Gender, Politik, Racauan

Krisis Kelaki-lakian Global

Ada sebuah drama soal politik tinggi Amerika berjudul The City of Conversation. Ceritanya tentang perseteruan dua orang perempuan, mertua dan menantu, selama tiga dekade dari zaman Reagan sampai Obama, yang memecah-belah keluarga mereka. Si mertua adalah istri politisi yang juga menjadi politisi, si menantu adalah gadis desa yang berambisi menjadi politisi dengan menikahi anak orang kaya. Si mertua seorang Democrat yang tentunya liberal dan si menantu seorang Republican yang konservatif. Si mertua marah karena si menantu mempengaruhi anak laki-lakinya yang dididik secara Liberal dari kecil menjadi seorang konservatif. Salah satu adegan keren adalah ketika si mertua mengambil tas si menantu dan merogoh-rogohnya. Si mertua berteriak, “Nah, ini dia!”

Anaknya bertanya, “Apa yang ibu cari?”

“Buah zakarmu! Istrimu yang menyimpannya selama ini!” Jawab ibunya.

Baca lebih lanjut
Gender, Politik, Racauan

LGBT dan Kegagalan Dua Universitas Mencetak Lulusan Yang Bisa Menulis

Pendek saja, ini tulisan reaksi yang agak ad hominem, untuk tulisan lain di selasar.com dari Dr. Fithra Faisal Hastiadi SE. MSE. MA, LGBT dan Kegagalan Sebuah Bangsa. Pak Fithra ini orang hebat! S1 di UI  dan S2 dan S3-nya di Keio dan Waseda University, Jepang. Dengan mengantungi titel kampus-kampus mentereng, saya sangat curiga bahwa akunnya di Selasar dibajak orang. Ada beberapa permasalahan penting di sini.Tulisan soal LGBT dan Kegagalan Sebuah Bangsa itu strukturnya kacau balau. Mari kita mulai dari kalimat tesisnya.

“Di sini, saya akan memberikan sebuah analisa empiris sederhana berbasis data yang valid dan mudah diakses. Model estimasi saya terdiri dari 27 negara Uni Eropa dengan variabel yang diperoleh dari World Government Indicators (WGI) dan EU LGBT Survey.”

Jadi kita berharap akan menemukan (1) analisa empiris sederhana berbasis data yang valid dan mudah diakses dan (2) estimasi yang terdiri dari 27 negara Uni Eropa dengan Variabel dari WGI dan EU LGBT Survey.

(1) Analisa Empiris berbasis data yang valid dan mudah diakses.

Dalam tulisan tersebut sama sekali TIDAK ADA “analisa empiris berbasis data”, maka kita tidak bisa tahu sama sekali apa data itu valid atau tidak. Ini adalah data yang dipakai pak Doktor: “…pada tahun 2060, negara-negara ini akan kehilangan hampir setengah penduduknya karena kondisi rapid aging society. Mau bukti? Lihat saja isi timnas Jerman dan Perancis yang mulai dari mulai penjaga gawang sampai strikernya didominasi oleh keturunan imigran. Lihatlah nama-nama mulai dari Zinedine Zidane, Marcel Desaily, Thierry Henry, Mehmet School hingga yang teranyar semisal Mamadou sakho, Eliqoium Mangala, Mesut Ozil, Ilkay Gundongan dan Lukas Podolski.”

Apanya yang basis data Dok? Okelah, demi argumen saya anggap itu data, tapi sumbernya dari mana? Dr. Fithra menuduh bahwa LGBT adalah sebab Jerman dan Perancis banjir imigran. Padahal imigran ramai karena Jerman sangat membuka diri untuk imigran (lihat kasus pengungsi Suriah dan Kebijakan Merkel) dan Prancis membuka lebar-lebar negaranya untuk para penduduk bekas negara jajahan seperti Al Jazair atau Morocco. Perubahan pola keluarga dan turunnya populasi disebabkan adanya perubahan moda produksi ekonomi, kemajuan teknologi, keterbukaan seksual dan individualisme (Lihat kajian Prof. Robert Cliquet dalam website PBB, unduh PDF Major Trends Affecting Families in the New Millenium).

(2) Estimasi dari 27 negara Uni Eropa dengan variabel yang diperoleh dari WGI dan EU LGBT Survey

Ini yang keren. Selain Jerman dan Prancis yang datanya tidak jelas itu, Doktor kita sama sekali tidak menyebutkan negara Uni Eropa lain. Dia malah menyebutkan:

“Tengok saja Tiongkok. Negara ini terkenal akan one child policy-nya. Kebijakan itu terbukti sukses menekan populasi Tiongkok.”

Saya perlu pencerahan, sejak kapan Tiongkok menjadi bagian negara Uni Eropa? Atau kasih tahu saya, sejak kapan pak Doktor mengubah kalimat tesisnya dari Uni Eropa ke negeri Cina? Apalagi Cina sedang krisis maskulinitas dan mereka Anti-LGBT dengan alasan nasionalis-komunisnya yang memang masih sering fasis.

Lalu pak Doktor bilang, “Jika ustadz dan pendeta tidak dapat meyakinkan para pemangku kebijakan, mudah-mudahan tulisan ini dapat menuntun mereka untuk dapat berpikir lebih jernih dan rasional, bukan sekedar pakai ilmu kira-kira.”

Oke pak Doktor. Semoga pemangku kebijakan bisa yakin setelah membaca tulisan ala Vicky Prasetya ini. Nah, apa bisa bapak beritahukan sekarang hubungan tulisan bapak dengan judulnya? “LGBT dan Kegagalan sebuah bangsa.” Bangsa siapa? Bangsa yang mana? Karena kalau kita pakai pertumbuhan ekonomi sebagai alat ukur, jelas-jelas bangsa Indonesia yang religius dan moralis ini tingkat ekonominya JAUH di bawah negara-negara pendukung LGBT. Kalau bapak Doktor yang terhormat mau bilang “…jika melihat faktor pemerintah, setiap 1 persen kenaikan kecenderungan pro LGBT, maka terjadi pelambatan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.1 persen.” SUMBERNYA mana? Kok pake ilmu kira-kira, pak? Katanya tadi harus jernih dan rasional.

Ah, sudahlah. Saya siapa sih. Cuma Antropolog yang kerjaannya main di kampung. Tidak ada apa-apanya dibandingkan pak Doktor yang lulus dari Universitas Keio dan Universitas Waseda Jepang. Paling tidak Waseda University masih membuka dialog dan melihat ke depan soal masalah ini dengan memberikan penghargaan pidato pada siswa yang membahas isu LGBT. Tidak seperti UI yang malah menyuruh SGRC mencoret nama institusinya. Pasti Almamater Bapak di Jepang sana bangga ya, ada alumninya yang jago mengarang bebas.

Ethnography, Gender, Politik, Racauan

5 Alasan Sederhana LGBT Bukan Penyakit

LGBT

Saya malas berargumen soal LGBT pada orang-orang. Pertama, karena terlalu banyak orang yang harus diargumenkan. Kedua, karena orang beragama yang berpegang buta pada keimananya akan selalu menolak sains dan argumen yang berlawanan dengan firman Tuhannya. Baik di Injil ataupun di Quran, Homoseksualitas dilarang. Itu dosa yang pasti. Tapi kita tidak bicara agama ataupun dosa di sini–itu urusan masing-masing ketika menghadap Sang Khalik. Kita bicara soal cinta dan kepedulian saja. Kita bicara soal akal sehat saja. Tapi kalau itu pun Anda sudah tidak punya, pergilah dari laman ini dan bacalah artikel lain. Saya akan menghapus setiap komentar yang isinya teror atau ajakan ribut. Ini bukan blog demokrasi salah arah Indonesia.

1. Pada awalnya, Hubungan Seks Bukan Untuk Reproduksi, tapi Untuk KENIKMATAN; Reproduksi Cuma Salah Satu Fungsinya.

Sudah banyak bukti arkeologi menunjukkan bahwa manusia mengetahui hubungan antara persenggamaan dengan kehamilan ketika mereka mulai menetap dan agraris: mereka menemukan hak milik atas tanah, perempuan dan anak sebagai alat produksi pertanian. Inilah awal ‘Banyak anak banyak rejeki.’ Sebelumnya hubungan seks adalah insting yang bisa dilampiaskan pada apa saja (bukan hanya lawan jenis). Suka masturbasi? Artinya Anda melampiaskan seks pada tangan Anda sendiri. Dan itu biasa saja. Jadi orientasi seks yang bukan heteroseksual sangat mungkin pada manusia dan BUKAN kelainan.

2. Seksualitas adalah spektrum warna-warni & Cinta adalah takdir.

Kita semua punya selera yang berbeda-beda atas siapa yang kita idealkan menjadi jodoh kita. Hari ini, selera itu semakin berwarna-warni dengan hadirnya media massa. Ada gadis yang suka pria tua, ada pria muda yang suka tante-tante, ada tante yang suka gadis muda dan ada pria muda yang suka pria muda yang lain. Kesukaan kita pada orang lain bukanlah hal yang kita atur sendiri. Cinta adalah takdir Ilahi, yang dibentuk dari keadaan tubuh kita (biologis) dan pengalaman kita. Saya menjadi straight dan menikahi perempuan, karena biologi dan pengalaman saya membuat saya straight dan suka pada tipe perempuan yang spesifik. Saya tidak bisa dipaksa menjadi Gay seperti Gay tidak bisa dipaksa menjadi straight! Seperti Efek Rumah Kaca bilang, “Jatuh Cinta Itu Biasa Saja.” Kalau cintanya ditolak, terimalah patah hati. Kalau cintanya diterima, walau bukan lawan jenis, tetap saja namanya cinta. Kalau cinta semacam itu dilarang, kita akan dapat Romeo dan Julio atau Ramona dan Juliet. Tragedi, kawan! Tragedi!

3. Homoseksualitas Tidak Membebani Masyarakat, Masyarakat Membebani Homoseksualitas.

Kalau kamu mati dan masuk neraka, di neraka kamu akan ketemu Michaelangerlo, Leonardo Da Vinci, Alan Turing (penemu komputer) dan banyak lagi orang-orang homoseks. Di akhirat, mereka sudah urusan Allah SWT. Tapi di dunia, mereka tidak membebani siapa-siapa, malah cenderung dibebani. Sekarang, jika saja Alan Turing tidak menemukan komputer pertama untuk memecahkan kode NAZI, mungkin Perang Dunia II takkan pernah berakhir dan Indonesia takkan pernah merdeka. Tapi kalian tahu apa yang Inggris lakukan pada Alan? Mereka menutup semua akses tentang penemuan Alan dan menganggap ia tidak punya peran selama bertahun-tahun sampai setelah ia mati, hanya karena ia GAY. Anda bisa lihat di negara-negara maju, kaum gay berperan besar di masyarakat sebagai pekerja, penemu, penghibur, dan banyak lagi. Itu kalau diijinkan oleh masyarakatnya. Jadi uruslah moral dan agamamu sendiri dan biarkan akhirat jadi urusan Tuhan dan individualnya semata.

4. Homoseksualitas BUKAN penyebab HIV, Masyarakat Bodoh Yang Menyebabkan HIV Menyebar. 

Di awal tahun 80-an, ketika HIV pertama kali menyebar, memang ada teori bahwa HIV disebabkan oleh homoseksualitas. Tapi hari ini, teori itu terbantahkan. HIV disebabkan oleh mutasi virus di salah satu spesies monyet di Afrika dan menyebar ke seluruh dunia melalui hubungan seks dan pertukaran cairan tubuh (transfusi darah). Ia rentan di wilayah-wilayah dimana seksualitas bersifat promiscuos (seks bebas) tanpa pengaman atau sangat dilarang sehingga harus sembunyi-sembunyi tanpa pengaman dan pendidikan reproduksi. Di Papua, HIV menyebar bukan karena orang Papua banyak yang gay, tapi karena banyak pelacur-pelacur yang diimpor dari luar Papua, dan kebiasaan promiscuos tanpa pengaman yang mereka jalankan. Homoseksualitas rentan HIV justru karena kebanyakan mereka tidak punya akses ke pendidikan reproduksi dan kontrasepsi. Ketertutupan, tekanan sosial, dan kerahasiaan membuat kaum LGBT rentan pada seks bebas tanpa pengaman dan HIV.

Data kementrian kesehatan tahun 2015 menunjukkan, bahwa kebanyakan penderita HIV adalah pasangan suami istri, dengan suami yang tidak setia (9000 penderita). Sementara kaum minoritas LGBT yang terkena HIV, masih minoritas dibanding kaum heteroseksual.

5. LGBT tidak bisa disamakan dengan HIV, alkoholik, kekerasan, narkoba atau phedofilia, dan ia tidak menular.

Ketika kita bicara soal HIV kita tidak bicara LGBT, kita bicara pertukaran cairan. Ketika kita bicara alkohol atau narkoba, kita tidak bicara LGBT, kita bicara ketergantungan zat kimia. Ketika kita bicara anak yang disodomi ketika besar akan menyodomi anak lain, kita tidak bicara LGBT, kita bicara lingkaran setan kekerasan dan trauma. Ketika kita bicara phedofilia (seperti yang Ridwan Kamil bicarakan), kita tidak bicara homoseksual. Kita bicara soal orang-orang dewasa yang tidak bertanggung jawab pada kedewasaannya.

Semoga lima alasan ini cukup sederhana untuk Anda cerna. Kalau kurang sederhana, Anda pakai empati saja lah. Apakah Anda mau diperlakukan tidak adil seperti yang sedang dialami kaum LGBT hari ini?

p1030240-1024x768
Photo: Islam & Homosexuality by Shayne Oanes