmu belum tentu tentang alam.

Walau begitu, masih ada dua alasan kenapa masuk akal untuk merujuk aktivitas sains di Masa Keemasan sebagai Sains Arab. Pertama, kebanyakan karya filosofis dan keilmuan saat itu diterjemahkan ke bahasa Arab, yang menjadi bahasa kebanyakan sarjana di daerah itu, apapun etnis atau agamanya. Dan kedua, nama alternatif seperti “sains Timur Tengah,” atau “sains Islam,” lebih tidak akurat lagi. Hal ini sebagian disebabkan karena kita tak tahu banyak tentang latar belakang pribadi para pemikir ini. Ini juga disebabkan karena hal lain yang tidak kalah penting untuk diperhatikan soal Zaman Keemasan: ternyata hanya sedikit yang kita tahu pasti tentang konteks historis dan sosial dari zaman ini. Abdehamid I. Sabra, sekarang seorang pensiunan profesor sejarah Sains Arab yang mengajar di Harvard, menggambarkan lapangan penelitiannya di the New York Times tahun 2001, sebagai lahan penelitian yang “bahkan belum dimulai.”

Dengan pengakuan itu, bidang ini telah maju cukup jauh untuk dengan meyakinkan dan mendemonstrasikan bahwa peradaban Arab berkontribusi cukup banyak kepada sains daripada transmisi keilmuan ke Barat yang lain (seperti penomoran dari India dan pembuatan kertas dari Cina). Satu hal yang pasti, bangkitnya akademik di masa dinasti Abbasid Baghdad (751-1258) yang menghasilkan penerjemahan semua karya saintifik klasik Yunani ke dalam bahasa Arab, tidaklah main-main. Tapi di luar penerjemahan (dan komentar tentang) peradaban kuno, pemikir Arab juga membuat kontribusi orisinil, baik melalui tulisan ataupun moteode eksperimentasi, di bidang-bidang seperti filsafat, astronomi, kedokteran, kimia, geografi, fisika, optik, dan matematika.

Mungkin klaim yang paling sering diulang-ulang tentang Masa Keemasan adalah bahwa umat Muslim menciptakan aljabar. Klaim ini benar adanya: pada awalnya ilmu ini diinspirasi dari karya-karya Yunani dan India, lalu ilmuan Persia al-Khwarizmi (meninggal tahun 850), menulis buku yang dari judulnya kita mendapat istilah “aljabar.” Buku tersebut dimulai dengan perkenalan terhadap matematika, dan dilanjutkan untuk menjelaskan bagaimana untuk memecahkan masalah-masalah umum waktu itu mengenai perdagangan, warisan, pernikahan, dan emansipasi budak. (Metodenya tidak melibatkan persamaan atau simbol aljabar, tetapi menggunakan figur-figur geometri untuk memecahkan masalah yang hari ini bisa dipecahkan aljabar.) Walaupun berdasarkan urusan praktis, buku ini ada sumber utama yang berkontribusi pada perkembangan sistem aljabar yang kita tahu hari ini.

Masa Keemasan juga melihat kemajuan dalam ilmu kedokteran. Salah satu pemikir paling terkenal dalam sains Arab, dan dianggap salah satu dokter terbaik abad pertengan adalah Rhazes (juga dikenal sebagai al-Razi). Dilahirkan di daerah yang sekarang disebut Teheran, Rhazes (meninggal tahun 925) dilatih di Baghdad dan menjadi direktur dua rumah sakit. Ia mengidentifkasi penyakit cacar dan campak, menulis sebuah risalah tentang dua penyakit itu, yang menjadi buku berpengaruh sampai ke luar Timur Tengah, termasuk ke Eropa di abad ke 19. Rhazes adalah dokter pertama yang menemukan bahwa demam sesungguhnya adalah mekanisme pertahanan. Ia juga penulis sebuah ensiklopedia kedokteran sepanjang dua puluh tiga volume. Apa yang paling mengesankan dari karirnya, seperti yang dikatakan Ehsan Masood dalam Science and Islam, adalah Rhazes adalah orang pertama yang secara serius menantang kekokohan dokter Yunani klasik, Galen. Sebagai contoh, ia menantang teori Galen soal keseimbangan cairan tubuh (Humors). Ia membuat sebuah eksperimen untuk melihat apakah mengambil darah, yang sampai abad ke sembilan belas menjadi prosedur yang biasa dilakukan, ada gunanya sebagai prosedur medis. (Ia menemukan, bahwa memang ada gunanya). Rhazes adalah contoh jelas seorang pemikir yang secara eksplisit bertanya, dan secara empiris menguji, teori yang sudah diterima secara luas dan ditulis oleh seorang dokter terkenal, sambil memberikan kontribusi orisinil terhadap sebuah profesi.

4da2ea8dc39ec39a6a0a134328d099c3
Sejarah dunia keilmuan di sebuah madrasah di Reqistan Square, Samarkand, Turkii (Uzbek): Avicenna, Ali Kuschu, Khwarezmi, Muhammad al-Bukhari, Fergane, Farabi, Abdul Hamid el-Turk dll. Photo Credit Alptekin Cevherli (Turki)

Pencapaian besar di dunia medis berlanjut dengan dokter serta filsuf Avicenna (juga dikenal sebagai Ibnu Sina; meninggal tahun 1037), yang dinilai sebagai dokter terpenting semenjak Hippocrates. Ia menulis Canon of Medicine (Kanon Kedokteran), sebuah survey medis multi-volume yang menjadi rujukan penting untuk dokter di wilayah tersebut, dan — pernah diterjemahkan ke dalam bahasa latin — menjadi buku wajib di Barat selama enam abad. Kanon ini adalah kompilasi dari pengetahuan medis dan sebuah manual untuk mengetes obat. Di dalamnya juga ada penemuan-penemuan Ibnu Sina, termasuk tentang bagaimana tuberculosis (TBC) menular.

Seperti Renaissance Eropa setelahnya, Zaman Keemasan juga punya banyak ilmuan multidisiplin (polymath) yang unggul dan maju dalam banyak bidang. Salah satu polymath itu adalah al-Farabi (juga dikenal sebagai Alpharabius, meninggal sekitar tahun 950), seorang pemikir Baghdad yang, selain tulisannya mencakup filsafat Platonik dan Aristotelian, juga menulis fisika, psikologi, alkemi, kosmologi, musik, dan banyak lainnya. Ia begitu cerdasnya, hingga dikenal sebagai “Guru Kedua”–kedua terbaik setelah Aristoteles. Polymath lain adalah al-Biruni (meninggal 1048), yang menulis 146 risalah berjumlah 13,000 halaman tentang semua bidang keilmuan. Buku terkenalnya, Deskripsi India, adalah sebuah karya antropologi tentang Hindu. Salah satu pencapaian terbesarnya adalah pengukuran hampir akurat tentang lingkar bumi menggunakan metode trigonometrinya sendiri; ia hanya kurang 321,89 KM dari lingkar bumi yang benar hari ini, 40072,666 KM. (Namun, tidak seperti Rhazes, Ibnu Sina, dan al-Farabi, karya al-Biruni tidak pernah diterjemakan ke dalam bahasa Latin, karenanya tidak punya pengaruh besar di luar dunia Arab.) Pemikir brilian lain di Zaman Keemasan adalah ahli geometri Ahazen (Juga dikenal sebagai Ibnu al-Haytham; meninggal 1040). Walau warisan terbesarnya tentang ilmu optik — ia menunjukkan kesalahan di teori extramission, yang mengatakan bahwa mata kita mengeluarkan energi yang membuat kita bisa melihat —  ia juga mengerjakan astronomi, matematika, dan teknik. Dan mungkin, ilmuan paling terkenal dari Zaman Keemasan adalah Averroës (juga dikneal sebagai Ibnu Rushid; meninggal 1198), seorang filsuf, ahli agama, dokter, dan ahli hukum yang dikenal karena kritiknya terhadap Aristotles. Dalam 20.000 lembar yang ia tulis selama hidupnya, adalah karya tentang filsafat, kedokteran, biologi, fisika, dan astronomi.

Bersambung ke bagian II