Cinta tidaklah memuaskan dirinya sendiri atau mengasihi diri sendiri
Cinta memberikan ruang pada yang dicinta & membuat surga dalam keputusasaan neraka Keliatan tanah membentuk kemanusiaan rela terbentuk dan hilang oleh alam
Cinta hanya ingin memuaskan dirinya sendiri untuk mengikat orang lain demi kesenangan pribadi bahagia atas keterbatasan yang dicintai dan membangun neraka atas nama surga
Kekerasan tersapu air dan menjadi bercahaya licin, menjebak, dan membawa kekerasan kita adalah daun yang terbawa di antara Tanah liat dan batu kali
Depok, 5 Juli, 2008
Terima kasih telah membaca puisi ini. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, traktir saya kopi dengan menekan tombol berikut ini:
LELAKI: –Dadaku di dadamu
Ya? Kita bisa jalan-jalan
Melewati cahaya mentari hangat.
Hidung kita hirup
Udara pagi biru, memandikan kita
Dalam anggur hari ini.
Mabuk cinta dan bodoh,
Hutan bergetar berdarah
Tetesan hijau dari setiap dahan
Kuncup-kuncup putih mengembang
Semua terbuka, kaubisa merasakan
Mereka merinding:
Kau melewati semak belukar, gaun putihmu
Tersipu di udara,
Biru melingkari
Mata hitam besarmu
Mencintai tanah,
Memanennya,
Dengan tawa, meruah
Seperti sampanye:
Menertawaiku, mabuk dan liar,
Kubawa kau,
Secepat itu—di antara rambut indahmu
Betapa dalam aku minum.
Nafasmu yang manis,
Tubuhmu yang wangi,
Tertawa, saat hembusan angin menciummu
Seperti maling,
Mawar-mawar liar menggodamu
Tertawa, dengan manis
Terbahak-bahak, seringkali, pada pacarmu—
Aku!
…
Tujuh belas! Lihat bagaimana kau akan bahagia!
Padang rumput yang luas
Bukit-bukit cinta tanpa batas
Jadi jangan malu…
–Dadamu di dadaku,
Suara kita tercampur baur
Kita sampai ke ngarai
lalu ke hutan…
Dan seperti kematian kecil,
Hatimu menyerah,
Kau akan bilang: gendong aku.
Matamu setengah tertutup…
Dan kugendong engkau, susah payah
Ke dalam hutan:
Ada kicauan burung: “Bawa ke dekat pohon hazelnut!”
Aku akan bicara pada bibirmu;
Melangkah tanpa lelah, membuai
Tubuhmu seperti bayi di ayunannya,
Mabuk darah.
Aliran di bawah kulit putihmu
Seperti mawar yang mekar:
Aku bicara pikiranku
Yang pikiranmu tahu…
Hutan kita beraroma getah,
Dan matahari
Menyebarkan debu emas di atas
Mimpi merah delima ini.
…
Dan ketika malam tiba?… kita kembali
Melewati jalan putih yang berkelana
Seperti ternak merumput,
Berkelana jauh.
Rumput-rumput biru dari anggrek-anggrek penurut
Dan pohon-pohon pemberontak
Harumnya mengisi udara
tanpa akhir
Kita kembali ke desa
Di bawah langit hitam;
Harum susu dan menyusu
Mengisi udara malam,
Kita menghirup kandang kuda
Penuh pupuk hangatnya
Penuh dengan suara nafas berat teratur
Dan pundak-pundak lebarnya
Memutih di antara sinar lampu
Dan, di sana,
Seekor sapi berak tahi
Sambil melangkah bangga…
Kacamata nenek
Dan hidung panjangnya
Dalam doanya: Sekendi bir
Tongkat dengan timah
Melayang di antara pipa
Asap tebal mengepul
Bibir-bibir seram
Melahap segarpu penuh
Daging sambil merokok
Dan minum, dan…:
Api menerangi kasur
Dan lemari
Pipi-pipi gemuk mengilat
Dari pantat gemuk bayi
Yang keempat-empatnya menjepit
moncong putihnya jadi cangkir
Disikat berewok, menggeram
Pelan dan
Menjilati muka
Anak yang manis…
Hitam, bergantung di pojok
Kursi perempuan itu, bayangannya.
Mimpi buruk, seorang perempuan tua
Menjahit di dekat perapian;
Apa yang mau kita lihat, sayang,
Dalam ruang seperti ini
Saat api hanya menyalakan
Kaca jendala kelabu…
–lalu, kecil dan terselip
Dibalik kenop ungu
Dingin dan hitam; sebuah jendela kecil
Tertawa di belakang…
Datang padaku, datang padaku.
Pada cintaku, dengan cantiknya.
Datang padaku, jadi kita bisa—
Dia hampir telanjang
Dan pohon-pohon tinggi mengintip diam-diam
Dengan cerdik melempar daun-daunnya
di kaca jendela, begitu dekat, begitu dekat.
Dia duduk setengah telanjang
Di atas kursiku, tangannya saling menggenggam.
Kaki kecilnya gemetar menyentuh lantai,
Dengan nikmat, sangat lembut, sangat lembut.
–Aku pandang ia seperti cahaya mentari nakal
Warna lilin yang terbias
Dari senyumnya, dari dadanya.
Ada lalat di atas mawar.
Aku mengecup tumit lembutnya.
Ia melepaskan tawa yang kecil, dan tajam
Yang bergelombang dengan getaran,
Tawa cantik jelas jernih.
Kaki kecil pergi bersembunyi
di balik gaun malam. “Jangan, aah!”
–Sudah sejauh ini,
Tawa hanya membuat semakin dekat.
–Gemetarlah ia, kelopaknya.
Di bawah bibirku, kukecup lembut:
Ia melempar kepalanya ke belakang
“Kamu nakal… Monsieur!”
“Aku punya dua kata untukmu…”
–Tapi kuakhiri percakapan
Dengan ciuman-ciuman di dadanya, membuat tawanya
merangkum sisanya…
Dia hampir telanjang
Dan pohon-pohon tinggi mengintip diam-diam
Dengan cerdik melempar daun-daunnya
Di kaca jendela, begitu dekat, begitu dekat.