English, Film, Kurasi/Kritik, Uncategorized, Workshop

The Young & Stupid Stanley Kubrick and Me

Weeks ago, I found this short documentary on Stanley Kubrick by Jim Casey, Kubrick: The Lost Tape, and it made me eager to make films again. My last (and second) film, Stalkers, haven’t been screened or distribute for many reasons–one of them is because I don’t have time, money, and enough skill to craft it yet. And being a producer and director was really hard especially if you were going abroad without having the time to edit the film or distributed it properly. Having a producer that was not yourself helped a lot. My first short, Mother Earth, produced by Tito Imanda, for me wasn’t really satisfying in terms of production and direction. But having Tito there made the film a lot more available to a specific public, more valuable and worth-watching somehow–in academic context. On the contrary, Stalkers cost me and some people quite a lot so I almost gave up trying to dream of another film of mine before this one is properly re-edited and distributed.

But watching this documentary made me realized a lot of things. One of them is my collection of short stories and scattered ideas. I heard Kubrick voice in my head, and I was surprise that his voice is just like an ordinary nerd, and he seemed like a fun guy to work with. He never hesitated to say that his films were awful or horrible. He did not stop, and he learn a lot.

Kubrick started his career as a photographer, then an assistant professional photographer, then an amateur documentary filmmaker, then a feature filmmaker and most of his early works sucks. He admitted that he hated reading until he graduate from college, and he needed to catch up intellectually to match his cinematography and his references. He learned film productions by making a lot of stupid mistakes. And that is exactly what I am doing today. Of course I’m in my thirties, kind of a little late. But Yasmin Ahmad, the famous Malaysian director, made her first feature in her 40’s, which is nice.

Well, without further ado, enjoy this short documentary. I’m gonna finish another story of mine about an A.I. thief who run to Kansas, then have walk outside to make some video diary. If Kubrick has a lot of reading to catch when he was my age, I got a lot of shooting to catch. My sense of space and geometric really sucks. I need to learn simple cinematography, before I can hire a real cinematographer.

 

Filsafat, Memoir, Racauan

Islam dan Saya (Bagian III dari IV)

SMP dan SMA saya adalah sekolah negeri. Tidak banyak interaksi saya soal agama di sana kecuali bergabung dengan Remaja Mushola sebentar hanya untuk merasa terasing. Saya terasing karena saya mulai suka baca. Di SMP, guru bahasa Indonesia saya adalah salah seorang yang paling menginspirasi untuk menghabiskan novel-novel klasik balai pustaka dari Siti Nurbaya Marah Rusli sampai Salah Asuhan Abdoel Moeis. Keduanya novel yang sangat dewasa untuk ukuran anak SMP, dan saya jadi agak-agak pervert karenanya. Saya ingat pernah terkunci di perpustakaan sekolah karena membaca Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk karya HAMKA sampai langit gelap (filmnya tidak sekeren Novelnya, serius!). Saya membaca di pojokan perpustakaan yang selalu sepi, jadi mereka mengunci perpustakaan itu tanpa tahu kalau saya masih di dalam. Untungnya ada penjaga sekolah yang patroli malam itu dan membukakan saya.

tenggelamnya-kapal
Foto: 4.bp.blogspot

Bacaan-bacaan membuat imajinasi saya liar. Saya ingat ketika SMP, selain di perpustakaan sekolah saya juga menghabiskan waktu dan uang saya untuk membaca buku, novel, novellette dan komik di perpustakaan pasar Kramat Jati. Waktu itu satu buku sekitar Rp. 500 jika baca di tempat, dan Rp. 1000 jika dibawa pulang dengan uang jaminan. Di masa SMP itu pula saya pertama kali habis membaca Frankenstein dalam bahasa Indonesia yang ditinggalkan om Saya, Om Donny, di rumah Kebagusan. Lalu Om Dicky (adik bungsu Mama saya) juga memberikan saya novel Si Jamin dan Si Johan karya Merrari Siregar yang isinya ada soal gubuk candu tahun 70-an dan membuat saya penasaran pengen nyimeng. (download bukunya di sini)

si jamin dan si johan
Foto: Bukubukubekas

Di SMA bacaan saya semakin menggila. Saya mulai membaca Tetralogi Buru Pramoedya  Ananta Toer dan mulai punya mimpi-mimpi menjadi Minke–tampan, intelektual, sekular, dan playboy. Waktu itu buku Pram masih dilarang, dan saya membaca stensilan milik Om Djody, kakak Mama saya. Begitu tergila-gilanya saya pada Pram, bahkan gebetan saya waktu SMA adalah refleksi dari Annelies: cewek cantik kulit porselen yang rapuh. Galaunya tidak ketolongan! Sialan imajinasi si Pram!

435733_20140908101540
Yang saya baca covernya mirip ini tapi fotokopian.

Tentunya sejak saya jadi pembaca akut, dunia saya mulai berubah. Saya bergaul dengan Shaka Mahottama (kepala redaksi Pos Ronda) dan sering meminjam buku di perpustakaan pribadinya. Ketika kuliah saya semakin menggila karena koleksi Asep (sahabat saya sekaligus basis Wonderbra), lebih gila lagi: dari eksistensialisme, buku-buku puisi sampai novel-novel erotis semua dia punya dan saya lahap. Lalu saya mulai keblinger. Membaca Nietzsche, membaca Sartre, membaca Marx, membaca Dostoyevski, jadi Ateislah, Tuhan itu bohong ilusi dan sebagainya. Buku-buku mempengaruhi hidup saya dengan begitu kerasnya. Bahkan ketika mabuk-mabukan, seringkali saya ambil buku dan membaca–kadang dalam keadaan mabuk, kemampuan baca dan imajinasi saya meningkat jauh. Saya ingat sahabat saya, Pawl, Pernah keheranan melihat saya bicara sendiri di kosan. Saya berdiskusi dengan Nietzsche dan Riffaterre setelah membaca buku mereka bolak-balik buat skripsi saya.

Karena keranjingan baca dan kegalauan hormonal, keluarga saya menjadi semakin saya asingkan. Saya tidak mengerti sama sekali logika mereka, dengan agama mereka, dengan praktik hidup yang kontradiktif dengan apa yang mereka percaya. Agama menjadi semakin seperti dongeng untuk menakuti anak-anak. Saya bahkan memutuskan untuk pergi dari rumah karena masalah ini (dan banyak masalah personal lain yang tak relevan untuk diceritakan). Putus dengan keluarga sama dengan putus dengan Islam–saya menjadi pemberontak penuh, saya lawan Tuhan!

Nantinya saya tahu bahwa saya salah besar. Saya salah besar tentang banyak hal. Tentang manusia dan Tentang Tuhan. Dan tentang diri sendiri.

Bersambung ke bagian IV

Lihat bagian I

 

5561412422_7d09e1b02f_o
photo: flicker.com

 

Memoir, Racauan

Halo, Saya Ganti Rupa

IMG_5203
Foto oleh Tyagita Silka di Tryst Adams Morgan, Washington DC

Saya melihat diri sendiri di cermin dan merasa tidak kenal dengan pria di cermin itu. Pria itu mirip bapak saya, dan kata Gabriel Garcia Marquez, ketika seorang pria melihat ke cermin dan melihat bapaknya, itulah artinya ia mulai dewasa. Saya dewasa? That must be a joke! 

Semoga saya tidak terlalu dewasa untuk menjadi anak-anak. Tanpa kekanak-kanakan tidak akan ada kreativitas, The child is the father of the man, kata Wordsworth.

Tapi perubahan itu toh selalu terjadi. Tanpa sadar saya sudah ada di negeri orang, dengan seorang partner yang juga sahabat terbaik saya, dan dengan semua tantangan-tantangan hidup baru. 2015 adalah tahun perubahan besar buat saya. Tahun liminal. Saya melepaskan status bujangan, saya melepaskan pekerjaan, saya melepaskan Indonesia. Satu tahun dimana saya sangat sibuk membangun inner-self.  Saya banyak berpikir dan berproses untuk memantapkan pilihan-pilihan di hidup, hingga saya selalu bisa sibuk dalam keadaan apapun.

Deadline saya untuk adaptasi pada Washington DC, pada ketidakpastian tujuan sudah lewat. Tugas saya sudah jelas dan proyek-proyek ke depan sudah tersusun rapih. Pertengahan Januari saya akan sibuk di New York untuk membantu proyek seorang kawan, dan selama tahun 2016 ini saya akan sibuk membangun sebuah kanal informasi baru bersama sahabat-sahabat saya di Bandung dan Jakarta. Ada juga beberapa proyek film dari jauh, sebagai produser bayangan, konsultan, scriptwriter dan lain-lain.

Dan dalam kesibukan-kesibukan itu, seperti biasa saya juga akan tetap mengisi blog ini dengan pemikiran-pemikiran saya yang terpinggirkan tapi tetap worth sharing. Saya persembahkan tampilan baru Esei Nosa untuk Anda sekalian. Semoga kita bisa tetap diskusi dan berbagi pengetahuan dan pengalaman.

Saya juga membuat versi tulisan bahasa Inggris di Medium.com, be sure to check itu out. Versinya agak beda dengan blog ini karena ada beberapa tulisan yang lebih enak ditulis dengan bahasa inggris. Grammar agak kacau karena memang sudah lama saya tidak menulis bahasa Inggris.

Tabik!

Memoir, Racauan

Kembali Bertumblr

Jadi dengan berkecil hati saya aktifkan lagi blog tumbler ini. Untuk berbagi foto instagram, untuk bicara tanpa berpikir dan tersesat dalam ide-ide itu. Untuk berhenti berdiskusi dan hanya bicara satu arah. Sementara eseinosa.wordpress.com akan saya buat sebuah blog dengan kurasi dan lahan berdiskusi. Pelan-pelan akan saya rapikan dan saya kompilasi karya-karya yang saya anggap pantas untuk diterbitkan. Beberapa karya ada yang berasal dari tumblr ini.