“Beware, google is a bad therapist,” kata seorang shaman-intelektual yang kupercayai dengan hidupku. Tapi toh aku tetap ikuti lebih dari 4 tes depresi/anxiety dari google search dan mendapatkan hasil yang konsisten: moderate to severe depression, seek help.
Tenang saja Mbah google, aku sudah punya banyak bantuan yang kubutuhkan, aku akan baik-baik saja dalam hidup atau mati (mati yang baik: tanpa penyesalan dan nggak gentayangan). Aku mungkin sudah beberapa kali depresi, tapi ini mungkin yang terparah–faktor “U”, fleksibilitas sembuhnya jadi kaku. Cuma aku harus ngomong sesuatu pada kawan-kawan/saudara-saudara yang berusaha jadi pahlawanku: jangan. Jangan jadi pahlawanku. Aku anti-idol.
***
Sesama penderita depresi, akan mengerti maksud Ketika aku depresi, kau bisa menasihati apa saja padaku, tapi tidak akan banyak pengaruhnya. Kalau kau ceritakan tentang perbandingan penderitaanmu–yang mungkin jauh lebih parah, tapi toh kau masih punya kontrol hingga tak depresi, jadi merasa bisa membantuku–yang aku pikirkan bukan penderitaanmu dan kesuksesanmu melewatinya, tapi aku jadi antipati padamu karena toh aku bukan kau dan masalah kita berbeda–plus kemungkinan ada banyak masalah lain di pikiranku yang kau tak tahu yang mungkin lebih parah daripada masalah yang kau ceritakan padaku.
Kau bisa menasihati untuk mencari kiai, psikolog, atau bantuan lain, tapi egoku akan menolaknya karena banyak pertimbangan. Aku agnostik sejati, Tuhan bisa membantu atau menghukumku secara acak tak ada sebab akibat logis dan aku akan terima itu. Penolakkanku juga bisa karena ideologis, bisa karena uangnya tak ada dan kalaupun ada tak rela dihabiskan untuk mengobrol dengan psikolog yang ‘pura-pura’ jadi temanku, atau sesederhana aku tak mau saja karena… well, aku sedang depresi.
Kau bisa mengajakku mengobrol tentang hal lain, tentang masalah orang lain, tentang kisah-kisah lucu, atau memori-memori untuk membuat fokusku pindah. Ini sering berhasil, tapi ketika depresi adalah prosesku untuk mencari pemecahan-pemecahan masalah, maka kau hanya akan mengganggu fokusku. Lebih baik aku tak dekat-dekat kau.
Kau bisa, dengan pengalaman dan kecerdasanmu, memberikan solusi-solusi atas masalah-masalah yang menjadi sumber depresiku; bahkan kau bisa memberikan argumen logis bahwa kenyataannya, masalahku sudah ketemu pemecahannya dan aku harus melaksanakan solusi itu perlahan-lahan, tidak terbawa pikiran dan tersesat kesedihan. Tapi toh, selesainya masalah-masalah terukur seperti finansial, asmara, keluarga, pertemanan, sosial, dan profesional kemungkinan besar tidak bisa menyelesaikan depresiku karena kompleksitas pikiranku. Di ruang-ruang tersembunyi setan itu bersembunyi dan menghantui, mengganggu tidur dan istirahatku, dan menutup pintu hatiku pada dirimu.
Kau bisa menawarkan padaku berbagai macam pelarian yang bikin kecanduan: agama, narkoba atau antidepressan resep dokter, minuman keras, olah raga, kerja, seks bebas, atau segala hal yang banal untuk menghabiskan uang dan tenaga secara percuma. Kepercumaan yang mahal hanya supaya tubuh kehabisan tenaga untuk ikut akal yang depresi. Kepercumaan yang bisa berakhir dengan radikalisme, penjara, kecelakaan lalu lintas, sakit jantung/stroke/liver/OD, rusaknya rumah tangga, atau kemiskinan, supaya aku bisa tetap berfungsi dengan baik secara sosial dan dianggap normal untuk beberapa waktu. Tapi tidak ada kecanduan yang baik. Kecanduan adalah amplifikasi kenikmatan yang tinggal sedikit, supaya banyak, tapi seperti hutang dengan rentenir: berbunga-bunga dan ketika aku tak bisa bayar, semua orang akan ikut menanggungnya, bukan cuma aku.
Ketika segala yang bisa kau lakukan tak mampu menyembuhkanku, dan aku berakhir gila atau mati (entah bunuh diri, entah kecelakaan, atau kematian tak wajar lainnya), kau bisa menyalahkan diri sendiri atas ketidakmampuanmu merawatku, atau kau bisa menyalahkan aku karena begitu egoisnya merepotkanmu dan banyak orang. Yang pertama, menyalahkan dirimu, bisa membuatmu depresi; yang kedua bisa membuatmu membenci orang gila/mati, dendam kesumat, menganggapku tidak bersyukur karena dengan segala kemampuanku, segala rizkiku, aku memilih gila atau mati. Kau tidak akan mau mendengar alasanku–mau itu altruistik demi kau dan peradaban, mau itu egoistik, atau spiritualistik, kau akan menanggapku jahat. Maka di kitab-kitab suci, orang bunuh diri punya tempat khusus di antara akhirat dan kehidupan, kaum precariat yang tersiksa abadi. Sebesar itulah kebencianmu nanti padaku atas kegagalanmu mencegah kegagalanku. Sampai akhirnya kau ikut depresi dan mati bersamaku, atau kau membangun egomu lagi, melanjutkan hidup, dan melupakan bagian buruk dari hidupku yang membuat hidupmu ikut buruk.
Lalu apa yang harusnya kau lakukan ketika aku depresi? Diam? Menemani sambil mendengar? Melayani dan memanjakanku seakan-akan aku sapi wagyu yang akan disembelih? Memusuhiku untuk mencegah kau ikut depresi? Mempercayai tindakanku yang tidak masuk akal? Memaksaku ke psikolog/RSJ untuk ditahan dan dirawat sebelum aku menyakiti diriku sendiri dan orang lain?
Saranku yang sedang depresi ini padamu yang merasa sedang sehat, kau berusahalah jadi orang yang berbahagia dan ceritakan kebahagiaanmu padaku. Jadilah orang ambisius, dan ceritakan perjuangan yang sedang kau lakukan, impianmu, rencanamu meraihnya. Buatkan aku harapan bahwa dunia itu baik, positif, dan umat manusia takkan bunuh diri dengan kebodohan dan depresinya. Buat aku yang sedang depresi ini punya peran dalam perjuanganmu–minimal sebagai pendengar lebih baik kalau ada proyek bareng. Jangan pikirkan depresiku, dengarkan saja ceritaku–itu cukup membantu asal kau tidak terbawa. Buat hal-hal seru denganku. Gunakan aku sampai aku mati, entah dalam waktu dekat, atau dalam waktu yang masih lama. Siapa tahu, kau yang bahagia mati duluan kan, lalu kalau aku masih depresi aku akan menyusulmu dengan bahagia pula, atau kalau aku sehat aku akan melanjutkan perjuanganmu.
Jangan ikut depresi. Jadilah keren, bantu dirimu sendiri maka kau akan membantuku. Seperti apapun akhirnya nanti.
It’s pretty good self-talk.. atau uneg² apalah itu…
terima kasih sudah membaca yaa…