Racauan

Sepuluh Tahun Pemerintahan Joko Widodo: Kolaborasi Elit Politik, Pembangunan Infrastruktur, dan Tantangan Demokrasi

Banyak analis dan kritik politik menyoroti erosi kualitas demokrasi, penyalahgunaan kekuasaan, dan ketidakmampuan mengatasi masalah-masalah struktural yang lebih dalam. Memang benar, selama sepuluh tahun terakhir, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) telah membawa Indonesia melalui berbagai dinamika politik, sosial, dan ekonomi yang signifikan. Dari awal pemerintahannya pada tahun 2014 hingga menjelang akhir masa jabatan keduanya pada 2024, Jokowi dikenal karena upaya masifnya dalam pembangunan infrastruktur, peningkatan kesejahteraan rakyat, serta kolaborasi politik yang melibatkan berbagai pihak elit untuk mempertahankan stabilitas kekuasaan. Tapi apa harga yang harus dibayar dari semua pencapaian itu?

Pemerintahan Jokowi: Pembangunan Infrastruktur dan Kesejahteraan Rakyat?

Salah satu ciri khas pemerintahan Jokowi adalah fokus besar pada pembangunan infrastruktur. Dalam sepuluh tahun terakhir, Jokowi telah meluncurkan berbagai proyek infrastruktur besar, termasuk pembangunan jalan tol, bandara, pelabuhan, dan proyek besar lainnya seperti pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur. Infrastruktur ini dirancang untuk meningkatkan konektivitas antar wilayah, memfasilitasi perdagangan, dan pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi.

Pembangunan infrastruktur ini juga dihubungkan dengan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, terutama di daerah-daerah terpencil yang selama ini kurang tersentuh pembangunan. Dengan adanya infrastruktur yang lebih baik, diharapkan akses terhadap layanan publik, seperti pendidikan dan kesehatan, akan meningkat, yang pada gilirannya akan memperkuat fondasi demokrasi di masa depan ketika rakyat lebih terdidik dan sejahtera. Tapi ini mengakibatkan kualitas demokrasi yang turun drastis.

Presiden mengunjungi IKN, 2019.

Kolaborasi Elit Politik: Menjaga Stabilitas atau Mengamankan Kekuasaan?

Di samping keberhasilan pembangunan infrastruktur, salah satu aspek penting dari pemerintahan Jokowi adalah kolaborasinya dengan berbagai elit politik. Sejak awal masa jabatannya, Jokowi telah membangun koalisi besar yang mencakup berbagai partai politik, termasuk beberapa yang memiliki pandangan yang bertentangan satu sama lain. Strategi “big tent” ini telah membantu Jokowi menjaga stabilitas politik, memungkinkan pemerintahannya untuk bertahan dari berbagai tantangan politik dan sosial yang muncul, terutama di tengah semakin menguatnya sentimen Islamis di beberapa segmen masyarakat.

Namun, kolaborasi ini juga memunculkan kritik bahwa Jokowi telah mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi demi stabilitas politik. Kritik ini semakin kuat dengan munculnya figur-figur dari era Orde Baru dalam lingkaran dekat kekuasaannya, yang menunjukkan adanya kesinambungan politik yang mungkin mengabaikan reformasi struktural yang seharusnya dilakukan pasca-Orde Baru. Kolaborasi ini sering kali dilihat sebagai upaya untuk mengamankan kekuasaan daripada benar-benar membangun demokrasi yang sehat dan berkelanjutan.

Index Indonesia 2024. Sumber: Bertelsmann Stiftung’s Transformation Index

Akibatnya kita bisa melihat bahwa transformasi politik kita ada di angka yang kurang baik. Dengan indeks partisipasi politik dan supremasi hukum sangat rendah. Partisipasi politik artinya banyak orang tidak menggunakan hak suara mereka dengan terinformasi baik. Bagi-bagi bansos (pork barrel), serta cawe-cawe (intervensi presiden) dalam pemilu membuat indeks ini jeblok. Supremasi hukum juga jeblok karena konsistensi dan penegakan yang lemah: dari mulai KPK yang dilemahkan, hingga bolak-balik revisi undang-undang yang membuat hukum tidak stabil. Indeks governance atau ketatanegaraan yang mencapai skala 5.48, sesungguhnya tidak parah, tapi tidak juga baik. Sumber daya tidak dikelola dengan baik, begitupun pembangunan konsensus antar elemen pemerintahan yang berantakan sejak Covid-19 dan nampaknya berusaha dikonsolidasi dengan suara mayoritas partai koalisi yang menggunakan demokrasi untuk menuju ke sebuah sistem yang otokratik.

Jokowi mengunjungi Prabowo, 2016.

Sudut Pandang Elit: Stabilitas di Atas Segalanya

Dari sudut pandang elit politik yang terlibat dalam kolaborasi ini, stabilitas politik adalah hal yang paling utama. Mereka berpendapat bahwa Indonesia sebagai negara dengan populasi besar dan keragaman etnis serta agama yang kompleks, membutuhkan pemerintahan yang kuat dan stabil untuk mencegah disintegrasi sosial. Dalam konteks ini, kompromi dan kerjasama dengan berbagai kekuatan politik dianggap sebagai cara terbaik untuk menjaga persatuan nasional dan mencegah konflik yang dapat mengganggu pembangunan dan kesejahteraan rakyat.

Elit politik juga cenderung melihat pembangunan infrastruktur sebagai salah satu cara untuk menunjukkan keberhasilan pemerintahan dan memenangkan dukungan publik. Dengan demikian, mereka berargumen bahwa langkah-langkah ini bukan hanya sah, tetapi juga diperlukan untuk menghindari kembalinya masa-masa ketidakstabilan yang pernah dialami Indonesia, seperti pada masa krisis ekonomi 1998.

Kritik Terhadap Pendekatan Jokowi: Erosi Demokrasi dan Hak Asasi Manusia

Meskipun ada argumen yang mendukung pendekatan Jokowi, kritik keras datang dari berbagai kalangan yang menyoroti penurunan kualitas demokrasi selama masa pemerintahannya. Salah satu kritik utama adalah meningkatnya otoritarianisme dan pengekangan terhadap kebebasan sipil, termasuk tekanan terhadap aktivis, pembatasan kebebasan pers, dan penggunaan hukum untuk membungkam kritik.

Selain itu, terdapat kekhawatiran bahwa proyek-proyek infrastruktur besar sering kali dilakukan tanpa konsultasi yang memadai dengan masyarakat yang terdampak, dan dalam beberapa kasus, proyek tersebut justru memperburuk ketimpangan sosial. Beberapa proyek bahkan dituding tidak transparan dan menjadi sarang korupsi, yang bertentangan dengan tujuan awal untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Demokrasi yang Lebih Berkualitas di Masa Depan?

Pertanyaan besar yang muncul adalah apakah pendekatan Jokowi ini, yang menitikberatkan pada stabilitas politik dan pembangunan infrastruktur, dapat benar-benar menghasilkan demokrasi yang lebih berkualitas di masa depan. Dari satu sisi, jika upaya ini berhasil meningkatkan kesejahteraan dan pendidikan rakyat, mungkin ada harapan bahwa demokrasi di Indonesia akan semakin matang dan inklusif.

Namun, di sisi lain, jika erosi terhadap kebebasan sipil dan hak asasi manusia terus berlanjut, serta jika demokrasi hanya digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan, maka Indonesia mungkin akan menghadapi risiko menjadi demokrasi yang “cacat” di mana struktur formal demokrasi tetap ada, tetapi esensi dari demokrasi itu sendiri, yaitu partisipasi rakyat dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, semakin terpinggirkan.

Sepuluh tahun pemerintahan Joko Widodo merupakan periode yang penuh dinamika, di mana pencapaian dalam pembangunan infrastruktur dan peningkatan kesejahteraan rakyat bersanding dengan kritik keras terhadap penurunan kualitas demokrasi. Kolaborasi elit politik yang dijalin Jokowi untuk menjaga stabilitas, meski berhasil dalam jangka pendek, juga memunculkan pertanyaan tentang masa depan demokrasi Indonesia.

Di masa depan, tantangan terbesar bagi Indonesia adalah menemukan keseimbangan antara pembangunan ekonomi, stabilitas politik, dan penguatan demokrasi. Jika pemerintah mampu mengatasi tantangan-tantangan ini dengan bijak, Indonesia bisa mencapai demokrasi yang lebih kuat dan berkelanjutan. Namun, jika tidak, maka potensi untuk kembali ke praktik otoritarianisme, meski dalam bentuk yang lebih halus, akan semakin besar.

Dan kita harus selalu ingat, bahwa potensi otoriarianisme bisa dimulai dari manapun: dari militer atau dari sipil. Demokrasi bisa menciptakan banyak hal, termasuk mengubah yang baik, menjadi yang buruk.

Jokowi, 2014
Kurasi/Kritik, Politik, Racauan

3 Hal Yang Membuat Pengungsi Rohingya tidak akan menjadi seperti pengungsi Yahudi di Palestina

UN Women/Allison Joyce

Pengungsi Rohingya tidak akan menjadi seperti pengungsi Yahudi di Palestina karena tiga hal.

Pertama, ketidakmampuan mereka untuk membentuk sebuah jejaring diaspora yang memiliki kekuatan ekonomi dan intelektual secara global membedakan mereka dari pengungsi Yahudi di Palestina. Diaspora Yahudi telah mampu memainkan peran krusial dalam memobilisasi dukungan internasional dan memberikan kontribusi signifikan dalam berbagai sektor ekonomi di seluruh dunia.

Kedua, perbedaan dalam budaya dan agama di antara pengungsi Rohingya menciptakan tantangan tambahan dalam membentuk identitas bersama dan solidaritas yang kuat. Sebaliknya, pengungsi Yahudi di Palestina sering kali dapat mengandalkan faktor-faktor ini untuk memperkuat ikatan mereka.

Ketiga, perbedaan dalam kepemimpinan politik juga menjadi faktor kunci yang memisahkan pengungsi Rohingya dengan pengungsi Yahudi di Palestina. Sementara pengungsi Yahudi dapat mengandalkan dukungan dari individu yang memegang kekuasaan di beberapa negara pasca-kolonial, pengungsi Rohingya kurang memiliki akses terhadap sumber daya politik tersebut. Oleh karena itu, melalui perbandingan ini, dapat dilihat bahwa pengungsi Rohingya memiliki tantangan yang berbeda dan mungkin memerlukan pendekatan yang unik dalam menanggapi kondisi mereka.

Kondisi yang hari ini terjadi adalah, akibat perang yang terjadi di Ukraina dan Gaza, serta banyaknya bencana kemanusiaan di berbagai belahan dunia, pengungsi Rohingya di Cox’s Bazar, Bangladesh menjadi terbengkalai. Mereka kekurangan bantuan kemanusiaan berupa makanan, air bersih dan tempat tinggal. Mereka juga terjebak oleh kekejaman geng-geng perdagangan manusia, narkoba dan senjata, serta perseteruan dua kelompok militan Arakan Rohingya Salvation Army dan Rohingya Solidarity Organization, yang menurut para UNHCR dan Human Rights Watch, membuat hidup di kemp pengungsian menjadi begitu berbahaya. Mereka tidak bisa berkerja dengan legal di sana, dan mencari uang dengan menjadi pekerja ilegal, untuk ditabung lalu membayar penyelundup untuk membawa mereka kabur dari pengungsian, mencari harapan baru dan bertahan hidup–dengan sasaran terdekat adalah Aceh, Indonesia. Harapannya, bisa mendapatkan kemanusiaan mereka kembali. Sebuah hal yang sangat sulit, apalagi ketika mereka dianggap “binatang di pekarangan orang.”

Jumlah pengungsi yang datang sejak November hingga hari ini mencapai 1684 orang, dan tentunya, Serambi Mekah tidak akan mampu menanggung mereka. Kini, usaha jejaring global dan kepiawaian pemerintah (yang sekarang dan akan datang), menjadi kunci untuk mencari cara mengatur gelombang pengungsi yang hadir. Pengungsi yang jauh sekali dari bangsa Yahudi, pengungsi yang tidak terdidik dan hidup terombang ambing di laut dan di darat.

Gender, Memoir, Racauan

Monogami: sebuah Imajinasi

Buat yang ingin tahu, dan bukan yang ingin percaya.

Sudah lama aku tahu, bahkan sebelum pernikahanku yang pertama, bahwa pernikahan itu tidak pernah soal cinta. Hubungan manusia tidak ada yang tak retak, tapi yang merekatkan sepasang suami istri, jelas bukan cinta. Yang memisahkannya juga bukan perselingkuhan, kebencian atau pengkhianatan. Yang membuatku lumayan kesal adalah, tesis yang akan kupaparkan pada kalian adalah tesis lamaku. Ternyata setelah sekali menikah dan gagal, tesis ini tetap tegak.

Dalam tesis ini, pernikahan adalah kontrak sosial, politik, dan profesional. Bukan kontrak kesetiaan atau kontrak percintaan. Cinta bisa hilang dalam perkawinan, cinta bisa tetap ada setelah perceraian, cinta bisa menyatukan dan memisahkan. Demi cinta kita bisa bersatu dan demi cinta pula, kita rela melepaskan yang kita cinta.

Kontrak sosial berarti persatuan hubungan sosial dua individu. Di dalamnya ada keluarga, teman dan sahabat. Kontrak politik adalah persatuan dua unit kuasa, agama, atau institusional yang dimungkinkan dengan aturan negara atau agama. Kontrak profesional adalah persetujuan soal pembagian kerja, penyatuan finansial, dan hak atas aktualisasi diri. Artinya, sebuah pernikahan akan bertahan (bukan akan bahagia, bukan akan ideal, tapi bertahan), jika ketiga kontrak tersebut tidak dilanggar.

Ketiga kontrak tersebut adalah syarat mutlak dua individu bisa menikah, tak perlu cinta. Kompatibilitas dalam komitmen ketiga kontrak itu adalah segalanya. Sepasang yang beda agama bisa menikah ketika hukum negaranya memperbolehkan dan kedua keluarga setuju bahwa anak mereka akan (1) menikah dengan mempertahankan agama masing-masing, atau (2) salah satunya pindah agama mengikuti yang lain. Tapi jika salah satu keluarga tidak setuju dan keras menentang, maka kawin lari, pengusiran,pemutusan hubungan, dan tragedi bisa terjadi. Bisakah pasangan tersebut menikah? Bisa saja, dengan konsekuensi ketimpangan yang tinggi, ketika salah satu individu tidak lagi punya keluarga inti.

Kontrak sosial juga berarti komitmen keintiman antar individu dengan individu, antar keluarga dengan keluarga, dan dalam lingkaran sosial pasangan tersebut. Hubungan sosial yang terlalu renggang atau terlalu rapat bisa menciptakan keterjebakan. Akibatnya bisa jadi tindakan-tindakan pemberontakan, seperti perselingkuhan atau kecanduan. Secara sosial, perselingkuhan merusak cinta dan kepercayaan pasangan. Tapi selama perselingkuhan masih rahasia dan tidak disebarkan ke lingkaran di luar keluarga inti, maka pernikahan bisa tetap ada dengan konsekuensi hubungan yang rusak dan harus diperbaiki. Jika sampai menyebar, maka tali pertama yang putus bukanlah tali perkawinan sepasang suami istri, tapi tali hubungan kedua keluarga.

Secara politik, pernikahan bisa gagal kalau relasi kuasanya jomplang–bukan timpang. Bedakan ini. Jomplang berarti ada kekuatan kuasa dimana satu pihak menekan pihak lain, dalam konteks dimana pihak yang ditekan sebenarnya punya alat-alat perlawanan seperti hubungan sosial atau hukum negara. Jomplang bisa dipecahkan dengan mediasi atau perceraian. Sementara itu, timpang tetap bisa membuat rumah tangga jalan, karena dalam ketimpangan, biasanya yang dirugikan tidak sadar bahwa ia dirugikan. Ketimpangan juga menutup kemungkinan cerai–misalnya dengan budaya dan agama di wilayah tertentu di dunia, yang mana cerai tidak ada dalam hukum dan kosakatanya. Ketimpangan dapat membuat pernikahan bertahan sampai dipisahkan kematian, namun tidak indah sama sekali, seperti meminum racun setiap hari tanpa pernah mati.

Kontrak ketiga, profesionalitas. Ini berhubungan dengan distribusi kerja dan ekonomi. Ekonomi artinya pengaturan rumah tangga, artinya bagaimana moda produksi sebuah rumah tangga dijalankan oleh keluarga. Di sini pasangan harus sepakat tentang distribusi kerja; siapa yang mengurus anak atau rumah ketika yang lain mencari nafkah; bagaimana mendukung profesi pasangan di saat yang sama memastikan kontrak sosial (keintiman dengan pasangan, keluarga dan teman) dan politik (komunikasi dan pembagian kuasa) tetap terjaga dan stabil. Rumah tangga akan rusak atau disfungsional ketika pasangan tidak bisa mendukung atau terlalu mendukung profesi pasangannya. Tidak bisa mendukung artinya ia tidak setuju sama sekali dengan pekerjaan yang dipilih pasangannya dan membuat pasangannya tertekan, depresi, dan irrelevan di dunia profesionalnya. Terlalu mendukung bisa membuat pasangannya lupa dengan dua kontrak yang lain: kontrak sosial dan kontrak politik dari sebuah perkawinan.

Sains sudah mengajarkan bahwa Cinta adalah hormonal dan zat kimia yang dibentuk dari referensi pengalaman yang membuat preferensi seksual dan sosial. Cinta bisa hilang, bisa habis dan menguap dengan waktu dan konteks yang berbeda. Sebagai primata, manusia tidaklah tercipta sebagai mahluk monogami. Manusia tidak memiliki musim kawin, tidak seperti banyak mamalia lain. Artinya pernikahan yang satu, kemonogamian, adalah sebuah cerita yang dikarang manusia untuk sedapat mungkin dijalankan dan ditepati. Pernikahan monogami seperti kontrak dibuatnya negara, kontrak transaksional politik atau komitmen sosial, yang mengikat dua individu primata poliamoris, yang memaksakan kisah monoamoris dalam hidupnya. Kisah yang pasti gagal dalam rasa, namun bisa berhasil dalam logika politik, sosial, dan profesional.

Pada akhirnya manusia cuma ingin teman, companionship. Sebuah impian untuk berbagi kehidupan, karena dalam kematian, kita takkan pernah bersama. Maka apapun asal hubungan romantismemu, hubungan yang lama ditentukan oleh relasi-relasi di luar cinta. Itu kenyataannya, kepercayaanmu tidak penting.

Tapi sebagai mahluk kreatif, bolehlah kamu mengarang cerita atau membuat strategi untuk terus menyalakan bara asmara, selama trinitas sosial, politik, dan profesional terjaga.

Racauan

Kalau sudah terasing lalu apa?

Aku merasa begitu asing dengan dunia hari ini ketika aku melihat media sosial yang random dan di luar kebiasaanku. Pertama kali membuka Tiktok, sebelum ia merekam apa yang kusuka dan tidak kusuka, aku disuguhi apa yang banyak orang Indonesia suka, dan aku mau muntah. Begitupun ketika melihat facebook video yang random keluar di feed berdasarkan kesukaan banyak orang.

Aku tidak bilang bahwa apa yang orang suka, aku tidak paham. Aku hanya merasa bahwa yang kebanyakan orang suka adalah hal-hal banal, tentang seks, perselingkuhan, atau kisah-kisah agama yang sangat dangkal. Kurasa begitulah kebanyakan manusia hidup. Secara praktis apa yang kubaca dan kupikirkan tidaklah begitu berguna untuk kehidupan.

Inginnya sih berusaha rendah diri, dan melihat secara antropologis dan filosofis tentang eksistensi orang lain. Tapi bahkan aku tidak bisa melihat diriku sendiri dengan lebih dalam secara eksistensial. Semua misteri tentang keberadaan sudah terjawab. Tuhan tidak bisa dipercaya keberadaannya, dan kalaupun dia ada aku pun tidak mempercayai kebijakan dan apapun yang ia buat. Lalu keberadaanku dan seluruh manusia hingga sekarang cuma kebetulan saja dari sebuah struktur biologis yang tumbuh seperti kanker.

Dan dengan kemajuan teknologi media sosial dan kecerdasan buatan, semakin banyak kebodohan yang terlihat–karena orang cerdas memberikan orang-orang tolol kanal bersuara alih-alih membuka komunikasi dengan pendidikan. Aih, racauanku ini seperti tidak ada puasnga bikin masalah.

Namanya racauan, aku meracau saja dulu. Toh pada akhirnya semua ini politik saja. Semua orang berebut kuasa dalam konteksnya sendiri-sendiri, dalal lapisan-lapisan yang berbeda-beda dari borjuis kecil hingga pemilik modal, punya politik horizontalnya masing-masing. Pa

Pada akhirnya semua orang butuh kerja dan diatur masyarakat atau institusi untuk mendapatkan relevansinya masing-masing. Di luar itu manusia akan jadi anarkis atau gila saja.

***

Terima kasih sudah membaca tulisan ini sampai habis. Jika kamu suka yang kamu baca dan ingin dukung aku, traktir aku kopi, boleh? Biar semangat dan bisa nabung bayar website ini. Klik tombol di bawah.