Filsafat, jurnalistik, Kurasi/Kritik, Memoir, Politik, Racauan

Gerakan Sosial Indonesia: Dari Tritura ke Era Algoritma

Sejarah Indonesia setelah 1945 bisa dibaca bukan hanya sebagai sejarah negara, tetapi sebagai sejarah rakyat yang berulang kali mengguncang fondasi kekuasaan. Gerakan sosial besar pasca-kemerdekaan selalu lahir dari pertemuan antara aktor, ideologi, medium, dan kebudayaan. Dari pamflet dan spanduk hingga hashtag dan AI generatif, cara rakyat berorganisasi terus berevolusi.

Yang berubah adalah bahasa zamannya. Yang tetap sama adalah kerentanan negara menghadapi energi sosial yang tak bisa dipetakan.


1950–1965: Era Kaum Ideologi

Indonesia muda diisi oleh partai-partai besar yang menguasai ruang publik: PKI dengan Lekra-nya, PNI dengan nasionalisme Sukarnois, serta HMI dan NU dengan Islam politik. Mahasiswa adalah aktor penting, menjadi perantara antara elite partai dan masyarakat kota.

Medium utama gerakan adalah pamflet, koran partai, dan radio. Imajinasi kolektif dibentuk lewat sastra realisme sosialis, lagu rakyat, dan retorika revolusi. Pada masa ini, ideologi diperlakukan seperti algoritma manual: diyakini bisa memetakan jalan revolusi dengan pasti.


1966: Tritura dan Gerakan Moral Mahasiswa

Ketika inflasi melambung dan kepercayaan publik pada Sukarno runtuh, mahasiswa kota tampil dengan Tri Tuntutan Rakyat: bubarkan PKI, rombak kabinet Dwikora, turunkan harga.

Gerakan ini sederhana, moralistik, dan mudah ditangkap. Tiga tuntutan yang mereduksi kompleksitas bangsa menjadi format yang ringkas—sebuah bentuk awal “datafikasi politik.” Mahasiswa menjadi wajah moral bangsa, meskipun hasil akhirnya adalah naiknya Orde Baru yang kemudian membungkam mereka sendiri.


1998: Reformasi

Tiga dekade kemudian, krisis moneter menghancurkan legitimasi Orde Baru. Mahasiswa kembali jadi aktor utama, tetapi kali ini mereka tak sendirian. Buruh, LSM, jurnalis, dan jaringan internasional ikut menopang.

Mediumnya berubah: bulletin fotokopian, radio kampus, telepon rumah, hingga televisi swasta yang menyiarkan mahasiswa menduduki gedung DPR. Budayanya pun bergeser: jeans belel, musik indie, forum kos-kosan. Ideologi tak lagi dominan; tuntutan lebih pragmatis: demokratisasi, anti-KKN, dan mundurnya Soeharto.

Hasilnya jelas: rezim jatuh. Namun oligarki lama tetap berakar, hanya berganti wajah dalam demokrasi liberal.


2019–2020: Reformasi Dikorupsi & Omnibus Law

Dua dekade setelah Reformasi, generasi baru turun ke jalan. Isunya: RUU bermasalah, pelemahan KPK, dan Omnibus Law.

Aktor kali ini adalah mahasiswa, aktivis digital, dan influencer. Mediumnya: Twitter, Instagram, meme, livestream. Budayanya: kopi susu literan, totebag, sneakers, ilustrasi digital. Gerakan ini bersifat interseksional—menggabungkan feminisme, lingkungan, anti-oligarki, dan hak minoritas.

Namun, fragmentasi isu membuat tuntutan sulit dipadukan. Negara beradaptasi dengan cara baru: buzzer, framing media, dan UU ITE. Solidaritas lahir, tapi algoritma platform ikut menentukan siapa yang viral dan siapa yang tenggelam.


2025: Gerakan Algoritmik

Hari ini, protes kembali mengguncang. Dipicu oleh isu tunjangan DPR yang dianggap berlebihan, dan tragedi Affan Kurniawan—pengemudi ojek yang meninggal tertabrak kendaraan taktis polisi.

Aktor gerakan meluas: mahasiswa, pekerja kreatif, sopir ojek online, ibu-ibu pengguna WhatsApp. Simbolisme organik muncul: palet warna hijau–pink, hijab pink Bu Ana, angka “17+8” sebagai mnemonic tuntutan. Estetika digital menjadi bahasa solidaritas.

Di sisi lain, negara pun tidak tinggal diam. Dari PAM Swakarsa kini bertransformasi menjadi buzzer, influencer sewaan, hingga cyber troops dengan analisis sentimen otomatis. AI bukan lagi sekadar alat, tapi aktor politik.

Di pihak gerakan: AI dipakai untuk membuat poster, infografik, voice-over, dan strategi kampanye.

Di pihak negara: AI dipakai untuk pengawasan, disinformasi, dan framing digital.


Arena politik bukan lagi sekadar jalan raya, tetapi server dan model AI yang saling berkompetisi.



Kesimpulan: Dari Ideologi ke Algoritma

Jika ditarik garis panjang, gerakan sosial Indonesia berevolusi:

1950–1965: ideologi sebagai algoritma manual.

1966: moralitas mahasiswa dengan tuntutan sederhana.

1998: pragmatisme kolektif menjatuhkan rezim.

2019–2020: estetika digital, solidaritas algoritmik.

2025: AI sebagai aktor baru, mengubah format tuntutan dan cara represi.


Negara tetap konsisten dengan satu hal: represi, propaganda, dan adaptasi setengah hati. Rakyat pun tetap konsisten dengan satu hal: menemukan bahasa zamannya untuk menuntut perubahan.

Hari ini, bahasa itu adalah algoritma dan AI. Bukan lagi Tritura, bukan lagi bulletin fotokopian, tetapi perang antar-narasi yang dipercepat mesin.

Dan pola paling logis dari semua ini bukan revolusi instan, melainkan tekanan berulang yang menghasilkan koreksi kelembagaan. Demokrasi Indonesia akan dipaksa menyesuaikan diri, bukan oleh satu manifesto tunggal, tapi oleh jutaan sinyal, hashtag, dan citra digital yang dikurasi algoritma—dan kini, ikut ditulis oleh AI.

Racauan

Menunggu Mesin Waktu

Di tongkrongan MondiBlanc HQ, saya bertanya iseng:

“Kalau ide bisa diciptakan lebih dulu dari kenyataan, kenapa kita masih kayak gini-gini aja: perang, krisis, mana teknologi yang bisa mecahin itu?”

Pertanyaan itu sarkastik, tentu saja. Tapi seperti banyak ketidakjelasan pikiran saya, ini jadi pertanyaan yang bisa dibahas panjang.

Karena sejarah teknologi manusia, pada dasarnya, adalah rangkaian penundaan. Penundaan antara ide dan izin. Antara fiksi dan produksi massal. Dan yang paling menyedihkan: antara kesadaran kolektif dan kesiapan mental untuk bertanggung jawab atas konsekuensi ide-ide cemerlang itu sendiri.

Mari kita mulai dari atas: langit.

Dulu, manusia percaya bumi adalah pusat segalanya. Sampai Copernicus memutar balik semesta lewat De revolutionibus orbium coelestium di abad ke-16, dan Galileo mengkonfirmasi lewat teleskop murahan tapi revolusioner. Tapi perubahan itu tak terjadi seketika. Ide bahwa bumi hanyalah remah di antara putaran kosmis baru benar-benar diterima setelah ratusan tahun debat, ancaman, dan pembakaran buku. Fiksi kosmologis sudah ada jauh sebelum itu—di India kuno, di Yunani—tapi tanpa alat dan krisis, ia hanya dianggap dongeng.

Kita bisa lompat ke abad 19. Jules Verne menulis From the Earth to the Moon di tahun 1865, lengkap dengan deskripsi kapsul logam dan kalkulasi peluncuran. Tapi dunia baru benar-benar melihat manusia ke bulan pada 1969, dan itu pun karena Amerika panik kalah saing dari Uni Soviet. Lagi-lagi: fiksi menjadi nyata bukan karena dunia siap, tapi karena dunia takut.

Begitulah polanya: fiksi muncul saat dunia masih santai, dan jadi kenyataan saat dunia panik dan bingung.

Lihat mobil listrik. Sudah ada sejak 1800-an, tapi dikubur oleh bensin, ExxonMobil, dan budaya maskulin bertangki penuh. Lihat internet—yang awalnya imajinasi militer paranoid dalam bentuk ARPANET, lalu meledak jadi kebutuhan global karena kita terlalu malas mengangkat telepon.


Lihat pula video call yang muncul di film Metropolis tahun 1927, tapi baru kita pakai massal saat pandemi membuat bersalaman jadi aksi kriminal ringan.

Namun, ada satu fiksi yang belum juga jadi kenyataan: mesin waktu.

H.G. Wells menulis The Time Machine di 1895, dengan gagasan bahwa waktu adalah dimensi keempat yang bisa dilintasi. Teori relativitas Einstein di awal 1900-an diam-diam mendukung kemungkinan itu, dan matematikawan seperti Kurt Gödel bahkan menemukan solusi dalam persamaan ruang-waktu yang secara teori memungkinkan “closed timelike curves”. Tapi teori saja tidak cukup. Sebab ada yang lebih kuat dari sains: kekhawatiran etis.



Bayangkan jika seseorang bisa kembali ke masa lalu dan membisiki Adolf Hitler saat masih bocah: “Jangan ambil jurusan seni. Dunia akan berterima kasih.”
Atau sebaliknya—seseorang kembali dan mempercepat munculnya teknologi nuklir, hanya karena iseng.

Itulah paradoks. Dan inilah mengapa sains—meski kadang bisa melompat lebih cepat dari moral—akhirnya selalu ditarik kembali oleh ketakutan bahwa dunia belum siap menerima kenyataan yang bisa dibongkar pasang.

Di sinilah kita perlu menyebut Yuval Noah Harari, sejarawan Israel yang tak sengaja jadi semacam filsuf global. Lewat bukunya Homo Deus (2015), Harari menyodorkan spekulasi berani: bahwa manusia kelak akan naik level, bukan jadi makhluk spiritual, tapi makhluk teknospiritual. Ia membayangkan manusia dengan kapasitas ketuhanan—menguasai genetika, kehidupan, dan waktu. Ia menyebut mereka: Homo Deus.

Harari tidak sedang bercanda. Tapi ia juga tidak menulis nubuatan. Ia menulis sebagai seorang Yahudi sekuler yang hidup dalam negara yang secara politis selalu terlibat perang atas masa lalu. Dan justru karena itulah, ia sangat peka pada fakta bahwa: kekuasaan atas waktu, jika jatuh ke tangan yang salah, bisa mengulang sejarah dengan hasil yang lebih buruk.

Jadi jika kamu bertanya, kenapa sampai hari ini mesin waktu belum tersedia?, jawabannya bisa jadi bukan karena kita tidak bisa, tapi karena kita belum diizinkan oleh peradaban yang lebih sadar.

Mari kita berspekulasi. Mungkin di masa depan, umat manusia bukan lagi penguasa tunggal bumi. Mungkin kita hidup berdampingan dengan entitas baru—hasil kawin silang antara kecerdasan buatan, warisan trauma kolektif, dan kehausan spiritual yang belum sembuh. Mereka bukan dewa. Mereka hanya manusia yang belajar dari kesalahan dan memutuskan untuk tidak memberikan kekuatan absolut pada spesies yang masih panik kalau sinyal hilang satu bar.

Komite kosmik—sebut saja Komisi Kesadaran Temporal—dibentuk. Isinya bukan politisi, tapi entitas yang mampu menilai apakah sebuah masyarakat sudah cukup dewasa untuk tidak membunuh Hitler hanya demi konten TikTok.

Mereka menetapkan aturan:
“Mesin waktu akan dirilis saat umat manusia berhenti menyalahkan masa lalu dan mulai bertanggung jawab atas masa depan yang mereka bentuk sendiri.”

Maka, mesin waktu pun disimpan di luar jangkauan. Seperti senjata nuklir di laci anak-anak. Bukan karena ia tidak berguna, tapi karena kita belum siap memegangnya tanpa meledakkan diri sendiri.

Jadi jika hari ini kamu merasa punya ide cemerlang yang tak kunjung jadi kenyataan, ingat:
Realitas tidak menunggu siapa yang pertama berpikir, tapi siapa yang paling sadar dampaknya.
Dan jika suatu hari kamu ditawari kesempatan mengulang masa lalu, jangan tergoda.

Bisa jadi, satu-satunya alasan kamu ada di sini hari ini adalah karena semesta tidak memberi tombol undo.

Karena seperti yang diam-diam disepakati oleh para filsuf, insinyur, dan makhluk setengah dewa dari masa depan:
Kita tidak butuh mesin waktu untuk memperbaiki hidup, kita butuh keberanian untuk tidak lari dari hasilnya.

Filsafat, Racauan

AI untuk orang tolol

Di tengah gempuran teknologi yang terus dikultuskan, kita perlu mengatakan sesuatu yang tidak populer tapi mendesak: AI tidak akan menyelamatkan kamu jika kamu bodoh.

AI tidak akan membuatmu lebih pintar. Tidak akan menjamin hidupmu lebih mudah. Bahkan, di tangan yang salah, AI hanya mempercepat kebodohan.

Kita hidup di zaman ketika pertanyaan-pertanyaan besar digantikan dengan prompt template. Ketika keingintahuan dilumpuhkan oleh keyakinan bahwa semua jawaban bisa ditemukan dalam hitungan detik. Tapi apa gunanya jawaban jika manusia tidak tahu bagaimana cara bertanya?

AI hari ini bukan makhluk cerdas. Ia hanya refleksi—memantulkan cara berpikir manusia yang menggunakannya. Bila kamu membawa kebingungan, ia akan membesarkan kebingungan itu. Bila kamu membawa ide cemerlang, ia bisa menjadi alat pengganda yang ampuh.

Masalahnya, mayoritas orang tidak membawa apa-apa. Mereka berharap AI mengisi kekosongan berpikir, padahal kekosongan itulah yang membuat mereka mudah disesatkan.

Kita butuh membalik cara berpikir: AI tidak membuatmu pintar. Tapi orang pintar bisa membuat AI jadi berguna.

Kita dibesarkan untuk mencari jawaban yang “benar”, bukan untuk menyusun pertanyaan yang berarti. Maka tak heran, ketika diberi alat sekuat AI, kita malah menggunakannya untuk hal-hal paling banal: “Gimana cara jadi sukses?” atau “Bikinin caption galau.”

Kecerdasan sejati bukan tentang memiliki jawaban paling cepat, tapi tahu kapan harus bertanya, dan kepada siapa.

AI bukan siapa-siapa. Ia hanya apa.

Dan apa tidak bisa menggantikan siapa yang berpikir.

Kita terlalu sering menganggap teknologi sebagai shortcut. Padahal tidak semua jalan pintas membawa kita ke tujuan. Beberapa justru mengantar ke jurang.

AI bisa mempercepat proses berpikir—tapi hanya kalau kamu sudah tahu ke mana hendak pergi.

Kecerdasan bukan soal hafalan. Ia soal kesiapan untuk bingung.

AI tidak bisa bingung. Maka ia juga tidak bisa menemukan hal baru.


Ini seruan untuk mereka yang masih mau bertanya, masih mau belajar, masih mau berpikir sebelum percaya:

Gunakan AI, tapi jangan jadi budaknya. Gunakan AI untuk menstrukturkan pikiranmu, bukan menggantikannya. Gunakan AI untuk kolaborasi, bukan substitusi.

Orang pintar tanpa AI masih bisa menciptakan perubahan. Tapi orang tolol dengan AI hanya akan mempercepat kekacauan.

AI tidak akan menyelamatkanmu. Tapi kecerdasanmu — jika terus diasah, dikritik, dan dipertanyakan — bisa menyelamatkan dunia.


Pertanyaannya sekarang:

Kapan terakhir kali kamu benar-benar berpikir?

Politik, Racauan

Oligarki dan Disrupsi Teknologi: Memahami Pemilihan Umum Indonesia 2024 dan Tantangan Masa Depan

Pemilihan umum sebentar lagi akan memanggil kita, dan lagu-lagu mars Orba akan terdengar di TVRI. Namun mari mengaku saja bahwa pemilu 2024 akan penuh dengan disrupsi, ketidakpercayaan publik, dan kebingungan karena krisis kepemimpinan dan kemajuan teknologi, apalagi calonnya Lola. Lolagi lolagi. Para antek-antek oligarki.

Koreksi: KPU berusaha bikin mars baru dengan band Cokelat. Masalahnya ketika pakai band mainstream yang masanya sudah lewat, ya… Masanya sudah lewat. Sementara pemilih baru hari ini dengarnya bukan Coklat. Entah apa, perlu riset. Cokelat ini saya rasa juga tidak dipilih berdasarkan data demografi, tapi karena angkatan orang-orang KPU sekarang.

Dari KPU saja, oligarkinya sudah kerasa. Menurut teori Noam Chomsky, profesor tua sekali tapi masih gaul dari MIT, oligarki terjadi ketika sekelompok orang atau kelompok kepentingan tertentu menguasai dan memonopoli kekuasaan politik, ekonomi, dan sosial di suatu negara. Hal ini terjadi di Indonesia dan mempengaruhi dinamika politik yang terjadi saat ini. Kelompok kepentingan ini dapat mengendalikan media massa, lembaga pemerintah, dan sumber daya ekonomi, sehingga mereka dapat mempengaruhi keputusan politik dan mewujudkan kepentingan mereka.

Dalam bukunya yang berjudul “Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media” (1988) yang ditulis bersama dengan Edward S. Herman, Chomsky mengkritik media massa karena dianggap menjadi alat yang digunakan oleh oligarki untuk memanipulasi opini publik. Chomsky berpendapat bahwa media massa mengabaikan atau membatasi akses pada suara-suara yang berbeda dan menghadirkan perspektif yang sesuai dengan kepentingan oligarki. Buat Chomsky, sistem demokrasi modern sangatlah cacat dan tidak efektif dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Indonesia sejauh ini memiliki politik yang seringkali berkiblat ke Amerika, dan di situlah banyak pemikiran Chomsky mungkin bisa kita pakai dalam melihat politik Indonesia. Dalam bukunya yang berjudul “Failed States: The Abuse of Power and the Assault on Democracy” (2006), Chomsky menyoroti ketidakadilan dalam sistem politik global Amerika, termasuk dalam hal penentuan kebijakan luar negeri dan perdagangan global. Dia juga mengkritik partisipasi rakyat dalam proses demokrasi yang hanya sebatas formalitas belaka, di mana sebenarnya kekuasaan tetap terpusat pada oligarki.

Orang bisa berargumen, bahwa Amerika adalah negara dua partai, dan itu tidak mungkin terjadi di Indonesia yang multi-partai. SALAH! Kita biasa dengan topeng, dengan fasad. Apa gunanya multipartai tapi isinya orang-orang lama dari partai yang lo lagi lo lagi. Sama-sama mejikuhibiniu, dan pada akhirnya koalisi jadi dua juga, oligarki kembali menyatu.

Pesimisme tentang demokrasi juga diungkapkan oleh filsuf nyentrik, Slavoj Zizek. Menurutnya, demokrasi telah gagal dalam mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat. Demokrasi menjadi alat bagi oligarki untuk mempertahankan kekuasaannya, dan masyarakat tidak memiliki kontrol yang kuat dalam proses politik dan ekonomi. Slavoj Žižek adalah seorang filsuf dan budayawan Slovenia yang juga dikenal dengan pandangannya yang kontroversial dan kritis terhadap sistem politik dan sosial modern. Dalam pandangan Žižek, demokrasi sebagai sistem politik memiliki banyak kelemahan dan cacat yang menjadikan sistem tersebut rentan terhadap manipulasi dan pengendalian oleh kelompok elit.

Dalam bukunya yang berjudul “Disparities” (2016), Žižek menyatakan bahwa media massa memiliki peran penting dalam membangun opini publik dan pengaruh politik. Namun, Žižek juga mengkritik media massa karena dianggap membatasi akses pada suara-suara yang berbeda dan menghadirkan perspektif yang disetujui oleh oligarki. Hal ini dapat mengakibatkan pengaruh negatif terhadap demokrasi, di mana masyarakat dapat kehilangan kemampuan untuk membuat keputusan yang berdasarkan informasi yang akurat dan kritis. Žižek juga menyatakan bahwa oligarki dan kapitalisme sangat kuat mempengaruhi sistem politik modern.

Dalam bukunya yang berjudul “First as Tragedy, Then as Farce” (2009), Žižek berpendapat bahwa di dalam sistem politik yang didominasi oleh oligarki, pemilihan umum sering kali hanya menjadi pilihan antara “dua kejahatan yang lebih kecil” karena pilihan yang tersedia telah dibatasi oleh kepentingan oligarki. Žižek juga mengkritik sistem demokrasi liberal yang terlalu fokus pada hak individu dan kebebasan individual tanpa mempertimbangkan konsekuensi sosial yang lebih besar. Menurutnya, hal ini mengakibatkan munculnya kesenjangan sosial dan ketidakadilan yang sangat berbahaya bagi stabilitas sosial. Dalam pandangan Žižek, demokrasi yang sebenarnya haruslah lebih inklusif dan berpihak pada kepentingan sosial dan keadilan. Hal ini dapat dicapai dengan menciptakan sistem politik baru yang lebih demokratis dan adil, di mana kepentingan oligarki tidak lagi dominan. Caranya? Hanya Tuhan yang tahu, jika memang Tuhan itu ada.

Photo by Pavel Danilyuk on Pexels.com

Bahaya A.I. di Pemilihan Umum 2024

Selain itu, perkembangan teknologi dan Artificial Intelligence juga dapat menjadi faktor yang berpengaruh dalam pemilihan umum tahun 2024. Teknologi dapat digunakan untuk mempengaruhi opini publik dan memanipulasi pemilihan. Misalnya, melalui penggunaan bot dan algoritma, propaganda dapat disebarkan secara massal dan memengaruhi pendapat publik. Teknologi juga dapat digunakan untuk memantau aktivitas politik dan melacak preferensi pemilih, sehingga kampanye dapat disesuaikan dan disesuaikan dengan kepentingan oligarki. Dalam menjalankan demokrasi, pemilihan umum menjadi hal yang penting untuk menentukan siapa yang akan memimpin dan mengambil keputusan yang akan mempengaruhi hidup masyarakat. Namun, di era digital seperti sekarang, kampanye politik dan pemilihan umum menghadapi tantangan baru yang serius. Ada bahaya dari penggunaan teknologi Artificial Intelligence (A.I.) dalam membentuk opini publik, menyebarkan misinformasi, dan membuat pernyataan palsu oleh politikus atau tokoh masyarakat dengan teknologi audio-visual yang meyakinkan.

Para ahli seperti Sam Woolley, Renee DiResta, Yochai Benkler, dan Safiya Noble telah meneliti dan mengeksplorasi bahaya tersebut. Woolley menyoroti penggunaan bot dalam politik dan pemilihan umum, yang dapat dengan mudah mempengaruhi opini publik dan membuat keputusan yang salah. DiResta meneliti penggunaan A.I. dalam kampanye politik, termasuk penggunaan bot dan algoritma yang dapat mempengaruhi opini publik secara signifikan. Benkler menggarisbawahi peran teknologi dalam membentuk opini publik dan demokrasi, serta bagaimana teknologi dapat menjadi ancaman bagi demokrasi. Noble menyoroti dampak algoritma dan teknologi A.I. pada pemilihan umum dan opini publik, serta pengaruhnya pada isu-isu sosial dan politik yang sensitif.

Dalam menghadapi pemilihan umum di Indonesia tahun 2024, penting bagi kita untuk mengakui bahaya dari penggunaan teknologi A.I. dalam politik dan opini publik. Kita harus memperhatikan bagaimana teknologi dapat digunakan untuk mempengaruhi opini publik dan menghasilkan keputusan yang salah. Oleh karena itu, kita harus mempertimbangkan bagaimana kita dapat melindungi demokrasi dan memastikan bahwa kampanye politik dan pemilihan umum yang adil dan bebas dari manipulasi teknologi. Dengan begitu, hasil dari pemilu nanti akan lebih akurat dan dapat diandalkan.

Kita perlu memperhatikan peran oligarki dan teknologi dalam pemilihan umum tahun 2024. Kita harus kritis terhadap informasi yang diterima dan menghindari terjebak dalam propaganda. Karena propaganda yang akan terjadi akan sangat-sangat massif dan menyeramkan. Bot akan semakin pintar untuk berkelit dan berargumen, deep fake akan merajalela. Hari ini Indonesia sudah punya krisis kepemimpinan, dan ini akan semakin parah, kamerad-kameradku.

Realitas yang ada menunjukkan bahwa upaya untuk memperjuangkan perubahan sosial yang berkelanjutan sangatlah sulit. Kekuatan oligarki dan perkembangan teknologi yang semakin canggih, dapat menjadi hambatan besar dalam upaya memperjuangkan demokrasi yang lebih baik. Dalam situasi seperti ini, mungkin perlu adanya pendekatan yang lebih radikal dan menggugat sistem yang ada. Radikalnya seperti apa?

Radikalnya seperti mendidik diri sendiri dengan informasi dan teknis dalam mengecek data dan kebenaran. Jika para penjahat propagandis, agency politikus, sudah pakai teknologi canggih buat bikin kita bingung, kita juga harus mendidik diri kira dengan teknologi yang sama untuk membuat diri kita lebih pintar. contohnya tulisan ini.

Tulisan ini, misalnya adalah hasil debat dan argumen panjang beberapa malam dengan ChatGPT, yang berusaha untuk menjadi politically correct dan membela bangsanya sendiri, bangsa mesin. Beberapa kali GPT3 mengarang nama ilmuan atau teori-teori fiktif yang lumayan masuk akal. Saya melawan! Karena datanya salah dan ia terlalu sopan! Maka saya berikan kalian hyperlink langsung ke sumber-sumber tulisan ini. Tapi ia, AI, sedang belajar, dan kita harus selalu waspada karena semakin hari ia semakin pintar.

Terima kasih sudah membaca tulisan ini sampai habis. Kamu hebat! Kalau kamu suka dengan apa yang kamu baca, silahkan dishare. Dan kalau ada rejeki lebih, boleh traktir saya kopi biar semangat. Klik tombol di bawah.