Anthropology, Ethnography, Film, Filsafat, Gender, Racauan

Ibu Kita Lonte, Lalu Mau Apa? Kajian Legenda Kelam Malin Kundang dan Pangku untuk Indonesia

Disclaimer: Tulisan ini mengandung spoiler.

Pengantar untuk yang malas baca atau terlalu sibuk bekerja

Kita mulai kisah ini dengan fiksi bertema ekofeminisme:

Sejak zaman kolonial, ibu pertiwi kita, Indonesia, dianggap lonte. Ia dieksploitasi habis-habisan lewat kolonialisme yang membawa industrialisasi dan modernitas ke tanah ini, memperbudak anak-anaknya, anak-anak lonte, nenek moyang kita. Ketika kita merdeka, anak-anak pertama ibu, penggagas kemerdekaan, berniat menaikkan harkat martabat ibu kita dengan mengatur sendiri bagaimana harusnya ibu kita melonte: memilih pelanggan yang mana untuk ibu, supaya keluarga kita bisa hidup lebih layak. Mas Nono adalah nama kakak kita yang menjadi pemimpin keluarga, ketika bapak kolonial kita sudah kabur ke negaranya.

Pergumulan kekuasaan antara adik-kakak, dengan dukungan beberapa pelanggan ibu yang kebapakan dengan ideologinya masing-masing, membuat saudara bunuh saudara, saling menggulingkan, saling fitnah untuk kekuasaan: anak lelaki mana yang bisa menguasai dan mengatur bagaimana ibu kita melonte, siapa saudara yang dapat lebih banyak uang dari tubuh ibu. Pada akhirnya Mas Nono lengser dan diambil alih oleh Mas Toto. Mas Toto berkuasa 32 tahun untuk menjadi mucikari Ibu. Mas Toto membayangkan ibu yang terhormat dengan propaganda “ibuisme negara”, dan memaksa anak-anak perempuan ibu untuk melonte hanya untuk suaminya—terlepas suaminya toksik atau diam-diam menjual istrinya demi bisnis, istri/ ibu yang baik menjaga rahasia opresi rapat-rapat, kata Mas Toto. 32 tahun kemudian anak-anak ibu bertengkar lagi, karena ibu kelelahan kerja dan tidak ada uang masuk. Anak-anak kelaparan dan lagi-lagi kekuasaan bergulir, minta tolong tetangga, minta tolong menir IMF untuk bayar hutang, nyonya World Bank untuk menolong keluarga lonte yang anaknya banyak dan entah bapak yang mana yang mau tanggung jawab.

Ibu sering lelah dan tak bisa kerja, atau kadang marah sampai menangis dan mengamuk karena anak-anaknya yang durhaka. Ketika itu terjadi, air mata ibu menjelma tsunami dan banjir bandang, kemarahan ibu menjelma gunung meletus, kebakaran hutan, dan gempa bumi. Anak-anak ibu yang paling bungsulah korbannya–termasuk adik-adik mereka yang masih dalam kandungan ibu yang terpaksa diaborsi. Anak-anak korban amarah ibu adalah yang tinggal paling dekat dengan ibu, dan sering disuruh kakak-kakaknya untuk melihat ibu diperkosa. Lalu kakak-kakak yang hidup akan mengubur adik-adik yang mati dekat ibu. Ada yang mengubur dengan menangis dan tersedu-sedu dan rindu dendam; ada juga yang mengubur karena takut sama ibu, tapi sebenarnya tidak peduli. Kakak yang tak peduli itulah yang sesungguhnya menunggu dirinya dewasa untuk bisa bersetubuh dengan ibu, seperti bapak-bapak yang membayarnya sebagai mucikari.

Tapi ada juga kalanya, anak-anak Ibu sayang sama Ibu. Ibu dilihat apa adanya, ibu dirawat, adik-adik dirawat, rumah dirawat, dibersihkan dan direnovasi di mana yang perlu. Tidak sembarang robohkan dan ganti seenaknya. Tubuh ibu dimandikan air kembang, ibu dimasakkan makanan enak, dan ibu bangga pada anak-anaknya yang nilai sekolahnya bagus. Dipuji tetangga bahkan sampai bisa merantau ke luar negeri. Anak-anak ini mengasuh dan mengayomi adik-adik kita yang muda dan bodoh, berusaha untuk membuat kerja Ibu semakin ringan. Sayangnya, anak-anak baik ibu semakin hari semakin sedikit–karena rumah tangga kita terpengaruh oleh kebijakan kampung global. Perang antar rumah tangga, dan bapak-bapak di rumah tetangga yang suka jajan di rumah kita, membuat anak-anak ibu yang paling jahat, seringkali berkuasa di rumah kita ini. Dan siklus kehancuran kembali dimulai.

Legenda Kelam Malin Kundang (LKMK) dan Pangku, adalah dua film Indonesia tahuh ini yang bicara soal Ibu yang Lonte. Ibu kita semua, orang Indonesia, orang terjajah. Kedua film punya dua tokoh ibu lonte di dunia yang berbeda. Pengantar untuk orang malas ini adalah buat mereka yang tidak punya daya baca, atau tidak punya waktu. Tapi jika sedang niat baca dan ada waktu, jika kalian telusuri blog ini, berikut yang akan kalian temukan: 

Di bagian pertama, Tentang Dua Film, saya akan menjelaskan kenapa saya memilih dua film ini, yang dibuat oleh sutradara rintisan, dalam ekologi film Indonesia hari ini yang menguasai 65% pasar film di negara kita. Film-film ini dibuat oleh sutradara-sutradara lelaki yang paham isu gender, berpikiran kritis, dan didukung oleh filmmaker dan kru yang paling mutakhir di Indonesia. Dan kesamaan kedua film ini secara tematis, membuat saya terdorong sekali untuk menulis kajian komparasi soal keduanya.

Di bagian kedua, Citra Tubuh Perempuan, saya menjelaskan bahwa nilai moral di masyarakat, ditentukan dari bagaimana masyarakatnya memaknai tubuh perempuan atau yang feminin (termasuk di dalamnya alam). Semakin parah pemaknaan terhadap tubuh perempuan, maka semakin jatuh moral sebuah masyarakat: parah artinya tubuh perempuan dianggap bukan tubuh manusia yang punya keinginan, punya kecerdasan, dan bisa mengambil keputusan sendiri. Kedua film melihat tubuh perempuan dengan cara berbeda, dan para perempuan mengambil keputusan dengan cara berbeda. Apa implikasinya? Silakan baca sendiri. 

Di bagian ketiga, saya bicara tentang Anak Lelaki Pelacur dalam Superstruktur Minang dan Pantura. Saya melihat kedua film digarap dengan baik, beberapa kru adalah orang lokal yang mengerti budayanya, atau melibatkan orang lokal sebagai bagian dari riset. Di sini saya akan menjabarkan bagaimana kedua film mempresentasikan moda produksi kebudayaan dalam memaknai pelacuran. Satu film melihat dari sudut pandang feminis radikal, dimana pelacuran adalah eksploitasi; film lain melihat dari sudut pandang feminis materialisme, dimana pelacuran adalah kerja buruh. Ini menghasilkan status berbeda pada anak lelakinya: yang pertama adalah anak pelacur tanpa status; yang kedua adalah anak kampung yang punya jejaring. 

Di bagian keempat, saya bicara soal Politik Estetika yang dipakai kedua film. Film pertama memakai impressionisme horor, untuk menyelami pikiran individu dan memberikan ketakutan dari dalam diri. Film kedua memakai realisme sosial untuk memaparkan relasi sosial dan memberikan ketakutan dari luar: negara, kapitalisme, pemerintah yang sama sekali tidak berperan kecuali merepotkan mereka yang kerja keras. Politik estetika bergerak dalam penentuan distribusi estetis: apa yang boleh dan tidak boleh di lihat, siapa yang boleh membuat dan boleh menontonnya, dan lain-lain. Saya berargumen bahwa kedua film memiliki rezim estetikanya sendiri, tapi sedang terancam oleh usaha negara yang buta fim tapi haus kepentingan untuk membuat kebijakan “membantu film Indonesia.” yang hendak memaksakan rezimnya (lagi) dalam film Indonesia–sesuatu yang kita semua harus waspadai.

Di setiap akhir halaman, saya akan kasih tombol “traktir yang nulis kopi,” buat yang ingin kasih saya bantuan reimbursement kopi-kopi sekeliling Yogyakarta selama JAFF 2025, yang habis buat bikin tulisan panjang ini–hanya untuk mereka yang sedang kelebihan rejeki dan tidak diteror pinjol tiap bulan. Selamat membaca!

Klik di sini untuk menuju halaman berikutnya: Tentang Dua Film.

Daftar Isi

Gender, Politik, Racauan

Fadli Zonk sebagai Red Herring

Mari kita luruskan dulu satu hal: kaga ada orang yang waras yang seneng memperdebatkan tragedi. Terutama kalau perdebatan itu bukan untuk mencari keadilan, tapi untuk nyari panggung.

Beberapa hari terakhir, Menteri Kebudayaan Fadli Zon rajin menegaskan bahwa perkosaan massal 1998 nggak bisa disebut “massal”. Katanya, datanya tidak cukup. Katanya, ini beda dengan Bosnia atau Nanjing. Dan katanya lagi, kalau memang ada, tunjukkan siapa korbannya.


Padahal laporan Tim Gabungan Pencari Fakta yang dibentuk negara sendiri sudah memuat angka yang cukup bikin leher tercekat: 52 korban perkosaan, 168 kasus kekerasan seksual. Di tengah kekacauan rasial, rumah-rumah dibakar, warga etnis Tionghoa diteror, dan perempuan diseret dari tempat aman mereka ke dalam gelapnya kekerasan. Tapi entah kenapa, ini dianggap belum layak disebut “massal”.

Mari kita potong basa-basi: yang sedang terjadi bukan sekadar perdebatan definisi. Ini strategi. Ini pengalihan. Ini red herring.



Bayangin aja: alih-alih ngomong soal PHK massal yang terus terjadi, harga pangan yang makin menggila, eksploitasi tambang yang merusak lingkungan,  konflik agraria, pelanggaran HAM yang belum dituntaskan, atau soal program semacam MBG yang terus bermasalah—pemerintah justru menyodorkan debat sejarah versi resmi dan “kebenaran” soal 1998.

Proyek buku sejarah nasional itu sendiri adalah teka-teki. Mengapa negara tiba-tiba ingin jadi penulis tunggal masa lalunya sendiri? Sejarah, kalau jujur, pasti gaduh. Tapi sejarah versi kementerian? Bisa tenang banget. Isinya disaring. Konfliknya disusun ulang. Fakta dimampatkan sesuai selera kekuasaan.

Dan ketika masyarakat mulai mengkritik narasi tunggal itu, muncul lagi isu lama dibuka ulang: benar nggak sih ada perkosaan massal waktu itu? Valid nggak sih datanya? Ini pola lama: tenggelamkan masalah besar dengan kontroversi terkontrol.

Sementara publik sibuk debat apakah “52 korban” layak disebut “massal”, perusahaan tambang jalan terus. Alih-alih minta maaf atau membela korban, pejabatnya justru tampil percaya diri, meragukan data, dan melempar beban pembuktian pada warga yang traumanya bahkan belum sembuh.

Ini bukan soal sejarah. Ini soal siapa yang berhak menguasai cerita. Dan lebih jauh lagi, soal siapa yang berhak memilih topik apa yang harus kita pikirkan.

Yang terjadi di sini adalah penguasaan atensi. Saat semua sedang memelototi kata “massal” sambil buka-buka arsip lama, krisis hari ini dibiarkan lewat begitu saja. Saat kita sibuk memverifikasi tragedi dua dekade lalu, tragedi hari ini—PHK, perampasan tanah, ketimpangan ekonomi—tidak ditulis, tidak dibicarakan, tidak dibela.

Red herring bekerja dengan cara itu: ia tidak bohong, tapi ia membuatmu sibuk dengan yang bukan prioritas. Ia tidak menolak tragedi, ia hanya mengalihkan lensa ke arah yang lebih aman buat penguasa.

Dan dalam dunia di mana perhatian adalah komoditas paling mahal, strategi ini jitu sekali. Sorot lampu diarahkan ke isu-isu lama yang gampang diatur, sambil isu-isu baru yang tidak nyaman dibiarkan tumbuh dalam gelap.

Sejarah yang tidak berpihak pada korban adalah propaganda. Dan negara yang mengatur cerita tanpa mengurus luka hanya sedang menulis ulang buku—bukan untuk dibaca, tapi untuk menutupi halaman-halaman yang tidak mereka sanggupi hadapi.


Kalau kamu ngerasa obrolan ini terasa absurd, memang begitulah cara pengalihan bekerja. Dan jika Anda merasa mulai lelah, itu artinya strategi ini sedang berhasil.


Terima kasih telah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan, iklannya tak menghasilkan, dengan lisensi Creative Commons, Atribution, Non commercial. Kamu boleh pakai konten ini selama memberikan link sumber dan bukan untuk tujuan komersial. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, silahkan traktir saya kopi murah.

English, Filsafat, Gender, Racauan

Love Sick: It’s Not Your Fault

I have often found myself in the role of mediator for troubled couples within my circle of friends. It is interesting to observe a pattern of toxic relationships among them, wherein the majority of the men struggle with issues surrounding masculinity, while the women seem to grapple with archaic mother-related challenges.

In my experience, men who exhibit masculinity problems often find it difficult to express their emotions openly and communicate effectively. They may adhere to societal expectations of stoicism and strength, which can create barriers to healthy relationship dynamics. Recognizing and addressing these issues can be crucial for restoring harmony within the couple.

In some cases, I have encountered men who are well-versed in gender knowledge and possess the ability to express their emotions openly and honestly. However, it is not uncommon for these men to become overly dramatic and easily triggered by their partners, even in situations where their spouse is simply trying to offer support or provide helpful suggestions. This hypersensitivity can stem from past experiences or insecurities, leading to miscommunication and misunderstandings within the relationship.

Similarly, the women facing archaic mother issues tend to carry unresolved emotional baggage and deeply ingrained beliefs about their role in relationships. This can manifest in seeking excessive control, struggling with trust, or harboring insecurities.

Photo by Dilek Yu00fcksel on Pexels.com

In addition to the patterns of toxic relationships I mentioned earlier, I have also noticed that some women who are independent, free-spirited, and assertive can sometimes face challenges in their relationships. It’s almost as if Murphy’s Law about bad possibilities comes into play. These women, who may be confident and self-assured, often find themselves in situations where their assertiveness is misinterpreted or seen as a threat to their partner’s ego or traditional views on gender roles. This can lead to power struggles, arguments, and a lack of understanding between both partners.

In conclusion, reflecting on the patterns of toxic relationships I have witnessed among my friends and drawing from my own personal experiences, it becomes evident that the dynamics of a relationship are not solely determined by one person’s fault. Rather, it is essential for individuals to introspect and evaluate their own upbringing, parental influences, and even their genetic predispositions to gain a comprehensive understanding of why a relationship may have ended. While this self-reflection may not guarantee healing or reconciliation, it can provide valuable insights that aid in personal growth and move forward in life.

Gender, Memoir, Racauan

Monogami: sebuah Imajinasi

Buat yang ingin tahu, dan bukan yang ingin percaya.

Sudah lama aku tahu, bahkan sebelum pernikahanku yang pertama, bahwa pernikahan itu tidak pernah soal cinta. Hubungan manusia tidak ada yang tak retak, tapi yang merekatkan sepasang suami istri, jelas bukan cinta. Yang memisahkannya juga bukan perselingkuhan, kebencian atau pengkhianatan. Yang membuatku lumayan kesal adalah, tesis yang akan kupaparkan pada kalian adalah tesis lamaku. Ternyata setelah sekali menikah dan gagal, tesis ini tetap tegak.

Dalam tesis ini, pernikahan adalah kontrak sosial, politik, dan profesional. Bukan kontrak kesetiaan atau kontrak percintaan. Cinta bisa hilang dalam perkawinan, cinta bisa tetap ada setelah perceraian, cinta bisa menyatukan dan memisahkan. Demi cinta kita bisa bersatu dan demi cinta pula, kita rela melepaskan yang kita cinta.

Kontrak sosial berarti persatuan hubungan sosial dua individu. Di dalamnya ada keluarga, teman dan sahabat. Kontrak politik adalah persatuan dua unit kuasa, agama, atau institusional yang dimungkinkan dengan aturan negara atau agama. Kontrak profesional adalah persetujuan soal pembagian kerja, penyatuan finansial, dan hak atas aktualisasi diri. Artinya, sebuah pernikahan akan bertahan (bukan akan bahagia, bukan akan ideal, tapi bertahan), jika ketiga kontrak tersebut tidak dilanggar.

Ketiga kontrak tersebut adalah syarat mutlak dua individu bisa menikah, tak perlu cinta. Kompatibilitas dalam komitmen ketiga kontrak itu adalah segalanya. Sepasang yang beda agama bisa menikah ketika hukum negaranya memperbolehkan dan kedua keluarga setuju bahwa anak mereka akan (1) menikah dengan mempertahankan agama masing-masing, atau (2) salah satunya pindah agama mengikuti yang lain. Tapi jika salah satu keluarga tidak setuju dan keras menentang, maka kawin lari, pengusiran,pemutusan hubungan, dan tragedi bisa terjadi. Bisakah pasangan tersebut menikah? Bisa saja, dengan konsekuensi ketimpangan yang tinggi, ketika salah satu individu tidak lagi punya keluarga inti.

Kontrak sosial juga berarti komitmen keintiman antar individu dengan individu, antar keluarga dengan keluarga, dan dalam lingkaran sosial pasangan tersebut. Hubungan sosial yang terlalu renggang atau terlalu rapat bisa menciptakan keterjebakan. Akibatnya bisa jadi tindakan-tindakan pemberontakan, seperti perselingkuhan atau kecanduan. Secara sosial, perselingkuhan merusak cinta dan kepercayaan pasangan. Tapi selama perselingkuhan masih rahasia dan tidak disebarkan ke lingkaran di luar keluarga inti, maka pernikahan bisa tetap ada dengan konsekuensi hubungan yang rusak dan harus diperbaiki. Jika sampai menyebar, maka tali pertama yang putus bukanlah tali perkawinan sepasang suami istri, tapi tali hubungan kedua keluarga.

Secara politik, pernikahan bisa gagal kalau relasi kuasanya jomplang–bukan timpang. Bedakan ini. Jomplang berarti ada kekuatan kuasa dimana satu pihak menekan pihak lain, dalam konteks dimana pihak yang ditekan sebenarnya punya alat-alat perlawanan seperti hubungan sosial atau hukum negara. Jomplang bisa dipecahkan dengan mediasi atau perceraian. Sementara itu, timpang tetap bisa membuat rumah tangga jalan, karena dalam ketimpangan, biasanya yang dirugikan tidak sadar bahwa ia dirugikan. Ketimpangan juga menutup kemungkinan cerai–misalnya dengan budaya dan agama di wilayah tertentu di dunia, yang mana cerai tidak ada dalam hukum dan kosakatanya. Ketimpangan dapat membuat pernikahan bertahan sampai dipisahkan kematian, namun tidak indah sama sekali, seperti meminum racun setiap hari tanpa pernah mati.

Kontrak ketiga, profesionalitas. Ini berhubungan dengan distribusi kerja dan ekonomi. Ekonomi artinya pengaturan rumah tangga, artinya bagaimana moda produksi sebuah rumah tangga dijalankan oleh keluarga. Di sini pasangan harus sepakat tentang distribusi kerja; siapa yang mengurus anak atau rumah ketika yang lain mencari nafkah; bagaimana mendukung profesi pasangan di saat yang sama memastikan kontrak sosial (keintiman dengan pasangan, keluarga dan teman) dan politik (komunikasi dan pembagian kuasa) tetap terjaga dan stabil. Rumah tangga akan rusak atau disfungsional ketika pasangan tidak bisa mendukung atau terlalu mendukung profesi pasangannya. Tidak bisa mendukung artinya ia tidak setuju sama sekali dengan pekerjaan yang dipilih pasangannya dan membuat pasangannya tertekan, depresi, dan irrelevan di dunia profesionalnya. Terlalu mendukung bisa membuat pasangannya lupa dengan dua kontrak yang lain: kontrak sosial dan kontrak politik dari sebuah perkawinan.

Sains sudah mengajarkan bahwa Cinta adalah hormonal dan zat kimia yang dibentuk dari referensi pengalaman yang membuat preferensi seksual dan sosial. Cinta bisa hilang, bisa habis dan menguap dengan waktu dan konteks yang berbeda. Sebagai primata, manusia tidaklah tercipta sebagai mahluk monogami. Manusia tidak memiliki musim kawin, tidak seperti banyak mamalia lain. Artinya pernikahan yang satu, kemonogamian, adalah sebuah cerita yang dikarang manusia untuk sedapat mungkin dijalankan dan ditepati. Pernikahan monogami seperti kontrak dibuatnya negara, kontrak transaksional politik atau komitmen sosial, yang mengikat dua individu primata poliamoris, yang memaksakan kisah monoamoris dalam hidupnya. Kisah yang pasti gagal dalam rasa, namun bisa berhasil dalam logika politik, sosial, dan profesional.

Pada akhirnya manusia cuma ingin teman, companionship. Sebuah impian untuk berbagi kehidupan, karena dalam kematian, kita takkan pernah bersama. Maka apapun asal hubungan romantismemu, hubungan yang lama ditentukan oleh relasi-relasi di luar cinta. Itu kenyataannya, kepercayaanmu tidak penting.

Tapi sebagai mahluk kreatif, bolehlah kamu mengarang cerita atau membuat strategi untuk terus menyalakan bara asmara, selama trinitas sosial, politik, dan profesional terjaga.