Racauan

Ekspektasi Rendah, Standard Tinggi: Gebetan dan PDKT

Salah satu hal yang paling sering bikin orang strest adalah ekspektasi. Mudah memang untuk bilang sama orang yang stres, “kamu harus me-manage ekspektasimu”. Pada kenyataannya tentunya, mengatur ekspektasi sangat susah.

Kita berekpektasi pada banyak hal, pada orang lain, pada diri sendiri, pada keadaan dan pada Tuhan. Dan ketika ekspektasinya meleset, kita stres. Semakin tinggi ekpektasi, semakin depresi ketika tidak tercapai.

Lalu ketika ekspektasi kita bikin rendah, seringkali kita terjebak menjadi hidup dengan standard rendah. Kita jadi tidak bisa berkembang, tidak bisa menjadi lebih baik. Kita kehilangan harga diri dan akibatnya malah tambah parah: hidup jadi tidak berkualitas.

Saya rasa, pada akhirya kita harus mencari bukan jalan tengah, tapi kesinambungan antara ekspektasi dan standard. Apa bedanya?

Ekspektasi berarti sebuah kepercayaan kuat, bahwa sesuatu yang kita inginkan akan terjadi di masa depan, semacam harapan yang ekstrim dan diusahakan sedemikian rupa Sementara itu standard berarti hal yang kita pakai untuk mengukur kualitas, atau membandingkan sesuatu. Tinggi atau rendahnya standard tergantung pengetahuan kita dan pembandingnya.

Dengan kata lain, ekspektasi dimulai dengan khayalan, sementara standard dimulai degan pengetahuan. Mari kita praktikan dengan sebuah contoh klise tentang Gebetan dan PDKT.

Umpamakan ada seorang perempuan bernama Lusi, yang sejak kecil sudah menonton film princess disney, remaja penuh drakor, dan kuliah penuh K-Pop. Di dalam pikirannya ada lelaki ideal yang seperti idolanya, yang akan sayang padanya seperti lelaki-lelaki di drama kesukaannya: anak nakal misterius, yang dibalik kejantanannya menyerah kalah karena cinta, menunjukkan sisi lemahnya pada perempuan yang ia cintai, lalu ia berubah menjadi lelaki baik yang bertanggung jawab dan tidak menarik; semacam bapack-bapack standard.

Lusi berekspektasi seperti itu dari seorang kawan kuliahnya, Dio, yang memang wajahnya dan badanya mirip sama salah satu anggota sebuah boyband korea (yang mana silahkan khayalkan sendiri). Dio seorang fak boi, bad boi, dengan wajah sad boi. Dan Lusi sudah berekspektasi dengan plot di paragraf sebelumnya, dan tentunya berakhir kehilangan keperawanan, lalu dighosting Dio dan Lusi mulai depresi dan seterusnya dan sebagainya sampai bla bla bla move on dan terima kenyataan. Dia jadian lagi sama seorang cowok buruk rupa bernama Antok yang dia harapkan akan setia dan baik, dan ternyata Antok juga mudah tergoda dst dsb. Aih ini klise banget saya sendiri malas nulisnya hahahaha…

Langsung ke analisisnya aja, Lusi berekpektasi tinggi salah, berekspektasi rendah salah juga. Jadi cara terbaik sebelum ekspek apa-apa adalah lihat dulu standardnya Lusi. Jika Dio dan Antok keduanya suka pada Lusi, berarti Lusi punya privilise “make up genetik” secara fisik. Pertanyaannya apakah Lusi bisa punya cukup otak buat menentukan standardnya sendiri? Mengukur kehidupannya? Potensinya? Potensi orang lain? Apakah Lusi punya cukup kesabaran untuk memproses sebuah hubungan perlahan-lahan, membangun hubungan, menyamakan standard baru mengatur ekspektasi dia dan pasangannya?

Karena pada akhirnya hubungan adalah soal standard dan ekspektasi. Jika standard kita tinggi, kita akan berekspektasi partner kita akan mengejar standard itu. Ini sudah ekspektasi salah, Harusnya kita juga analisis standard partner kita dan kompabilitasnya untuk mengejar standard kita. Ini yang membuat Lusi salah pada Dio (ketinggian) dan salah pada Antok (kerendahan). Jadi bagaimana baiknya?

Baiknya jangan berharap, cukup berencana saja. Karena kata orang dulu, manusia cuma bisa berencana, Tuhan juga yang menentukan. Rencanakan yang matang, dengan standard tinggi, dan ekspektasi rendah. Jadi ketika hasilnya tidak sesuai rencana, tidak masalah. Toh, ekspektasimu rendah. Seringkali, dengan ini, kamu akan dapat lebih tinggi sedikit dari ekspektasimu. Ayo kita lihat contoh kasus tadi dengan perspektif ini:

Lusi ditaksir oleh Dio. Standard Lusi sebagai perempuan tinggi. Ia ingin dihargai, dan tak perduli jika tak dapat Dio karena ekspektasinya pada Dio rendah. Suka syukur, ga suka yaudah. Dio makin penasaran karena ga dapet seks. Dia mengancam akan memutuskan Lusi kalau ga dikasih. Lusi sebal diancam, Dio diputuskan duluan. Ada dua kemungkinan, putus permanen, atau Dio mulai belajar jadi lelaki yang menghormati perempuan, menjadi partner dan teman yang baik dan sama-sama belajar. Anggaplah yang terburuk, Dio cabut. Lusi cari bahagia sendiri, kuliah di Korea, dan dapet cowok orang Korea yang gentle dan cerdas, lalu ia menikah dan punya masalah-masalah baru.

Antok? Tidak ada Antok, standard Lusi ketinggian. Haha.

Tapi mungkin ada baiknya ganti subjek jadi Antok, lelaki baik yang buruk rupa. Dengan rumus standard tinggi dan ekspektasi rendah, Antok berusaha mendekati Lusi. Tentunya ditolak. Karena ekspektasi rendah, Antok tidak menderita. Ia memilih untuk bekerja dan bermain game, dan beli barang-barang yang bisa dibeli dengan tabungan gajinya. Kamarnya diberesin, dia pake baju yang dia suka, ke tukang cukur langganan yang dia suka juga nyukur dan mijetnya, hidupnya hepi. Standardnya tinggi. Keluar membuncah kah kharisma nya, dan dia jadi punya usaha sendiri, lumayan mapan, dan suatu haru jatuh cinta dengan Asri, mantan Gebetannya di SMA yang sudah punya anak 2 tapi sudah pada SMA. Perempuan ini baru dicerai karena menolak poligami. Antok dulu patah hati karena berharap pada Asri. Sekarang Anton santai, karena dia berencana menjadi suami dan ayah yang baik buat Asri dan anak-anaknya, tapi ekspektasinya rendah untuk dicintai dan dihargai seperti yang ia mau. Sudah biasa bahagia sendirian juga.

Cerita-cerita ilustrasi di atas cuma karangan saja, fiktif sekedar kasih hiburan, tapi bukan kasih harapan. Karena baik Lusi atau Antok akan selalu punya masalah, harapan bisa selalu pupus, rencana bisa gagal. Tapi semakin hari, kalau kita bisa belajar dan terus evaluasi, kita akan semakin jago bermanuver dari kegagalan. Seperti kata Bob Ross, membuat gagal atau kecelakaan dalam melukis, menjadi ‘happy accidents’.

Jadi berikut kesimpulan-kesimpulannya:

Standard tinggi ekspektasi rendah, standard tinggi untuk kehidupan pribadi kita, ekspektasi rendah untuk orang lain jadi kita tidak kecewa.

Jangan pernah berharap, berencana saja.

Hasil kehidupan cuma 2: sukses atau belajar. Santai saja pada penolakan dan kegagalan.

Karena pada akhirnya semua orang akan gagal dan mati, cara kita gagal menentukan kemenangan kita ketika cabut dari kehidupan ini.

Terima kasih sudah membaca sampai habis. Kalau kamu suka yang kamu baca, bolehlah membantu saya patungan bayar website ini, atau sekedar beliin saya secangkir kopi. Tekan tombol di bawah untuk ke lama trakteer.

Eksistensialisme, Filsafat, Puisi, Racauan

Tuhan Tidak Bersalah Atas Kezaliman Umatnya

Photo by mohamed abdelghaffar on Pexels.com

“Atas kehendak Tuhan, aku dilahirkan miskin,” kata seorang penulis Yahudi dari MAD MAGAZINE di tahun 1970-an. Dan bukan hanya dia. Saya yakin bahwa saya dan pembaca sekalian pernah, paling tidak sekali dalam hidupnya, menyalahkan Tuhan atas takdir yang terjadi di hidup kita, atas ketidakpuasan-ketidakpuasan. Saya jadi yakin dengan sangat bahwa sumpah serapah pertama pada Tuhan yang ditemukan manusia bukanlah, “Kurang ajar kau, Tuhan!”, bukan juga “Setanlo, Tuhan!”, “Atau F**k you, God!” atau “Goddammit!” tetapi satu pertanyaan besar—ya, ternyata sumpah serapah pertama pada Tuhan bukanlah pernyataan tapi pertanyaan yang diucapkan sambil melihat langit:

“KENAPA!!!!!???”

Pertanyaan ‘kenapa’ ini menjadi ibu sekaligus bapak—ini pertanyaan hermafrodit yang masturbasi dan melahirkan anak-anak berupa pertanyaan-pertanyaan lain yang terus kita cari jawabannya; dari apa, siapa, dimana, kapan? Dari ‘kenapa’ yang menyalahkan Tuhan, peradaban kita berkembang pesat; karena kita mencari jawaban yang tak pernah pasti. ‘Kenapa’ adalah sebuah pertanyaan konkrit dengan jawaban yang tak terhingga. ‘Kenapa’ adalah pertanyaan kritis pertama manusia ketika ia masih jadi seorang anak. Pertanyaan yang tak mungkin bisa dijawab dengan lengkap dan terhenti oleh manusia manapun.

Anak: Kenapa aku ada?

Ortu: Karena mama-papa nikah.

Anak: Kenapa mama-papa nikah.

Ortu: Karena mama-papa saling mencintai.

Anak: Kenapa mama-papa saling mencintai?

Ortu: Karena Tuhan mentakdirkan begitu.

Anak: Kenapa Tuhan mentakdirkan begitu?

Ortu: Meneketehe! Mama-papa kan bukan Tuhan.

Anak: Kenapa meneketehe? Kenapa mama-papa bukan Tuhan?

Ortu: Udah, ah! Meneketehe ya, meneketeheee…

Anak: Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa?

Ortu: ARRRGGGHHHHH! [adegan Homer Simpson menjambak rambutnya sampai botak mendengar istrinya hamil lagi].

Photo by Alem Su00e1nchez on Pexels.com

Orang dewasa jarang memaki Tuhan dengan ‘kenapa’ karena Tuhan tak pernah menjawab balik dengan kata-kata yang bisa didengar telinga. Tuhan menjawab dengan firman yang tertulis di atas kitab suci yang didiktekan oleh Nabi/Rasul yang mengaku ‘mendapat’ firman Tuhan. 

Dari sini saya mengambil kesimpulan bahwa Tuhan tak punya mulut. Pemenang nobel sastra, Milan Kundera, menulis bahwa ketika ia masih kecil, ia sering berpikir bahwa kalau Tuhan tak punya mulut, maka ia takkan punya tenggorokkan, usus, dan anus. Maka Tuhan tak pernah berak. Dan kalau Tuhan tak pernah berak, ia tidak pernah mengeluarkan tahi. Dan karena tahi itu kotor, bau, mengandung kuman, dan merepotkan orang yang harus membersihkannya, maka Tuhan tidak pernah bersalah atas segala tahi yang tersebar di dunia ini. Karena yang bisa buang tahi adalah mereka yang punya mulut, tenggorokan, usus, dan anus lengkap dengan lubang duburnya.

Tuhan tak punya mulut juga dibuktikan dari tidak adanya satupun kitab suci yang bilang tentang mulut Tuhan—sebesar apa mulutnya, apakah bau atau tidak, apakah giginya putih atau kuning. Itu juga yang membuat kata-kata dari Tuhan disebut Firman. Nabi bersabda, manusia berkata, dan Tuhan berfirman. Ini juga kenapa ada Tuhan Maha Tahu, Tuhan Maha Besar, tapi tidak ada Tuhan Maha Berkoar. Karena Tuhan tidak punya mulut maka ia tidak berleleran dakwah, doktrin, atau promosi seperti kiai-kiai, pendeta, politikus atau tukang obat. Tuhan berfirman, Nabi bersabda firman Tuhan, dan umat manusia menginterpretasi. 

Interpretasi inilah yang menjadi masalah karena interpretasi selalu mencoba menjawab pertanyaan (sekaligus makian pada Tuhan), ‘Kenapa?’. 

Kenapa burung-burung tiba-tiba muncul
Setiap kali ada kamu di sini? 
Seperti aku, mereka ingin sekali, 
dekat denganmu.

Yah, itu interpretasi The Carpenters terhadap burung-burung yang tiba-tiba muncul waktu ada kamu. Padahal bisa saja burung-burung itu muncul karena pohon tempat mereka bertengger ditebang orang. Atau bisa saja burung-burung itu muncul untuk memakan kutu-kutu di pundakmu karena kamu kerbau. Masih banyak interpretasi lain yang bisa dinyanyikan si ‘aku’, tapi karena si ‘aku’ pengen deket-deket kamu, makanya dia bilang burung-burung pengen deket sama kamu. Dari sini saya malah bisa interpretasi lagi, jangan-jangan si ‘aku’ itu juga burung dan kamu memang kerbau.

Kalau interpretasi saya salah, dan ternyata si ‘aku’ bukan burung dan kamu bukan kerbau, maka lirik itu tidak salah. Saya yang salah karena saya punya tangan untuk mengetik interpretasi saya terhadap lirik itu dan bilang kamu kerbau. 

Inti dari paragraf sampahan saya di atas adalah bahwa teks seperti halnya kitab suci dan Tuhan, tidak punya mulut. Maka yang penting adalah bagaimana teks itu terinterpretasi dan terimplementasikan di dunia kita. Dari interpretasi dan implementasi terhadap firman Tuhan dan teks-teks lain—termasuk budaya dan tradisi, kita mendapatkan segala motivasi tindakan manusia: perang yang terus ada, kemiskinan, pelacuran, kehancuran, kelahiran, jumlah cina yang membeludak, chauvinisme Jawa, dan apapun yang secara asal alias impromptu keluar dari kepala saya yang buluk ini.

Maka pertanyaan sekaligus makian ‘kenapa’ tidak akan pernah dijawab Tuhan. Karena Tuhan tidak menginterpretasi. Tuhan berfirman, Nabi bersabda firmanNya, Da’i berkata Sabda Nabi yang berisi Firman Tuhan, dan umat bergerak, musuh umat melawan, politisi berkoar, ekonom menghitung untung-rugi, perang terjadi, manusia pada mati, dan dari semua itu tiba-tiba global warming terjadi, yang menyebabkan panas naik, tsunami, gempa, cinta semerbak dan gugur dalam sebuah rumah tangga antara sepasang partner dan seorang pecinta salah satu partner, seorang anak botak berkulit hitam lahir di London, sementara selembar daun gugur dari sebuah pohon yang kedinginan di Nebraska. Apa hubungannya? Silahkan interpretasi.

Dari semua ini, interpretasi adalah pencernaan. Manusia memakan, mencerna, dan mengeluarkan Tahi. Jika diinterpretasi dengan otak seorang penyair romantik gila, ia bisa membuat sebuah puisi satu stanza dan satu kalimat:

Mulut memakan daun, mencerna
Lalu keluar tahi
Otak Memakan Teks, berpikir, 
lalu keluar opini

Vagina memakan sperma, mencampur sel telur
Lalu keluar bayi.
Kekotoran dan kesucian ternyata tak terlalu berbeda…

Dalam sebuah kulit kacang [terjemahan bodoh dari nutshell], silahkan memaki Tuhan yang Maha Menerima, Ia takkan membalas makianmu. Tapi cobalah memaki dengan kata purba ‘Kenapa?’ Maka kau dan alam semesta akan menjawabnya dalam sebuah interpretasi. Jika teks bukan firman, maka teks adalah tahi atau bayi. Dan Tuhan tidak bersalah sama sekali atas apapun yang kau makan atau kau feses-kan. Semua adalah murni kesalahan yang punya mulut.

Ini tulisan tahi atau bayi. Kau yang menentukan.

TABIK!!   

Depok, 1 Maret, 2009.


Terima kasih sudah membaca tulisan yang sudah lama terkubur ini. Jika kamu suka apa yang kamu baca, bolehlah traktir saya kopi dengan menekan tombol ini:

Filsafat, Racauan

5 Cara Bunuh Diri Paling Etis: Sebuah Suicide Note

Orang bunuh diri ga ada yang etis, apalagi kalau dia punya peran banyak untuk banyak orang. Tapi etis adalah sebuah konsep yang terukur jadi bisa aja oxymoronic, kayak es paling panas atau api paling dingin, atau idiot paling pintar atau jenius paling goblok.

Terus seperti banyak penelitian sosiologi, orang bunuh diri itu lebih sering karena kesadaran sosial yang menimbulkan penyakit mental berupa depresi dan distorsi kognitif, dalam konteks spesifik. Misalnya, dia sadar dia jadi beban banyak orang, makanya mau mati. Dalam konteks lain seperti penyakit kronis hal ini tidak berlaku. Mati bunuh diri karena penyakit kronis jelas bisa dibenarkan. Tapi kalau hutang, patah hati, atau krisis eksistensial, itu jelas penyakit mental, bukan penyakit kronis. Orang berpenyakit mental sedapat mungkin dilarang bunuh diri karena itu bukan kesadaran asli mereka. Dalam bahasa filsuf eksistensial Jean Paul Sartre, kesadaran mereka “palsu,” dipengaruhi oleh ideological state apparatus, hormon, dan syaraf yang sengklek.

Umpamakan ada orang dengan kesadaran penuh, minim penyakit fisik atau mental, mau mati; kita pasti bertanya-tanya kenapa dia mau mati? Apa masalah hidupnya? Well, itu urusan dia dan pertanyaan itu urusan kita yang bisa bikin kita gentayangan setelah mati. Tapi mari kita umpamakan ada orang semacam itu, bagaimana cara ia bunuh diri biar etis? Biar kerusakan yang ia hasilkan nggak gede-gede amat? Ini lima cara paling masuk akal buat bunuh diri yang bisa kamu pake kalau kamu mau. Saya lagi pake cara ke lima, jadi tulisan ini bisa jadi surat bunuh diri saya. Sabar ya, bacanya.

1. Bunuh Emosimu

Kalau kamu banyak hutang, patah hati, dendam atau benci sama orang atau diri sendiri, masih punya perasaan jijik atau muak, baiknya kamu selesaikan dulu semua itu. Bunuh diri butuh keyakinan, dan kalau kamu nggak yakin, kamu bisa gagal mati, ragu-ragu. Bisa-bisa kamu kayak sapi kurban yang disembelih setengah-setengah, jadi masih lari-lari dengan kepala oglek-oglek dan darah muncrat ke baju baru bocah-bocah lebaran. Pastikan perasaan kamu sudah netral, kamu udah ga cinta atau benci sama dunia dan orang lain. Emosimu harus mati dulu. Jangan lanjut kalau belom.

2. Bunuh eksistensi sosialmu

Kata filsuf Kierkegaard, diri itu adalah relasi-relasi di dalam diri dan di luar diri, jadi kamu adalah pemalas kalau yang kamu bunuh cuma fisikmu aja. Bunuh semua diri kamu dong! Bunuh relasimu!

Kamu salah kalau sampai berpikir membunuh relasimu dengan orang lain artinya membuat orang lain benci padamu, atau kamu jadi bajingan dan dimusuhi masyarakat. Kebencian cuma akan memperkuat relasimu dengan orang lain, karena kamu bisa jadi terkenal ketika orang benci kamu. Kunci dari membunuh relasimu adalah, “menghilang secara sosial secara perlahan-lahan.” Caranya bagaimana?

Buat orang-orang percaya sama kamu, bahwa kamu akan baik-baik saja, dan mereka akan baik-baik saja tanpa kamu. Buat mereka biasa aja ketika kamu nggak ada, hingga ketika kamu bener-bener nggak ada, yah… Gak ada yang nyari kamu. Nggak ada yang sadar atau kaget, ketika kamu ga muncul-muncul. Intinya, semua orang yang kamu kenal ini harus jadi independen, kuat, berdigdaya, dan lebih keren dari kamu. Jadi, kalaupun ada pertanyaan kamu dimana, paling selalu ada yang jawab, “Dia mah orangnya begitu. ” Di situ eksistensi sosialmu hilang dan kamu nggak diomongin siapa-siapa.

3. Matilah dalam kesadaran penuh

Pilihan bebas itu perlu banyak syarat, salah satu syaratnya adalah konsensualitas, harus tahu implikasi dan sebab akibatnya. Jangan mabok terus mati, itu bukan bunuh diri, itu kecelakaan atau mati konyol. Pastikan kamu sober. Pastikan juga semua rasa terasa dan kamu ga mati rasa secara fisik dan mental. Karena kalau mati rasa, kamu tidak membunuh dirimu, kamu cuma membunuh mayat hidup saja. Curang itu.

4. Pastikan badanmu nyaman

Seperti terpidana mati yang bisa request macam-macam, pastikan makan kamu enak, minum enak, ML enak. Puas-puasin dirimu dengan keduniaan yang nggak bakal kamu dapet lagi kalau kamu mati. Hal-hal bahagia yang sederhana. Jalan-jalan, jalan sama anjing.

Lihat kembali di bucket list apa yang belum pernah kamu lakukan. Apa kamu terlalu jelek untuk punya pacar biar bisa selingkuh? Pilihanmu dua: bikin kamu jadi ganteng, atau cari orang-orang yang lebih jelek dari kamu untuk kamu pacari, dan yang lebih jelek lagi untuk kamu selingkuhi. Anyway, memang seks itu enak, tapi pernah nggak kamu nyimeng bareng temen dan musuh deket? Seks memang enak, tapi pernah nggak kamu makan kue tamblek mama saya? Nggak tahu kan kamu apa itu kue tamblek? Cobain dulu sebelom mati ya.

5. Cara mati paling lama dan menyakitkan

Metode ini saya temukan bersama sahabat saya Ervin Ruhlelana. Cara mati paling panjang dan sakit, dimana kita makan racun tiap hari, menghirup udara beracun, minum minuman beracun, ada di hubungan beracun, bahagia, patah hati, diulang terus menerus. Tragedi demi tragedi mengikis kita, menyiksa diri terus menerus dengan kesakitan dan kenikmatan. Cara mati paling sadis, lama, dan etis adalah: hidup.

Berani?

***

Kalau kamu berani, seperti saya, mungkin saatnya kamu membantu saya untuk mati secara etis dengan mempertahankan sebuah kesakitan nikmat bernama menulis. Traktir saya kopi dengan menekan tombol dibawah ini atau dengan kirim gopay ke saya… Smooth kan? I should’ve have tinder. Hehehe.