Luka lama yang kita bawa, merusak apa yang ada. Kerja keras kita, cinta yang kita bina, dan cerita yang kita cipta.
Luka lama adalah fantasmagoria. Kau lihat ia di sudut mata, menggoda untuk masuk ke dunia niskala. Kau akan terjebak di dalamnya dan tanpa sadar menarik semua yang bahagia menjadi nestapa.
Luka lama diberikan orang tua. Dalam usaha coba-coba membuat manusia, mereka menanamkan kasih sayang hingga mengakar, hanya untuk mencerabutnya dengan cinta atau dengan kasar, meninggalkan lubang pertama, luka terdalam. Tidak ada manusia yang akan luput dari luka yang dibuat orang tua.
Luka lama diberikan saudara kandung, dari perebutan kasih sayang, atau kompetisi menjadi lebih terang. Dalam berjuang, menjadi buah matang atau busuk di pohon yang sama. Tumbuh jadi peneduh atau jadi benalu. Cinta dan benci tiada henti.
Luka lama tinggal selamanya. Pada keluarga ia ditahan dengan tawa dan kebahagiaan serta perjuangan.
Luka lama diberikan yang terkasih. Cinta demi cinta yang berlalu memberikan nikmat dan laknat. Ada yang melukai demi kehormatan, ada yang demi cinta, ada yang demi keluarga, demi diri sendiri, dan demi bintang-bintang, Tuhan dan agama. Ada yang demi kesehatan fisik dan mental, dan yang paling sering terjadi, luka lama cinta dibuat karena luka lama lain.
Luka lama yang kita bawa, merusak apa yang ada. Luka lama adalah gerbang yang indah dan menggoda menuju keniscayaan hidup. Jika kau pikir mengejarnya akan menyembuhkannya, kau adalah golongan yang merugi.
Takdir pernah mempertemukan aku dengan sebuah Luka Lama, dan aku mengajaknya untuk menyembuhkan dan menutup diri. Kupikir, karena tidak kukejar, mungkin ini takdir untuk mengakhiri sakitnya.
Ia bilang, “Tak ada yang perlu dibicarakan.”
Kata-kata terakhir itu menghantui. Dan Luka Lama justru terus ku rawat berdarah, hingga suatu hari ia menganga dan merusak lagi, kali ini bisa membuat aku melukai banyak orang, seperti seorang bocah membawa pistol ke sekolah karena luka lama yang dibuat keluarga dan kawan-kawannya. Dor… Dor … Dor…
Maka untuk bertahan hidup dan membangun kemanusiaan, luka lama harus ditabur garam, antiseptik, atau dibakar. Sakitnya akan membuat sadar, apa yang punya hari ini, dimana kau, siapa yang ada di sampingmu, bagaimana kalian bisa saling kenal dan saling sayang, apa yang sedang dibangun. Luka lama adalah kehidupan yang menyuruh mati pelan-pelan.
Ambil nafas hidupmu dalam-dalam. Dan hiduplah sekarang, yang berlalu detik demi detik, huruf demi huruf. Luka Lama adalah cerita. Tapi sekarang, adalah menulis. Yang kau baca kau tulis di pikiran. Dan jika kau cinta maka kau kerjakan di kenyataan, kau tulis di peradaban.
Terima kasih telah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan, iklannya tak menghasilkan, dengan lisensi Creative Commons, Atribution, Non commercial. Kamu boleh pakai konten ini selama memberikan link sumber dan bukan untuk tujuan komersial. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, silahkan traktir saya kopi murah.
Mengikuti Benedict Anderson, komunitas hanya hidup sejauh kita mampu membayangkannya bersama—bukan sebagai struktur, tetapi sebagai hubungan yang terus diperbarui.
Tanpa iman, lembaga mengecil menjadi mesin administrasi; dengan iman, ia menjadi ruang imajinasi masa depan.
Komunitas berkelanjutan memandang dirinya sebagai cerita tanpa akhir; tidak ada puncak, nabi terakhir, atau generasi pamungkas—hanya rantai kontinuitas.
Etos kerja hidup dari kesadaran naratif: setiap tindakan kecil adalah kalimat dalam cerita panjang yang kita tulis bersama.
Komunikasi adalah syarat regenerasi; tak ada pembaruan jika imajinasi tidak dibagikan dan visi tidak disuarakan.
Tantangan terbesar bukan menjaga masa lalu, tetapi membuat diri kita layak dibayangkan oleh mereka yang akan datang.
Komunitas bertahan bukan karena besar atau mapan, tetapi karena mencintai cara mereka bekerja—dan membuka ruang bagi sesuatu yang belum pernah dibayangkan.
Benedict Anderson menulis bahwa bangsa—sebuah entitas sebesar itu—hanya bisa berdiri karena ia diimajinasikan bersama. Keberadaannya ditopang oleh kesadaran kolektif yang tidak pernah sepenuhnya kasat mata: kesediaan saling percaya pada orang yang tidak pernah kita temui, kesediaan merasa terhubung dengan masa depan yang belum kita lihat.
Gagasan itu relevan bukan hanya untuk negara, tetapi untuk setiap komunitas, lembaga, atau ekosistem sosial yang ingin bertahan lebih dari satu generasi. Pada akhirnya, komunitas hidup bukan karena struktur, tetapi karena cara orang-orang di dalamnya membayangkan diri mereka dalam hubungan dengan orang lain, dengan masa lalu, dan dengan masa depan. Dan di sinilah krisis banyak komunitas modern bermula: mereka berhenti membayangkan diri mereka bersama.
AT-AT Melawan Manusia Purba, dengan gaya Rembrant. Komunitas masa lalu melawan masa depan yang fiktif.
Dalam dunia yang bergerak cepat, identitas pekerjaan makin rapuh. Namun cara bekerja—etika, imajinasi, disiplin moral—justru semakin penting. Sebab yang memberi keberlanjutan bukanlah daftar tugas, tetapi cara tugas itu dilaksanakan. Menjadi kompeten dan profesional adalah fondasi sebuah institusi yang sehat; untuk itu perlu ada batasan yang jelas tentang cara belajar dan cara bekerja, dan bagaimana cara berdiskusi ketika sebuah kebijakan diambil.
Imajinasi kolektif masa depan tidak membutuhkan pahlawan tunggal, tetapi kebiasaan orang biasa yang bekerja dengan cara yang benar. Itulah iman baru: bukan percaya pada jabatan atau gelar, tetapi percaya bahwa tindakan yang dikerjakan dengan integritas selalu membuahkan masa depan yang layak dihuni. Anderson mengingatkan: komunitas bertahan karena ia bersedia menjadikan dirinya ruang bagi generasi yang belum lahir. Ini bukan sekadar regenerasi. Ini adalah kesediaan untuk diubah.
Peradaban, kata Harari, selalu bertahan karena fiksi kolektif. Tetapi yang menentukan masa depan bukan fiksi itu sendiri—melainkan keyakinan pada fiksi itu. Iman, dalam pengertian ini, bukan religius semata: ia adalah keberanian mempercayai sesuatu yang belum terbukti, dan bekerja demi mewujudkan ide itu.
Tanpa iman, lembaga mengecil menjadi ruang administratif. Dengan iman, ia menjadi ruang imajinasi masa depan.
Komunitas yang berkelanjutan memahami dirinya sebagai cerita yang tidak selesai. Tidak ada generasi yang menjadi “puncak” atau “penutup”; semuanya menjadi penghubung. Tidak ada “Nabi terakhir,” atau “Pemimpin penutup zaman.” Yang ada adalah kemungkinan-kemungkinan untuk menjadi relevan bersama lewat struktur yang memastikan bahwa pemegang kebijakan adalah orang-orang kompeten. Yang ada adalah reinkarnasi dalam Samsara. Imajinasi kolektif inilah yang menjaga etos kerja tetap hidup: ketika seseorang membersihkan ruang, menutup pintu, mengajar satu murid, atau memperbaiki sistem, ia sadar bahwa tindakannya akan menjadi bagian dari cerita yang lebih panjang. Tapi untuk itu pula, ia harus belajar untuk bicara dan mengkomunikasikan cerita yang ia bayangkan atas kerja yang ia lakukan. Sehingga tidak ada yang tertinggal dan terasing dalam narasi kebungkaman dan keenganan.
Tantangan terbesar bukan mempertahankan masa lalu, tetapi membuat diri kita layak dibayangkan oleh mereka yang datang kemudian. Pertanyaannya adalah: bagaimana kita bekerja hari ini agar mereka ingin melanjutkannya besok?
Masa depan diimajinasikan bersama. Komunitas yang bertahan bukanlah mereka yang paling besar, paling kaya, atau paling tua, tetapi yang paling mampu mencintai cara mereka bekerja—dan dengan itu, terus membuka ruang bagi orang lain untuk menambahkan sesuatu yang belum pernah dibayangkan.
Dan dengan itu, segala perubahan dan rintangan bisa dihadapi bersama. Karena kita ingin bersama, kita cinta untuk bersama, dan kita tidak bisa membangun peradaban yang kita bayangkan, tanpai kolaborasi di imajinasi kita.
Terima kasih telah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan, iklannya tak menghasilkan, dengan lisensi Creative Commons, Atribution, Non commercial. Kamu boleh pakai konten ini selama memberikan link sumber dan bukan untuk tujuan komersial. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, silahkan traktir saya kopi murah.
Tidak ada ekosistem yang lahir dari kenyamanan. Setiap pembaruan besar dalam sejarah manusia selalu dimulai dari kegelisahan. Bukan dari pertemuan, bukan dari kebijakan, tetapi dari guncangan moral—saat manusia tiba-tiba menyadari bahwa sistem yang mereka banggakan tidak lagi bermakna.
Dalam Sapiens, Yuval Noah Harari menulis bahwa sejarah manusia bergerak bukan karena kebutuhan biologis, melainkan karena krisis makna, krisis relevansi. 1 Saat manusia prasejarah menemukan bahwa ritual pengorbanan tidak lagi menjamin hujan, mereka menciptakan ilmu pertanian.
Saat masyarakat abad pertengahan menyadari bahwa doa tidak menghentikan wabah, mereka menciptakan ilmu kedokteran. Dan saat manusia modern menyadari bahwa kemajuan material tidak menghapus kesepian, mereka menciptakan psikologi. Dengan kata lain, setiap revolusi sosial dimulai dari kehancuran imajinasi lama.
Dalam antropologi, proses ini disebut “moral disembedding” — pencabutan akar nilai lama dari konteks lamanya agar bisa tumbuh dalam bentuk baru. Namun pencabutan itu selalu menyakitkan. Ia mengharuskan manusia menatap cermin dan mengakui bahwa yang dulu sakral kini sudah beku, bahwa apa yang dulu berarti kini hanya menjadi kebiasaan.
Dalam ekosistem sosial mana pun — dari kerajaan, universitas, hingga komunitas kreatif — regenerasi tidak pernah dimulai dari “penerus”, tetapi dari pembangkang. Orang yang berani mengatakan bahwa cara lama tak lagi berfungsi adalah embrio evolusi. Namun dalam banyak lembaga, pembangkang sering dilihat sebagai ancaman, bukan harapan. Mereka diasingkan, disindir, atau dituduh tidak loyal. Padahal justru dari ketidaknyamanan merekalah sistem mendapat kesempatan untuk hidup kembali.2
Pemberontakan pada Dewa. Terinspirasi dari Goya.
Krisis Sebagai Proses Alami
Evolusi hanya terjadi melalui mutasi — kesalahan dalam reproduksi genetik yang kebetulan menghasilkan keunggulan adaptif. Demikian pula dalam masyarakat: regenerasi lahir dari “kesalahan sosial” — ide aneh, keputusan impulsif, atau tindakan yang menabrak norma. Namun karena kita membangun lembaga untuk menekan kesalahan, maka pada saat yang sama kita juga menekan kemungkinan evolusi.
Institusi modern takut gagal karena mereka takut kehilangan kredibilitas. Padahal seperti yang ditulis Amy Edmondson dalam risetnya tentang organisasi belajar, kegagalan adalah “data dengan emosi.”3
Jika emosi itu dipahami, bukan ditakuti, maka ia menjadi katalis perubahan. Masalahnya, banyak komunitas yang ingin “berubah” tanpa pernah mau gagal. Mereka mencari regenerasi tanpa krisis, pembaruan tanpa kehilangan, evolusi tanpa penderitaan. Itulah sebabnya yang lahir hanyalah versi kosmetik dari perubahan: brosur baru, jargon baru, struktur baru — tapi kesadaran yang sama.
Kesadaran sebagai Infrastruktur
Harari pernah menyebut bahwa masyarakat modern menghabiskan lebih banyak energi untuk memelihara sistem pendidikan, ekonomi, dan politik ketimbang untuk menumbuhkan kesadaran manusia yang menjalankannya. Padahal sistem hanyalah cermin. Tanpa perubahan dalam kesadaran, setiap sistem baru hanya akan mengulangi kesalahan lama dalam bentuk yang lebih canggih.
Dalam konteks komunitas kreatif, ini berarti: regenerasi bukan sekadar mengganti orang, tetapi mengganti cara berpikir tentang kerja. Selama kerja masih dilihat sebagai beban, bukan partisipasi etis, maka setiap generasi baru akan mengulangi siklus ketergantungan yang sama. Mereka mungkin membawa alat baru, gaya baru, bahkan bahasa baru — tapi mentalitasnya tetap: menunggu sistem memberi arah, alih-alih menciptakan arah.
Maka yang dibutuhkan bukan “rekrutmen baru”, melainkan kesadaran baru. Kesadaran bahwa bekerja bukanlah bentuk eksploitasi, tetapi bentuk keberlanjutan moral. Bahwa tanggung jawab bukan hukuman, melainkan cara untuk tetap eksis dalam jaringan kehidupan sosial. Dalam masyarakat tradisional, ini disebut budi pekerti atau dala, masyarakat modern: self-governance.
Namun esensinya sama: keikhlasan untuk menjaga sesuatu tanpa perlu disuruh.
Tanda-Tanda Kesadaran yang Mati
Kita bisa mengenali komunitas yang gagal beregenerasi dari tiga tanda:
Mereka kehilangan rasa malu. Tidak malu datang terlambat, tidak malu tidak menyelesaikan tanggung jawab, tidak malu menerima manfaat tanpa kontribusi. Dalam antropologi moral, hilangnya rasa malu adalah pertanda awal disintegrasi sosial — karena malu adalah mekanisme alami untuk menjaga kehormatan dalam kelompok.
Mereka berhenti merasa bersyukur. Ketika generasi baru menganggap ruang yang mereka tempati sebagai hak, bukan warisan, maka rantai rasa terima kasih putus. Dan tanpa rasa syukur, tidak ada dorongan untuk memberi kembali.
Mereka berhenti mendengar. Setiap komunitas yang merasa “sudah tahu” akan berhenti belajar. Dan ketika tak ada yang belajar, tak ada lagi yang tumbuh.
Ketiganya adalah tanda kematian kesadaran. Seperti pohon yang masih berdiri tegak tapi sudah lapuk di dalam.
Bagaimana Kesadaran Dihidupkan Kembali
Tidak ada metode pasti untuk membangkitkan kesadaran dan membuat regenerasi dengan kesadaran penuh, tetapi sejarah memberi petunjuk. Dalam setiap era krisis, institusi yang berhasil bertahan bukanlah yang paling kuat atau paling disiplin, melainkan yang membuka ruang bagi anomali: individu atau gagasan yang menolak tunduk pada rutinitas lama. Figur-figur ini menggabungkan disiplin moral dan imajinasi sosial—bukan untuk melawan struktur secara membabi buta, melainkan untuk memperluas kemungkinannya.4 Mereka tidak sekadar mengeluh; mereka menunjukkan versi lain dari apa yang mungkin.
Mereka bekerja dengan kesadaran penuh, bukan untuk membuktikan kepatuhan, tetapi karena menyadari bahwa makna tidak lahir dari instruksi—melainkan dari tindakan yang menantang kebiasaan. Dan justru karena tindakan kecil mereka mengguncang kenyamanan struktur, sistem belajar merasakan malu, lalu bergerak. Inilah paradoks perubahan: institusi sering perlu diberi contoh, bukan diberi perintah.
Dalam banyak masyarakat tradisional, para pembaru disebut pertapa duniawi—bukan karena mereka menarik diri dari dunia, tetapi karena mereka berdiri tepat di tengah kekacauan sambil menjaga kejernihan batin. Di komunitas modern, versi mereka dapat berwujud mentor yang terus belajar setelah forum berakhir, anggota tim yang mengambil tugas tak terlihat, atau produser yang memilih integritas ketika kompromi lebih mudah. Mereka adalah anomali yang hidup: bukti bahwa sistem masih memiliki denyut.
Namun anomali hanya tumbuh subur jika ekosistemnya membuka ruang. Komunitas yang dewasa bukanlah yang membunuh penyimpangan, tetapi yang mempersiapkan diri untuk dihampiri penyimpangan. Seperti laboratorium yang memahami bahwa temuan besar lahir dari kegagalan terkontrol, atau hutan yang menerima benih liar ditiup angin, institusi yang ingin beregenerasi harus melatih dirinya untuk menerima ketidakpastian. Ia perlu membiarkan pintunya setengah terbuka bagi gagasan yang tampak berbahaya, bagi orang yang cara kerjanya tak lazim, bagi percobaan yang tampak mengganggu ritme.
Dengan demikian, krisis kesadaran tidak lagi dibayangkan sebagai kehancuran, melainkan sebagai ruang kosong yang sengaja disiapkan—a clearing—untuk menyambut bentuk kehidupan baru. Di titik inilah institusi berhenti menjadi benteng dan berubah menjadi tanah yang subur. Tunas tidak lagi membutuhkan api untuk mengurai tanah; tanah itu sudah digemburkan oleh niat, bukan oleh bencana.
Jika sebuah komunitas ingin beregenerasi, ia tidak perlu membakar dirinya. Ia perlu mendisiplinkan dirinya untuk menghadapi pembangkangan, memupuk kemampuan menerima kritik, dan menyambut keganjilan sebagai bagian dari metabolisme sosialnya. Regenerasi bukan tentang kehancuran, tetapi tentang kesediaan untuk tidak menganggap dirinya final. Moralitas baru lahir bukan dari puing-puing, tetapi dari komunitas yang sengaja membiarkan dirinya ditempati oleh yang berbeda—oleh percobaan, oleh suara baru, oleh risiko.
Di ujungnya, keberlanjutan tidak lagi dipahami sebagai mempertahankan bentuk lama, tetapi sebagai kemampuan untuk terus memberi ruang bagi kehidupan yang belum ada. Sebuah ekosistem yang benar-benar hidup adalah ekosistem yang siap dilenturkan oleh masa depan. Itulah etika baru yang memungkinkan pertumbuhan: bekerja bukan sebagai repetisi, tetapi sebagai komitmen untuk terus membuka jalan bagi kebaruan.
Bersambung ke bagian terakhir: Ekosistem Masa Depan.
Catatan Akhir:
Yuval Noah Harari, Sapiens: A Brief History of Humankind (London: Harvill Secker, 2014). Lihat khususnya bagian awal Bab 2–3, ketika Harari menjelaskan bahwa perubahan besar dalam sejarah manusia—dari runtuhnya ritual magis hingga lahirnya sains dan pertanian—didorong bukan oleh kebutuhan biologis, melainkan oleh krisis makna dan kebutuhan manusia untuk menata kembali sistem kepercayaannya. ↩︎
Gagasan “pembangkang sebagai motor perubahan” dapat ditelusuri ke dialektika Hegelian, khususnya dalam Phenomenology of Spirit (1807), di mana perkembangan sejarah bergerak melalui konflik antara tesis dan antitesis yang melahirkan sintesis baru. Karl Marx kemudian membalik dialektika Hegel menjadi materialist dialectics, menekankan bahwa perubahan sosial tidak ditentukan oleh kesadaran semata, tetapi oleh kontradiksi material dan perjuangan kelas, seperti dijelaskan dalam Das Kapital (1867) dan Theses on Feuerbach (1845). Tradisi ini diadaptasi ke konteks Indonesia oleh Tan Malaka dalam Madilog (1943), yang menggabungkan materialisme, dialektika, dan logika sebagai metode pembebasan berpikir—di mana kontradiksi dianggap sebagai prasyarat kemajuan, dan “pembangkangan” intelektual dipahami sebagai syarat lahirnya masyarakat yang lebih rasional. ↩︎
Lihat Garvin, David A., Amy C. Edmondson, dan Francesca Gino, “Is Yours a Learning Organization?”Harvard Business Review, Maret 2008, terutama bagian mengenai supportive learning environment dan pentingnya psychological safety, yang menekankan bahwa kesalahan dan kegagalan harus dipahami bukan sebagai sumber hukuman, tetapi sebagai informasi penting bagi pembelajaran organisasi. Dalam konteks penelitian Edmondson, kegagalan diperlakukan sebagai bentuk “data” yang membawa beban emosional, dan hanya dapat dipelajari jika lingkungan aman untuk membicarakannya. ↩︎
Gagasan bahwa krisis melahirkan figur-figur moral dan sosial yang “memberi contoh” memiliki akar panjang dalam teori sejarah dan sosiologi. Max Weber dalam Economy and Society (1922) membahas konsep charismatic authority, yakni tokoh yang muncul di masa krisis untuk memulihkan makna dan menata ulang legitimasi sosial. Antonio Gramsci, dalam Prison Notebooks (1929–1935), menekankan peran organic intellectuals—individu yang tidak sekadar mengkritik struktur, tetapi menjadi teladan praksis untuk mengubahnya dari dalam. Dalam sejarah perilaku moral, Hannah Arendt dalam Responsibility and Judgment (2003) menunjukkan bagaimana individu di masa-masa gelap bertindak bukan untuk taat, tetapi untuk mempertahankan makna dan integritas tindakan. Tradisi ini diperluas oleh Albert O. Hirschman dalam Exit, Voice, and Loyalty (1970), yang menjelaskan bahwa perubahan institusional sering lahir bukan dari pemberontakan keras, tetapi dari suara yang memberi arah melalui keteladanan, disiplin, dan imajinasi sosial. ↩︎
Terima kasih telah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan, iklannya tak menghasilkan, dengan lisensi Creative Commons, Atribution, Non commercial. Kamu boleh pakai konten ini selama memberikan link sumber dan bukan untuk tujuan komersial. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, silahkan traktir saya kopi murah.
Setiap sistem yang berhasil akhirnya percaya bahwa dirinya tidak akan runtuh — itulah ilusi berbahaya yang menghancurkan banyak lembaga, dari Gereja hingga perusahaan modern.
Kompleksitas birokrasi sering disalahartikan sebagai stabilitas; padahal ia hanya menambah berat bagi sistem yang sudah kelelahan.
Ritual administratif menggantikan nilai moral: rapat tanpa arah, program yang hanya menjadi tradisi, struktur yang tampak hidup tapi kosong di dalam.
Ketika sistem lebih sibuk memelihara dirinya ketimbang menjalankan misinya, itulah tanda pengerasan institusi — pengeroposan yang tak terlihat sampai terlambat.
Setiap peradaban yang berhasil menata dirinya sendiri akan, pada akhirnya, menciptakan mitos tentang keabadiannya. Mesir kuno memiliki piramida, Kekaisaran Romawi memiliki hukum, Gereja memiliki liturgi, dan modernitas memiliki birokrasi. Namun di balik setiap struktur yang tampak kokoh, selalu ada satu kesamaan: keyakinan bahwa sistem yang berjalan baik hari ini akan selalu berjalan baik besok. Dan itulah ilusi paling berbahaya dari semua — ilusi kemapanan.
Dalam buku The Collapse of Complex Societies, antropolog Joseph Tainter menulis bahwa kehancuran jarang datang karena kekacauan, tetapi karena kompleksitas yang tak lagi produktif. Setiap sistem sosial yang tumbuh—dari suku kecil hingga negara industri—terus menambah lapisan struktur, prosedur, dan spesialisasi. Awalnya, kompleksitas ini meningkatkan efisiensi. Tapi di titik tertentu, biaya pemeliharaannya melampaui manfaatnya. Sama seperti mesin tua yang memerlukan lebih banyak energi untuk berfungsi, institusi yang terlalu besar akhirnya menghabiskan sumber daya hanya untuk menjaga dirinya tetap hidup.
Kita bisa melihat pola ini dalam sejarah agama, negara, hingga perusahaan modern. Ketika Gereja Katolik menjadi lembaga politik, ia membutuhkan semakin banyak hierarki untuk memastikan ortodoksi. Ketika negara-bangsa modern lahir, ia menciptakan birokrasi yang rumit untuk mengatur pajak, warga, dan perang. Ketika korporasi global tumbuh, mereka menciptakan divisi, komite, dan sistem evaluasi untuk mengawasi karyawan—hingga akhirnya, lebih banyak orang bekerja untuk memelihara sistem ketimbang menjalankan misinya.
Dan ironinya, semakin rumit sebuah sistem, semakin ia merasa aman.
Karena kompleksitas menciptakan kesan kontrol. Tapi sejarah menunjukkan: justru di puncak kontrol, manusia sering kehilangan arah moralnya.
Dalam antropologi modern, banyak peneliti menyebut fase ini sebagai institutional ossification — pengerasan sistem sosial. Pada tahap ini, lembaga tidak lagi menjadi alat untuk melayani tujuan, melainkan menjadi tujuan itu sendiri. Kehidupan sosial berubah menjadi ritual administratif: rapat yang tak menghasilkan keputusan, laporan yang tak pernah dibaca, program yang dijalankan hanya karena “sudah tradisi.” Seperti agama yang mengulangi doa tanpa iman, banyak institusi modern terus bekerja tanpa kesadaran mengapa mereka bekerja.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di lembaga besar. Ia juga menjalar ke ruang-ruang kecil, ke komunitas budaya dan organisasi kreatif. Di sana, bentuk baru dari birokrasi spiritual muncul. Ritualnya bukan lagi misa atau rapat direksi, melainkan “check-in komunitas”, “rencana kolaborasi”, atau “diskusi keberlanjutan” yang diulang tanpa aksi nyata. Semua orang sibuk memelihara struktur agar tampak hidup, padahal di dalamnya sudah kosong. Inilah fase imitasi vitalitas — ketika gerakan yang dulu hidup dari ide kini hidup dari format.
Kita bisa menelusuri akar psikologisnya. Manusia, seperti yang dikatakan Harari, tidak hidup dari kebenaran, tapi dari narasi yang memberi rasa aman. Dan narasi kemapanan adalah candu sosial paling halus:
“Kita sudah punya sistem.” “Kita tinggal melanjutkan.” “Yang penting tetap berjalan.”
Ketika kepercayaan terhadap tujuan digantikan oleh kepercayaan terhadap sistem, manusia berhenti bertanya “mengapa” dan hanya bertanya “bagaimana.” Bagaimana melanjutkan program? Bagaimana mempertahankan anggota? Bagaimana mencari dana?
Pertanyaan-pertanyaan “bagaimana” menjaga sistem tetap hidup; tapi hanya pertanyaan “mengapa” yang menjaga moralitasnya. Sementara itu, kepercayaan bahwa sistem ini sudah saklek, membuat kekakuan yang beresiko membuat sendi-sendi antar departemen jadi patah.
Mengapa kita melakukan ini semua?
Dalam konteks ekosistem kreatif modern, ini tampak jelas. Banyak lembaga yang awalnya dibangun untuk membebaskan pekerja kreatif dari sistem industri, kini menciptakan versi kecil dari industri itu sendiri: dengan struktur, hierarki, dan simbol prestise yang sama. Kita mengganti kata “atasan” dengan “mentor”, “target” dengan “visi”, dan “profit” dengan “kolaborasi”—namun perilakunya tetap sama. Yang berubah hanya bahasa moralnya, bukan logikanya. Dan ketika moralitas menjadi kosmetik, maka struktur sebaik apa pun tak lagi memiliki jiwa dan semangat yang sama.
Sejarah Eropa abad pertengahan memberi pelajaran menarik tentang ini. Ketika biara-biara kehilangan arah spiritualnya, Gereja mencoba menyelamatkan moral publik dengan cara… membangun lebih banyak biara. Alih-alih mereformasi nilai, mereka memperbanyak bentuk. Fenomena serupa kini terjadi di dunia modern: ketika lembaga gagal menghasilkan dampak, solusinya bukan introspeksi, melainkan ekspansi — lebih banyak program, lebih banyak proyek, lebih banyak “inisiatif.” Padahal setiap lapisan baru hanya menambah berat tubuh yang sudah kelelahan.
Dalam antropologi, kita menyebut ini ritual kompensasi — kecenderungan manusia menambah aktivitas simbolik untuk menutupi kehilangan makna. Sama seperti masyarakat agraris kuno yang memperbanyak upacara saat panen gagal, lembaga modern memperbanyak rapat ketika moral kerja menurun. Dan sama seperti upacara itu tak menumbuhkan padi, rapat itu pun tak menumbuhkan perubahan.
Di sinilah ilusi kemapanan mencapai puncaknya. Orang-orang di dalam sistem benar-benar percaya bahwa mereka masih produktif, masih berjuang, masih relevan. Padahal yang mereka lakukan hanyalah memelihara simbol perjuangan, bukan perjuangan itu sendiri. Masjid dibuat di banyak sekali tempat, tapi kosong.
Namun sejarah juga menunjukkan: setiap kemapanan memiliki titik balik. Kadang ia datang dari krisis seperti kebakaran, kebangkrutan, atau konflik moral; atau dari satu individu yang berani mempertanyakan struktur.
Pencerahan sering datang bukan dari keheningan, tapi dari kejutan dan force majeur. Perubahan seringkali dimulai dari disonansi — dari keberanian untuk mengatakan bahwa sistem yang nyaman ini sebenarnya sedang sekarat.
Jika ada pelajaran dari ribuan tahun sejarah sosial manusia, mungkin ini: semua institusi akan gagal, kecuali mereka yang mampu mengenali kegagalannya lebih awal. Kekuasaan bisa diwariskan, kekayaan bisa dijaga, tapi kesadaran moral hanya bisa diperbarui. Dan kesadaran itu tak bisa diadministrasikan; ia harus diperjuangkan kembali, setiap generasi.
Bersambung ke bagian V: Regenerasi dan Krisis Kesadaran.
Terima kasih telah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan, iklannya tak menghasilkan, dengan lisensi Creative Commons, Atribution, Non commercial. Kamu boleh pakai konten ini selama memberikan link sumber dan bukan untuk tujuan komersial. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, silahkan traktir saya kopi murah.