Memoir, Musik, Panggung, Politik, Racauan

Hikayat Penjahat Skena

 

00-mabuk
Rusuh biasa aje. Sumber gambar: Kapanlagi

Ini tanggapan buat adinda Beatrice Silvia yang menulis soal panduan nonton gig di Provoke-online, juga buat dinda-dinda lain yang masih suka berseronok di skena musik hari-hari ini. Abang ini cuma hendak berbagi pengalaman sahaja, Dinda. Bahwasannya di tahun 2000-an, tidak ada polisi skena, karena isi seluruh skena biasanya penjahat. Menurut abang, itulah sebab hari-hari ini banyak polisi. Dulu, ya, Dinda, Mantan gebetan Abang saja harus kabur dari rumah untuk nonton skena, karena bapaknya takut keperawanannya hilang sepulang nonton skena; padahal keperawanan mantan gebetan abang sudah hilang dari SD, ketika ia kecelakaan sepeda mini. Skena itu serem!

Alkisah, Wonderbra, Band Rock en Roll abang ni, sudah pernah manggung ratusan gig. Dari 2005 sampai tahun 2009, abang ingat kami sering mendapat panggung dengan mosh pit yang yang ibarat lubang anjing hyena: orang tabrak-tabrakan, menyelam di kerumunan, bahkan suatu kali pernah ada yang kelahi dengan golok dan membuat lubang anjing itu menjadi arena gladiator jawara. Basist band abang, kang Asep, sampai pura-pura pingsan agar panggung tidak dibakar. Penonton dulu begitu jahatnya, begitu aktifnya dan begitu berbahayanya. Belum lagi seksisme yang mereka teriakan pada vokalis band rock atau dangdut perempuan. Teraya, vokalis abang, pernah disuruh telanjang. Sebagai feminis, tentulah ia membalas, “Lu aja sini telanjang sampe k****l!”

Tapi abang ni tiada bisa menyalahkan para penjahat skena tersebut. Selain karena mereka menghidupkan panggung (kadang-kadang benar-benar membakar dengan api), mereka pun memberikan pengalaman panggung yang tidak tanggung-tanggung untuk abang dan budak-budak abang. Lagipula, abang pula sering menjadi penjahat untuk menghidupkan panggung, ketika nonton skena dulu itu. Ini abang hendak berbagi pengalaman, yaitu bagaimana tata cara menjadi penjahat skena.

Baca lebih lanjut

Filsafat, Politik, Racauan

Humanistik dan Empatetik Hipsterdom

source: http://cdnimage.terbitsport.com/
source: http://cdnimage.terbitsport.com/

Ini curhat lho ya, jadi jangan dianggap serius. Referensinya nggak jelas, tulisannya nggak bisa dan nggak akan saya pertanggungjawabkan secara profesional akademis. Saya cuma memakai insting natural saya sebagai Hommo Labelicus, atau manusia yang suka ngasih label (lagi-lagi ini karangan saya, tak ada istilah ilmiah untuk kata latin ngasal ini). Ini tulisan latihan untuk bikin tulisan lain soal Hipster perjuangan, yang sudah berbulan-bulan masih dalam proses pengendapan karena belum klik. Otak masih nunggu disamperin Dewi-dewi Muse. Jadi yah, selow aje.

Baca lebih lanjut

Ethnography, Politik, Racauan

Memori Ojek Pangkalan dan Monopoli Gojek

www.go-jek.com
http://www.go-jek.com

DISCLAIMER:

Dilarang posting iklan. Karena ilmu pengetahuan itu GRATIS!

Kalau Jakarta mau jadi metropolitan yang sebenarnya, Gojek harus memonopoli semua pangkalan ojek. Harus profesional, teratur, terstruktur dan meminimalisir hubungan negosiasi antara tukang ojek (yang disebut driver (supir) oleh Gojek, padahal harusnya Rider (pengendara) karena motor tidak disetir tapi dikendarai)). Akan ada kepastian harga, kepastian keselamatan (asuransi) dan tidak ada ruang main-main atau dipermainkan. Apakah kita mau? Jangan bilang mau begitu saja, itu artinya gampang digodain setan. Coba saya bantu anda dengan memori saya tentang ‘institusi lokal’ yang hendak dibantai modernisme ini.

Baca lebih lanjut