Filsafat, Politik, Racauan, Uncategorized

Ketakutan untuk Bergerak

Ada seorang kawan anggap saja namanya Joni, memposting sebuah video yang ia ambil dari hpnya di kereta. Ia ambil candid jadi kualitas gambar dan suaranya sangat-sangat buruk. Video itu menunjukkan sepasang suami istri dengan wajah yang sangat sayu dan kelelahan, menggendong anak mereka yang masih diinfus dengan selang.

Si Joni menyebar gambar itu di sosial media dengan sebuah caption, “Pasangan suami istri ini masuk dari Stasiun M. Saya tidak berani bertanya siapa mereka dan kenapa keadaan mereka seperti itu. Semoga dengan mengunggah video ini akan ada yang membantu mereka.”

Tidak ada keterangan apa-apa lagi. Tidak ada nama, latar belakang kejadian, apalagi alamat.

Lalu apa gunanya diunggah? Apa Joni berpikir dengan merekam dan mengunggahnya, maka ia lebih baik daripada para bystanders, penumpang-penumpang lain, yang juga tidak berbuat apa-apa di sana. Apa Joni tidak berpikir bahwa ia sedang mengeksplotasi kesusahan orang lain, ketika gambar yang ia ambil dan ia sebar sama sekali tidak bisa punya efek apa-apa di dunia nyata selain rasa iba. Mungkin kalau ia edit video itu, kasih slow motion, kasih musik sedih, masih bisa menghibur orang yang menonton–seperti eksploitasi yang biasa dilakukan televisi.

*

Seorang profesor Neurosains Yahudi bernama Simon Baron-Cohen (masih sepupu dengan aktor pemeran Borat, Sacha), membuat buku berjudul “The Science of Evil.” Buku itu membahas asal usul kejahatan dari sudut pandang neurosains. Kesimpulan dari buku itu adalah secara biologis manusia bisa dilahirkan dengan agresivitas tinggi dan empati rendah, atau sebaliknya agresivitas rendah, empati tinggi. Namun setting sosial juga membantu kita mengatasi agresivitas atau bisa juga membunuh empati kita. Ada beberapa hal yang bisa dibahas dari tesis Baron-Cohen ini.

Pertama, ia melawan tesis eksistensialisme tentang keberadaan mendahului isi. Jika kita membaca karya-karya Eksistensialisme, khususnya Sartre sebagai mantan Marxist, kita bisa menyimpulkan bahwa manusia punya kemampuan buat memilih dan sebuah tindakan adalah tanggung jawab penuh manusia tersebut. Ini pemikiran turunan dari mainfesto komunisme Marx soal kemampuan manusia menjadi agen perubahan dengan pendekatan konflik. Jadi manusia bertanggung jawab penuh dalam menjadi budak atau menjadi revolusioner. Namun buat Baron-Cohen, ada faktor genetik manusia yang membuat seseorang menjadi agresif atau pasif. Potensi menjadi ‘jahat’ berbeda-beda untuk setiap orang.

Kedua, Baron-Cohen memetakan bagaimana biologi punya peran yang sama dengan setting sosial masyarakat dalam membuat kejahatan. Seseorang yang lahir dengan bakat psikopat, jika ia ada di setting sosial yang menyadari potensi-potensi dirinya, maka ia bisa diajarkan mengendalikan dirinya. Seseorang dengan Asperger Sindrom (kadar empati sama dengan psikopat tapi tanpa agresivitas), bisa menjadi seorang jenius dalam setting sosial yang mengenali dirinya. Sebaliknya seseorang yang lahir dengan sensivitas dan empati tinggi, bisa menjadi bipolar atau psikopat dalam setting yang memaksanya menjadi keras untuk bertahan. Kemampuan adaptasi manusia, menentukan kepribadiannya.

Dalam buku itu, Baron-Cohen hendak menjawab pertanyaan yang menggangu dirinya semenjak ia menjadi pengungsi ke Amerika di zaman PD II: apa yang membuat manusia menjadi jahat. Ia tidak menyalahkan tetangga-tetangganya yang hendak membunuhnya pada zaman NAZI. Ia tidak menyalahkan orang-orang Jerman yang anti-semitis. Sebaliknya, ia melihat bahwa pembantaian Yahudi di Jerman adalah sebuah fenomena sosial yang hadir melalui proses biologi, sejarah dan sosialisasi yang sangat panjang.

article-2287071-033365df0000044d-9_964x1039

Sebagai Yahudi yang tahu pasti bagaimana NAZI mempraktekan eksperimen biologi, dan menginterpretasi teori evolusi Darwin menjadi sangat rasis, Baron-Cohen tidak hendak membawa masalah genetik kejahatan ini ke dalam ranah rasisme. Sebaliknya, ia merasa bahwa ini masalah bagi semua manusia. Potensi-potensi agresif, sadis, jika ada di konteks yang tidak sadar akan keberadaannya, bisa berbahaya.

Kebencian orang Jerman di PD II pada Yahudi dibangun perlahan dengan konteks kesenjangan kelas sosial dan politik dan mencapai titik puncaknya ketika Hitler yang megalomaniak berkuasa. Hitler memberi ruang pada orang-orang yang kadar psikosisnya tinggi (ia sendiri juga dikenal sebagai psikopat yang obsesif-kompulsif). Genosida hadir ketika semua konteks kejahatan dan kekerasan bersatu padu.

g30s-pki-gestapu-1965-12

Dalam konteks Indonesia dan kekerasan berbasis kebencian yang terjadi pasca kemerdekaan, kita bisa melihat itu bagaimana konteks bisa memfasilitasi kejahatan. Dari tragedi 1965, hingga tragedi-tragedi massif lain yang terjadi karena pergumulan politik elit, konteks justifikasi atas kekerasan dibuat dan diamini sedemikian rupa. Di sini satu kata menjadi kunci: Negara. Negara sebagai leviathan punya kemampuan untuk membendung konflik atau mensponsori genosida atau etnisida. Sebuah pemerintahan yang kuat, menurut Thomas Hobbes, akan membuat orang menjadi takut dan membuat kekerasan massal terbendung.

Namun di sini kita juga bicara soal apa yang disebut Michel Foucault sebagai Governmentality, atau (sederhananya) sifat negara, dimana pembunuhan bisa terjadi atas nama keamanan bersama. Pembunuhan atau opresi besar-besaran terhadap kaum minoritas bisa terjadi atas dasar logika ini: demi keamanan dan kenyamanan bersama, demi demokrasi milik mayoritas. Di sinilah persekusi terhadap minoritas seringkali terjadi, dan ketika negara diam saja, artinya sama saja negara ikut mensponsori persekusi tersebut.

Persekusi terhadap waria yang terjadi di Aceh baru-baru ini adalah contoh yang cukup pas. Daerah Istimewa ini punya hukum Syariah yang dalam banyak hal bertentangan dengan hukum negara Indonesia yang sekuler. Namun dengan adanya otonomi daerah dan status daerah istimewa, negara jadi tidak bisa berbuat apa-apa menanggapi anarki yang terjadi di Aceh, dimana persekusi dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas, melanggar hak konstitusional orang: ratusan waria ditangkap, dicukur, dan dipaksa menjadi lelaki.

Di sini, ketika negara diam saja, saya tekankan kembali, negara mensponsori kekerasan.

Kita juga bisa melihat contoh paling sadis yang nampaknya tak pernah berakhir: okupasi Papua oleh Indonesia dan korporasi. Dari sekian banyak okupasi korporasi pada lahan rakyat, Papua adalah yang paling sadis. Kerusakan lingkungan dan kebudayaan terus didukung oleh negara dan kaum elit. Terlebih lagi, presiden Jokowi bermain janji soal membuka Papua untuk wartawan, namun selalu mencekoki wartawan dari sumber militer atau polisi. Sulit untuk mendapatkan berita dan informasi yang valid dari sana. Ketika kekerasan ini ditutup-tutupi ia akan semakin menjadi penyakit, seperti nanah di bisul yang sangat besar. Dan ini rentan disusupi pihak-pihak yang ingin ambil kuasa: kasih senjata ke rakyat, maka resistensi akan berjalan dengan sendirinya dan berapi-api. Seperti pepatah lama, ikan busuk ditutup-tutupi, baunya akan tercium juga.

ulet-ifansasti-papua-indonesia-gold-mine-3

Dari sisi Neo Marxisme, kita bisa melihat kesamaan governmentality Foucault dengan ideological state apparatus milik Althusser. Negara yang mensponsori kekekerasan, turut mengajarkan kekerasan sebagai bagian dari ideologinya. Di Indonesia, ISA menjalankan fungsinya secara berbeda-beda di banyak wilayah. Di beberapa wilayah rakyat dibuat pasif, di wilayah lain dibuat aktif dan reaktif, seperti gerakan-gerakan paramiliter berbasis nasionalisme atau agama. Ini membawa kita pada penutup esei ini: kekerasan sebagai bagian dari politik identitas.

Trend yang saat ini terjadi, pilkada dan pilpres nantinya akan diwarnai dengan politik identitas, yaitu menggunakan kesamaan-kesamaan ideologi baik agama, suku, atau ras dalam mengambil kuasa politik. Ini adalah trend yang sedang berlangsung, khususnya semenjak presiden Trump naik tahta di Amerika Serikat. Banyak ahli politik bilang bahwa trend ini harusnya dipandang biasa-biasa saja, sebagai bagian dari konservatifisme publik. Namun di sisi lain kita bisa melihat kekalahan ideologi multikulturalise dan pluralisme palsu yang digadang-gadang kaum neoliberal–kesemuan perbedaan yang dibayangkan bisa terjadi asal semua ikut sistem timpang yang sama bernama modernisme.

rijik4

Sekarang neoliberal berevolusi menunjukkan wujud aslinya sebagai sebuah ideologi yang kaku dan sangat konservatif, berpegangan pada kepentingan ekonomi dan manipulasi ideologi semata. Buat saya pribadi, trend politik identitas ini juga adalah bentuk kekecewaan terhadap platform-platform pemersatu bangsa, yang sudah puluhan tahun sangat lambat dalam memakmurkan rakyat dan bertekuk lutut pada modal. Sayangnya kekecewaan ini tidak bertujuan untuk mengubah sistem: pada akhirnya para penguasa juga bertindak sebagai kaum aristokrasi yang berpihak pada korporasi, lalu siklus akan sama saja seperti sebelumnya.

**

Kebanyakan masyarakat akan tetap menjadi pasif secara individual dan liar ketika dalam massa yang ramai. Bystanders, eksploitasi terhadap kekerasan, tetap akan terjadi. Di sini yang harus bergerak bukan pemerintah. Rakyat pun tidak bisa berpangku tangan pada korporasi, atau masuk politik untuk mengubah sistem–yang akan menjebak mereka pada akhirnya. Ujung-ujungnya, kekuatan komunitas menjadi kunci untuk perubahan, jaringan-jaringan komunitas dan kedigdayaan komunitas untuk membangun diri dan daerahnya sendiri.

Alat pembuat media sudah menjadi milik publik di banyak wilayah metropolitan atau yang punya akses ke metropolitan. Akhirnya kita akan berkontestasi dalam sebuah perang wacana dan kebudayaan, permainan identitas dan representasi. Komunitas bisa membuat apparatusnya sendiri, komunitas bisa memastikan bahwa orang yang susah harus ditolong secepatnya tanpa menunggu orang lain membantu. Individualisme hasil modernisasi dan ISA harus dilawan dan dihapuskan dengan mengajarkan kepedulian lewat media-media alternatif untuk publik.

Komunitas itu bisa dimulai sekarang, dimana pun Anda berada. Jangan takut untuk mengobrol dengan orang asing, jangan takut untuk bersosialisasi, dan jangan takut untuk menawarkan pertolongan. Lupakan gadget Anda yang bisa merekam itu, berhenti jadi bystander dan mulailah hidup dengan tujuan sederhana saja: membuat dunia yang lebih baik untuk generasi penerus, dunia yang peduli sesama, dunia yang membuat kekerasan dan kejahatan kebencian sulit untuk terjadi dan bukan karena takut pada hukum, polisi dan tentara, tapi karena kesadaran diri dan kemampuan lingkungan sosial untuk membantu mereka yang punya potensi kekekerasan dan kebencian. Dan itu dimulai sekarang!

***

Terima kasi sudah membaca tulisan panjang ini sampai selesai.

Jika kalian suka tulisan ini, bolehkah traktir saya kopi agar saya bisa tetap aktif menulis dengan mengklik tautan ini:

Traktir yang nulis kopi

Scan GO-PAY

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.