Filsafat, Memoir, Politik, Racauan

Apa Anda Goblok?

Bertahun-tahun yang lalu saya pernah bertanya pertanyaan itu kepada dekan FIB UI, ketika kebijakan yang ia keluarkan merugikan banyak pihak di kampus. Saya dan kawan-kawan dari berbagai elemen kampus berdemonstrasi di depan kantornya dan si ibu dekan menerima kami untuk berdiskusi. Namun semua permasalahan yang kami ajukan ia mentalkan dengan jawaban birokrasi. Saya pikir ini sudah buntu maka saya bertanya, “Apa ibu goblok?”

Itu pertanyaan retorik yang tidak perlu dijawab tapi sudah pasti menyakitkan. Akhirnya ijasah saya ditahan beberapa bulan dan saya kesulitan cari kerja. Tapi beberapa masalah yang kami ajukan dapat solusi jadi, yaa alhamdulilah. Haha.

tumblr_ndfqsuejaf1scgs08o1_1280
Gara-gara demo ijazah ditahan, tapi beberapa tuntutan berhasil which is nice

Beberapa jam yang lalu, saya baru saja merendahkan orang dengan kata-kata itu dalam sebuah diskusi soal LGBT. Orang yang saya tolol dan goblokan tentunya seorang maha suci yang membawa-bawa agama dan melaknatkan LGBT. Sejak awal dia tidak mau diskusi, cuma mau ceramah. Maka saya bertanya padanya, “Apa Anda goblok?” Lalu saya kabur.

Saya ingat seorang sahabat pernah merasa saya tolol dan goblokkan karena dalam diskusi soal Ahmadiyah dan Syiah dia merasa begitu tahu dan menganggap bahwa kedua golongan itu harus (1) hengkang dari indonesia atau (2) direhabilitasi ke jalan islam ‘yang benar’. Ia merasa bahwa kekerasan terhadap mereka sudah sewajarnya dilakukan. Ia belum pernah sama sekali membaca kajian soal kedua aliran tersebut, atau berniat untuk tahu. Biasa, pak Ustad pengajiannya bilang itu salah maka itu salah. Daya kritis mati sudah, dan terpaksa keluar lagi pertanyaan itu dari mulut saya, “Apa Anda goblok?” Lalu saya kabur lagi

Pertanyaan “Apa Anda goblok?” adalah senjata pamungkas saya untuk mengakhiri debat kusir. Saya tidak perlu jawaban. Saya tidak perlu memanjangkan debat itu. Ketika orang sejak awal hanya berniat debat kusir, tidak berniat belajar dan cari solusi, kita langsung tahu betapa buang-buang waktunya berdiskusi dengan orang macam itu. Jadi lebih baik diakhiri saja dengan manis.

Mungkin saya sendiri sudah lelah untuk bermain debat kusir di Internet. Mungkin saya sendiri sudah berubah menjadi orang goblok yang cuma pengen didengar dan tidak ingin mendengar apalagi diskusi/berdebat. Permasalahan yang diangkat itu lagi-itu lagi, berulang-ulang dan saya pribadi sudah bosan. Jumlah bigot tidak berkurang, malah cenderung bertambah dari hari ke hari. Tapi umur baru segini, masa nyerah!?

Saya rasa yang harus saya lakukan adalah belajar lebih banyak untuk berdiskusi sehat di internet. Berdiskusi dengan setting dan kondisi yang kondusif, dan memastikan bahwa lawan bicara memang mau diskusi. Kalau tidak mau diskusi, baiknya segera diakhiri saja, toh alat kontrolnya sudah banyak. Blog ini misalnya, saya sangat kontrol siapa yang komentar. Demokrasi? My Ass!

Kebuntuan diskusi adalah hal kontraproduktif yang sedapat mungkin saya hindari.

Tapi semua akan kembali pada takdir. Saya pernah beberapa kali menjadi orang gobloknya karena saya sembrono dan sok pintar. Dan orang serius yang mau diskusi baik-baik malah saya nafikkan dengan kasar–mungkin waktu itu saya sedang PMS. Saya pernah menafikkan seorang profesor ternama, psikolog ternama, dan ahli hukum ternama karena kesotoyan saya. Dan salah satu dari mereka pernah bertanya balik ke saya, “Apa Anda goblok?”

Waktu itu tentunya saya dengan ego saya menyangkal pertanyaan itu. Tapi sekarang saya sudah tahu jawaban pastinya.

“Kadang-kadang.”

Filsafat, Memoir, Racauan

Islam dan Saya (Bagian III dari IV)

SMP dan SMA saya adalah sekolah negeri. Tidak banyak interaksi saya soal agama di sana kecuali bergabung dengan Remaja Mushola sebentar hanya untuk merasa terasing. Saya terasing karena saya mulai suka baca. Di SMP, guru bahasa Indonesia saya adalah salah seorang yang paling menginspirasi untuk menghabiskan novel-novel klasik balai pustaka dari Siti Nurbaya Marah Rusli sampai Salah Asuhan Abdoel Moeis. Keduanya novel yang sangat dewasa untuk ukuran anak SMP, dan saya jadi agak-agak pervert karenanya. Saya ingat pernah terkunci di perpustakaan sekolah karena membaca Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk karya HAMKA sampai langit gelap (filmnya tidak sekeren Novelnya, serius!). Saya membaca di pojokan perpustakaan yang selalu sepi, jadi mereka mengunci perpustakaan itu tanpa tahu kalau saya masih di dalam. Untungnya ada penjaga sekolah yang patroli malam itu dan membukakan saya.

tenggelamnya-kapal
Foto: 4.bp.blogspot

Bacaan-bacaan membuat imajinasi saya liar. Saya ingat ketika SMP, selain di perpustakaan sekolah saya juga menghabiskan waktu dan uang saya untuk membaca buku, novel, novellette dan komik di perpustakaan pasar Kramat Jati. Waktu itu satu buku sekitar Rp. 500 jika baca di tempat, dan Rp. 1000 jika dibawa pulang dengan uang jaminan. Di masa SMP itu pula saya pertama kali habis membaca Frankenstein dalam bahasa Indonesia yang ditinggalkan om Saya, Om Donny, di rumah Kebagusan. Lalu Om Dicky (adik bungsu Mama saya) juga memberikan saya novel Si Jamin dan Si Johan karya Merrari Siregar yang isinya ada soal gubuk candu tahun 70-an dan membuat saya penasaran pengen nyimeng. (download bukunya di sini)

si jamin dan si johan
Foto: Bukubukubekas

Di SMA bacaan saya semakin menggila. Saya mulai membaca Tetralogi Buru Pramoedya  Ananta Toer dan mulai punya mimpi-mimpi menjadi Minke–tampan, intelektual, sekular, dan playboy. Waktu itu buku Pram masih dilarang, dan saya membaca stensilan milik Om Djody, kakak Mama saya. Begitu tergila-gilanya saya pada Pram, bahkan gebetan saya waktu SMA adalah refleksi dari Annelies: cewek cantik kulit porselen yang rapuh. Galaunya tidak ketolongan! Sialan imajinasi si Pram!

435733_20140908101540
Yang saya baca covernya mirip ini tapi fotokopian.

Tentunya sejak saya jadi pembaca akut, dunia saya mulai berubah. Saya bergaul dengan Shaka Mahottama (kepala redaksi Pos Ronda) dan sering meminjam buku di perpustakaan pribadinya. Ketika kuliah saya semakin menggila karena koleksi Asep (sahabat saya sekaligus basis Wonderbra), lebih gila lagi: dari eksistensialisme, buku-buku puisi sampai novel-novel erotis semua dia punya dan saya lahap. Lalu saya mulai keblinger. Membaca Nietzsche, membaca Sartre, membaca Marx, membaca Dostoyevski, jadi Ateislah, Tuhan itu bohong ilusi dan sebagainya. Buku-buku mempengaruhi hidup saya dengan begitu kerasnya. Bahkan ketika mabuk-mabukan, seringkali saya ambil buku dan membaca–kadang dalam keadaan mabuk, kemampuan baca dan imajinasi saya meningkat jauh. Saya ingat sahabat saya, Pawl, Pernah keheranan melihat saya bicara sendiri di kosan. Saya berdiskusi dengan Nietzsche dan Riffaterre setelah membaca buku mereka bolak-balik buat skripsi saya.

Karena keranjingan baca dan kegalauan hormonal, keluarga saya menjadi semakin saya asingkan. Saya tidak mengerti sama sekali logika mereka, dengan agama mereka, dengan praktik hidup yang kontradiktif dengan apa yang mereka percaya. Agama menjadi semakin seperti dongeng untuk menakuti anak-anak. Saya bahkan memutuskan untuk pergi dari rumah karena masalah ini (dan banyak masalah personal lain yang tak relevan untuk diceritakan). Putus dengan keluarga sama dengan putus dengan Islam–saya menjadi pemberontak penuh, saya lawan Tuhan!

Nantinya saya tahu bahwa saya salah besar. Saya salah besar tentang banyak hal. Tentang manusia dan Tentang Tuhan. Dan tentang diri sendiri.

Bersambung ke bagian IV

Lihat bagian I

 

5561412422_7d09e1b02f_o
photo: flicker.com