Anthropology, Ethnography, Film, Filsafat, Gender, Racauan

Ibu Kita Lonte, Lalu Mau Apa? Kajian Legenda Kelam Malin Kundang dan Pangku untuk Indonesia

Disclaimer: Tulisan ini mengandung spoiler.

Pengantar untuk yang malas baca atau terlalu sibuk bekerja

Kita mulai kisah ini dengan fiksi bertema ekofeminisme:

Sejak zaman kolonial, ibu pertiwi kita, Indonesia, dianggap lonte. Ia dieksploitasi habis-habisan lewat kolonialisme yang membawa industrialisasi dan modernitas ke tanah ini, memperbudak anak-anaknya, anak-anak lonte, nenek moyang kita. Ketika kita merdeka, anak-anak pertama ibu, penggagas kemerdekaan, berniat menaikkan harkat martabat ibu kita dengan mengatur sendiri bagaimana harusnya ibu kita melonte: memilih pelanggan yang mana untuk ibu, supaya keluarga kita bisa hidup lebih layak. Mas Nono adalah nama kakak kita yang menjadi pemimpin keluarga, ketika bapak kolonial kita sudah kabur ke negaranya.

Pergumulan kekuasaan antara adik-kakak, dengan dukungan beberapa pelanggan ibu yang kebapakan dengan ideologinya masing-masing, membuat saudara bunuh saudara, saling menggulingkan, saling fitnah untuk kekuasaan: anak lelaki mana yang bisa menguasai dan mengatur bagaimana ibu kita melonte, siapa saudara yang dapat lebih banyak uang dari tubuh ibu. Pada akhirnya Mas Nono lengser dan diambil alih oleh Mas Toto. Mas Toto berkuasa 32 tahun untuk menjadi mucikari Ibu. Mas Toto membayangkan ibu yang terhormat dengan propaganda “ibuisme negara”, dan memaksa anak-anak perempuan ibu untuk melonte hanya untuk suaminya—terlepas suaminya toksik atau diam-diam menjual istrinya demi bisnis, istri/ ibu yang baik menjaga rahasia opresi rapat-rapat, kata Mas Toto. 32 tahun kemudian anak-anak ibu bertengkar lagi, karena ibu kelelahan kerja dan tidak ada uang masuk. Anak-anak kelaparan dan lagi-lagi kekuasaan bergulir, minta tolong tetangga, minta tolong menir IMF untuk bayar hutang, nyonya World Bank untuk menolong keluarga lonte yang anaknya banyak dan entah bapak yang mana yang mau tanggung jawab.

Ibu sering lelah dan tak bisa kerja, atau kadang marah sampai menangis dan mengamuk karena anak-anaknya yang durhaka. Ketika itu terjadi, air mata ibu menjelma tsunami dan banjir bandang, kemarahan ibu menjelma gunung meletus, kebakaran hutan, dan gempa bumi. Anak-anak ibu yang paling bungsulah korbannya–termasuk adik-adik mereka yang masih dalam kandungan ibu yang terpaksa diaborsi. Anak-anak korban amarah ibu adalah yang tinggal paling dekat dengan ibu, dan sering disuruh kakak-kakaknya untuk melihat ibu diperkosa. Lalu kakak-kakak yang hidup akan mengubur adik-adik yang mati dekat ibu. Ada yang mengubur dengan menangis dan tersedu-sedu dan rindu dendam; ada juga yang mengubur karena takut sama ibu, tapi sebenarnya tidak peduli. Kakak yang tak peduli itulah yang sesungguhnya menunggu dirinya dewasa untuk bisa bersetubuh dengan ibu, seperti bapak-bapak yang membayarnya sebagai mucikari.

Tapi ada juga kalanya, anak-anak Ibu sayang sama Ibu. Ibu dilihat apa adanya, ibu dirawat, adik-adik dirawat, rumah dirawat, dibersihkan dan direnovasi di mana yang perlu. Tidak sembarang robohkan dan ganti seenaknya. Tubuh ibu dimandikan air kembang, ibu dimasakkan makanan enak, dan ibu bangga pada anak-anaknya yang nilai sekolahnya bagus. Dipuji tetangga bahkan sampai bisa merantau ke luar negeri. Anak-anak ini mengasuh dan mengayomi adik-adik kita yang muda dan bodoh, berusaha untuk membuat kerja Ibu semakin ringan. Sayangnya, anak-anak baik ibu semakin hari semakin sedikit–karena rumah tangga kita terpengaruh oleh kebijakan kampung global. Perang antar rumah tangga, dan bapak-bapak di rumah tetangga yang suka jajan di rumah kita, membuat anak-anak ibu yang paling jahat, seringkali berkuasa di rumah kita ini. Dan siklus kehancuran kembali dimulai.

Legenda Kelam Malin Kundang (LKMK) dan Pangku, adalah dua film Indonesia tahuh ini yang bicara soal Ibu yang Lonte. Ibu kita semua, orang Indonesia, orang terjajah. Kedua film punya dua tokoh ibu lonte di dunia yang berbeda. Pengantar untuk orang malas ini adalah buat mereka yang tidak punya daya baca, atau tidak punya waktu. Tapi jika sedang niat baca dan ada waktu, jika kalian telusuri blog ini, berikut yang akan kalian temukan: 

Di bagian pertama, Tentang Dua Film, saya akan menjelaskan kenapa saya memilih dua film ini, yang dibuat oleh sutradara rintisan, dalam ekologi film Indonesia hari ini yang menguasai 65% pasar film di negara kita. Film-film ini dibuat oleh sutradara-sutradara lelaki yang paham isu gender, berpikiran kritis, dan didukung oleh filmmaker dan kru yang paling mutakhir di Indonesia. Dan kesamaan kedua film ini secara tematis, membuat saya terdorong sekali untuk menulis kajian komparasi soal keduanya.

Di bagian kedua, Citra Tubuh Perempuan, saya menjelaskan bahwa nilai moral di masyarakat, ditentukan dari bagaimana masyarakatnya memaknai tubuh perempuan atau yang feminin (termasuk di dalamnya alam). Semakin parah pemaknaan terhadap tubuh perempuan, maka semakin jatuh moral sebuah masyarakat: parah artinya tubuh perempuan dianggap bukan tubuh manusia yang punya keinginan, punya kecerdasan, dan bisa mengambil keputusan sendiri. Kedua film melihat tubuh perempuan dengan cara berbeda, dan para perempuan mengambil keputusan dengan cara berbeda. Apa implikasinya? Silakan baca sendiri. 

Di bagian ketiga, saya bicara tentang Anak Lelaki Pelacur dalam Superstruktur Minang dan Pantura. Saya melihat kedua film digarap dengan baik, beberapa kru adalah orang lokal yang mengerti budayanya, atau melibatkan orang lokal sebagai bagian dari riset. Di sini saya akan menjabarkan bagaimana kedua film mempresentasikan moda produksi kebudayaan dalam memaknai pelacuran. Satu film melihat dari sudut pandang feminis radikal, dimana pelacuran adalah eksploitasi; film lain melihat dari sudut pandang feminis materialisme, dimana pelacuran adalah kerja buruh. Ini menghasilkan status berbeda pada anak lelakinya: yang pertama adalah anak pelacur tanpa status; yang kedua adalah anak kampung yang punya jejaring. 

Di bagian keempat, saya bicara soal Politik Estetika yang dipakai kedua film. Film pertama memakai impressionisme horor, untuk menyelami pikiran individu dan memberikan ketakutan dari dalam diri. Film kedua memakai realisme sosial untuk memaparkan relasi sosial dan memberikan ketakutan dari luar: negara, kapitalisme, pemerintah yang sama sekali tidak berperan kecuali merepotkan mereka yang kerja keras. Politik estetika bergerak dalam penentuan distribusi estetis: apa yang boleh dan tidak boleh di lihat, siapa yang boleh membuat dan boleh menontonnya, dan lain-lain. Saya berargumen bahwa kedua film memiliki rezim estetikanya sendiri, tapi sedang terancam oleh usaha negara yang buta fim tapi haus kepentingan untuk membuat kebijakan “membantu film Indonesia.” yang hendak memaksakan rezimnya (lagi) dalam film Indonesia–sesuatu yang kita semua harus waspadai.

Di setiap akhir halaman, saya akan kasih tombol “traktir yang nulis kopi,” buat yang ingin kasih saya bantuan reimbursement kopi-kopi sekeliling Yogyakarta selama JAFF 2025, yang habis buat bikin tulisan panjang ini–hanya untuk mereka yang sedang kelebihan rejeki dan tidak diteror pinjol tiap bulan. Selamat membaca!

Klik di sini untuk menuju halaman berikutnya: Tentang Dua Film.

Daftar Isi

Film, Kurasi/Kritik, Racauan

Kalau Bangsanya Bener, Filmnya Bakal Bagus dengan Sendirinya

Setelah kerja di industri media sejak tahun 2005, saya memutuskan untuk fokus ke pendidikan soal film dengan basis produksi–artinya saya akan bikin film sambil belajar dan mendidik sampai saya mati. Dari film-film kita yang bikin “Indonesian Fever” di berbagai festival internasional dunia, kita bisa melihat bangsa kita berkembang. Padahal ini baru di tahap di mana masyarakatnya belum semaju itu. Ada yang keracunan MBG, ada orang hilang lagi, tapi banyak film bagus yang terjadi, dengan dana yang sebenarnya nggak bisa dibandingin sama Korea Selatan apalagi Holywood, namun penceritaan, teknis dan kolaborasinya punya bentuk-bentuk yang keren.

Yang Diceritakan dan Yang Dilarang

Cerita sebuah bangsa tidak hanya soal kisah apa yang ditulis, tetapi juga kisah apa yang dilarang. Film selalu berhadapan dengan batas: apa yang boleh, apa yang tabu, apa yang harus disamarkan dalam simbol. Di Iran, sutradara menyelipkan kritik sosial lewat metafora anak kecil atau perjalanan sehari-hari. Di Cina daratan, penyensoran bekerja bahkan sebelum kamera dinyalakan—sejak praproduksi naskah. Larangan inilah yang sering justru memunculkan lapisan artistik yang canggih: bagaimana menyampaikan hal-hal yang tidak boleh diucapkan dengan bahasa visual dan sinematik.

Indonesia tidak seketat itu dalam hal sensor ideologis, tapi problemnya lain: cerita sering tunduk pada selera pasar. Yang laku diulang, yang menantang pasar jarang diberi kesempatan layar. Maka industri lebih sering mengikuti, ketimbang membentuk.

Teknologi: Siapa yang Punya Akses?

Film juga adalah soal teknologi. Kamera, lensa, perangkat editing, hingga efek visual. Teknologi menentukan standar estetika global: bagaimana sebuah gambar dianggap “cinematic,” bagaimana suara terdengar “bersih.” Pertanyaan pentingnya: siapa yang punya akses?

Negara besar menyediakan teknologi mutakhir bagi para filmmaker mereka. Negara berkembang sering hanya bisa mengejar, atau menambal dengan kreativitas. Ada film-film Indonesia yang secara teknis bisa menyamai standar Hollywood—jernih, presisi, mahal. Tapi jumlahnya masih terbatas, dan sering kali hanya terjadi karena adanya sokongan finansial ekstra, bukan karena sistem yang terbangun.

Kolaborasi Adalah Ruwet

Sisi paling krusial justru ada di sini: kolaborasi. Film adalah kerja kolektif. Tidak ada film yang lahir dari satu orang saja, meski nama sutradara sering dikultuskan. Di balik satu film, ada ratusan, bahkan ribuan negosiasi: sutradara dengan produser, penulis dengan aktor, kru dengan investor, pekerja lapangan dengan birokrasi perizinan.

Di negara dengan sistem produksi rapih, kolaborasi ini terasa militan: disiplin, efisien, tidak redundant. Tapi di banyak tempat, termasuk Indonesia, kolaborasi justru sering berantakan. Tidak ada standar yang konsisten, pendidikan film masih timpang, SOP longgar, regulasi tidak berpihak pada pekerja, dan struktur industri lebih sering diatur oleh kekuasaan informal ketimbang sistem formal.

Film sebagai Barang Mewah

Maka benar jika film adalah barang mewah. Ia hanya bisa lahir ketika ketiga sisi itu—cerita, teknologi, kolaborasi—bertemu dalam proporsi seimbang. Jika salah satu timpang, hasilnya akan terlihat. Film dari negara berkembang bisa saja kaya cerita dan kolaborasi, tapi teknologinya terbatas. Atau teknisnya sempurna, tapi ceritanya kosong karena tunduk pada pasar.

Indonesia punya potensi besar. Akses ke teknologi ada. Kreativitas cerita pun melimpah. Tapi tanpa keseimbangan yang serius—cerita yang berani bicara representasi, teknologi yang merata, serta kolaborasi yang terstruktur dengan SOP, pendidikan, dan dukungan legal—jangan harap industri ini bisa benar-benar maju.

Film adalah cermin peradaban. Kalau film kita masih berantakan, mungkin itu juga cermin dari bagaimana kita mengelola bangsa.

Film, Kurasi/Kritik

Bom Bioskop, Bom!

Disclaimer: tulisan ini bicara soal sistem, bukan manusia, PH atau film tertentu. Tidak ada maksud mendiskreditkan pihak manapun karena sistem ini kita buat bersama-sama. Sebagai penonton setia bioskop, saya juga bagian dari masalah ini. Dan penting untuk ditekankan, tidak semua film pakai taktik ini. Banyak filmmaker yang bisa pakai taktik ini tapi tidak mau dan tetap laku-laku saja (biasanya karena didukung komunitas yang kuat).

Beberapa pekan lalu, saya berbincang dengan seorang produser sekaligus sutradara film Indonesia tentang strategi pemasaran yang makin sering terdengar: ngebom tiket. Istilah ini merujuk pada praktik membeli tiket film sendiri dalam jumlah besar—bukan untuk ditonton, melainkan untuk menciptakan ilusi bahwa film tersebut laris-manis di hari pertama penayangan.

Menurutnya, praktik ini bukan hal baru. Ia bahkan menyebutnya sebagai “jalan keluar terakhir” bagi production house menengah yang tak punya akses kuat ke jaringan bioskop. Di Indonesia, khususnya di jaringan XXI yang menguasai sebagian besar layar, film dengan sutradara atau produser baru kerap hanya diberi sedikit slot—dan itu pun bisa langsung diturunkan jika angka penonton hari pertama dianggap kurang.

Fenomena ngebom tiket ini tidak berdiri sendiri. Ia tumbuh dari sistem yang tertutup, relasi kekuasaan yang timpang, dan budaya industri yang lebih menghargai angka ketimbang kualitas atau keberagaman film.

Dan di sinilah esai ini dimulai: untuk memahami bagaimana industri bisa mendorong orang untuk memanipulasi data, hanya agar cerita mereka tetap bisa ditonton.

Industri film Indonesia bukan hanya persoalan karya, tapi juga medan kekuasaan. Dan kekuasaan itu sangat terlihat dalam distribusi layar bioskop.

Jaringan bioskop seperti XXI, yang menguasai sekitar 70% layar bioskop di Indonesia, memegang kendali besar terhadap nasib sebuah film: mulai dari jumlah layar yang diberikan, jam tayang yang tersedia, hingga keberlangsungan film di minggu berikutnya. Evaluasi tayang biasanya dilakukan setiap minggu—namun performa dua hingga tiga hari pertama sangat menentukan. Jika angka penonton dianggap tidak cukup menjanjikan, film bisa kehilangan sebagian besar layarnya bahkan sebelum benar-benar sempat menemukan penontonnya.

Masalahnya, sistem ini berjalan tanpa akuntabilitas publik. Tidak ada dashboard terbuka yang memperlihatkan data penonton harian secara real-time, tidak ada transparansi dalam keputusan pemutaran, dan tidak ada mekanisme evaluasi menyeluruh. Jumlah penonton hanya diumumkan jika angka itu menguntungkan secara promosi. Jika film sepi, data disembunyikan, bahkan dari para pendukungnya sendiri.

Semua ini tumbuh dari budaya industri yang alergi pada transparansi. Ada anggapan bahwa angka adalah “rahasia dapur.” Pendapatan film dianggap urusan internal. Kritik dilihat sebagai serangan pribadi. Evaluasi dianggap menghina.

Budaya semacam ini bukan hal baru. Ia tumbuh dari ekosistem bisnis yang selama bertahun-tahun terbiasa menyembunyikan kegagalan dan mengemasnya sebagai “proses belajar.” Dalam banyak hal, ini menyerupai cara birokrasi bekerja: penuh formalitas, penuh basa-basi, tapi minim akuntabilitas.

Akhirnya, angka menjadi alat untuk membangun reputasi, bukan untuk memahami kenyataan. Di sini manipulasi menjadi strategi yang dimaklumi. Bahkan bisa dianggap profesional.

Istilah “ngebom tiket” mungkin terdengar bombastis, tapi mekanismenya sederhana: rumah produksi atau pihak yang berkepentingan membeli tiket filmnya sendiri dalam jumlah besar, biasanya pada hari-hari awal penayangan. Tiket bisa dibeli di jam tayang sepi, di bioskop yang tidak ramai, bahkan kadang-kadang tanpa ada orang yang benar-benar menonton. Tujuannya: menciptakan lonjakan angka penonton secara cepat agar film terlihat laku.

Strategi ini sangat bergantung pada satu asumsi dalam sistem distribusi layar: angka hari pertama adalah segalanya. Karena jaringan bioskop menggunakan performa awal sebagai tolok ukur, rumah produksi dituntut menciptakan kesan “sukses” secepat mungkin. Jika tidak, layar bisa dicabut. Dan begitu layar dicabut, peluang film untuk mendapatkan penonton secara organik hilang begitu saja (Tempo).

Yang menarik, motivasi utama pelaku ngebom tiket—setidaknya di level production house menengah—bukan untuk pamer atau memenangkan penghargaan. Ini tentang bertahan. Tentang menciptakan cukup ruang agar film mereka bisa hidup beberapa hari lebih lama. Tentang melawan sistem layar yang secara struktural tidak adil.

Pelaku ngebom kecil-kecilan ini biasanya adalah film-film dari PH independen yang tidak punya akses langsung ke jaringan bioskop. Bahkan saat film mereka tayang, jumlah layarnya minim. Jika angka hari pertama tidak meyakinkan, film mereka langsung digeser oleh judul lain—seringkali dari studio besar, atau dari jaringan internal bioskop itu sendiri.

Itulah kenapa kadang kita melihat film yang “meledak” di hari pertama—75 ribu penonton, 100 ribu penonton—hanya untuk hilang begitu saja dalam seminggu. Asumsi saya, penurunan drastis itu tidak selalu karena filmnya buruk. Tapi karena tak ada lagi amunisi untuk “membom.” (Jejalahi cinepoint.com untuk analisa sendiri).

Yang lebih rumit lagi: siapa yang membiayai bom-bom ini, apalagi untuk film-film berwacana besar atau mewakili kelompok tertentu?

Kadang dananya datang dari bagian promosi di PH. Kadang dari kantong pribadi eksekutif produser. Kadang dari rekanan bisnis. Tidak jarang juga dari komunitas yang memiliki jaringan massa—entah berbasis agama, budaya, atau jejaring loyalis lainnya. Sistem ini cair, informal, dan sangat sulit dilacak.

Dalam kondisi seperti ini, ngebom tiket bukan sekadar taktik. Ia sudah menjadi bagian dari ekosistem yang gagal memberi kesempatan yang setara bagi semua jenis film untuk bersaing secara jujur.

Ketika manipulasi angka menjadi praktik yang dimaklumi, bahkan dinormalisasi, dampaknya jauh melampaui film yang dibom itu sendiri. Kita sedang bicara soal sistem yang membuat keberhasilan menjadi aksesori, bukan hasil dari interaksi nyata dengan penonton.

Di atas permukaan, ngebom tiket hanya tampak seperti strategi promosi agresif. Tapi di dalamnya, ada pergeseran mendalam: dari distribusi berbasis minat penonton, menjadi distribusi berbasis ilusi statistik.

Film-film yang punya peluang bertahan bukan lagi yang mendapat respons baik dari penonton, tapi yang berhasil menciptakan performa digital—angka tinggi di hari pertama, poster viral, atau testimoni influencer. Dan kalau angka itu bisa direkayasa, mengapa susah-susah membangun komunitas penonton atau membuat karya yang bicara jujur?

Film kecil makin tak punya tempat. Ruang tayang mereka tergeser oleh film dengan bom tiket lebih besar. Distribusi jadi ajang saling dorong, bukan ekosistem yang membiarkan keberagaman tumbuh.

Lebih parah lagi, angka penonton kehilangan maknanya. Jika jumlah tiket bisa dibeli sendiri, maka grafik penonton tidak lagi menunjukkan siapa yang benar-benar menonton, melainkan siapa yang punya dana promosi lebih besar atau koneksi komunitas lebih solid. Investor dan sponsor yang melihat data ini juga ikut disesatkan—mereka menyuntik dana untuk proyek-proyek berikutnya berdasarkan bayangan sukses yang belum tentu nyata.

Dan publik, penonton seperti kita, berada di ujung paling pasif dari proses ini. Kita diajak percaya bahwa film yang laris pasti bagus. Bahwa film yang sepi pasti gagal. Kita lupa bahwa angka bisa dikelola, tapi pengalaman menonton tidak bisa dibohongi.

Dalam sistem seperti ini, kejujuran jadi beban. Kegagalan jadi aib. Evaluasi diganti dengan framing. Film bukan lagi ruang interaksi antara pembuat dan penonton, tapi semacam arena kompetisi visual yang penuh asap dan kaca spion.

Di negara lain, data jumlah penonton bukan sesuatu yang perlu ditebak.

Di Korea Selatan, misalnya, angka penonton tidak diumumkan lewat testimoni produser atau infografis Instagram, tapi bisa dilihat siapa saja—langsung, real-time, harian, lengkap dengan jumlah layar dan lokasi bioskop. Namanya KOBIS, sistem pelaporan resmi yang dikelola oleh badan film nasional, KOFIC.

Semua bioskop wajib melapor. Semuanya dicatat. Semuanya dibuka ke publik. Angka bukan alat framing. Ia adalah infrastruktur.

Tapi KOBIS bukan tanpa masalah. Sistem ini dibangun di negara dengan kontrol dan sentralisasi tinggi. Ia butuh regulasi, konsensus industri, dan sumber daya teknologi yang besar. Dan tentu saja, tetap ada ruang untuk manipulasi di level promosi. Tapi secara prinsip, KOBIS menaruh kepercayaan pada publik untuk membaca data, bukan pada narasi sepihak untuk mengendalikan opini.

Bandingkan dengan Indonesia, yang sampai hari ini belum punya sistem seperti itu. Yang terdekat mungkin FilmIndonesia.or.id—situs dokumentasi yang dikelola swasta dan telah mencatat jumlah penonton film lokal sejak 2007. Tapi situs ini tidak mencatat film impor, tidak menyajikan data harian, dan tidak memuat informasi soal jumlah layar, kota pemutaran, atau estimasi pendapatan. Ia berfungsi lebih sebagai arsip, bukan alat navigasi industri.

Lalu ada Cinepoint—platform internal yang digunakan beberapa PH dan distributor besar untuk melacak performa film mereka. Cinepoint menyajikan grafik penonton harian, estimasi gross, dan tren pertumbuhan. Tapi aksesnya tertutup. Data hanya muncul jika dirilis secara sepihak oleh pemiliknya. Film yang tidak tergabung dalam ekosistem ini? Tidak tercatat. Tidak terlihat. Tidak dihitung.

Cinepoint bukan masalah pada dirinya sendiri. Ia berguna bagi PH yang mampu membayar dan mengelola sistemnya. Tapi ketika Cinepoint dijadikan standar transparansi, kita sedang menyaksikan bentuk baru dari ketimpangan informasi. Transparansi yang bisa dibeli. Data yang bisa dikurasi. Angka yang hanya muncul kalau bisa memperkuat posisi tawar.

Kita tidak sedang kekurangan sistem. Kita kekurangan keberanian untuk membuka semuanya.Selama data dimonopoli oleh jaringan bioskop, distributor besar, atau platform tertutup, maka film tidak pernah benar-benar dinilai oleh penonton. Ia dinilai oleh siapa yang paling pandai mengatur ekspektasi.

Dan selama itu pula, film Indonesia akan terus berjalan di bawah bayang-bayang angka—yang entah datang dari penonton, atau dari tangan sendiri.

Tapi kita tidak sedang bicara soal pelaku kriminal.

Ngebom tiket bukan tindakan yang melanggar hukum. Tidak ada aturan yang melarang rumah produksi membeli tiket filmnya sendiri. Bahkan, kadang yang melakukan itu adalah PH-PH kecil yang idealis—yang filmnya sebenarnya layak ditonton, tapi terancam turun layar hanya karena angka hari pertama tidak cukup meyakinkan.

Dan di sisi lain, ada juga yang berjudi. PH baru, dengan film yang belum tentu kuat, tapi berani ngebom ratusan tiket. Siapa tahu—dengan promosi yang tepat dan angka yang kelihatan bagus—penonton betulan datang di hari ketiga. Sebuah strategi yang, walaupun agak nekat, adalah satu-satunya opsi dalam sistem yang tidak memberi ruang mencoba.

Di antara itu semua, ada satu kelompok yang selalu terdampak: film-film lain yang tidak sempat masuk bioskop.

Indonesia kaya dengan cerita, dan banyak film-film yang tak sempat masuk bioskop karena slot penuh dan tidak dilihat punya profit–hanya benefit. Film dokumenter, film daerah, film pendek, film anak muda, film dengan suara baru. Film yang barangkali tidak sempurna, tapi sedang belajar tumbuh.

Mereka kalah bukan karena jelek. Tapi karena tidak sanggup bayar bom, atau tidak menarik untuk cari untung. Layarnya sudah penuh oleh film-film yang berani bakar dana untuk angka—entah demi bertahan, demi gengsi, atau demi memecahkan rekor.


Terima kasih telah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan, iklannya tak menghasilkan, dengan lisensi Creative Commons, Atribution, Non commercial. Kamu boleh pakai konten ini selama memberikan link sumber dan bukan untuk tujuan komersial. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, silahkan traktir saya kopi murah.

Anthropology, Buku, Film, jurnalistik, Kurasi/Kritik, Musik, Politik, Racauan

Tidak Ada yang Benar-Benar Gratis di Internet: Ilusi Konten ‘Gratis’



Banyak orang mengira bahwa konten di internet seperti musik, video, gambar, atau perangkat lunak yang diklaim “gratis” benar-benar bisa digunakan tanpa batasan. Namun, kenyataannya, sebagian besar konten tersebut tetap memiliki ketentuan lisensi yang mengikat. Bahkan jika suatu konten diberikan secara gratis, hak ciptanya tetap dimiliki oleh pencipta atau pemegang hak, yang berarti mereka bisa mengubah aturan atau menarik kembali hak penggunaan kapan saja.



Contoh Kasus: Konten ‘Gratis’ yang Berubah Menjadi Berbayar atau Bermasalah

1. Musik Gratis dan Klaim Hak Cipta di YouTube

Banyak kreator konten YouTube menggunakan musik dari situs penyedia musik royalty-free seperti Epidemic Sound, Artlist, atau Free Music Archive (FMA). Namun, jika lisensi mereka habis atau pencipta musik mengubah model distribusinya, video-video yang menggunakan musik tersebut bisa terkena klaim hak cipta.

Kasus Nyata: Seorang YouTuber menggunakan musik dari situs “gratis.” Beberapa tahun kemudian, pemilik lagu mendaftarkannya ke sistem Content ID YouTube, sehingga video-video lama yang menggunakan musik tersebut terkena demonetisasi atau dihapus.

Contoh: Beberapa musisi yang awalnya membagikan musik secara gratis kemudian mendaftarkan lagu mereka ke distributor seperti TuneCore atau CDBaby, yang kemudian mengajukan klaim hak cipta terhadap video lama.


2. Video dan Gambar Stok ‘Gratis’ yang Tiba-Tiba Berlisensi

Banyak pembuat film dan desainer mengunduh video atau gambar dari Pexels, Unsplash, dan Pixabay karena diklaim “gratis.” Namun, jika pencipta asli memutuskan untuk menjual aset tersebut ke Shutterstock atau Getty Images, pengguna lama bisa terkena tuntutan hukum.

Kasus Nyata: Seorang filmmaker menggunakan video dari Pexels untuk film pendeknya. Beberapa tahun kemudian, pembuat asli menjual videonya ke Shutterstock, dan filmmaker tersebut diminta membayar lisensi atau menghadapi tuntutan hukum.

Bukti: Beberapa pembuat konten mengeluh bahwa aset yang sebelumnya tersedia secara gratis di situs stok tiba-tiba terkena klaim hak cipta setelah pemiliknya mengubah lisensi.


3. Perangkat Lunak Gratis yang Berubah Aturan

Perangkat lunak open-source seperti GIMP, Audacity, atau Blender memang tersedia gratis, tetapi lisensinya bisa berubah.

Kasus Nyata: Pada tahun 2021, Audacity, perangkat lunak pengeditan audio yang sebelumnya gratis dan open-source, diakuisisi oleh Muse Group. Setelah itu, kebijakan privasi dan lisensinya berubah, termasuk pengumpulan data pengguna, yang membuat banyak pengguna lama keberatan.

Contoh Lain: Banyak perangkat lunak open-source yang tiba-tiba menerapkan model freemium, di mana fitur yang dulu gratis kini menjadi berbayar.


4. Font Gratis yang Tiba-Tiba Berbayar

Font sering dianggap sebagai aset desain yang bebas digunakan, tetapi banyak font “gratis” yang memiliki batasan.

Kasus Nyata: Seorang desainer menggunakan font dari Google Fonts untuk logo sebuah merek. Beberapa tahun kemudian, pencipta font menjual hak eksklusifnya ke Adobe Fonts, dan klien desainer tersebut harus membayar lisensi tambahan untuk terus menggunakannya.

Bukti: Pada tahun 2022, ada gugatan hukum terkait pelanggaran hak cipta dan privasi terkait Google Fonts, di mana beberapa situs web tidak menyadari bahwa mereka menggunakan font dengan aturan baru yang berbeda.



Mengapa Hal Ini Bisa Terjadi?

1. Pemegang Hak Cipta Masih Memiliki Kontrol


Konten yang dibagikan secara gratis bukan berarti bebas hak cipta. Sebagian besar konten hanya diberikan di bawah lisensi tertentu, seperti Creative Commons (CC-BY, CC-BY-NC, dll.), yang berarti pemiliknya tetap bisa mengubah atau mencabut lisensi.


2. Platform Bisa Mengubah Kebijakan Kapan Saja


Situs penyedia konten sering memperbarui kebijakan mereka. Apa yang dulu gratis bisa menjadi berbayar, dan pengguna harus patuh pada aturan baru.


3. Perusahaan Bisa Mengakuisisi dan Mengubah Model Bisnis


Banyak startup yang awalnya membagikan konten gratis akhirnya diakuisisi oleh perusahaan besar dan mengubah model bisnisnya. Contohnya:

Flickr yang dulu memberi penyimpanan foto gratis, kini membatasi jumlah foto untuk akun gratis.

Unsplash, yang awalnya benar-benar gratis, kini memiliki beberapa aset berbayar setelah diakuisisi oleh Getty Images.



Kesimpulan: Tidak Ada yang Benar-Benar Gratis

Meskipun banyak aset digital tersedia secara gratis, semuanya tetap memiliki batasan, lisensi, atau risiko diubah menjadi berbayar di masa depan. Untuk menghindari masalah hukum atau biaya tak terduga, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan:

Gunakan konten yang benar-benar berada di domain publik (CC0)

Beli lisensi penuh untuk aset yang penting

Buat konten sendiri untuk memastikan kepemilikan hak cipta


Tanpa memahami aturan lisensi, konten yang dianggap “gratis” hari ini bisa berubah menjadi jebakan hukum atau biaya besar di kemudian hari.