Racauan

Kalau sudah terasing lalu apa?

Aku merasa begitu asing dengan dunia hari ini ketika aku melihat media sosial yang random dan di luar kebiasaanku. Pertama kali membuka Tiktok, sebelum ia merekam apa yang kusuka dan tidak kusuka, aku disuguhi apa yang banyak orang Indonesia suka, dan aku mau muntah. Begitupun ketika melihat facebook video yang random keluar di feed berdasarkan kesukaan banyak orang.

Aku tidak bilang bahwa apa yang orang suka, aku tidak paham. Aku hanya merasa bahwa yang kebanyakan orang suka adalah hal-hal banal, tentang seks, perselingkuhan, atau kisah-kisah agama yang sangat dangkal. Kurasa begitulah kebanyakan manusia hidup. Secara praktis apa yang kubaca dan kupikirkan tidaklah begitu berguna untuk kehidupan.

Inginnya sih berusaha rendah diri, dan melihat secara antropologis dan filosofis tentang eksistensi orang lain. Tapi bahkan aku tidak bisa melihat diriku sendiri dengan lebih dalam secara eksistensial. Semua misteri tentang keberadaan sudah terjawab. Tuhan tidak bisa dipercaya keberadaannya, dan kalaupun dia ada aku pun tidak mempercayai kebijakan dan apapun yang ia buat. Lalu keberadaanku dan seluruh manusia hingga sekarang cuma kebetulan saja dari sebuah struktur biologis yang tumbuh seperti kanker.

Dan dengan kemajuan teknologi media sosial dan kecerdasan buatan, semakin banyak kebodohan yang terlihat–karena orang cerdas memberikan orang-orang tolol kanal bersuara alih-alih membuka komunikasi dengan pendidikan. Aih, racauanku ini seperti tidak ada puasnga bikin masalah.

Namanya racauan, aku meracau saja dulu. Toh pada akhirnya semua ini politik saja. Semua orang berebut kuasa dalam konteksnya sendiri-sendiri, dalal lapisan-lapisan yang berbeda-beda dari borjuis kecil hingga pemilik modal, punya politik horizontalnya masing-masing. Pa

Pada akhirnya semua orang butuh kerja dan diatur masyarakat atau institusi untuk mendapatkan relevansinya masing-masing. Di luar itu manusia akan jadi anarkis atau gila saja.

***

Terima kasih sudah membaca tulisan ini sampai habis. Jika kamu suka yang kamu baca dan ingin dukung aku, traktir aku kopi, boleh? Biar semangat dan bisa nabung bayar website ini. Klik tombol di bawah.

Filsafat, Memoir, Racauan, Uncategorized

BANAL

Seorang ibu berhijab syar’i, suka bermain lelaki. Ia seorang pengusaha sukses dengan suami yang tak mampu mengejar karir dan memilih untuk merawat anak-anaknya di rumah. Pasangan yang tak percaya kontrasepsi ini punya anak lima. Namun si istri percaya kontrasepsi penting ketika selingkuh. Suami kadang-kadang kalau tidak sedang pengajian atau mengurus anak, bermain perempuan dengan menggoda gadis-gadis muda yang bekerja menengah ke bawah: pelayan kafe, SPG, atau penjaga gerai kosmetik di Mal. Ia lumayan tampan, dan ia tak bisa mengeluarkan uang banyak karena istrinya nanti pasti tahu. Ia punya perasaan istrinya selingkuh, tapi perasaan hanya perasaan. Istri juga punya perasaaan suaminya selingkuh, tapi ya sudahlah namanya lelaki–paling tidak ia cuma akan menipu gadis karena ia tak punya uang. Anak-anak masuk sekolah agama islam internasional plus plus. Shalat dan baca Quran dipaksa setiap hari, kelas dengan bahasa Inggris. Orang tua pun berusaha kelihatan salih di depan kolega, keluarga, apa lagi anak-anak. Mereka percaya pada agama, umroh setiap tahun, dan akan naik haji dalam dua tahun ke depan. Menjadi bapak dan ibu haji.

Cerita lain adalah tentang seorang pengacara kasus korupsi yang sering ditraktir perempuan mahal oleh kliennya. Perempuan-perempuan impor dari luar negeri yang harganya jutaan per malam, menari seksi dan siap untuk ditiduri. Pengacara punya beberapa istri dan beberapa anak, tapi ya kenikmatan duniawi harus dinikmati karena hidup cuma sekali. Dengan Donald Trump di Amerika Serikat terang-terangan menghardik perempuan, ia mulai bicara di sosial media tentang pentingnya punya simpanan perempuan, bahwa istri yang baik adalah yang mengijinkan suaminya punya simpanan, toh sudah dikasih uang tiap bulan untuk ia belanja. Tapi istri yang baik tak boleh main lelaki. Harus setia. Cuma suami yang boleh macam-macam. Suami yang kaya dan bertanggung jawab, berhak untuk jadi bajingan.

Lalu ada remaja usia 20an yang sedang keranjingan bermain seks, karena pacarnya mengecewakan, keluarganya berantakan, dan ia ingin menyakiti dirinya sendiri dengan menyetubuhi lelaki manapun yang menunjukkan minat. Semakin asing dan semakin jahat semakin baik. Hisap kontol hingga tersedak tak bisa nafas, semua lubang dieksplorasi sampai sekali masuk rumah sakit karena pendarahan, tak kapok juga. Karena sakit tandanya masih hidup, dan sakit fisik tak ada apa-apanya dibanding sakit mental. Semua orang–kawan, keluarga, mantan pacar harus lihat betapa hancurnya dia, betapa menderitanya ia menyakiti dirinya sendiri karena mereka.

Seorang seniman multitalenta merasa jantan dengan  menjadi biseksual dan menebar benih promiscuous yang dia bilang liberalisme. Menipu lelaki dan gadis muda yang ia suka dengan berbagai macam ideologi kiri-kanan-atas-bawah, kebebasan berpikir dimulai dengan kebebasan tubuh, mengatur orgy, poliamori, apapun itu. Ia penyair, sutradara film dan teater, pelukis, fotografer, semua seni kontemporer (baca: tak ada yang mengerti kecuali kurator yang jago bicara dan mengarang-ngarang tentang kebesaran seni murni). Buku terbaru yang katanya realisme magis baru keluar, penerbit bayar editor cukup mahal untuk bikin bukunya minimal bisa dibaca. Ia suka menghina-hina penulis populer macam Tere Liye atau Dewi Lestari sebagai terlalu konvensional dan komersil, sementara karya-karyanya yang avant garde jauh lebih tinggi. Modus proof reading novel penulis muda nan cantik, atau bimbingan skripsi jadi senjata dapat mangsa seksual baru. Punya sahabat di media membesarkan namanya, karena sahabat-sahabatnya memang jago bicara dan mengarang seperti si kurator.

 

Apakah mereka bahagia?

Mendengar dan melihat mereka, aku jelas tidak bahagia. Begitu banyak masalah di dunia ini yang harus diselesaikan. Anak-anak lahir tanpa diminta, dibuang atau diasuh tanpa pengetahuan yang memadai. Lalu ketika melihat kekacauan ini, apa yang akan mereka pikirkan tentang dunia? Di belahan bumi yang lain jutaan orang menjadi pengungsi dan tercerabut dari tanahnya. Di pulau yang lain, sebuah masyarakat dimabukkan supaya bodoh, dan tanahnya yang penuh emas dikeruk sampai habis-habisan. Dimiskinkan, dianggap binatang. Hutan-hutan menjelma kebun sawit, dan mereka hidup damai di dalamnya dipaksa melupakan bahasa, agama, dan budayanya. Diberadabkan. Siapa yang peduli? Apa orang-orang yang bahagia itu peduli?

Aku peduli dan aku mengandung kesakitan tak terperi. Setiap hari aku berpikir apa yang harus kulakukan untuk membuat dunia ini lebih baik. Seorang bijak mengatakan, mulai dari lingkaranmu sendiri. Keluarga, teman, kolega. Bilang salah adalah salah dan benar adalah benar. Tapi hidup tidak pernah hitam putih. Ia berwarna warni yang campurannya tak jelas lagi. Mencari identitas diri menjadi semakin sulit. Siapa orang yang ada di cermin? Bagaimana kita harus bergerak? Adakah kehendak bebas?

Yang jelas Tuhan sudah lama mati–bahkan ia tak pernah hidup. Ia cuma bagian dari akal dan imajinasi untuk membuat kita tahan atas dosa-dosa kita sendiri, cara mencari penebusan. Tidak adil menyalahkan manusia atas semua kekacauan dan memuja Tuhan ketika kebaikan terjadi. Tidak adil pula menyalahkan Tuhan atas derita dan melupakannya ketika kenikmatan datang. Yang adil: lupakan Tuhan. Semua orang harus bertanggung jawab atas pilihannya sendiri-sendiri. Walaupun pilihan itu terkungkung sistem, tergantung banyak faktor, tapi tanggung jawab tetap harus diemban oleh pribadi-pribadi. Aku akan menanggung dosa-dosaku, dan pahala-pahalaku takkan mungkin menebusnya. Khilaf bukan berarti tidak salah. Pikirkan dosa, lupakan pahala. Tapi kalau Tuhan tidak pernah ada, maka dosa itu harus dipertanggung jawabkan pada siapa?

Semua orang akan menanggung dosanya sendiri-sendiri. Masyarakat akan menghukum, dan kalau tidak ketahuan, maka dirinya akan menghukum dirinya sendiri dengan semua kesepian dan kehampaan. Adakah orang yang luput dari itu? Adakah seorang Ma’rifat, yang begitu tenangnya menghadapi kekacauan dunia ini karena ia paham logika berpikir Tuhan-yang-tak-pernah-ada? Menurutku tidak ada. Ketenangan itu adalah penggunaan imajinasi dan ketidakpedulian tingkat tinggi–bahkan membunuh bagian-bagian syaraf tertentu. Untuk tidak sakit hati, janganlah punya hati.

Semua kita terjebak Samsara. Dan tak ada Moksa atau Nirwana, sampai kita mati dan melihat sendiri. Sementara yang hidup akan tersiksa dengan sakit dan kenikmatan yang tak berujung. Beberapa dari kita bisa berpura-pura kuat; padahal bukan kekuatan yang ada di situ, tapi kekebasan, kelumpuhan. Seperti mereka yang menyingkirkan rasa bersalah dan kekhawatiran dengan candu, seks, opium, dan agama.