English, Filsafat, Memoir, Racauan

Self-criticism is your only savior from yourself

Are there any possibilities that someone over-criticizes themselves or others? I don’t think so. I put the word critic, critical, as one of the highest modes of thinking. Criticism is what makes dialectic possible. If, and only if, someone is considered overcritical, they probably do it the wrong way.

Critic for me is an action that takes a lot of consideration. You need proper context and deeper thinking, you ought to ask the right questions, and you got to know what you don’t know. Spitting words to degrade someone is not a critic, it’s a bully. Telling yourself wrong and jumping to conclusions about yourself is as bad as bullying.

Thus, critics need to be done at the right time and in the right state of mind. And one has to be always aware of oneself objectively, no matter how one feels. The feeling cannot be criticized since it cannot be controlled. But one can always control one’s behavior if one’s body is healthy enough no matter how one feels.

Now, within this context, let’s talk about self-criticism. Let me first give an example, about myself.

Photo by Dids on Pexels.com

I am diagnosed with manic depression, or Bipolar 1. I haven’t taken any medication for that disorder for almost two years. I am highly functional, and reading and writing therapy has helped me a lot in coping with my mental illness. Today I ‘feel’ like I have complete control of my life. I am content and happy, I am independent and able to help a lot of people, I work my job magnificently and I have doubts about all those good things.

These doubts come because I have experience in being tricked by my feelings whether they are negative or positive feelings. In my experience, being over-optimistic is another red flag of something wrong with me. So I try to write again and examine my writings and my feelings. Then I analyze it as if the person who wrote this journal is not me. Well, philosophically speaking, I am not the person I was when I wrote them. Different feelings, moods, time, and context.

I conclude that I have managed my manic disorder, but in the functionalities of my life, there are hidden suicidal thoughts that are fused with some type of depression. You see, I am quite proud that I can manage, predict, and control my manic state and depression state throughout years of therapy and struggle. I have gained success in terms of my work. I can eat whatever I want, and go wherever I go. I have the lovely girlfriend of my dream, the freedom to make films or teach or learn the things that I adore. In my manic state, I could write, shoot, teach, and produce a lot of things almost simultaneously. Then I will go home and had a deep rest because I was depressed. My depression is controlled. It is a logical consequence of my manic state. So I am functional because I recognize the cycle of my mania and my depression. Good?

Not exactly. Because my life now is just manic and depressed. I have a plan to care more for myself, eat healthy, have a regular sleeping cycle, and work out. But the plan is lost to the depression. And when the depression is gone, I need to get back to work.

There were times when I could overcome this easily. But it is getting harder to fix my life every time a long and hard project that creates irregularities is over. It’s getting harder to get out of bed after depression to reset my room or my body. I binged eating and trying so hard to be unhealthy.

At one point I even think, maybe I am having a subconscious suicidal tendency. I am starting to think that my behavior is a way to self-destruct.

Anyway, I think I need a shrink. Will get back to you guys after a few good sessions. In the meantime, I will enjoy this mood and irrelevancy of my life. It might be just my age factor–a symptom you have when you are almost 40 years old.

If you like what you read, don’t hesitate to treat me a cup of cheap coffee. It helps to know people are actually reading this.

Filsafat, Memoir, Racauan

Pabrik Kebahagiaan

Bahagia itu sederhana banget. Itu cuma aliran hormon dan synapsis yang bekerja untuk bikin kamu merasakan kepuasan. Sumbernya, dari perut. Endorphine, serotonin. Cara paling mudah dapetnya, makan. Minum. ML/masturbasi, atur nafas dalam ritual/ibadah. Cara artifisial dapetinnya pake drugs, medication. Dan cara mengamplifikasinta dengan berbagi kebahagian dengan orang lain, apalagi yang kita sayang.

Tapi hari-hari ini di kota ini makin susah mendapat kebahagiaan. Makan nggak enak, tidur nggak enak, selalu diganggu kekhawatiran macam-macam. Dari pandemi, masalah kerja, masalah hutang, masalah tanggung jawab, dan idk, masalah peradaban? Dan mudah untuk terjebak dalam kesedihan. Akhirnya ya, cari cara bahagia.

Bahagia itu dibuat-buat kok. Bukan sesuatu yang harus dicari. Bahagia kayak bikin teh, kopi, atau olahraga. Pada akhirnya kita cuma harus selalu sadar kita dimana, sama siapa, sedang apa, dan menyadari bahwa hal yang membuat kita ga enak, baru saja berlalu. Kemarahan kita seharusnya ikut berlalu, kesedihan kita harusnya sudah lewat begitu masalah tadi lewat juga.

Susah memang, seringkali rasa sakit itu terbawa sampai lama. Kadang membekas jadi trauma. Kadang kita ketrigger, dan terbawa lagi ke sana. Makanya harus bener-bener dilatih, untuk membuat pabrik kebahagiaan di dalam diri kita.

Saya pun masih belajar. Dan semakin hari, reaksi saya semakin baik. Jauh dari sempurna, tapi ada perkembangan. Dan itu membahagiakan.


Website ini jalan dengan donasi. Kalau yang kamu baca bisa menghibur atau membantu kamu, traktir yang nulis kopi di sini:

Memoir, Racauan

Manusia itu Fiktif: Sapiens dan Ceritanya-ceritanya

Manusia sapiens adalah binatang bercerita. Diri mereka dibentuk oleh cerita, peradabannya adalah cerita. mereka hidup dalam cerita, dan menyumbang cerita. Cerita menjebak, cerita membebaskan, cerita merebak, cerita melegenda menjadi mitos, yang terinstitusi jadi agama, yang tidak terinstitusi menjadi dongeng belaka.

Lalu di sinilah kita, kawan. Dalam cerita-cerita yang seringkali tak ada logika. Cerita-cerita yang membangkitkan atau membunuh perasaan. Padahal apalah perasaan selain reaksi kimia dalam tubuh biologi kita. Cerita cuma berpengaruh kalo kita sensi saja.

Ada cerita kesedihan, dari Roman Picisan sampai kisah heroik. Ada cerita sederhana, tentang proyek yang gagal hingga kita saling marah dan bermusuhan. Ada kisah sukses, yang sebenernya selalu berakhir tragis jika saja diteruskan. Tidak ada happy dalam sebuah ending. Kaena bahagia dan kesedihan berputar-putar saja dalam sebuah siklus mood dan hormon. Kesuksesan atau tragedi bisa berasa bahagia atau sedih, tergantung obat apa yang ditelan.

Sekarang aku seperti mengerti banyak perasaan, dan dapat membuat naratif untuk membangkitkan perasaan-perasaan itu, dalam tulisan, dalam lagu, dan dalam film. Tapi di saat yang sama kadang aku merasa kebas karena perasaan-perasaan yang ada dalam naratif karya itu, akhir-akhir ini sulit untuk kurasakan jika aku berpikir logis. Bahwasannya, rasa, emosi, itu tak lebih dari interpretasi otak dan hormonku atas kenyataan, dan jika aku mau tidak terbawa, aku hanya perlu bernafas dengan teratur dan berpikir dengan terstruktur. Dan jika aku mau merasakannya, aku hanya perlu immerse ke dalam naratif tersebut.

Kemampuan untuk mengontrol emosi dan mood ku tidak serta-merta membuatku kurang manusiawi. Seperti orang autis atau psikopatik juga manusia. Merka hanya kurang empati.

Emosi dan rasa kini keluar kalo aku capek atau manic, dan aku langsung bisa tahu bahwa perasaan tidak enak, hadir dari dalam diriku, bukan dari luar. Tidak seru, dan aku butuh ketidakseruan itu. Karena keseruan seringkali bikin musibah saja.

Ini adalah racauan terbaruku yang menggunakan asosiasi bebas, untuk mengungkapkan pikiranku dan kucicil-cicil dalam waktu beberapa hari karena aku sedang sangat sibuk. Sibuk. Yang menyenangkan karena emosiku dan mood ku cukup terkendali dan konsisten buat bisa kerja sehari-hari. Semoga kamu pun begitu, optimis menyingsing tahun 2022.

Di tahun ini aku punya banyak rencana. Film panjang pertamamu ingin kuselesaikan sebagai produser. Lalu aku ingin bikon workshop gratis buat anak-anak muda termarginal. Aku juga sedang semangat belajar soal crypto dan NFT tapi tanpa punya keduanya. Kupikir crypto dan NFT bisa kuubah jadi produk budaya-finansial yang bisa bikin Seniman kita jadi kembali menjadi Seniman rakyat akar rumput. Tunggu tulisanku berikutnya soal hal ini.

Kalau kamu suka yang kamu baca sejauh ini, traktir aku kopilah. Jadi tulisan selanjutnya bisa lebih cepat keluar.

Racauan

Membuat Zona Nyaman

Banyak kenalan saya yang nggak bisa BAB di kamar mandi lain selain kamar mandinya. Tidak bisa tidur selain di kamarnya. Bahkan yang kasihan, tidak bisa tidur atau istirahat di rumahnya sendiri. Mungkin karena masih tinggal dengan keluarga yang sudah terlalu lama, atau hidup dengan banyak kekhawatiran. Pada akhirnya, banyak kawan saya hidup tidak layak–jika kelayakan adalah sebuah kenyamanan dan keamanan hidup. Kasihan sekali.

Kamu perlu jadi kreatif untuk membuat safe space kamu dan mencari waktu yang tepat untuk berada di sana. Jika kamu lihat kamarmu sendiri, apakah cukup nyaman buat kamu? Kalau kamarmu berantakan, enak? Kalo enak lanjutkan. Tapi let say kamu merasa hidupmu berantakan, kamu bisa mulai dari kamarmu sendiri untuk membereskan hidupmu. Kamu tata kamarmu sendiri menjadi tempat yng kamu inginkan. Dan setelah beres-beres, dan istirahat sebentar, kami bisa mandi, coli, atau ngapain kek di kamar mandi untuk membuat diri lo jadi keren sebisa kamu. Masalahnya, kamu bisa lebih sulit untuk membuat penampilan yang nyaman buat diri kamu sendiri, daripada beresin kamar.

Ketika ngaca, banyak dari kita yang menyerah duluan melihat diri kita yang gemuk, kurus, jerawatan, dan tidak ‘sempurna’. Kamu harus berpikir ulang lagi, dan bertanya, darimana kamu mendapatkan standar kesempurnaan itu? Apakah perbandingan yang kamu pakai realistis? Atau jangan-jangan kamu dikerjai media? Cara untuk lebih bahagia adalah mencari referensi yang mendekati dirimu, bukan sebaliknya. Jangan ikuti idolamu yang tidak seperti kamu. Cari standard yang mendekatimu, misalnya saya melihat Jim Morrison ketika ia gemuk dan bahagia untuk menjadi model saya setelah gemuk begini. Tapi habis itu, ketika sudah tahu standardbya, saya cari lagi yang sedikit berbeda untuk saya kejar. Misalnya, Orson Welles muda, salah satu aktor/sutradara jenius favorit saya.

Dengan referensi dan perbandingan yang cocok, orang bisa menerima dirinya sendiri, dan mulai bertransformasi perlahan-lahan, untuk menjadi lebih baik lagi. Dengan kepercayaan diri itu, kita bisa mulai memperluas zona nyaman kita, yaitu sebuah zona dimana lingkungan kita bisa menerima kita apa adanya.

Untuk membuat zona nyaman lebih luas, kita bisa mulai dari orang terdekat dan lama-kelamaan teman- teman dan jaringan sosial kita. Caranya bagaimana untuk memperngaruhi mereka dalam menerima kita? Belajarlah komunikasi verbal dan visual untuk menjelaskan konsep identitas diri kita yang relevan. Ambil model idola yang tadi saya sebut di atas.

Kalau idola kita itu saja bisa diterima orang banyak, kita pun bisa. Saya, misalnya, penderita penyakit mental yang sudah didiagnosa dengan bipolar 1. Selama bertahun-tahun saya minum obat, dan berusaha untuk jadi fungsional. Sampai akhirnya ketika pandemi semakin parah, saya berhenti minum obat. Tapi ternyata dunia saya sudah berubah dalam 2-3 tahun ini. Kawan dan saudara sudah menerima kondisi saya, dan sedapat mungkin tidak ambil hati ketika saya kumat. Saya bisa bertahan karena membaca banyak referensi dan terapi bipolar, membaca perjuangan orang-orang dengan penyakit ini, lalu terus berusaha untuk memberikan disclaimer soal kondisi saya kepada keluarga, teman dan kolega.

Pada akhirnya saya merasa nyaman bukan hanya di kamar, tapi juga di kantor dan di tongkrongan. Nyaman di antara orang-orang yang mengerti atau berusaha mengerti saya. Dan dalam ruang-ruang ini saya merasa saya bisa tumbuh dan berkarya. Bersama kawan-kawan dekat.

The End.

PS. Terima kasih telah membaca sampai habis, Kalau suka tulisan ini, boleh lah traktir saya kopi dengan menekan tombol ini: