My dear friend, my old companion. I owe you my life and my demise and it’s been months since the last time we met. I see you are so fine and healthy and it sickens me, literally.
Today, as usual, you came unannounced. But I should’ve read the signs of your coming since a few days ago, since I’ve been losing sleep, and always worry of nothing. I should’ve read the sign on the sudden storms, and the sudden outburst and sensitivity I had toward my loved ones.
How your boss? Bet she’s busy these days, preparing the upcoming old but new plague. When you are around, I sure miss her, it’s been years since she and I last fucked and yes I do miss her. The way she strangled my neck or cut my wrist, or simply having a joy ride to find her gateway home. Remember that, M, there was always the three of us fucking each other with booze or anything that can get us high and dry.
Your boss has been my best friend as old as you are. But never mind her and her busy schedule. You’re around now, and I just took another lithium so we can be best friends again in my head. Yes, in my head, please. Don’t exposed yourself like today, you almost killed an old lady with a heart attack, and you almost ruin my busines. But I accept you, old friend. Because I remember our ride, and we were happy once so all are forgiven. For today, or for the future, I accept you the way you are, my wicked, radiant, burning, friend.
One of these day, methink, you will get me to your boss. I hope the day never comes but I can’t help but feeling you had a very evil plan for my future.
Whatever. Come to think of it, I have nothing, but too much to lose. Nothing is too much. You are just too much, old friend. I hope you’ll pass by, and let me stay for a while. But if I must go, then I will gladly go.
Come on, let’s hear some more music. It’s not over yet. Keep the lights on.
This site is run by donation. If you like what you read, visit my patreon at patreon or click this button if you are an Indonesian:
Tulisan ini buat mbak yang komen di IG cinemapoetica. Ya, saya patriarki. Itu ideologi yang dipakai semua orang hari ini. Dan saya feminis, karena saya melawan ideologi itu, termasuk melawan diri dan privilise saya sendiri sebagai lelaki heteronormatif, yang berusaha untuk terus evaluasi diri. Yes, thank you, saya tidak kenal kamu tapi saya menghormatimu. Semoga bahagia dan sehat-sehat, ya.
Ketika rumah produksi Penyalin Cahaya menyebarkan kabar bahwa penulis naskahnya dicoret dari kredit karena menjadi terduga pelaku pelecehan seksual, saya sangat galau. Saya sedang ada di tengah project film panjang pertama saya, 6 film pendek yang saya eksekutif produser sedang jalan post produksi dan satu sedang distribusi, dan saya sudah melabeli diri saya sebagai pembuat film aktivis, arus pinggiran, khusus NGO dan misi humanitarian, plus saya self proclaimed feminist, tapi… Saya anxious dipenuhi rasa bersalah!
Karena faktanya, saya adalah laki-laki heteroseksual yang dibesarkan di dalam budaya patriarki, dan saya belajar soal seksualitas dan feminisme ketika saya kuliah, untuk lebih mengerti ibu saya yang seperti gambarannya Betty Friedan dan gebetan saya yang seperti Helene Cisoux. Itu pun, dalam masa-masa kuliah dan pasca kuliah yang rock and roll (saya punya 2 album rock and roll dan pernah punya groupies), saya bergaul dengan lumayan banyak perempuan. Dan seremnya, saya takut ada yang saya lecehkan tapi saya nggak sadar karena saya bias patriarki. Karena seperti kata Hannah Arendt, kejahatan itu banal. Anwar Congo nggak merasa bersalah membantai Komunis, sampe dia dipersalahkan zaman Baru yang melihat pembunuhan sebagai pembunuhan. Dan kebanyakan boomer yang melecehkan perempuan menganggap bahwa hal yang mereka lakukan normal- normal saja pada masanya. Intinya, banyak pelecehan terjadi karena kebodohan dan kekurangan kemanusiaan. Sejarah seringkali tidak bersifat linear, tapi paralel dan komparatif: seperti ditemukannya perbudakan manusia di jaman ini di rumah Bupati Langkat. Atau pemikiran beberapa aliran puritan Islam yang tidak mau hidup dengan teknologi karena tidak sesuai dengan cara hidup rasul.
Untuk memastikan saya tidak melecehkan mantan-mantan pacar, gebetan atau FWB, saya menjaga hubungan baik dengan kebanyakan dari mereka. Nggak semua soalnya ada yang sudah kawin, beranak, berbahagia dan suaminya insecure, jadi saya nggak hubungi lagi. Anyway, kasus Penyalin Cahaya bikin saya ga bisa tidur dan saya bikin draft tulisan yang isinya nama dan peristiwa dimana saya mungkin saja pernah melecehkan perempuan. Saya berusaha mengevaluasi diri karena takut nanti pas film saya jadi, ada yang mengadukan saya karena saya pernah tolol aja waktu muda. Tapi pas saya tulis, saya malah ketrigger sendiri—secara saya banyak dibikin nangis sama perempuan. Sad boi gitu, tapi mabok dan ngeblues, maklum belom jamannya Emo jadi saya terhindar dari punya poni banting.
Saya sedih diputusin tapi saya nggak pernah dilecehkan. Saya cuma not good enough to be their man. Saya juga nggak merasa melecehkan, karena toh saya bener-bener sayang sama mereka semua, dan saya sangat terbuka untuk tanggung jawab dan minta maaf pada mereka kalau mereka bilang saya menyakiti mereka. Tubuh saya penuh luka yang pantas saya dapatkan karena membuat mereka patah hati. Beberapa ada yang mereka kasih karena mereka kesal saya selingkuh terus jujur, tapi kebanyakan luka saya toreh atau saya pukul sendiri karena saya merasa bersalah menyakiti hati orang yang sayang sama saya. Ah, sudah ah. Sedih.
Akhirnya tulisan itu jadi draft aja yang entah kapan bakal saya keluarkan. Dan saya coba bikin kritik Penyalin Cahaya sebagai filmmaker saja. Tapi setelah saya tonton dua kali, saya langsung bosan dengan filmnya. Filmnya well crafted, bagus banget secara visual dan naratif, tapi nggak mengulik intelektualitas saya kayak film-filmnya Joko Anwar, misalnya. Penyalin Cahaya yaudah gitu aja. Paling kalo mau dikritisi, filmnya ga mengandung keistimewaan feminist secara visual: cewek-cewek di film itu tetap aja tereksploitasi dan jadi fetish buat cowok-cowok yang suka sama cewek feminist. Yes, seperti ada cowok-cowok fetish sama nenek-nenek, orang kerdil, anak kecil, dan perempuan cantik, ada juga cowok-cowok yang fetishnya sama dominatrix atau feminist. Kalau cowok-cowok yang fetish feminist ini adalah masokis, itu lebih baik daripada Penyalin Cahaya. Karena, dan ini simpulan saya sama Penyalin Cahaya:
Penyalin Cahaya secara visual dan naratif memberikan sebuah orgasme pada para lelaki patriarki dominan yang fetish pada feminist, bahwa pada akhirnya para perempuan yang melawan ini mereka kuasai, sistemnya kuasai. Di visual filmnya tubuh, punggung, dan ranah privat sudah diekspos ke penonton, memberikan kenikmatan. Dan cerita-cerita terfotokopi hanya sekedar buang-buang kertas ke jalanan. Secara visual keren, kertas kuning melayang di udara, tapi secara subtansi cuma jadi sampah di jalanan. Long live patriarchy.
Maka kesimpangsiuran kasus Henricus Pria, dan banyak pelecehan lain cuma menambah kuat statement film ini: cerita-cerita pelecehan itu sampah yang buang-buang kertas aja. Toh angka penonton dan penjualan di Netflix tetap tinggi, dan cerita korban berkeliaran seperti gosipan lambe turah saja.
Dan saya tetap tidak bisa tidur. Bukan karena saya merasa bersalah seperti ketika film ini tercekik wacana dan jadi trending dulu, tapi karena kasusnya seperti tulisan di pasir yang tersapu ombak waktu. Saya tidak bisa tidur memikirkan para perempuan yang trauma, terluka, dan melanjutkan hidup seperti veteran perang yang sengaja dibuat kalah dan traumatis. Saya tidak bisa tidur memikirkan, apa yang bisa saya lakukan besok, biar saya, murid-murid saya, generasi masa depan, tidak mengulang pelecehan yang sama. Karena bikin film soal pelecehan seksual, yang menang banyak penghargaan dan sempat bikin Peraturan Menteri no. 30 jadi hits, nggak bisa membuat korban diurus dengan lebih baik. Saya merasa helpless sebagai filmmaker.
Taik kucing semua kertas fotokopian itu. Saya akan bikin pendidikan film gratis aja buat filmmaker perempuan. Jadi mereka ga motokopi cerita, MEREKA SYUTING SENDIRI! Kalau kamu merasa kamu berbakat jadi sutradara, penulis, atau produser perempuan, tapi ga bisa sekolah film, daftar MondiBlanc!
Terima kasih sudah membaca tulisan ini. Website ini jalan dengan donasi. Jika kamu suka dengan yang kamu baca, kamu boleh sebarkan tulisan ini. Dan jika kamu mendukung saya untuk bisa terus konsisten menulis, boleh klik tombol di bawah ini dan traktir saya segelas kopi. Terima kasih.
Omnis ardentior amator propriae uxoris adulter est
-cinta kepada hak milik orang lain adalah perzinahan-
Ketika saya baru saja lepas dari belenggu fundamentalisme Islam yang aneh di SMA, saya bercinta dengan seorang perempuan yang takkan pernah saya lupakan sampai saya mati. Percintaan nekat yang melanggar dua hal paling tabu dalam peradaban kita sekarang: [1] dia adalah kekasih pria lain, dan [2] dia Katolik.
Tapi untuk saya, cinta adalah agama paling mulia dan ibadah paling suci. Masih terasa aroma tubuh dengan parfum white musk, kulitnya yang putih dan halus bagai “tugu pualam” (mengutip Shakespeare), dan kalung salib emas kecil dengan satu berlian di tengahnya yang menjadi objek utama saya ketika dia di pangkuan. Vaginanya adalah gerbang ke santuari paling suci, payudaranya adalah kelembutan yang menghangatkan jiwa, bibirnya adalah roti dari daging Yesus, dan liurnya adalah anggur suci, darah dari perjamuan terakhir.
Sementara salib emas itu adalah tujuan hasrat fetisisme saya. Ia memantulkan cahaya lampu kamar menjadi nur suci yang merasuki setiap celah di darah, memompa udara ke dalam jantung dan membersihkan hati dan pikiran dari segala dosa. Peluh dan peluh bercampur, liur dan liur melarut, cairan menyatu, doa menyatu, perasaan menyatu, agama
menyatu.
Dan bagi perempuan itu, saya adalah tahanan di ruang asing tertutup yang meraung minta dibuka dan diselamatkan. Ia rela menerobos masuk, melewati batas-batas budaya dan agamanya sendiri, menggenggam tangan saya dan menarik saya keluar. Keluar menuju semesta tanpa batas dengan bintang-bintang dan bimaksakti-bimasakti baru bertaburan. Kami melayang telanjang dalam sebuah persetubuhan transenden sampai
grativasi menarik balik.
Kami
… terjatuh
Dan kami adalah bayi kembar yang baru lahir dan mengalami disorientasi. Kami adalah Adam dan Hawa yang terbuang dan terpisah jauh. Kami anak-anak yang terbawa arus samudra dan terpisah…
Maka Islam tetaplah Islam, dan Katolik tetaplah Katolik. Kembalilah ia kepada makhluk lelaki yang mencintai tubuhnya seperti mencintai perabot tempat ibadah di gerejanya.
Jika saat itu saya mengerti betapa piciknya kebudayaan mememenjarakan kami. Jika saat itu kunci atas kebudayaan ada di saya seperti sekarang ini; kunci pengetahuan dan kunci pembebasan. Maka dunia bisa berubah indah.
Paling tidak dunia kami berubah indah, persetan dan ke neraka buat orang lain yang masih betah di neraka agama saling bunuh, saling siksa, saling hujat menghujat.
Persetan buat kalian yang masih nyaman dalam kebodohan. Setan!
Depok, 24 Nopember, 2008
Terima kasih sudah membaca tulisan lama yang baru saya gali ini. Jika kalian suka yang kalian baca, bolehlah kiranya traktir saya kopi supaya tetap semangat mengisi blog ini, dan merasa ada yang menghargai pemikiran saya. Makasih sudah mampir.
Manusia sapiens adalah binatang bercerita. Diri mereka dibentuk oleh cerita, peradabannya adalah cerita. mereka hidup dalam cerita, dan menyumbang cerita. Cerita menjebak, cerita membebaskan, cerita merebak, cerita melegenda menjadi mitos, yang terinstitusi jadi agama, yang tidak terinstitusi menjadi dongeng belaka.
Lalu di sinilah kita, kawan. Dalam cerita-cerita yang seringkali tak ada logika. Cerita-cerita yang membangkitkan atau membunuh perasaan. Padahal apalah perasaan selain reaksi kimia dalam tubuh biologi kita. Cerita cuma berpengaruh kalo kita sensi saja.
Ada cerita kesedihan, dari Roman Picisan sampai kisah heroik. Ada cerita sederhana, tentang proyek yang gagal hingga kita saling marah dan bermusuhan. Ada kisah sukses, yang sebenernya selalu berakhir tragis jika saja diteruskan. Tidak ada happy dalam sebuah ending. Kaena bahagia dan kesedihan berputar-putar saja dalam sebuah siklus mood dan hormon. Kesuksesan atau tragedi bisa berasa bahagia atau sedih, tergantung obat apa yang ditelan.
Sekarang aku seperti mengerti banyak perasaan, dan dapat membuat naratif untuk membangkitkan perasaan-perasaan itu, dalam tulisan, dalam lagu, dan dalam film. Tapi di saat yang sama kadang aku merasa kebas karena perasaan-perasaan yang ada dalam naratif karya itu, akhir-akhir ini sulit untuk kurasakan jika aku berpikir logis. Bahwasannya, rasa, emosi, itu tak lebih dari interpretasi otak dan hormonku atas kenyataan, dan jika aku mau tidak terbawa, aku hanya perlu bernafas dengan teratur dan berpikir dengan terstruktur. Dan jika aku mau merasakannya, aku hanya perlu immerse ke dalam naratif tersebut.
Kemampuan untuk mengontrol emosi dan mood ku tidak serta-merta membuatku kurang manusiawi. Seperti orang autis atau psikopatik juga manusia. Merka hanya kurang empati.
Emosi dan rasa kini keluar kalo aku capek atau manic, dan aku langsung bisa tahu bahwa perasaan tidak enak, hadir dari dalam diriku, bukan dari luar. Tidak seru, dan aku butuh ketidakseruan itu. Karena keseruan seringkali bikin musibah saja.
Ini adalah racauan terbaruku yang menggunakan asosiasi bebas, untuk mengungkapkan pikiranku dan kucicil-cicil dalam waktu beberapa hari karena aku sedang sangat sibuk. Sibuk. Yang menyenangkan karena emosiku dan mood ku cukup terkendali dan konsisten buat bisa kerja sehari-hari. Semoga kamu pun begitu, optimis menyingsing tahun 2022.
Di tahun ini aku punya banyak rencana. Film panjang pertamamu ingin kuselesaikan sebagai produser. Lalu aku ingin bikon workshop gratis buat anak-anak muda termarginal. Aku juga sedang semangat belajar soal crypto dan NFT tapi tanpa punya keduanya. Kupikir crypto dan NFT bisa kuubah jadi produk budaya-finansial yang bisa bikin Seniman kita jadi kembali menjadi Seniman rakyat akar rumput. Tunggu tulisanku berikutnya soal hal ini.
Kalau kamu suka yang kamu baca sejauh ini, traktir aku kopilah. Jadi tulisan selanjutnya bisa lebih cepat keluar.