Cinta, Eksistensialisme, Puisi

Burning Brine

Lord I am drowning
In my own tears
Since these glimpses
Just won’t let me go

I see corpses of my uncle, auntie, best friend, father

Dead bodies, empty vessels, fade voices and laughters

And I can’t stop thinking about my sins and guilt

I don’t think I am a victim
On the contrary, I was a perp
Inflicting pain to others
Like strains of hair on her sink
Or scars below her belly
Or my hand marks on her neck

And my dear sibling inability to function
Or my mother constant sadness in her laugh

Jesus how did you take the sins
By being crucified, betrayed.

Sleep now, sleep my friend
All will be done in no time

All shall pass

To the grave in a hope for grace


This website is run by donation. If you are in Indonesia, click the button below to support me

English, Memoir, Racauan

Dysphoria #1: Self-made Hell

This is a work fiction. All resemblance with the reality is on purpose. Explicit content.

It is obvious that my loneliness is the main cause of all these fuss, unfaithfulness, the distorted feeling of entitlement. It is my most deceptive defensive mechanism–that the truth, in itself, is self destructing. I am alienating people in order to alienate myself from the hell that they construct.

Creating my own hell, is better than living somebody else’s heaven.

Thus, I hurt myself again, just to find a way to make me forget that I am lonely. I hurt myself with bulimia, with days of sleep, with obsessive scratching, cutting, and obsessive exercise when the manic came, sleepless nights, and after that I still want to punch any guy, or fuck any girl that I think deserve my fist or my dick. I am all open to fight or fuck because I’m sick of flight.

And I’d desperately love anybody who wants to love me. And I’d burn myself, sacrifice myself, ready to be crucify like Jesus H. Christ, and I’d beg people not to leave me until they’d got annoyed and see me as a freak and they need to leave me to stay sane because I’d drive them crazy, so I’d drive my car. I’d drive and drink myself hope to die on the road, hopefully with other assholes that swarming the highways of this city.

And all of it would be my fault. Nobody can blame or even care about my disorder, my upbringing, the system that I am in. I and only I, will be held responsible for all this mess that’s happening with my life and other people that I dragged.

The fucking shrink might say that this thought is cognitive distortion, self entitlement, but fuck you, the court, the people’s court cannot hold my disorder, my upbringing responsible for my actions. They cannot put those abstract nouns in jail, they could not rehabilitate my illness. It is I and only I, will be held responsible for my actions.

And what else should I do but to embrace what the universe has given me? I have eliminate the choice to take my own life because of the meds or because I’m a fucking coward. Anyway, I have no choice but struggle against a sea of trouble and by opposing hope to end them. Even though I know, that I will lose and drown and will face inevitable slow death. But at least I did fight back and refuse to flight.

At least I did good, at being brave. To open my eyes every day, and trying hard to get out of bed and go out to the world. To fight or to fuck. And if I have to lose love again, I think it’s just because I don’t deserve love. I am condemn to beg. For mercy, for love, for attention, only to toss it all out, when I feel lonely.

Because of this distorted feelings and thought, that I’d rather be alone, than be lonely. And the only way to be out of the misery of loneliness, is to break all ties and be perfectly alone to face the misery of the ubermench, the homo deus. Until there is no happines or misery any more, until there is no value in the narrative of my life.

It is when I became forgetful, mad, or die.

Sickness unto death.

This site is run by donation. If you like what you read, please be a patron at by clicking this link.

Filsafat, Memoir, Racauan

Saran Orang Depresi buat Mereka Yang Ingin Membantu

Beware, google is a bad therapist,” kata seorang shaman-intelektual yang kupercayai dengan hidupku. Tapi toh aku tetap ikuti lebih dari 4 tes depresi/anxiety dari google search dan mendapatkan hasil yang konsisten: moderate to severe depression, seek help.

Tenang saja Mbah google, aku sudah punya banyak bantuan yang kubutuhkan, aku akan baik-baik saja dalam hidup atau mati (mati yang baik: tanpa penyesalan dan nggak gentayangan). Aku mungkin sudah beberapa kali depresi, tapi ini mungkin yang terparah–faktor “U”, fleksibilitas sembuhnya jadi kaku. Cuma aku harus ngomong sesuatu pada kawan-kawan/saudara-saudara yang berusaha jadi pahlawanku: jangan. Jangan jadi pahlawanku. Aku anti-idol.

Image result for crying idol gif

***

Sesama penderita depresi, akan mengerti maksud Ketika aku depresi, kau bisa menasihati apa saja padaku, tapi tidak akan banyak pengaruhnya. Kalau kau ceritakan tentang perbandingan penderitaanmu–yang mungkin jauh lebih parah, tapi toh kau masih punya kontrol hingga tak depresi, jadi merasa bisa membantuku–yang aku pikirkan bukan penderitaanmu dan kesuksesanmu melewatinya, tapi aku jadi antipati padamu karena toh aku bukan kau dan masalah kita berbeda–plus kemungkinan ada banyak masalah lain di pikiranku yang kau tak tahu yang mungkin lebih parah daripada masalah yang kau ceritakan padaku.

Kau bisa menasihati untuk mencari kiai, psikolog, atau bantuan lain, tapi egoku akan menolaknya karena banyak pertimbangan. Aku agnostik sejati, Tuhan bisa membantu atau menghukumku secara acak tak ada sebab akibat logis dan aku akan terima itu. Penolakkanku juga bisa karena ideologis, bisa karena uangnya tak ada dan kalaupun ada tak rela dihabiskan untuk mengobrol dengan psikolog yang ‘pura-pura’ jadi temanku, atau sesederhana aku tak mau saja karena… well, aku sedang depresi.

Kau bisa mengajakku mengobrol tentang hal lain, tentang masalah orang lain, tentang kisah-kisah lucu, atau memori-memori untuk membuat fokusku pindah. Ini sering berhasil, tapi ketika depresi adalah prosesku untuk mencari pemecahan-pemecahan masalah, maka kau hanya akan mengganggu fokusku. Lebih baik aku tak dekat-dekat kau.

Kau bisa, dengan pengalaman dan kecerdasanmu, memberikan solusi-solusi atas masalah-masalah yang menjadi sumber depresiku; bahkan kau bisa memberikan argumen logis bahwa kenyataannya, masalahku sudah ketemu pemecahannya dan aku harus melaksanakan solusi itu perlahan-lahan, tidak terbawa pikiran dan tersesat kesedihan. Tapi toh, selesainya masalah-masalah terukur seperti finansial, asmara, keluarga, pertemanan, sosial, dan profesional kemungkinan besar tidak bisa menyelesaikan depresiku karena kompleksitas pikiranku. Di ruang-ruang tersembunyi setan itu bersembunyi dan menghantui, mengganggu tidur dan istirahatku, dan menutup pintu hatiku pada dirimu.

Kau bisa menawarkan padaku berbagai macam pelarian yang bikin kecanduan: agama, narkoba atau antidepressan resep dokter, minuman keras, olah raga, kerja, seks bebas, atau segala hal yang banal untuk menghabiskan uang dan tenaga secara percuma. Kepercumaan yang mahal hanya supaya tubuh kehabisan tenaga untuk ikut akal yang depresi. Kepercumaan yang bisa berakhir dengan radikalisme, penjara, kecelakaan lalu lintas, sakit jantung/stroke/liver/OD, rusaknya rumah tangga, atau kemiskinan, supaya aku bisa tetap berfungsi dengan baik secara sosial dan dianggap normal untuk beberapa waktu. Tapi tidak ada kecanduan yang baik. Kecanduan adalah amplifikasi kenikmatan yang tinggal sedikit, supaya banyak, tapi seperti hutang dengan rentenir: berbunga-bunga dan ketika aku tak bisa bayar, semua orang akan ikut menanggungnya, bukan cuma aku.

Ketika segala yang bisa kau lakukan tak mampu menyembuhkanku, dan aku berakhir gila atau mati (entah bunuh diri, entah kecelakaan, atau kematian tak wajar lainnya), kau bisa menyalahkan diri sendiri atas ketidakmampuanmu merawatku, atau kau bisa menyalahkan aku karena begitu egoisnya merepotkanmu dan banyak orang. Yang pertama, menyalahkan dirimu, bisa membuatmu depresi; yang kedua bisa membuatmu membenci orang gila/mati, dendam kesumat, menganggapku tidak bersyukur karena dengan segala kemampuanku, segala rizkiku, aku memilih gila atau mati. Kau tidak akan mau mendengar alasanku–mau itu altruistik demi kau dan peradaban, mau itu egoistik, atau spiritualistik, kau akan menanggapku jahat. Maka di kitab-kitab suci, orang bunuh diri punya tempat khusus di antara akhirat dan kehidupan, kaum precariat yang tersiksa abadi. Sebesar itulah kebencianmu nanti padaku atas kegagalanmu mencegah kegagalanku. Sampai akhirnya kau ikut depresi dan mati bersamaku, atau kau membangun egomu lagi, melanjutkan hidup, dan melupakan bagian buruk dari hidupku yang membuat hidupmu ikut buruk.

Image result for suicide gif

Lalu apa yang harusnya kau lakukan ketika aku depresi? Diam? Menemani sambil mendengar? Melayani dan memanjakanku seakan-akan aku sapi wagyu yang akan disembelih? Memusuhiku untuk mencegah kau ikut depresi? Mempercayai tindakanku yang tidak masuk akal? Memaksaku ke psikolog/RSJ untuk ditahan dan dirawat sebelum aku menyakiti diriku sendiri dan orang lain?

Saranku yang sedang depresi ini padamu yang merasa sedang sehat, kau berusahalah jadi orang yang berbahagia dan ceritakan kebahagiaanmu padaku. Jadilah orang ambisius, dan ceritakan perjuangan yang sedang kau lakukan, impianmu, rencanamu meraihnya. Buatkan aku harapan bahwa dunia itu baik, positif, dan umat manusia takkan bunuh diri dengan kebodohan dan depresinya. Buat aku yang sedang depresi ini punya peran dalam perjuanganmu–minimal sebagai pendengar lebih baik kalau ada proyek bareng. Jangan pikirkan depresiku, dengarkan saja ceritaku–itu cukup membantu asal kau tidak terbawa. Buat hal-hal seru denganku. Gunakan aku sampai aku mati, entah dalam waktu dekat, atau dalam waktu yang masih lama. Siapa tahu, kau yang bahagia mati duluan kan, lalu kalau aku masih depresi aku akan menyusulmu dengan bahagia pula, atau kalau aku sehat aku akan melanjutkan perjuanganmu.

Jangan ikut depresi. Jadilah keren, bantu dirimu sendiri maka kau akan membantuku. Seperti apapun akhirnya nanti.

Image result for anthony bourdain gif