Filsafat, Racauan

AI untuk orang tolol

Di tengah gempuran teknologi yang terus dikultuskan, kita perlu mengatakan sesuatu yang tidak populer tapi mendesak: AI tidak akan menyelamatkan kamu jika kamu bodoh.

AI tidak akan membuatmu lebih pintar. Tidak akan menjamin hidupmu lebih mudah. Bahkan, di tangan yang salah, AI hanya mempercepat kebodohan.

Kita hidup di zaman ketika pertanyaan-pertanyaan besar digantikan dengan prompt template. Ketika keingintahuan dilumpuhkan oleh keyakinan bahwa semua jawaban bisa ditemukan dalam hitungan detik. Tapi apa gunanya jawaban jika manusia tidak tahu bagaimana cara bertanya?

AI hari ini bukan makhluk cerdas. Ia hanya refleksi—memantulkan cara berpikir manusia yang menggunakannya. Bila kamu membawa kebingungan, ia akan membesarkan kebingungan itu. Bila kamu membawa ide cemerlang, ia bisa menjadi alat pengganda yang ampuh.

Masalahnya, mayoritas orang tidak membawa apa-apa. Mereka berharap AI mengisi kekosongan berpikir, padahal kekosongan itulah yang membuat mereka mudah disesatkan.

Kita butuh membalik cara berpikir: AI tidak membuatmu pintar. Tapi orang pintar bisa membuat AI jadi berguna.

Kita dibesarkan untuk mencari jawaban yang “benar”, bukan untuk menyusun pertanyaan yang berarti. Maka tak heran, ketika diberi alat sekuat AI, kita malah menggunakannya untuk hal-hal paling banal: “Gimana cara jadi sukses?” atau “Bikinin caption galau.”

Kecerdasan sejati bukan tentang memiliki jawaban paling cepat, tapi tahu kapan harus bertanya, dan kepada siapa.

AI bukan siapa-siapa. Ia hanya apa.

Dan apa tidak bisa menggantikan siapa yang berpikir.

Kita terlalu sering menganggap teknologi sebagai shortcut. Padahal tidak semua jalan pintas membawa kita ke tujuan. Beberapa justru mengantar ke jurang.

AI bisa mempercepat proses berpikir—tapi hanya kalau kamu sudah tahu ke mana hendak pergi.

Kecerdasan bukan soal hafalan. Ia soal kesiapan untuk bingung.

AI tidak bisa bingung. Maka ia juga tidak bisa menemukan hal baru.


Ini seruan untuk mereka yang masih mau bertanya, masih mau belajar, masih mau berpikir sebelum percaya:

Gunakan AI, tapi jangan jadi budaknya. Gunakan AI untuk menstrukturkan pikiranmu, bukan menggantikannya. Gunakan AI untuk kolaborasi, bukan substitusi.

Orang pintar tanpa AI masih bisa menciptakan perubahan. Tapi orang tolol dengan AI hanya akan mempercepat kekacauan.

AI tidak akan menyelamatkanmu. Tapi kecerdasanmu — jika terus diasah, dikritik, dan dipertanyakan — bisa menyelamatkan dunia.


Pertanyaannya sekarang:

Kapan terakhir kali kamu benar-benar berpikir?

Racauan

Kalau sudah terasing lalu apa?

Aku merasa begitu asing dengan dunia hari ini ketika aku melihat media sosial yang random dan di luar kebiasaanku. Pertama kali membuka Tiktok, sebelum ia merekam apa yang kusuka dan tidak kusuka, aku disuguhi apa yang banyak orang Indonesia suka, dan aku mau muntah. Begitupun ketika melihat facebook video yang random keluar di feed berdasarkan kesukaan banyak orang.

Aku tidak bilang bahwa apa yang orang suka, aku tidak paham. Aku hanya merasa bahwa yang kebanyakan orang suka adalah hal-hal banal, tentang seks, perselingkuhan, atau kisah-kisah agama yang sangat dangkal. Kurasa begitulah kebanyakan manusia hidup. Secara praktis apa yang kubaca dan kupikirkan tidaklah begitu berguna untuk kehidupan.

Inginnya sih berusaha rendah diri, dan melihat secara antropologis dan filosofis tentang eksistensi orang lain. Tapi bahkan aku tidak bisa melihat diriku sendiri dengan lebih dalam secara eksistensial. Semua misteri tentang keberadaan sudah terjawab. Tuhan tidak bisa dipercaya keberadaannya, dan kalaupun dia ada aku pun tidak mempercayai kebijakan dan apapun yang ia buat. Lalu keberadaanku dan seluruh manusia hingga sekarang cuma kebetulan saja dari sebuah struktur biologis yang tumbuh seperti kanker.

Dan dengan kemajuan teknologi media sosial dan kecerdasan buatan, semakin banyak kebodohan yang terlihat–karena orang cerdas memberikan orang-orang tolol kanal bersuara alih-alih membuka komunikasi dengan pendidikan. Aih, racauanku ini seperti tidak ada puasnga bikin masalah.

Namanya racauan, aku meracau saja dulu. Toh pada akhirnya semua ini politik saja. Semua orang berebut kuasa dalam konteksnya sendiri-sendiri, dalal lapisan-lapisan yang berbeda-beda dari borjuis kecil hingga pemilik modal, punya politik horizontalnya masing-masing. Pa

Pada akhirnya semua orang butuh kerja dan diatur masyarakat atau institusi untuk mendapatkan relevansinya masing-masing. Di luar itu manusia akan jadi anarkis atau gila saja.

***

Terima kasih sudah membaca tulisan ini sampai habis. Jika kamu suka yang kamu baca dan ingin dukung aku, traktir aku kopi, boleh? Biar semangat dan bisa nabung bayar website ini. Klik tombol di bawah.