Puisi, Workshop

Mengubah Rasa Jadi Puisi

Kekasihmu pergi, orang yang kau cintai meninggal, kau tidak lulus sekolah, kau ditembak gebetanmu, kamu masuk kampus yang kamu inginkan, atau dapat pekerjaan ideal. Semua kejadian ini menyisakan rasa yang kuat. Bagaimana caranya untuk berbagi rasa ini kepada banyak orang? Toh tidak semua orang mengalami apa yang kamu alami. Jawabannya: dengan puisi.

Temukan apa yang mau kamu katakan secara literal tapi tidak mungkin kamu katakan. Misalnya kamu mau bilang, “Benci untuk mencinta” pada pacarmu. Walau mengandung ironi, tapi ini bukan puisi. Ini kalimat yang jelas, yang interpretasinya tidak banyak. Kita akan buat kalimat ini jadi kaya dengan rasa.

Biasanya yang pertama harus ditarik dulu adalah sebuah rasa yang abstrak. Benci dan cinta sendiri adalah kata-kata yang sudah abstrak, kita tidak bisa menyentuh benci atau cinta. Maka untuk menjadikannya puisi kita bisa membuatnya menjadi fenomena nyata dengan kata benda dan kata kerja. Benci untuk mencinta, adalah ketidaksukaan untuk melakukan yang kita suka, karena yang kita suka merugikan kita. Cari perumpaannya, membenci yang kita cintai itu seperti…. Kecanduan pada narkoba, misalnya. Maka untuk bilang aku cinta untuk membenci dalam puisi, bisa saja (satu diantara banyak caranya), memakai perumpaaan narkoba. Jadinya seperti ini:



***
Heroin, pahlawanku, yang tak bisa kulepaskan Atau tak mau melepaskanku

Meth, kristal paling berharga, dan tubuhku rubuh, organku rusuh ingin kau!

Kau, opium terkuat, seperti Tuhan yang ilusif antara ada dan tiada,

Tapi opresif
Posesif.

***

Jadi untuk membuat puisi dari rasa dan emosi, yang kamu perlukan adalah manifestasi nyata dari rasa itu, dengan perumpamaan-perumpaan yang menimbulkan rasa semacam itu. Dan dengan perumpamaan puisimu bisa membuka pintu persepsi banyak orang. Bukan hanya untukmu.

Racauan, Workshop

3 Halangan Menulis dan Cara Menerobosnya

Entah sudah berapa banyak janji yang terlanggar soal menulis harian. Tapi pernah ada masa-masa konsisten, dimana secara rutin saya menulis. Jika diingat lagi, dengan mudah saya bisa tahu dimana batas menulis itu putus di jalan. Secara sederhana, sebabnya ada tiga.

Pertama, karena ada disrupsi rutinitas. Beberapa bulan ini, disrupsi selalu terjadi dengan berbagai macam masalah: dari masalah keluarga, kerjaan, dan yang akhir-akhir ini sedang sangat mengganggu: lonjakan pasien covid, kawan dan sanak saudara yang sakit dan meninggal. Jelas, menulis tidak sepenting mereka. Di situ saya paham bahwa menulis adalah privilise.

Kedua, kurang baca dan kurang bergaul. Penulis menghabiskan hidupnya banyak di depan HP, buku catatan, atau laptop untuk menulis draftnya. Namun ia butuh sekali untuk keluar dari zona penulisannya. Haruki Murakami mengunakan lari jauh setiap pagi, lalu bergaul di berbagai tempat sosial, atau berkelana ke sana kemari. Perjalanan bisa setahun dan dalam setahun itu ia sambil menulis 3-4 jam sehari tentang apa yang ia pelajari setahun sebelumnya. Begitupun penulis perjalanan (travel writers). Mereka sebenarnya lebih banyak di rumah, karena kalau di jalan, mereka mengumpulkan data. Tapi kalau mau aktif seperti Paul Theroux misalnya, yang hingga usia hampir 100 masih jalan-jalan dan menerbitkan buku, memang harus ada rutinitas. Bahwasannya yang ia banggakan, sebagai penulis ia bisa melihat anak-anaknya tumbuh di rumah. Karena ia banyakan di rumah daripada di jalan. Novellette saya Kaori, mengambil inspirasi dari Paul Theroux dan kemampuannya membagi waktu antara tulisan dan rumah—walau Aoyama di Kaori lebih menderita karena ia tak punya anak.

Ketiga, muncul keinginan untuk membuat karya yang sempurna. Saya punya ratusan draft tulisan di blog ini. Beberapa ide dan topik yang saya pikir potensial untuk jadi besar. Ini bahaya, karena akhirnya yang jadi keluar ke permukaan hanya sedikit. Dan dari pengalaman saya, menyimpan ide tidak pernah baik kalau tidak ada deadline. Akhirnya bayi tulisan kita bisa cacat atau keguguran. Prematur itu buruk, tapi post term atau overdue bisa jauh lebih buruk untuk bayi dan yang mengandung. Kita sebagai penulis bisa terjebak di ide itu sampai gila.

Jadi baiknya diselesaikan, walau belum diterbitkan. Itu yang sedang saya usahakan, bahwa setiap draft adalah sesuatu yang selesai. Draft satu dan draft dua adalah tulisan yang berbeda. Bahkan ketika sudah terbit pun, dalam beberapa tahun bisa saya lihat lagi dan saya revisi, sesuai perubahan zaman.

Jadi ini cara utama yang sedang saya lakukan untuk bisa tetap menulis:

Jika saya bisa meminimalisir efek dari disrupsi dengan menepati janji saya untuk menulis, dan saya bisa terus membaca dan bergaul, dan saya tidak mengejar kesempurnaan, maka saya yakin saya bisa kembali aktif dan tidak buang-buang uang website 2.5 juta per tahun. Kunci yang selama ini berhasil adalah: ketika disrupsi itu berlalu, paksa rutinitas untuk kembali dengan fokus ke apa yang ada di sini sekarang di depan kamu. Residu dari disrupsi yang mengganggu dan menyedihkan, biarkan jadi bisikan-bisikan setan yang akan selalu ada. Relakan dia ada di sana tapi jangan berhenti untuknya. Saya tahu ini tidak mudah, tapi jangan dicoba. Dikerjakan saja. Satu-satu, pelan-pelan, dan tekan publish.

Tentunya saya ingin berterima kasih pada para patron saya, yang sudah menyumbang di laman traktir saya. Insentif ketika menulis itu penting juga di umur di atas 30 ini, apalagi saya tidak mau jadi penulis sepenuhnya. Saya masih mau jadi filmmaker, musisi, penyair, peneliti, kritikus, guru, dan banyak lagi. Hidup cuma sebentar.

Maka saya sangat menghargai mereka yang mentraktir saya kopi atau apapun untuk membiarkan saya bicara dan menulis. Kalau kamu baca ini sampai habis dan merasa ini ada gunanya, traktirlah saya secangkir kopi.

Terima kasih sudah membaca. Selamat menulis dan kabari saya di kolom komentar jika kamu menulis karena membaca ini atau karya saya yang lain. Saya ingin kita diskusi, nanti saya yang gantian traktir kopi biji jika kamu anak indie; atau teh jika kamu mau lebih berkelas, atau whisky jika kamu tipe yang ngeblues, gin jika kamu ingin lebih ekspresif tapi kalem, dan wine jika kamu filosofis.

Tabik!

Film, Kurasi/Kritik, Politik, Racauan, Workshop

Karena Film Itu Tinggi dan Video Itu Rendah

Kalau kita pakai definisi film secara kebudayaan, bukan secara teknis, maka film adalah sebuah produk media yang dibuat untuk discreening atau ditonton bersama dalam sebuah ritual modern. Budgetnya relatif, bisa kecil bisa besar, tapi ia didedikasikan sebagai seni yang lebih tinggi daripada video.

Sementara video dibuat untuk dibroadcast, dilihat sebanyak mungkin orang dengan semudah mungkin akses. Semua orang yang bisa bikin video hari ini, tapi tidak semua orang yang punya kamera bisa bikin film, karena setelah shooting selesai, pasar pertama produk tersebut adalah tempat screening; baik itu di bioskop ataupun di festival.

Konon film adalah anak haram antara kapitalisme dan seni. Dalam hubungan itu, ada yang dominan dan tergantung produser dan sutradaranya. Namun di muaranya, film dianggap sebagai seni tinggi, disakralkan. Makanya filmmaker suka emoh kalo dibilang filmnya video. Filmmaker juga banyak yang merasa bahwa film tv bukan film, karena dia dibroadcast di tv. Film yang sudah masuk TV tak berbayar, alias frekuensi publik, bukan lagi film, tapi dianggap sudah jadi seni rendah: video. Padahal di era digital hari ini, kebanyakan film dibuat dengan alat perekam yang menyimpan data digital (baca: video).

Film adalah video yang dilabeli ritual dan ekslusifitas. Sebuah dokumentasi kawinan Batak, yang diputar dalam festival film kebudayaan eksotis di Inggris akan jadi “film”, sementara kalau diputar diantara sanak saudara mempelai, atau dishare di youtube melalui grup WA keluarga, ia akan jadi “video.”

Jadi yang membuat sebuah produk media jadi film atau video hari ini adalah masalah presentasi dan segmentasi. Presentasi artinya dimana ia discreening, dan segmentasi artinya siapa yang menonton screening tersebut. Semakin highclass yang menonton, semakin mahal dan prestisius sebuah film. Karena itu festival film juga punya kelas, dari yang abal-abal, sampai yang super wah.

Konversi dari film ke video jadi bukan hanya masalah teknologi, tapi jadi konversi transaksi pasar: setelah mengalami presentasi publik, apakah film itu akan dilepas dengan akses di platform publik, atau dijual streaming ke platform berbayar. Apapun itu, setelah selesai screening, semua film berubah menjadi video. Dan video sejatinya menjadi data, yang nilai ritualistik dan ekonominya akan turun seiring berjalannya waktu.

English, Memoir, Racauan, Workshop

Experience Expectations Ecstasy

Rezeki di tangan Tuhan, produksi di tanganmu.

Melihat ke belakang, saya tiba-tiba sadar bahwa saya orang yang cukup produktif dan kadang saya heran apa yang memacu produktivitas itu. Saya ingat saya mulai menulis cerpen sejak umur 7 tahun, ketika saya baru bisa belajar baca-tulis. Saya pernah menderita ADHD sejak balita, jadinya saya late bloomers—saya baru bisa baca-tulis ketika umur yang lumayan tua, dengan bantuan guru privat.

Sebelum saya bisa baca tulis, selalu ada energi besar di diri saya untuk mencari tahu, membuat, atau merusak sesuatu. Saya selalu kehilangan konsentrasi pada hal-hal yang saya tidak suka, tapi begitu saya suka pada sesuatu, saya akan terobsesi. Produksi-produksi saya tidak bisa dibilang bagus atau berguna (bahkan hingga sekarang). Saya tidak bisa membedakan motivasi saya membuat karya, dengan seorang gila yang menyusun batu-batu kerikil di rumah sakit jiwa.

Dan seperti orang gila itu, saya bebal terhadap orang yang menyuruh saya berhenti dan bilang kalau produksi saya tidak ada gunanya. Bedanya dengan orang gila, saya senang ketika ada kawan atau lawan yang mengkritik karya saya, memberi masukan, dan membuat produksi selanjutnya lebih baik. Paling tidak mereka melihat dan memerhatikan apa yang orang gila ini sedang buat.

Dalam keadaan apapun, saya berproduksi. Bahkan ketika tidak ada uang yang cukup ketika kuliah dulu, saya berusaha bikin teater, film dari handphone, puisi, atau cerpen. Namun dari semua itu, harus saya akui saya belum punya “notable works”, atau karya yang diakui orang lain sebagai sesuatu yang baik. Kecuali mungkin beberapa tulisan di blog atau di webmagazine. Sebagai penulis, saya cukup puas karena tak pernah mengirimkan tulisan ke media, tapi diminta beberapa media untuk menulis. Lucu, seperti menulis, dalam hal pekerjaan pun saya tidak pernah melamar. Saya selalu dilamar. Bukannya sombong, saya cuma tidak berbakat menjual diri saya pada orang. Tidak pernah sekalipun dalam hidup saya, saya berhasil dapat kerjaan dengan melamar, atau mendapatkan proyek dari pitching. Ujung-ujungnya saya selalu ditunjuk orang.

Mungkin ada orang-orang yang kebetulan melihat produk-produk saya yang medioker itu. Soal pekerjaan, saya juga dikenal murah, tapi (semoga) tidak murahan. Saya tidak pernah berpikir soal uang ketika ditunjuk proyek. Saya hanya memikirkan apakah proyek ini sejalan dengan idealisme saya, dengan apa yang saya percaya. Kalau tidak sejalan, saya akan tolak dari awal.

Bicara soal itu, saya akan berganti profesi utama tahun 2020, setelah 4 tahun menjadi produser dokumenter video. Mau jadi apa? Gampang. Di usia ini saya tak banyak pilihan lagi. Saya jadi yang saya sudah jadi: videographer, penulis, pengajar, seniman. Mungkin coba-coba jadi pengusaha rendah resiko.

Semoga semesta mendukung.