Film, Kurasi/Kritik, Racauan

Andibachtiar Yusuf dan Kejamnya Sinema Kita


Semua yang kenal atau pernah mendengar minimal 3 cerita tentang Andi Bachtiar Yusuf (sutradara Love for Sale, Romeo-Juliet dan The Conductor) pasti setuju bahwa Ucup (nama panggilannya) adalah orang yang straightforward, suka bercanda kasar, dan berenergi besar. Sikap itu sudah lama ada padanya sehingga ketika ada kasus kekerasan di set film, sulit untuk membelanya, seakan semua orang tinggal menunggu ia melakukan sesuatu yang bisa menyakiti orang lain sedemikian rupa. FYI, saya orang yang tidak kenal dekat dengan Ucup, tapi tidak sulit untuk tahu dua tiga cerita soal kepribadiannya yang cukup nyentrik–saya rasa dia sendiri juga tidak pernah menyembunyikan itu. Dia cenderung mengglorifikasi kekasaran itu secara publik.

Sebagai seorang penulis opini, saya tidak berniat membela tindakan Ucup. Saya cuma ingin melihat secara lebih objektif, apa yang sebenarnya terjadi di Industri film kita. Sesuatu yang seringkali tersembunyi dari mata orang umum: sebuah kekerasan sistemik yang mendominasi produksi film kita.

Kekerasan sistemik artinya kekerasan berbasis cara kerja sebuah struktur. Ia ada karena dalam konteks kurang uang, kurang waktu dan kurang perhitungan, untuk membangun sebuah sebuah hierarki struktur (baca: produksi film), diciptakanlah kekerasan dan opresi pada pekerja. Secara mudah, kekerasan sistemik ini terjadi karena film adalah sebuah karya kapital yang didalamnya terdapat relasi-relasi kuasa antara pemilik modal, pengambil kebijakan, dan kru. Klasik Marx lah, menyedihkan bicara teori ini hari gini.

Sutradara atau produser ngamuk di set, bukan hal yang tidak biasa. Kepanikan terjadi, jam kerja mulur sampai dua tiga kali lipat, bahkan orang meninggal di set sudah beberapa kali terjadi. Ini karena tekanan syuting begitu besar karena seringkali perhitungan brief ide, modal, dan waktu tidak dikerjakan dengan baik. Janji-janji pada investor, atau ketakutan kehilangan pekerjaan, membuat pekerja film sering tersiksa tapi terus kerja karena kebanyakan mereka freelancer.

Kekerasan ini tidak hanya terjadi secara fisik dan verbal. Ia paling sering terjadi dengan cara simbolik, melalui aturan kontrak tidak adil, atau dengan dalih solidaritas yang melanggengkan eksploitasi tenaga kerja, atau dengan tekanan-tekanan penyalahgunaan kekuasaan, ancaman black list, dan sebagainya.

Kekerasan simbolis juga bisa berwujud cinta, baik pada persona atau kepada filmnya sendiri yang abstrak: yang penting filmnya jadi. Banyak pekerja film yang berusaha mengerti masalah produser atau sutradara atau astrada, karena mereka teman senasib sepenanggungan. Mereka rela dieksploitasi sedemikian rupa untuk membereskan kebodohan orang lain. Setelah itu hubungan dijaga baik dengan party-party setelah syuting (kalau ada uang tersisa), atau sekedar halal bi halal minta maaf. Syuting sudah seperti sebuah neraka yang harus dilewati untuk mencapai surga. Neraka yang tak terukur dan tidak adil. Karena neraka Tuhan lebih adil: Hitler ditusuk besi panas dari pantat hingga mulut karena apa yang ia lakukan pada Yahudi. Sementara kru salah apa sampai harus merasakan neraka diteriaki, dimaki, tidak tidur, dan kecelakaan tanpa asuransi? Orang film seperti punya lebaran beberapa kali setahun karena sering maaf-maafan, tanpa banyak evaluasi diri.

Dan ini membuat nilai kekerasan jadi relatif. Ucup susah dibela karena perilakunya kasar dan dia mengglorifikasinya, tapi ada yang lebih parah lagi: orang yang perilakunya baik, tapi pas syuting jadi iblis dan semua orang berhasil dimanipulasi biar ikut maunya dia secara konsensual. Mungkin di set tidak marah-marah; mungkin juga terlihat pusing dan menderita seperti kru yang lain, tapi keputusan idealisme dan artistiknya bikin syuting sangat tidak manusiawi: jam kerja panjang, tidak ada safety, tidak ada asuransi, dan memaksa overtime atau pick up shot dalam waktu sangat dekat, sering terjadi. Belum lagi kontrak yang sangat tidak manusiawi, seperti memaksa seorang pekerja untuk mau menerima kontrak project berikutnya tanpa kenaikan upah sesuai inflasi atau profit. Bangsat.

Ada juga yang meremehkan kru lain yang sakit hati atau depresi. Begini ya, kawan, sakit hati itu relatif. Bisa jadi kebanyakan orang tidak sakit hati, tapi jika ada satu dua orang yang tiba-tiba hilang karena depresi dan jadi suicidal maka jelas ada masalah. Ingat, ini orang bukan angka. Satu dua orang depresi karena kebijakan buruk adalah sebuah tanda kegagalan dalam menjaga lingkungan kerja yang baik.

Lalu ada juga yang masokis dan ngajak-ngajak, tanpa sadar bahwa tidak semua orang masokis seperti dia. Tidak semua orang seambisius dia untuk film dia. Akhirnya, perlahan tim collapse, dan seperti domino, yang repot di post produksi yang harus beresin kesalahan produksi dari mulai sound yang buruk hinggal shot yang tidak punya continuity karena script cont-nya tidak tidur. Ada lagi yang sudah sakit masih maksa syuting, karena mikirin kru dan budget. Udah kayak Jendral Sudirman dibawa-bawa pake tandu ke hutan. Ini efek kebalik tapi sama bahayanya, semoga nggak keulang lagi cinta yang membunuh semacam ini.

Kita menuju ke kemajuan di industri kita: UU perfilman, BPI, Sertifikasi kerja, kucuran dana pemulihan ekonomi, dana abadi kebudayaan dan lain sebagainya memastikan kita bisa produksi film dengan jauh lebih nyaman dan aman dibanding zaman orde baru. Maka baiknya perbaikan terus dilakukan, khususnya soal aturan untuk pekerja film.

UU perfilman yang dibikin, menurut banyak orang, belum berpihak pada pekerja tapi lebih pada pengusaha film. Karena kepentingan pekerja dari mulai jam kerja yang manusiawi sampai jaminan sosial belum tersurat. Terlebih lagi fleksibilitas yang membuat eksploitasi terus jalan, dan akibatnya kata-kata kotor dan konflik kekerasan fisik, verbal, dan simbolik kerap terjadi di set yang stress karena memaksakan budget, timeline, dan ide yang tidak cocok satu sama lain.

Jangan bilang bahwa itu biasa dalam syuting, atau tidak ada syuting yang akan beres 100 persen! Jangan menormalisasi syuting sakit! Itu cuma ocehan kaum budak proletariat yang harusnya sudah punah bersama hantu-hantu Marx. Ada kok yang sudah mempraktekan syuting sehat, tapi mereka belom sempat berbagi ilmu pada banyak tim produksi lain. Mereka belum berhasil mereduplikasi cara mereka untuk bisa, misalnya, jogging sama keluarga di tengah-tengah syuting film panjang, tanpa ganggu jadwal syuting. Sempat menjadi manusia sehat jiwa raga, di tengah kerja keras yang teratur baik, karena manajemen yang rapih dan prioritas yang logis: film nomor dua, kesehatan fisik, mental dan keluarga yang utama.

Nggak mungkin juga mereka yang sehat-sehat ini sering sharing-sharing sebuah ilmu ke semua tim produksi yang sakit di luar sana. Terlalu banyak tim yang sakit daripada yang sehat. Salah-salah mereka yang sehat bisa jadi ikut sakit, karena mereka kan kerjaannya syuting, bukan advokasi. Maka tidak ada cara lain selain memohon perubahan UU menjadi lebih berpihak pada pekerja. Agar persaingan jadi sehat dan tidak memungkinkan pekerja ditekan sedemikian rupa dari atas ke bawah.

Kasihan banget melihat asosiasi film seperti ICS, IFDC, atau ACI jadi seperti kelompok paramiliter atau anarko yang bikin hukum sendiri, padahal mereka harusnya ada di bawah lindungan NKRI. Mereka asosiasi pekerja, pak, bukan Ormas agama yang biasa ngeluarin fatwa.

Penting kita untuk sadar kekerasan yang kita lakukan, sengaja atau tidak sengaja, karena cinta atau benci–semua adalah kekerasan, dan itu harus dihentikan.

Filmmu TIDAK PENTING. Karena film Indonesia belum bisa menjadi penting, jika orang-orangnya yang membuatnya tidak dipentingkan.


Terima kasih sudah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan donasi. Kalau kamu suka yang kamu baca, silahkan traktir penulisnya kopi biar semangat nulis lagi. Thanks.

English, Memoir, Racauan

Dysphoria #1: Self-made Hell

This is a work fiction. All resemblance with the reality is on purpose. Explicit content.

It is obvious that my loneliness is the main cause of all these fuss, unfaithfulness, the distorted feeling of entitlement. It is my most deceptive defensive mechanism–that the truth, in itself, is self destructing. I am alienating people in order to alienate myself from the hell that they construct.

Creating my own hell, is better than living somebody else’s heaven.

Thus, I hurt myself again, just to find a way to make me forget that I am lonely. I hurt myself with bulimia, with days of sleep, with obsessive scratching, cutting, and obsessive exercise when the manic came, sleepless nights, and after that I still want to punch any guy, or fuck any girl that I think deserve my fist or my dick. I am all open to fight or fuck because I’m sick of flight.

And I’d desperately love anybody who wants to love me. And I’d burn myself, sacrifice myself, ready to be crucify like Jesus H. Christ, and I’d beg people not to leave me until they’d got annoyed and see me as a freak and they need to leave me to stay sane because I’d drive them crazy, so I’d drive my car. I’d drive and drink myself hope to die on the road, hopefully with other assholes that swarming the highways of this city.

And all of it would be my fault. Nobody can blame or even care about my disorder, my upbringing, the system that I am in. I and only I, will be held responsible for all this mess that’s happening with my life and other people that I dragged.

The fucking shrink might say that this thought is cognitive distortion, self entitlement, but fuck you, the court, the people’s court cannot hold my disorder, my upbringing responsible for my actions. They cannot put those abstract nouns in jail, they could not rehabilitate my illness. It is I and only I, will be held responsible for my actions.

And what else should I do but to embrace what the universe has given me? I have eliminate the choice to take my own life because of the meds or because I’m a fucking coward. Anyway, I have no choice but struggle against a sea of trouble and by opposing hope to end them. Even though I know, that I will lose and drown and will face inevitable slow death. But at least I did fight back and refuse to flight.

At least I did good, at being brave. To open my eyes every day, and trying hard to get out of bed and go out to the world. To fight or to fuck. And if I have to lose love again, I think it’s just because I don’t deserve love. I am condemn to beg. For mercy, for love, for attention, only to toss it all out, when I feel lonely.

Because of this distorted feelings and thought, that I’d rather be alone, than be lonely. And the only way to be out of the misery of loneliness, is to break all ties and be perfectly alone to face the misery of the ubermench, the homo deus. Until there is no happines or misery any more, until there is no value in the narrative of my life.

It is when I became forgetful, mad, or die.

Sickness unto death.

This site is run by donation. If you like what you read, please be a patron at by clicking this link.

Filsafat, Memoir, Racauan, Uncategorized

BANAL

Seorang ibu berhijab syar’i, suka bermain lelaki. Ia seorang pengusaha sukses dengan suami yang tak mampu mengejar karir dan memilih untuk merawat anak-anaknya di rumah. Pasangan yang tak percaya kontrasepsi ini punya anak lima. Namun si istri percaya kontrasepsi penting ketika selingkuh. Suami kadang-kadang kalau tidak sedang pengajian atau mengurus anak, bermain perempuan dengan menggoda gadis-gadis muda yang bekerja menengah ke bawah: pelayan kafe, SPG, atau penjaga gerai kosmetik di Mal. Ia lumayan tampan, dan ia tak bisa mengeluarkan uang banyak karena istrinya nanti pasti tahu. Ia punya perasaan istrinya selingkuh, tapi perasaan hanya perasaan. Istri juga punya perasaaan suaminya selingkuh, tapi ya sudahlah namanya lelaki–paling tidak ia cuma akan menipu gadis karena ia tak punya uang. Anak-anak masuk sekolah agama islam internasional plus plus. Shalat dan baca Quran dipaksa setiap hari, kelas dengan bahasa Inggris. Orang tua pun berusaha kelihatan salih di depan kolega, keluarga, apa lagi anak-anak. Mereka percaya pada agama, umroh setiap tahun, dan akan naik haji dalam dua tahun ke depan. Menjadi bapak dan ibu haji.

Cerita lain adalah tentang seorang pengacara kasus korupsi yang sering ditraktir perempuan mahal oleh kliennya. Perempuan-perempuan impor dari luar negeri yang harganya jutaan per malam, menari seksi dan siap untuk ditiduri. Pengacara punya beberapa istri dan beberapa anak, tapi ya kenikmatan duniawi harus dinikmati karena hidup cuma sekali. Dengan Donald Trump di Amerika Serikat terang-terangan menghardik perempuan, ia mulai bicara di sosial media tentang pentingnya punya simpanan perempuan, bahwa istri yang baik adalah yang mengijinkan suaminya punya simpanan, toh sudah dikasih uang tiap bulan untuk ia belanja. Tapi istri yang baik tak boleh main lelaki. Harus setia. Cuma suami yang boleh macam-macam. Suami yang kaya dan bertanggung jawab, berhak untuk jadi bajingan.

Lalu ada remaja usia 20an yang sedang keranjingan bermain seks, karena pacarnya mengecewakan, keluarganya berantakan, dan ia ingin menyakiti dirinya sendiri dengan menyetubuhi lelaki manapun yang menunjukkan minat. Semakin asing dan semakin jahat semakin baik. Hisap kontol hingga tersedak tak bisa nafas, semua lubang dieksplorasi sampai sekali masuk rumah sakit karena pendarahan, tak kapok juga. Karena sakit tandanya masih hidup, dan sakit fisik tak ada apa-apanya dibanding sakit mental. Semua orang–kawan, keluarga, mantan pacar harus lihat betapa hancurnya dia, betapa menderitanya ia menyakiti dirinya sendiri karena mereka.

Seorang seniman multitalenta merasa jantan dengan  menjadi biseksual dan menebar benih promiscuous yang dia bilang liberalisme. Menipu lelaki dan gadis muda yang ia suka dengan berbagai macam ideologi kiri-kanan-atas-bawah, kebebasan berpikir dimulai dengan kebebasan tubuh, mengatur orgy, poliamori, apapun itu. Ia penyair, sutradara film dan teater, pelukis, fotografer, semua seni kontemporer (baca: tak ada yang mengerti kecuali kurator yang jago bicara dan mengarang-ngarang tentang kebesaran seni murni). Buku terbaru yang katanya realisme magis baru keluar, penerbit bayar editor cukup mahal untuk bikin bukunya minimal bisa dibaca. Ia suka menghina-hina penulis populer macam Tere Liye atau Dewi Lestari sebagai terlalu konvensional dan komersil, sementara karya-karyanya yang avant garde jauh lebih tinggi. Modus proof reading novel penulis muda nan cantik, atau bimbingan skripsi jadi senjata dapat mangsa seksual baru. Punya sahabat di media membesarkan namanya, karena sahabat-sahabatnya memang jago bicara dan mengarang seperti si kurator.

 

Apakah mereka bahagia?

Mendengar dan melihat mereka, aku jelas tidak bahagia. Begitu banyak masalah di dunia ini yang harus diselesaikan. Anak-anak lahir tanpa diminta, dibuang atau diasuh tanpa pengetahuan yang memadai. Lalu ketika melihat kekacauan ini, apa yang akan mereka pikirkan tentang dunia? Di belahan bumi yang lain jutaan orang menjadi pengungsi dan tercerabut dari tanahnya. Di pulau yang lain, sebuah masyarakat dimabukkan supaya bodoh, dan tanahnya yang penuh emas dikeruk sampai habis-habisan. Dimiskinkan, dianggap binatang. Hutan-hutan menjelma kebun sawit, dan mereka hidup damai di dalamnya dipaksa melupakan bahasa, agama, dan budayanya. Diberadabkan. Siapa yang peduli? Apa orang-orang yang bahagia itu peduli?

Aku peduli dan aku mengandung kesakitan tak terperi. Setiap hari aku berpikir apa yang harus kulakukan untuk membuat dunia ini lebih baik. Seorang bijak mengatakan, mulai dari lingkaranmu sendiri. Keluarga, teman, kolega. Bilang salah adalah salah dan benar adalah benar. Tapi hidup tidak pernah hitam putih. Ia berwarna warni yang campurannya tak jelas lagi. Mencari identitas diri menjadi semakin sulit. Siapa orang yang ada di cermin? Bagaimana kita harus bergerak? Adakah kehendak bebas?

Yang jelas Tuhan sudah lama mati–bahkan ia tak pernah hidup. Ia cuma bagian dari akal dan imajinasi untuk membuat kita tahan atas dosa-dosa kita sendiri, cara mencari penebusan. Tidak adil menyalahkan manusia atas semua kekacauan dan memuja Tuhan ketika kebaikan terjadi. Tidak adil pula menyalahkan Tuhan atas derita dan melupakannya ketika kenikmatan datang. Yang adil: lupakan Tuhan. Semua orang harus bertanggung jawab atas pilihannya sendiri-sendiri. Walaupun pilihan itu terkungkung sistem, tergantung banyak faktor, tapi tanggung jawab tetap harus diemban oleh pribadi-pribadi. Aku akan menanggung dosa-dosaku, dan pahala-pahalaku takkan mungkin menebusnya. Khilaf bukan berarti tidak salah. Pikirkan dosa, lupakan pahala. Tapi kalau Tuhan tidak pernah ada, maka dosa itu harus dipertanggung jawabkan pada siapa?

Semua orang akan menanggung dosanya sendiri-sendiri. Masyarakat akan menghukum, dan kalau tidak ketahuan, maka dirinya akan menghukum dirinya sendiri dengan semua kesepian dan kehampaan. Adakah orang yang luput dari itu? Adakah seorang Ma’rifat, yang begitu tenangnya menghadapi kekacauan dunia ini karena ia paham logika berpikir Tuhan-yang-tak-pernah-ada? Menurutku tidak ada. Ketenangan itu adalah penggunaan imajinasi dan ketidakpedulian tingkat tinggi–bahkan membunuh bagian-bagian syaraf tertentu. Untuk tidak sakit hati, janganlah punya hati.

Semua kita terjebak Samsara. Dan tak ada Moksa atau Nirwana, sampai kita mati dan melihat sendiri. Sementara yang hidup akan tersiksa dengan sakit dan kenikmatan yang tak berujung. Beberapa dari kita bisa berpura-pura kuat; padahal bukan kekuatan yang ada di situ, tapi kekebasan, kelumpuhan. Seperti mereka yang menyingkirkan rasa bersalah dan kekhawatiran dengan candu, seks, opium, dan agama.

 

 

Filsafat, Politik, Racauan, Uncategorized

Ketakutan untuk Bergerak

Ada seorang kawan anggap saja namanya Joni, memposting sebuah video yang ia ambil dari hpnya di kereta. Ia ambil candid jadi kualitas gambar dan suaranya sangat-sangat buruk. Video itu menunjukkan sepasang suami istri dengan wajah yang sangat sayu dan kelelahan, menggendong anak mereka yang masih diinfus dengan selang.

Si Joni menyebar gambar itu di sosial media dengan sebuah caption, “Pasangan suami istri ini masuk dari Stasiun M. Saya tidak berani bertanya siapa mereka dan kenapa keadaan mereka seperti itu. Semoga dengan mengunggah video ini akan ada yang membantu mereka.”

Tidak ada keterangan apa-apa lagi. Tidak ada nama, latar belakang kejadian, apalagi alamat.

Lalu apa gunanya diunggah? Apa Joni berpikir dengan merekam dan mengunggahnya, maka ia lebih baik daripada para bystanders, penumpang-penumpang lain, yang juga tidak berbuat apa-apa di sana. Apa Joni tidak berpikir bahwa ia sedang mengeksplotasi kesusahan orang lain, ketika gambar yang ia ambil dan ia sebar sama sekali tidak bisa punya efek apa-apa di dunia nyata selain rasa iba. Mungkin kalau ia edit video itu, kasih slow motion, kasih musik sedih, masih bisa menghibur orang yang menonton–seperti eksploitasi yang biasa dilakukan televisi.

*

Seorang profesor Neurosains Yahudi bernama Simon Baron-Cohen (masih sepupu dengan aktor pemeran Borat, Sacha), membuat buku berjudul “The Science of Evil.” Buku itu membahas asal usul kejahatan dari sudut pandang neurosains. Kesimpulan dari buku itu adalah secara biologis manusia bisa dilahirkan dengan agresivitas tinggi dan empati rendah, atau sebaliknya agresivitas rendah, empati tinggi. Namun setting sosial juga membantu kita mengatasi agresivitas atau bisa juga membunuh empati kita. Ada beberapa hal yang bisa dibahas dari tesis Baron-Cohen ini.

Pertama, ia melawan tesis eksistensialisme tentang keberadaan mendahului isi. Jika kita membaca karya-karya Eksistensialisme, khususnya Sartre sebagai mantan Marxist, kita bisa menyimpulkan bahwa manusia punya kemampuan buat memilih dan sebuah tindakan adalah tanggung jawab penuh manusia tersebut. Ini pemikiran turunan dari mainfesto komunisme Marx soal kemampuan manusia menjadi agen perubahan dengan pendekatan konflik. Jadi manusia bertanggung jawab penuh dalam menjadi budak atau menjadi revolusioner. Namun buat Baron-Cohen, ada faktor genetik manusia yang membuat seseorang menjadi agresif atau pasif. Potensi menjadi ‘jahat’ berbeda-beda untuk setiap orang.

Kedua, Baron-Cohen memetakan bagaimana biologi punya peran yang sama dengan setting sosial masyarakat dalam membuat kejahatan. Seseorang yang lahir dengan bakat psikopat, jika ia ada di setting sosial yang menyadari potensi-potensi dirinya, maka ia bisa diajarkan mengendalikan dirinya. Seseorang dengan Asperger Sindrom (kadar empati sama dengan psikopat tapi tanpa agresivitas), bisa menjadi seorang jenius dalam setting sosial yang mengenali dirinya. Sebaliknya seseorang yang lahir dengan sensivitas dan empati tinggi, bisa menjadi bipolar atau psikopat dalam setting yang memaksanya menjadi keras untuk bertahan. Kemampuan adaptasi manusia, menentukan kepribadiannya.

Dalam buku itu, Baron-Cohen hendak menjawab pertanyaan yang menggangu dirinya semenjak ia menjadi pengungsi ke Amerika di zaman PD II: apa yang membuat manusia menjadi jahat. Ia tidak menyalahkan tetangga-tetangganya yang hendak membunuhnya pada zaman NAZI. Ia tidak menyalahkan orang-orang Jerman yang anti-semitis. Sebaliknya, ia melihat bahwa pembantaian Yahudi di Jerman adalah sebuah fenomena sosial yang hadir melalui proses biologi, sejarah dan sosialisasi yang sangat panjang.

article-2287071-033365df0000044d-9_964x1039

Sebagai Yahudi yang tahu pasti bagaimana NAZI mempraktekan eksperimen biologi, dan menginterpretasi teori evolusi Darwin menjadi sangat rasis, Baron-Cohen tidak hendak membawa masalah genetik kejahatan ini ke dalam ranah rasisme. Sebaliknya, ia merasa bahwa ini masalah bagi semua manusia. Potensi-potensi agresif, sadis, jika ada di konteks yang tidak sadar akan keberadaannya, bisa berbahaya.

Kebencian orang Jerman di PD II pada Yahudi dibangun perlahan dengan konteks kesenjangan kelas sosial dan politik dan mencapai titik puncaknya ketika Hitler yang megalomaniak berkuasa. Hitler memberi ruang pada orang-orang yang kadar psikosisnya tinggi (ia sendiri juga dikenal sebagai psikopat yang obsesif-kompulsif). Genosida hadir ketika semua konteks kejahatan dan kekerasan bersatu padu.

g30s-pki-gestapu-1965-12

Dalam konteks Indonesia dan kekerasan berbasis kebencian yang terjadi pasca kemerdekaan, kita bisa melihat itu bagaimana konteks bisa memfasilitasi kejahatan. Dari tragedi 1965, hingga tragedi-tragedi massif lain yang terjadi karena pergumulan politik elit, konteks justifikasi atas kekerasan dibuat dan diamini sedemikian rupa. Di sini satu kata menjadi kunci: Negara. Negara sebagai leviathan punya kemampuan untuk membendung konflik atau mensponsori genosida atau etnisida. Sebuah pemerintahan yang kuat, menurut Thomas Hobbes, akan membuat orang menjadi takut dan membuat kekerasan massal terbendung.

Namun di sini kita juga bicara soal apa yang disebut Michel Foucault sebagai Governmentality, atau (sederhananya) sifat negara, dimana pembunuhan bisa terjadi atas nama keamanan bersama. Pembunuhan atau opresi besar-besaran terhadap kaum minoritas bisa terjadi atas dasar logika ini: demi keamanan dan kenyamanan bersama, demi demokrasi milik mayoritas. Di sinilah persekusi terhadap minoritas seringkali terjadi, dan ketika negara diam saja, artinya sama saja negara ikut mensponsori persekusi tersebut.

Persekusi terhadap waria yang terjadi di Aceh baru-baru ini adalah contoh yang cukup pas. Daerah Istimewa ini punya hukum Syariah yang dalam banyak hal bertentangan dengan hukum negara Indonesia yang sekuler. Namun dengan adanya otonomi daerah dan status daerah istimewa, negara jadi tidak bisa berbuat apa-apa menanggapi anarki yang terjadi di Aceh, dimana persekusi dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas, melanggar hak konstitusional orang: ratusan waria ditangkap, dicukur, dan dipaksa menjadi lelaki.

Di sini, ketika negara diam saja, saya tekankan kembali, negara mensponsori kekerasan.

Kita juga bisa melihat contoh paling sadis yang nampaknya tak pernah berakhir: okupasi Papua oleh Indonesia dan korporasi. Dari sekian banyak okupasi korporasi pada lahan rakyat, Papua adalah yang paling sadis. Kerusakan lingkungan dan kebudayaan terus didukung oleh negara dan kaum elit. Terlebih lagi, presiden Jokowi bermain janji soal membuka Papua untuk wartawan, namun selalu mencekoki wartawan dari sumber militer atau polisi. Sulit untuk mendapatkan berita dan informasi yang valid dari sana. Ketika kekerasan ini ditutup-tutupi ia akan semakin menjadi penyakit, seperti nanah di bisul yang sangat besar. Dan ini rentan disusupi pihak-pihak yang ingin ambil kuasa: kasih senjata ke rakyat, maka resistensi akan berjalan dengan sendirinya dan berapi-api. Seperti pepatah lama, ikan busuk ditutup-tutupi, baunya akan tercium juga.

ulet-ifansasti-papua-indonesia-gold-mine-3

Dari sisi Neo Marxisme, kita bisa melihat kesamaan governmentality Foucault dengan ideological state apparatus milik Althusser. Negara yang mensponsori kekekerasan, turut mengajarkan kekerasan sebagai bagian dari ideologinya. Di Indonesia, ISA menjalankan fungsinya secara berbeda-beda di banyak wilayah. Di beberapa wilayah rakyat dibuat pasif, di wilayah lain dibuat aktif dan reaktif, seperti gerakan-gerakan paramiliter berbasis nasionalisme atau agama. Ini membawa kita pada penutup esei ini: kekerasan sebagai bagian dari politik identitas.

Trend yang saat ini terjadi, pilkada dan pilpres nantinya akan diwarnai dengan politik identitas, yaitu menggunakan kesamaan-kesamaan ideologi baik agama, suku, atau ras dalam mengambil kuasa politik. Ini adalah trend yang sedang berlangsung, khususnya semenjak presiden Trump naik tahta di Amerika Serikat. Banyak ahli politik bilang bahwa trend ini harusnya dipandang biasa-biasa saja, sebagai bagian dari konservatifisme publik. Namun di sisi lain kita bisa melihat kekalahan ideologi multikulturalise dan pluralisme palsu yang digadang-gadang kaum neoliberal–kesemuan perbedaan yang dibayangkan bisa terjadi asal semua ikut sistem timpang yang sama bernama modernisme.

rijik4

Sekarang neoliberal berevolusi menunjukkan wujud aslinya sebagai sebuah ideologi yang kaku dan sangat konservatif, berpegangan pada kepentingan ekonomi dan manipulasi ideologi semata. Buat saya pribadi, trend politik identitas ini juga adalah bentuk kekecewaan terhadap platform-platform pemersatu bangsa, yang sudah puluhan tahun sangat lambat dalam memakmurkan rakyat dan bertekuk lutut pada modal. Sayangnya kekecewaan ini tidak bertujuan untuk mengubah sistem: pada akhirnya para penguasa juga bertindak sebagai kaum aristokrasi yang berpihak pada korporasi, lalu siklus akan sama saja seperti sebelumnya.

**

Kebanyakan masyarakat akan tetap menjadi pasif secara individual dan liar ketika dalam massa yang ramai. Bystanders, eksploitasi terhadap kekerasan, tetap akan terjadi. Di sini yang harus bergerak bukan pemerintah. Rakyat pun tidak bisa berpangku tangan pada korporasi, atau masuk politik untuk mengubah sistem–yang akan menjebak mereka pada akhirnya. Ujung-ujungnya, kekuatan komunitas menjadi kunci untuk perubahan, jaringan-jaringan komunitas dan kedigdayaan komunitas untuk membangun diri dan daerahnya sendiri.

Alat pembuat media sudah menjadi milik publik di banyak wilayah metropolitan atau yang punya akses ke metropolitan. Akhirnya kita akan berkontestasi dalam sebuah perang wacana dan kebudayaan, permainan identitas dan representasi. Komunitas bisa membuat apparatusnya sendiri, komunitas bisa memastikan bahwa orang yang susah harus ditolong secepatnya tanpa menunggu orang lain membantu. Individualisme hasil modernisasi dan ISA harus dilawan dan dihapuskan dengan mengajarkan kepedulian lewat media-media alternatif untuk publik.

Komunitas itu bisa dimulai sekarang, dimana pun Anda berada. Jangan takut untuk mengobrol dengan orang asing, jangan takut untuk bersosialisasi, dan jangan takut untuk menawarkan pertolongan. Lupakan gadget Anda yang bisa merekam itu, berhenti jadi bystander dan mulailah hidup dengan tujuan sederhana saja: membuat dunia yang lebih baik untuk generasi penerus, dunia yang peduli sesama, dunia yang membuat kekerasan dan kejahatan kebencian sulit untuk terjadi dan bukan karena takut pada hukum, polisi dan tentara, tapi karena kesadaran diri dan kemampuan lingkungan sosial untuk membantu mereka yang punya potensi kekekerasan dan kebencian. Dan itu dimulai sekarang!

***

Terima kasi sudah membaca tulisan panjang ini sampai selesai.

Jika kalian suka tulisan ini, bolehkah traktir saya kopi agar saya bisa tetap aktif menulis dengan mengklik tautan ini:

Traktir yang nulis kopi

Scan GO-PAY