Politik, Racauan

Bisnis Bencana dan Banjir Jakarta

Salah satu model bisnis terbesar di dunia adalah bisnis bencana (Business of Disaster). Logika bisnis ini sederhana: mereka untung dari bencana maka bencana harus dipelihara.

Jangkauan bisnis ini sangat luas: dari perdagangan obat-obatan dan vaksin, program perang dan perdagangan senjata, program pembangunan dan perbaikan infrastruktur, sampai program CSR dan pengelolaan sumbangan. Tanpa bencana, mereka akan rugi besar.

Potensi bisnis ini pun sama luasnya: dari bencana alam, bencana kemanusiaan, sampai bencana alam karena manusia–yang terakhir ini yang paling sering dieksploitasi. Ini adalah jawaban kenapa bahan bakar ramah lingkungan (tenaga matahari dan biofuel) tidak juga diproduksi massal dan murah, malah tersendat-sendat; kenapa perang-perang terus menerus diadakan dan senjata bekas perang A dijual ke bakal perang B; kenapa jutaan orang jadi korban virus baru, atau ujicoba vaksin/obat baru; kenapa jalan-jalan tidak pernah berhenti diperbaiki dan dengan cepat rusak lagi, dan kenapa banjir di Jakarta harus tetap ada.

Bisnis adalah permainan manipulasi, penciptaan kebutuhan. Untuk punya sebuah pesawat TV hari ini, Anda harus punya internet (dulu antena), lalu ada stasiun TV, satelit, dan segala infrastrukturnya. Kebutuhan terus diciptakan tanpa akhir. Yang mengerikan adalah ketika kebutuhan itu diciptakan dari menciptakan bencana. Akan ada banyak orang yang mati, untuk memberi contoh yang hidup. Tapi itu tidak cukup. Yang hidup harus diajari untuk cepat puas dengan menambal tanpa menyelesaikan masalah.

Contoh kecilnya adalah banjir Jakarta. Siapa yang untung dari banjir Jakarta? Secara lokal, ada orang-orang yang menyewakan perahu karet, tenda pengungsian, atau penyalur sumbangan yang di dalamnya terdapat jalur distribusi bantuan. Lebih luas lagi, pemberi bantuan dapat keuntungan pencitraan politik. Yang lebih luas lagi, pemerintah dan DPR selalu dapat proyek. Secara global, saham-saham seperti farmasi, sparepart, perkebunan, apartemen, dan bahan pokok, selalu naik setiap kali banjir. Penting untuk melihat siapa saja yang untung setiap ada banjir, karena dengan itu, kita bisa melihat konflik kepentingan kenapa banjir harus dipertahankan di Jakarta.

Dengan ini saya merasa bahwa tidak akan ada gubernur yang benar-benar bisa membuat Jakarta tidak banjir, kecuali, ketika masyarakat Jakarta sendiri benar-benar bisa memiliki kekuatan politik yang benar-benar besar, yaitu kekuatan politik yang mengatasnamakan kepentingan kehidupan mereka sendiri alih-alih kepentingan politikus atau golongan agama tertentu. Kekuatan ini hanya bisa didapat ketika masyarakatnya sudah memenuhi kewajibannya sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab, serta punya kecerdasan dasar dalam pengelolaan ruang dan ekonomi yang berpikir untuk kepentingan publik. Dari mulai pengelolaan sampah, sampai pemilihan tempat tinggal dan konsumsi belanja yang memikirkan orang lain. Semua tindakannya sudah bisa memperhitungkan publik, seperti menyiram toilet umum yang ia pakai dengan bersih karena berpikir bahwa sehabis ia pakai, akan ada orang lain yang memakai fasilitas itu.

Kewajiban yang sudah dipenuhi itu akan memberikan hak warga untuk bersuara secara lebih efektif. Di sini warga bisa menganalisa pengambil kebijakan dan mengkritisinya ketika melanggar hak publik dengan korupsi atau penipuan proyek. Hukum bisa ditegakkan, kalau mayoritas subjeknya sudah memenuhinya, dan sisanya tinggal dikoreksi. Tapi selama kesadaran politik itu belum ada, selama money politics masih bisa jalan dengan mulus, selama kepentingan golongan yang dipegang oleh beberapa orang masih lebih bisa bersuara daripada kepentingan publik keseluruhan, lupakan saja bebas banjir. Itu hanya angan-angan saja.

Silahkan menunggu banjir dengan setia setiap tahun, dan jangan lupa maki-makilah sesama demi pilkada. Toh yang diharapkan adalah kemenangan calon, bukan kemenangan diri sendiri dan kemenangan publik. Selamat berenang dan menyelam.

Photo Essay

Jakarta After The Rain

My first photo essay. Taken on the 1st November 2016, around Kuningan. Unlike New York, Jakarta is colorful. And after the rain you can feel that all the dust gone, and the colors started to emerged. No matter how tough the city is, with the traffic jam, floods and high competition, most people still enjoy their lives. Some even dancing on their way. There’s no decent walking pavement in this city, but you gotta walk when you gotta walk.

Filsafat, Memoir, Politik, Racauan

Jangan Pilih Ahok Sebagai Pemimpin Muslim! Capische!?

ahok-hoax
Photo: Agan Harahap

Saya mengaku muslim. Tapi bukan muslim yang baik. Solat masih jarang-jarang, tapi berzakat lumayan teratur (diingetin nyokap). Puasa masih bolong-bolong (tapi diitung buat dibayar belakangan kalo ada umur). Saya juga sudah berhenti solat Jum’at di mesjid Indonesia. Terakhir kali solat Jumat di Indonesia sekitar 4 atau 5 tahun yang lalu, saya ingat saya Walk Out dengan kesal, nggak tahan dengar setan yang jadi khatib.

Terakhir kali saya Solat Jum’at adalah di World Bank, Washington DC awal tahun ini. Kuil kapitalisme, dimana Tuhan kebanyakan orang disembah hari ini: DUIT. Di sana saya shalat dengan muslim-muslim dari seluruh dunia. Di sebuah mushalla kecil yang pakenya harus shift-shift-an, saya dapat shift 3, sekitar jam 2 siang. Lucunya, sebagai orang yang mengaku ‘kiri’, solat di World Bank membuat saya bukan ‘kiri yang baik,’ walau setiap ada kesempatan saya selalu ikut atau membuat proyek komunitas, dan jalur hidup, prinsip, dan pekerjaan saya lumayan jauh dari struktur industri.

Saya Solat di World Bank bersama murid-murid saya yang sedang mengunjungi DC. Mereka seperti kebanyakan muslim Indonesia, setengah tidur dengerin ceramah–sudah biasalah mereka nggak perduli dengan isi ceramah Jum’atan. Tapi saya terjaga dan mendengarkan. Inti pembicaraan adalah bagaimana menjadi adil dalam Islam, yaitu ‘menempatkan sesuatu pada konteksnya.’ Yang menarik adalah, si penceramah menarik jauh tema itu menjadi pentingnya ilmu pengetahuan, baik alam, sosial, ekonomi, filsafat dan politik, untuk menjadi adil. Karena keadilan tanpa referensi itu tidak ada. Kita tidak bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya kalau kita tidak tahu itu apa dan dimana tempatnya. Menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya adalah hal yang tidak adil: memakai celana dalam di kepala, misalnya, adalah hal yang tidak adil buat kepala dan buat si celana dalam (ini kalimat saya sendiri, bukan kalimat si penceramah–haha).

Peristiwa Demo anti-Ahok mengingatkan saya pada ceramah tersebut. Apakah Ahok adil membawa-bawa ayat Al-Quran dalam orasinya? Apakah umat Islam yang anti-Ahok adil dalam menempatkan Ahok sebagai calon pemimpin yang haram bagi muslim? Saya tidak bisa bicara soal ayat, tafsir, atau apapun itu. Itu bukan kapasitas saya dan saya merasa tidak adil bicara soal ayat dalam konteks agama. Dalam konteks budaya, saya masih pede bicara ayat dari kitab manapun, tapi konteks agama? Saya sih merasa tidak adil lah. Di situ saya merasa, Ahok tidaklah adil.

Namun, ketika orang-orang muslim mengharamkan pemimpin non-muslim, apakah itu adil? Ya, kalau pemimpin ‘muslim’ yang dimaksud adalah pemimpin agama, tentu adil-adil saja menolak Ahok. Kalau pemimpin yang dimaksud adalah pemimpin seluruh umat Islam Jakarta, tentu baiknya jangan memilih pemimpin non muslim. Seorang kiai yang namanya saya lupa berkata, “Tidak mungkin seorang kristen menjadi imam shalat.” Saya setuju.

Cuman ya si Ahok jelas bukan pemimpin muslim. Dia nggak ngajarin agama. Dia juga bukan pemimpin Kristen, toh dia nggak ceramah di gereja tiap minggu–paling cuma sekali-kali aja dituduh pendetanya. Konteksnya, dia bukan pemimpin agama. Dia cuma pelamar kerja untuk jadi pelayan sipil (mengutip dia sendiri). Dia mau jadi CEO-nya Jakarta, anak buahnya warga Jakarta–masalah warga yang mana dari kelas apa, itu masalah lain. Adilkah kita menempatkan Ahok sebagai pemimpin muslim yang harus kita tolak?

Saya ikutan menolak Ahok menjadi pemimpin umat Islam. Tapi soal Ahok jadi pemimpin Jakarta, saya masih mau punya hak memilih dia atau kandidat lainnya. Dan saya yakin, kalau Pilkada Jakarta ini adalah untuk memilih pemimpin dengan tingkat kegantengan, Ahok pasti kalah. Dia jarang ngegym kok. Bandingin aje bodinya sama Sandiaga Uknow atau Agus Udahyanak—Udah Ya Nak, jangan jadi tentara lagi… Nyokap saya aja sudah bulat akan memilih Agus karena doi six pack (aduh mamah… ternyata cukup girang jeee sama brondong.)

Socrates dalam buku ‘Republik’ yang ditulis Plato, diceritakan pernah menggrataki pasar dengan ngajakin orang-orang ngobrol soal keadilan. Jawabannya tentu berbeda, dan seperti biasa, tidak ada kesimpulan mana ‘Adil’ yang benar dan yang salah. Ada yang menjawab keadilan adalah milik penguasa, ada juga yang menjawab–lucunya seperti muslim–bahwa keadilan adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, ada juga yang menjawab keadilan adalah ibarat timbangan. Seperti kata Aa Gym (yang juga jarang ngeGym), kita jadi banyak belajar dari kejadian Ahok dan surat Al-Maidah yang dia bawa-bawa. Ambil saja hikmahnya. Tapi, jangan ambil hak suara orang lah… di situ kita harusnya sepakat, mengambil hak suara orang artinya tidak a…

Ah, sudahlah. Saya tidak ingin bikin kesepakatan apa-apa. Terserah aja pilkada nanti gimana. Toh itu juga cuma ilusi besar demokrasi. Saya mah pro khilafah saja. Memilih naik onta dariada naik kendaraan bermotor. Onta ramah lingkungan dan tokainya bisa jadi pacar kuku.

Filsafat, Politik, Racauan

Ekstrimisme & Kaum Kota

KTP siapa Buat Ahok_final
Korban Gusuran Luar Batang. Repro Eseinosa dari cdn.gresnews.com

Jaman Harto memang lebih enak, karena ia berhasil membangun kaum miskin yang docile alias pasif. Rezim itu tidak membiarkan toa masjid bergema keras. Rezim juga tidak membiarkan penyebaran informasi yang bisa membawa kepada tindakan makar dari tingkat terkecil masyarakat. Tidak ada internet, ponsel pintar buatan Cina, media cetak dan elektronik provokatif, dan website abal-abal…

Orang miskin hanya menjadi kecoak yang bersembunyi di sela-sela sampah peradaban dan keluar jadi buas ketika ada kerusuhan dan kesempatan menjarah saja. Sasarannya bisa siapa saja yang disuruh elitis: Cina, Komunis, Aktivis, atau guru ngaji yang dituduh dukun.

Tapi hari ini tidak begitu. Identitas lebih cair, akses ke media dan informasi dikendalikan rating dan kepentingan politik pemilik media. Perang propaganda menyediakan motivasi-motivasi untuk bersatu dan melawan. Melawan siapa?

Melawan yang bisa dilawan walau seringkali salah sasaran.

Melawan siapapun yang dianggap asing, siapapun yang dianggap kaya, siapapun yang dianggap punya kebebasan dan ide untuk merenggut identitas. Karena identitas adalah satu-satunya yang bisa dipertahankan sendiri.

Lalu ekstrimisme itu muncul dalam bentuk ormas-ormas, di antara merdunya pengajian dan dzikir, dan di antara kerasnya seruan untuk melawan kafir. Dan musuh-musuh hadir dalam bentuk-bentuk gaib: pengendara ojek aplikasi, banci dan kaum Luth terkutuk, perempuan dengan lekuk tubuh, hingga anjing penjaga babi ngepet.

Dalam keadaan seperti ini, identitas minoritas adalah kebutuhan imajinatif. Menjadi diri sendiri, percaya pada Tuhan dan agama yang berbeda, mencintai sesama jenis, mengakui seksualitas sendiri, bahkan berpikir dan bicara kritis adalah kemewahan yang harus dibayar mahal. Kau bisa aman beribadah, bercinta dan berpikir kalau kau punya cukup modal.

Akhirnya tembok harus semakin kokoh, dan kaum miskin dan kaya terpisah semakin kedap: suara-suara tak bisa terdengar apalagi dimengerti. Karena toh seniman-seniman intelektual kota seperti sudah enggan menembus tembok-tembok itu, lebih senang teriak lagu kebebasan di kafe-kafe dan bar-bar daripada di mimbar dan teriak BONGKAR!

Kini mimbar berisi kiai-kiai dan habib-habib yang terlalu serius mengajarkan sesatnya nasionalisme, demokrasi dan gerakan politik, tanpa sedikitpun pernah bicara soal komedi dan bernegara yang baik.

Kaum kota semakin ekstrim, Gubernurnya mengejar suara yang terkaya, suara aristokrasi urban. Sementara lawan politiknya akan mengeksploitasi kebodohan dan kemiskinan.

Taik.

 

Siapa yang benar-benar mau peduli?

Yang jelas jangan salahkan jika yang tergusur semakin gusar dan sembarang menyerang.

Tak usah bawa-bawa HAM dan akal, itu barang mewah. Itu semua sudah direnggut ketika tembok itu dibangun dan yang miskin dikunci di luar untuk jadi mainan penantang kuasa, jadi pion-pion yang dijanjikan kemakmuran.

Yang kalah di luar tembok, tidak akan meruntuhkan kekuasaan. Dari mereka hanya akan tumbuh orang-orang yang nyawanya sangat murah–bisa dibeli dengan janji-janji kemakmuran di dunia atau akhirat.

Modernisme, kau keparat!