Filsafat, Politik, Racauan

Cara Pinjol Membunuhmu

Trigger warning: kalau kamu kepikiran bunuh diri, hubungi psikolog/psiakter. Jangan baca tulisan ini.

Pinjaman Online adalah air di oase covid ini. Bayangkan, kamu bisa ngutang sampe 25 juta per platform, tanpa butuh jaminan. Cuma KTP, NPWP, dan nomor telpon orang lain. Plus, Pinjol online dijamin sama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi dari negara. Tapi kok bisa ada yang bunuh diri karena pinjol? Bukanya debt collectornya cuma nakut-nakutin doang? Belom ada tuh peminjam online resmi yang dibawa ke polisi. Terus ga ada yang barangnya disita juga. Terus kok ini lebih serem dari preman kiriman lintah darat di film setan kredit? Bisa-bisanya yang bunuh dan nyakitin si peminjam adalah diri sendiri!

Ini adalah tulisan penting soal sebuah propaganda atas logika yang salah soal manusia, tentang pencerabutan diri dan identitas kita, tentang pembunuhan pelan-pelan yang dIlakukan pinjol. Ya, yang bunuh diri karena pinjol bukanlah bunuh diri, mereka dibunuh!

Kebanyakan orang bunuh diri tinggal sendiri dan berhasil memutuskan hubungan dengan orang lain dengan cara kabur dan ga tanggung jawab. Karena kebanyakan orang sebel atau kasihan dan ingin kasih kebebasan, dibiarkanlah dia sendirian. Diperbolehkan untuk menyendiri, dan self loathing. Bayangkan kamu adalah orang terjebak pinjol yang bisa kabur dari tanggung jawab dan tinggal sendirian, atau tanggung jawabmu udah diambil orang lain yang sebel sama kamu tapi rela beresin kekacauan yang kamu hasilkan. Ini biasanya yang kamu lakukan hingga dibunuh pinjol.

Bunuh relasi dengan teman dan keluarga

Pinjol diawali dengan jaminan identitas: KTP/SIM/Paspor, NPWP, dan nomor keluarga, lalu nomor teman. Ketika kamu nggak bisa bayar maka keluarga kamu diteror. Sudah habis nama keluarga, kamu kasih nomor teman, sudah habis nomor teman, kamu ganti atau mematikan nomormu. Habis itu debt collector bisa aja dateng ke rumah, bukan cuma buat nagih, tapi buat mempermalukanmu di depan tetangga-tetanggamu, saudaramu, dan temen-temenmu. Kamu udah miskin, masa kehilangan harga diri juga, jadi kamu takut dan membunuh semua relasimu dengan keluarga, teman, tetangga, dan aplikasi pinjol itu, HP kamu, dan semua kontak kerjamu. Identitas sudah kamu gadaikan, kamu ga bisa ngutang lagi dan kamu merasa semua orang kamu bebani. Kamu jadi sendirian.

Bunuh relasi dengan pekerjaan dan sosial media

Karena kamu ga bisa pake identitas dan hubungan sosialmu, kamu tambah susah cari kerja. Kamu malu buka sosial media aslimu, akun aslimu, karena kamu sudah pakai nama keluarga dan temanmu untuk pinjol. Dan kamu takut ditagih di sosial media. Uangnya ga ada, dan kamu nggak tahu gimana cara jelasin bahwa kamu miskin, atau tolol karena make pinjol buat kredit motor biar bisa ngegojek, yang mana udah diambil leasing juga motornya karena ga bisa bayar kredit motor dan kredit pinjol. Sekarang kamu cuma punya HP dan kuota. Perut laper, untung masih ada air.

Bunuh relasi dengan diri sendiri

Kamu nggak pengen jadi kamu. Malu. Banyak utang. Ga bisa kerja. Irrelevan. Menyusahkan orang lain. Maka kamu mulai bentuk diri yang baru di internet, mungkin mengaktifkan akun lama yang palsu yang dulu dibikin buat stalking mantan. Terus kamu mulai jadi manusia impianmu, yang nggak ada utang, misterius, mungkin ganteng/cantik banget, bodynya sempurna, pinter, temennya banyak, kaya.

Sampe kuota habis.

Kamu malu buat keluar numpang wi fi. Kamu malu buat keluar dan ketemu orang dan dunia nyata, malu sama keluarga, malu sama teman. Lalu lama-lama listrik mati. Ga ada duit kuota, gak ada duit listrik. Kamu mau kelaparan aja. Tapi laper dan haus ga enak. Lalu kamu memutuskan untuk…

Bunuh diri

Disini kamu sudah keracunan logika pinjol. Logikanya sederhana: bahwa diri manusia dibuat dari hubungan-hubungan; dengan keluarga, teman, kantor, kolega, dan sosial media. Pinjol memang tidak minta jaminan harta fisik (yang mungkin kamu juga gak punya), pinjol juga ga minta jaminan kredit sebelumnya yang sering diminta sama credit card. Dia nggak minta record utang kamu. Tapi yang dia minta lebih parah lagi: dia minta nyawamu dari awal.

Apa sih nyawa? Nafas yang dikasih Tuhan? Bukan. Nyawa adalah hubunganmu dengan tubuhmu, dengan orang tuamu, dengan saudaramu, dengan kawan-kawan dan musuhmu, dengan pekerjaanmu, dengan pacarmu. Itulah sebabnya kalau hubungan putus, kamu patah hati. Hubungan putus membunuh satu bagian dari nyawamu. Hingga hubungan terakhirnya adalah hubunganmu dengan tubuhmu. Kalau hubungan itu hilang maka nyawamu melayang. Mati kamu.

Nah, kalau logika Pinjol itu kita ikuti, niscaya kita akan mati. Kebanyakan orang bisa dijamin oleh modal sosial itu. Begitu debt collector bilang ke keluarga dan tetangga, maka kalau kamu orang yang (pernah) baik, utangmu pasti dilunasi. Kamu jadi ngutang sama saudara/teman. Dan kamu sebelum terlilit utang dan pengen bunuh diri, adalah orang baik. Sekarang kamu jahat karena rela jual hubungan dengan keluarga dan temen-temen ke pinjol. Itu logis.

Tapi kita kan manusia NGGAK LOGIS! Cinta, benci, marah, keadilan, itu adalah kata-kata abstrak yang artinya beda buat tiap orang. Tuhan kita masing-masing aja walau namanya sama tapi perannya di hidup kita bisa beda-beda. Kamu bebas untuk menjual nama keluarga dan temen-temenmu, kamu bebas untuk bunuh diri juga. Tapi keluarga dan teman-teman juga bebas untuk nggak peduli sama kejahatan dan keegoisan kamu. Kami yang nggak terjebak utang bebas untuk nolong kamu… Asal kami bisa tahu. Tapi semakin jago kamu ngumpet dan mutusin hubungan maka semakin bebas kamu mati.

Dan kami, yang tidak akan pernah siap kamu tinggal, akan bermanuver. Kami akan jadi manusia kepo, manusia sosial nyebelin tukang gosip dan guyub, manusia yang selalu ngecekin kabarmu, dan ngingetin kamu kalau kamu nggak sendirian. Ngingetin kamu, bahwa bukan cuma kamu yang bisa egois. Kami juga egois karena nggak mau kamu tinggal karena kami sayang kamu.

Pinjol itu dijamin OJK, kalau kamu nggak bisa bayar, negara yang bayar dengan ngeblacklist kamu: kamu nggak bisa ngutang online lagi. Kamu akan diganggu debt collector. Kamu akan bertambah banyak utangnya karena berbunga-bunga. Tapi mereka nggak bisa nyita rumah atau barang kamu, atau bawa kamu ke penjara–kecuali kalau kamu penipu. Makanya kamu ditakut-takuti dengan ketidaktahuan dan misteri. Dan saat kamu takut, harusnya kamu tahu gimana cara bertahan: kembali ke teman-teman.

Tapi diingat aja, kalau kamu bisa kami bail out, kamu harus mau ikut kami untuk jadi orang yang fungsional lagi. Ke psikiater biar ga pengen mati, dan banyak-banyak ngobrol. Mau makan tinggal numpang kok, ga perlu ngutang. Kami seneng kok berbagi sama kamu. Kalau kamu nggak punya temen atau keluarga kayak kami, coba cek dimana temen lama pada nongkrong, atau sekali-kali tanya temen dan keluarga apa kabarnya. Reach out. Maka kamu akan menemukan kami.

***

Website ini jalan dengan donasi. Jika kamu lagi miskin, bisa bantu saya sebarin tulisan ini, dan bilang ke orang yang kamu kasih: “Aku sayang kamu, bertahan yuk buat kita”.

Jika kamu menemukan tulisan ini berguna dan lagi ada rejeki, bisa traktir saya kopi dengan menekan tombol di bawah ini, biar tetap semangat dan punya waktu buat nulis dan nggak sibuk kerja lain yang bikin ga sempat nulis. Kopi murahan kok, ga perlu kopi Starbucks.

Filsafat, Racauan

5 Cara Bunuh Diri Paling Etis: Sebuah Suicide Note

Orang bunuh diri ga ada yang etis, apalagi kalau dia punya peran banyak untuk banyak orang. Tapi etis adalah sebuah konsep yang terukur jadi bisa aja oxymoronic, kayak es paling panas atau api paling dingin, atau idiot paling pintar atau jenius paling goblok.

Terus seperti banyak penelitian sosiologi, orang bunuh diri itu lebih sering karena kesadaran sosial yang menimbulkan penyakit mental berupa depresi dan distorsi kognitif, dalam konteks spesifik. Misalnya, dia sadar dia jadi beban banyak orang, makanya mau mati. Dalam konteks lain seperti penyakit kronis hal ini tidak berlaku. Mati bunuh diri karena penyakit kronis jelas bisa dibenarkan. Tapi kalau hutang, patah hati, atau krisis eksistensial, itu jelas penyakit mental, bukan penyakit kronis. Orang berpenyakit mental sedapat mungkin dilarang bunuh diri karena itu bukan kesadaran asli mereka. Dalam bahasa filsuf eksistensial Jean Paul Sartre, kesadaran mereka “palsu,” dipengaruhi oleh ideological state apparatus, hormon, dan syaraf yang sengklek.

Umpamakan ada orang dengan kesadaran penuh, minim penyakit fisik atau mental, mau mati; kita pasti bertanya-tanya kenapa dia mau mati? Apa masalah hidupnya? Well, itu urusan dia dan pertanyaan itu urusan kita yang bisa bikin kita gentayangan setelah mati. Tapi mari kita umpamakan ada orang semacam itu, bagaimana cara ia bunuh diri biar etis? Biar kerusakan yang ia hasilkan nggak gede-gede amat? Ini lima cara paling masuk akal buat bunuh diri yang bisa kamu pake kalau kamu mau. Saya lagi pake cara ke lima, jadi tulisan ini bisa jadi surat bunuh diri saya. Sabar ya, bacanya.

1. Bunuh Emosimu

Kalau kamu banyak hutang, patah hati, dendam atau benci sama orang atau diri sendiri, masih punya perasaan jijik atau muak, baiknya kamu selesaikan dulu semua itu. Bunuh diri butuh keyakinan, dan kalau kamu nggak yakin, kamu bisa gagal mati, ragu-ragu. Bisa-bisa kamu kayak sapi kurban yang disembelih setengah-setengah, jadi masih lari-lari dengan kepala oglek-oglek dan darah muncrat ke baju baru bocah-bocah lebaran. Pastikan perasaan kamu sudah netral, kamu udah ga cinta atau benci sama dunia dan orang lain. Emosimu harus mati dulu. Jangan lanjut kalau belom.

2. Bunuh eksistensi sosialmu

Kata filsuf Kierkegaard, diri itu adalah relasi-relasi di dalam diri dan di luar diri, jadi kamu adalah pemalas kalau yang kamu bunuh cuma fisikmu aja. Bunuh semua diri kamu dong! Bunuh relasimu!

Kamu salah kalau sampai berpikir membunuh relasimu dengan orang lain artinya membuat orang lain benci padamu, atau kamu jadi bajingan dan dimusuhi masyarakat. Kebencian cuma akan memperkuat relasimu dengan orang lain, karena kamu bisa jadi terkenal ketika orang benci kamu. Kunci dari membunuh relasimu adalah, “menghilang secara sosial secara perlahan-lahan.” Caranya bagaimana?

Buat orang-orang percaya sama kamu, bahwa kamu akan baik-baik saja, dan mereka akan baik-baik saja tanpa kamu. Buat mereka biasa aja ketika kamu nggak ada, hingga ketika kamu bener-bener nggak ada, yah… Gak ada yang nyari kamu. Nggak ada yang sadar atau kaget, ketika kamu ga muncul-muncul. Intinya, semua orang yang kamu kenal ini harus jadi independen, kuat, berdigdaya, dan lebih keren dari kamu. Jadi, kalaupun ada pertanyaan kamu dimana, paling selalu ada yang jawab, “Dia mah orangnya begitu. ” Di situ eksistensi sosialmu hilang dan kamu nggak diomongin siapa-siapa.

3. Matilah dalam kesadaran penuh

Pilihan bebas itu perlu banyak syarat, salah satu syaratnya adalah konsensualitas, harus tahu implikasi dan sebab akibatnya. Jangan mabok terus mati, itu bukan bunuh diri, itu kecelakaan atau mati konyol. Pastikan kamu sober. Pastikan juga semua rasa terasa dan kamu ga mati rasa secara fisik dan mental. Karena kalau mati rasa, kamu tidak membunuh dirimu, kamu cuma membunuh mayat hidup saja. Curang itu.

4. Pastikan badanmu nyaman

Seperti terpidana mati yang bisa request macam-macam, pastikan makan kamu enak, minum enak, ML enak. Puas-puasin dirimu dengan keduniaan yang nggak bakal kamu dapet lagi kalau kamu mati. Hal-hal bahagia yang sederhana. Jalan-jalan, jalan sama anjing.

Lihat kembali di bucket list apa yang belum pernah kamu lakukan. Apa kamu terlalu jelek untuk punya pacar biar bisa selingkuh? Pilihanmu dua: bikin kamu jadi ganteng, atau cari orang-orang yang lebih jelek dari kamu untuk kamu pacari, dan yang lebih jelek lagi untuk kamu selingkuhi. Anyway, memang seks itu enak, tapi pernah nggak kamu nyimeng bareng temen dan musuh deket? Seks memang enak, tapi pernah nggak kamu makan kue tamblek mama saya? Nggak tahu kan kamu apa itu kue tamblek? Cobain dulu sebelom mati ya.

5. Cara mati paling lama dan menyakitkan

Metode ini saya temukan bersama sahabat saya Ervin Ruhlelana. Cara mati paling panjang dan sakit, dimana kita makan racun tiap hari, menghirup udara beracun, minum minuman beracun, ada di hubungan beracun, bahagia, patah hati, diulang terus menerus. Tragedi demi tragedi mengikis kita, menyiksa diri terus menerus dengan kesakitan dan kenikmatan. Cara mati paling sadis, lama, dan etis adalah: hidup.

Berani?

***

Kalau kamu berani, seperti saya, mungkin saatnya kamu membantu saya untuk mati secara etis dengan mempertahankan sebuah kesakitan nikmat bernama menulis. Traktir saya kopi dengan menekan tombol dibawah ini atau dengan kirim gopay ke saya… Smooth kan? I should’ve have tinder. Hehehe.