Film, Kurasi/Kritik, Politik, Racauan, Workshop

Karena Film Itu Tinggi dan Video Itu Rendah

Kalau kita pakai definisi film secara kebudayaan, bukan secara teknis, maka film adalah sebuah produk media yang dibuat untuk discreening atau ditonton bersama dalam sebuah ritual modern. Budgetnya relatif, bisa kecil bisa besar, tapi ia didedikasikan sebagai seni yang lebih tinggi daripada video.

Sementara video dibuat untuk dibroadcast, dilihat sebanyak mungkin orang dengan semudah mungkin akses. Semua orang yang bisa bikin video hari ini, tapi tidak semua orang yang punya kamera bisa bikin film, karena setelah shooting selesai, pasar pertama produk tersebut adalah tempat screening; baik itu di bioskop ataupun di festival.

Konon film adalah anak haram antara kapitalisme dan seni. Dalam hubungan itu, ada yang dominan dan tergantung produser dan sutradaranya. Namun di muaranya, film dianggap sebagai seni tinggi, disakralkan. Makanya filmmaker suka emoh kalo dibilang filmnya video. Filmmaker juga banyak yang merasa bahwa film tv bukan film, karena dia dibroadcast di tv. Film yang sudah masuk TV tak berbayar, alias frekuensi publik, bukan lagi film, tapi dianggap sudah jadi seni rendah: video. Padahal di era digital hari ini, kebanyakan film dibuat dengan alat perekam yang menyimpan data digital (baca: video).

Film adalah video yang dilabeli ritual dan ekslusifitas. Sebuah dokumentasi kawinan Batak, yang diputar dalam festival film kebudayaan eksotis di Inggris akan jadi “film”, sementara kalau diputar diantara sanak saudara mempelai, atau dishare di youtube melalui grup WA keluarga, ia akan jadi “video.”

Jadi yang membuat sebuah produk media jadi film atau video hari ini adalah masalah presentasi dan segmentasi. Presentasi artinya dimana ia discreening, dan segmentasi artinya siapa yang menonton screening tersebut. Semakin highclass yang menonton, semakin mahal dan prestisius sebuah film. Karena itu festival film juga punya kelas, dari yang abal-abal, sampai yang super wah.

Konversi dari film ke video jadi bukan hanya masalah teknologi, tapi jadi konversi transaksi pasar: setelah mengalami presentasi publik, apakah film itu akan dilepas dengan akses di platform publik, atau dijual streaming ke platform berbayar. Apapun itu, setelah selesai screening, semua film berubah menjadi video. Dan video sejatinya menjadi data, yang nilai ritualistik dan ekonominya akan turun seiring berjalannya waktu.

Film, Kurasi/Kritik, Uncategorized

Millenial Menghadapi Zaman Gila

Ini film art yang cukup seru dengan kebermainannya. Pacing editingnya asik banget pula, dan sederhana. Itu yang paling gue suka, kesederhanaannya. Tapi dibalik kesederhanaan itu banyak banget referensi-referensi yang bisa digali, dari pallette warna terang tahunjn 80an, terus adegan-adegan khas Holy Mountain-nya Jodorovsky dan Andy Warhol.

Sabi bet. The video will speak for itself.

 

 

 

Memoir, Politik, Racauan

Tidak Ada Maaf Ramadan Ini

Disclaimer: Bukan tulisan untuk diskusi atau dialog, cuma luapan stres dan kemarahan. Jangan dibaca kalau mau sehat.

pawai_obor_20160912_094604

Dua hari ini saya tertekan. Video-video yang masuk untuk saya kerjakan, adalah video-video yang tak pernah saya bayangkan ada di Jakarta di saat bersamaan, dari inisiasi preman yang membacok secara acak, bom bunuh diri kampung Melayu, dan di malam yang sama, anak-anak kecil berteriak bunuh-bunuh Ahok. Saya selalu berusaha mengerti dan memahami bagaimana pikiran manusia bekerja, tapi beberapa hari ini, saya benar-benar gagal paham.

Besok malam ada tabligh akbar di depan rumah. Saya tidak pernah absen mendengarnya, karena masjid punya toa yang sangat besar dan, ini epik, pernah di suatu gang, saya melihat komunitas pengajian yang jauh dari masjid, mendirikan tenda, menaruh TV LED di atas panggung, lalu memasang live feed youtube dari masjid besar, lengkap dengan amplifier-amplifier dangdut menggemakan suara si Habib. Sponsornya tetangga-tetangga saya sendiri. Nampaknya tabligh akbar sabtu ini akan menggunakan cara yang sama.

Pilkada DKI Jakarta telah membawa eksesnya, dan sentimen ini sudah pasti ditunggangi banyak pihak dari opisisi pemerintahan, lalu teroris. Mungkin inilah arti pemerintahan Rakyat yang sebenarnya: rakyat memenangkan seorang gubernur dengan sentimen agama, rakyat menyebar kata-kata kebencian, dan rakyat menuai hasilnya: anak-anak bermulut sadis dan sepasang Jihadis di terminal bus.

Setelah itu pun, akal nampaknya tak juga menyala malah tambah gelap. Teori konspirasi berseliweran, menuduh polisi dan pemerintah sebagai dalang pemboman bunuh diri, sebagai pengalihan isu untuk menangkap mahasiswa Islam yang sedang berdemo di Istana negara. Mahasiswa yang merasa sangat penting, dan sangat cerdas hingga penangkapannya seakan-akan memerlukan pengorbanan 3 orang polisi di Kampung Melayu. Padahal kalau kita baca berita, mahasiswa-mahasiswa demonstran itu otaknya taik kotok: kecil, sangit, baunya setengah mati dan sering jadi jebakan batman di jalanan.

Sungguh menahan mereka sama saja seperti menculik anak miskin yang makannya banyak–tak ada untungnya banyakan ruginya.

Kenyataannya begini kawan, itu hoax-hoax dan teori konspirasi dibikin oleh dua macam orang. Pertama, orang bebal yang ngotot bahwa dia benar dan ingin dapat perhatian; kedua orang cari uang dari klik, iklan, dan duit politik oposisi buat bikin rusuh, dengan tujuan yang lebih jelas: duit. Lalu orang-orang tolol klik, share, dengan rajin copy-paste di WA grup, dan tidak mau dipersalahkan kalau itu hoax, “mana saya tahu, saya kan cuma share dan ingin tahu pendapat kalian di grup ini,” kata si penyebar kotololan. Padahal kita semua tahu, ketololan yang ia sebar didasari atas benci kepada siapapun yang didiskreditkan hoax itu.

Persis seperti orang-orang yang bilang anti-terorisme tapi di saat yang sama mendukung ISIS, dan menyebar kebencian kemana-mana. Dan apapun yang kita sodorkan, argumen sudah mati. Tidak ada yang bisa menghentikan mereka untuk bicara, karena bicara dijamin konstitusi. Dan tidak ada yang bisa membuat mereka berpikir logis, atau sekedar punya empati pada orang yang berbeda. Jadi muslim yang baik tambah sulit. Di kanan dibilang radikal sementara di kiri dikafir-kafirkan.

18671491_1234722746649797_1134553460836842586_o.jpg

Begitupun mereka yang mengaku liberal, progressif, pendukung Ahok si kalah itu, terus-terusan tidak bisa move on, melemparkan kritik-kritik pada gubernur yang bahkan belum mulai kerja, menyebar hoax-hoax atau berita fakta parsial, hanya untuk nyinyir saja. Eh tot, lu ga ada kerjaan lain? Ini udah darurat bulan puasa isinya telek! If you’r not part of the solution, you’re part of the problem–heck there’s a possibility that you ARE the problem in the first place.

Lalu kalau sudah tidak bisa berdialog, dan hanya bisa bermonolog sama-sama begini, bagaimana cara minta maaf? Bagaimana cara memaafkan? Ramadan ini akan jadi Ramadan terburuk sepanjang tiga dekade hidup saya; sama sekali tidak ada keridhaan di hati saya, dan niat ibadah sudah hilang sama sekali. Setiap detik saya mau muntah, karena toa tak henti-hentinya berteriak-teriak serak. Saya tidak bisa lagi membedakan mana yang dzikir dan mana yang makian. Masjid bertambah megah, tapi udaranya kotor.

Ini seperti menghadapi setan kiriman yang mengganggu tidur. Saya ingin berdzikir untuk melawan kebencian, si setan berdzikir menyebar kebencian. Saya ingin mengaji biar damai, si setan mengaji biar perang dan terbakar. Ah, taiklah semua ini. Marah sendiri tidak ada gunanya, membuka hubungan untuk mengerti terasa sangat menghina pikiran dan hati nurani.

Lalu harus apa? I need an explanation but everything is so scattered now, I got disoriented. Mungkin saatnya mencari ganja ke kampung Arab di belakang komplek rumah. Bandarnya sudah naik haji dua kali dan nampaknya santai saja dengan keadaan ini, tak pernah benci-benci, menjadi sufi dan menyerahkan semuanya kepada Allah. Katanya, “Yang haram adalah yang memabukkan. Cimeng ini menyadarkan, jadi halal.”

Bener, Ji. Suntikin dulu, baru saya maafin semua orang dan ibadah enak Ramadan ini. SSSSUUUUTTT!!!!

1200px-arabischer_maler_des_krc3a4uterbuchs_des_dioskurides_004