Eksistensialisme, Filsafat, Puisi, Racauan

Tuhan Tidak Bersalah Atas Kezaliman Umatnya

Photo by mohamed abdelghaffar on Pexels.com

“Atas kehendak Tuhan, aku dilahirkan miskin,” kata seorang penulis Yahudi dari MAD MAGAZINE di tahun 1970-an. Dan bukan hanya dia. Saya yakin bahwa saya dan pembaca sekalian pernah, paling tidak sekali dalam hidupnya, menyalahkan Tuhan atas takdir yang terjadi di hidup kita, atas ketidakpuasan-ketidakpuasan. Saya jadi yakin dengan sangat bahwa sumpah serapah pertama pada Tuhan yang ditemukan manusia bukanlah, “Kurang ajar kau, Tuhan!”, bukan juga “Setanlo, Tuhan!”, “Atau F**k you, God!” atau “Goddammit!” tetapi satu pertanyaan besar—ya, ternyata sumpah serapah pertama pada Tuhan bukanlah pernyataan tapi pertanyaan yang diucapkan sambil melihat langit:

“KENAPA!!!!!???”

Pertanyaan ‘kenapa’ ini menjadi ibu sekaligus bapak—ini pertanyaan hermafrodit yang masturbasi dan melahirkan anak-anak berupa pertanyaan-pertanyaan lain yang terus kita cari jawabannya; dari apa, siapa, dimana, kapan? Dari ‘kenapa’ yang menyalahkan Tuhan, peradaban kita berkembang pesat; karena kita mencari jawaban yang tak pernah pasti. ‘Kenapa’ adalah sebuah pertanyaan konkrit dengan jawaban yang tak terhingga. ‘Kenapa’ adalah pertanyaan kritis pertama manusia ketika ia masih jadi seorang anak. Pertanyaan yang tak mungkin bisa dijawab dengan lengkap dan terhenti oleh manusia manapun.

Anak: Kenapa aku ada?

Ortu: Karena mama-papa nikah.

Anak: Kenapa mama-papa nikah.

Ortu: Karena mama-papa saling mencintai.

Anak: Kenapa mama-papa saling mencintai?

Ortu: Karena Tuhan mentakdirkan begitu.

Anak: Kenapa Tuhan mentakdirkan begitu?

Ortu: Meneketehe! Mama-papa kan bukan Tuhan.

Anak: Kenapa meneketehe? Kenapa mama-papa bukan Tuhan?

Ortu: Udah, ah! Meneketehe ya, meneketeheee…

Anak: Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa?

Ortu: ARRRGGGHHHHH! [adegan Homer Simpson menjambak rambutnya sampai botak mendengar istrinya hamil lagi].

Photo by Alem Su00e1nchez on Pexels.com

Orang dewasa jarang memaki Tuhan dengan ‘kenapa’ karena Tuhan tak pernah menjawab balik dengan kata-kata yang bisa didengar telinga. Tuhan menjawab dengan firman yang tertulis di atas kitab suci yang didiktekan oleh Nabi/Rasul yang mengaku ‘mendapat’ firman Tuhan. 

Dari sini saya mengambil kesimpulan bahwa Tuhan tak punya mulut. Pemenang nobel sastra, Milan Kundera, menulis bahwa ketika ia masih kecil, ia sering berpikir bahwa kalau Tuhan tak punya mulut, maka ia takkan punya tenggorokkan, usus, dan anus. Maka Tuhan tak pernah berak. Dan kalau Tuhan tak pernah berak, ia tidak pernah mengeluarkan tahi. Dan karena tahi itu kotor, bau, mengandung kuman, dan merepotkan orang yang harus membersihkannya, maka Tuhan tidak pernah bersalah atas segala tahi yang tersebar di dunia ini. Karena yang bisa buang tahi adalah mereka yang punya mulut, tenggorokan, usus, dan anus lengkap dengan lubang duburnya.

Tuhan tak punya mulut juga dibuktikan dari tidak adanya satupun kitab suci yang bilang tentang mulut Tuhan—sebesar apa mulutnya, apakah bau atau tidak, apakah giginya putih atau kuning. Itu juga yang membuat kata-kata dari Tuhan disebut Firman. Nabi bersabda, manusia berkata, dan Tuhan berfirman. Ini juga kenapa ada Tuhan Maha Tahu, Tuhan Maha Besar, tapi tidak ada Tuhan Maha Berkoar. Karena Tuhan tidak punya mulut maka ia tidak berleleran dakwah, doktrin, atau promosi seperti kiai-kiai, pendeta, politikus atau tukang obat. Tuhan berfirman, Nabi bersabda firman Tuhan, dan umat manusia menginterpretasi. 

Interpretasi inilah yang menjadi masalah karena interpretasi selalu mencoba menjawab pertanyaan (sekaligus makian pada Tuhan), ‘Kenapa?’. 

Kenapa burung-burung tiba-tiba muncul
Setiap kali ada kamu di sini? 
Seperti aku, mereka ingin sekali, 
dekat denganmu.

Yah, itu interpretasi The Carpenters terhadap burung-burung yang tiba-tiba muncul waktu ada kamu. Padahal bisa saja burung-burung itu muncul karena pohon tempat mereka bertengger ditebang orang. Atau bisa saja burung-burung itu muncul untuk memakan kutu-kutu di pundakmu karena kamu kerbau. Masih banyak interpretasi lain yang bisa dinyanyikan si ‘aku’, tapi karena si ‘aku’ pengen deket-deket kamu, makanya dia bilang burung-burung pengen deket sama kamu. Dari sini saya malah bisa interpretasi lagi, jangan-jangan si ‘aku’ itu juga burung dan kamu memang kerbau.

Kalau interpretasi saya salah, dan ternyata si ‘aku’ bukan burung dan kamu bukan kerbau, maka lirik itu tidak salah. Saya yang salah karena saya punya tangan untuk mengetik interpretasi saya terhadap lirik itu dan bilang kamu kerbau. 

Inti dari paragraf sampahan saya di atas adalah bahwa teks seperti halnya kitab suci dan Tuhan, tidak punya mulut. Maka yang penting adalah bagaimana teks itu terinterpretasi dan terimplementasikan di dunia kita. Dari interpretasi dan implementasi terhadap firman Tuhan dan teks-teks lain—termasuk budaya dan tradisi, kita mendapatkan segala motivasi tindakan manusia: perang yang terus ada, kemiskinan, pelacuran, kehancuran, kelahiran, jumlah cina yang membeludak, chauvinisme Jawa, dan apapun yang secara asal alias impromptu keluar dari kepala saya yang buluk ini.

Maka pertanyaan sekaligus makian ‘kenapa’ tidak akan pernah dijawab Tuhan. Karena Tuhan tidak menginterpretasi. Tuhan berfirman, Nabi bersabda firmanNya, Da’i berkata Sabda Nabi yang berisi Firman Tuhan, dan umat bergerak, musuh umat melawan, politisi berkoar, ekonom menghitung untung-rugi, perang terjadi, manusia pada mati, dan dari semua itu tiba-tiba global warming terjadi, yang menyebabkan panas naik, tsunami, gempa, cinta semerbak dan gugur dalam sebuah rumah tangga antara sepasang partner dan seorang pecinta salah satu partner, seorang anak botak berkulit hitam lahir di London, sementara selembar daun gugur dari sebuah pohon yang kedinginan di Nebraska. Apa hubungannya? Silahkan interpretasi.

Dari semua ini, interpretasi adalah pencernaan. Manusia memakan, mencerna, dan mengeluarkan Tahi. Jika diinterpretasi dengan otak seorang penyair romantik gila, ia bisa membuat sebuah puisi satu stanza dan satu kalimat:

Mulut memakan daun, mencerna
Lalu keluar tahi
Otak Memakan Teks, berpikir, 
lalu keluar opini

Vagina memakan sperma, mencampur sel telur
Lalu keluar bayi.
Kekotoran dan kesucian ternyata tak terlalu berbeda…

Dalam sebuah kulit kacang [terjemahan bodoh dari nutshell], silahkan memaki Tuhan yang Maha Menerima, Ia takkan membalas makianmu. Tapi cobalah memaki dengan kata purba ‘Kenapa?’ Maka kau dan alam semesta akan menjawabnya dalam sebuah interpretasi. Jika teks bukan firman, maka teks adalah tahi atau bayi. Dan Tuhan tidak bersalah sama sekali atas apapun yang kau makan atau kau feses-kan. Semua adalah murni kesalahan yang punya mulut.

Ini tulisan tahi atau bayi. Kau yang menentukan.

TABIK!!   

Depok, 1 Maret, 2009.


Terima kasih sudah membaca tulisan yang sudah lama terkubur ini. Jika kamu suka apa yang kamu baca, bolehlah traktir saya kopi dengan menekan tombol ini:

Filsafat, Politik, Racauan

Kar(l)ma(rx)

Photo by 🇮🇳Amol Nandiwadekar on Pexels.com

Kita takut karma, ketika dosa yang kita lakukan kembali kepada kita, maka kita berusaha menjadi orang baik. Namun pengalaman mengajarkanku bahwa tanpa karma pun, shits happen. Dosa orang bisa kita tanggung, hutang orang bisa kita yang harus bayar, orang lain yang membuat berantakan bisa kita yang harus bereskan. Hidup seperti perkerjaan menanggung kerusakan orang yang tidak ada habisnya. Hidup adalah kumpulan karma yang seringkali tidak ada hubungan sebab akibat.

Photo by Alexander Krivitskiy on Pexels.com

Maka itu, Karma bukanlah wanita jalang seperti kata orang hippie Amerika. Karma adalah sebuah mitos, dan mitos, seperti kata Roland Barthes, adalah sebuah petanda yang sudah terlalu jauh hubungannya dengan penandanya; mitos adalah sebuah konotasi yang sudah ngejelimet dan nyasar, sebuah simbol dari simbol yang seringkali diawali dengan sesuatu yang sebegitu personal dan diakui sebagai universal. Seperti gagak petanda buruk, ketiban cicak petanda sial, atau sirik petanda tak mampu. Padahal kita semestinya tahu, gagak adalah ada petanda burung berwarna hitam yang berteriak gaak gaak, ketiban cicak petanda cicak bisa melompat, dan sirik petanda kesenjangan kelas.

Di poin yang ketiga inilah maka Karl Marx lebih masuk akal daripada Karma. Karena Karl Marx berusaha mengkritisi dialektika sebab-akibat adanya eksploitasi dan kesenjangan kelas, sementara karma berusaha menjelaskan kesenjangan kelas dari dosa-dosa baik di kehidupan ini atau (ini yang parah) di kehidupan masa lalu. Karl Marx berusaha membongkar kelas-kelas sosial; karma menjadi dasar kelas sosial paling parah sepanjang sejarah kelas manusia: kasta. Terlahir sudra akan mati jadi sudra, terlahir brahmana akan mati brahmana–dan dalam kehidupan, darma baik dan buruk diharapkan dapat menjadi karma di kehidupan mendatang.

Tapi sayang sungguh sayang, saya sendiri suka sulit menghindari pikiran soal Karma. Dosa dan agama sudah jadi bagian dari keseharian yang merasuk ke alam bawah sadar dan, akhir-akhir ini, menjadi semacam penyelamat dari penyakit kejiwaan yang saya derita. Kata Marx mengembangkan buah pikiran Fuerbach, agama adalah candu. Dalam konteks kota kapitalis ini, saya jadi atheis yang praktikal: tidak percaya Tuhan sebagai entitas personifikasi, tapi beritual dan berspiritualitas pada energi besar yang mengendalikan alam semesta semau-maunya dia. Melepaskan ilusi kontrol dan rencana-rencana besar, dan mulai fokus pada rencana-rencana kecil saja yang saya rencanakan punya efek baik, dari mulai membiayai pemuda desa kuliah, sampai menyelenggarakan workshop gratis yang memberikan skill tambahan untuk anak-anak muda perkotaan yang galau mau jadi apa.

Jadi apa saya percaya karma? Tidak. Apa saya takut akan karma? Ya! Lah kok bisa takut pada sesuatu yang tidak kamu percaya? Lah kenapa tidak bisa? Coba, berapa banyak orang yang ngaku Atheis tapi pas pesawat yang ditumpanginya mau jatuh dia berdoa? Berapa banyak yang mengaku saintifik tapi takut pada kecoak atau ulat bulu?

Mitos dan cerita-cerita ini menyatukan kita sebagai manusia, membuat kita menjadi spesies paling berkuasa di dunia. Mitos dan cerita-cerita begitu kuatnya, ia membentuk sistem ekonomi, strata sosial, dan dapat membunuh lebih banyak orang daripada senjata nuklir. Mitos dan cerita-cerita menghidupkan dan mematikan kemanusiaan kita. Maka Karl Marx boleh berdialektika semacam apapun, Nietzsche bisa bilang Tuhan telah dibunuh para penganutnya seperti apapun, namun mereka semua pada akhirnya terkena Karma: yang satu jadi hantu karena ideologi yang dibuatnya menjadi pondasi paling kuat kapitalisme hari ini; dan yang satu lagi meninggal di rumah sakit jiwa karena kegilaan. Mereka berdua kena Karma. Salah apa mereka? Lah, tidak tahu, mungkin dulu sempat menjadi kapitalis busuk, atau jangan-jangan salah satu dari mereka pernah menjadi kecoak yang meracuni keluarga terakhir homo denisovans hingga punah.

Tidak ada yang tahu kebenaran sebuah mitos, kecuali sebuah mitos lain yang belum tentu pula kebenarannya—mitos apa itu? Coba pikirkan sambil beribadah hari ini.

Photo by rawpixel.com on Pexels.com

Eksistensialisme, Perlawanan, Puisi

GODOT

Semua nabi-nabi telah datang membawa wahyuNya
Kitab-kitab suci telah disebar bersama ulama
Biksu dan pendeta menggumamkan doa-doa
namun yang dinanti tidak juga pernah tiba

Kita membunuhnya
kita membunuhnya

Tak pernah ada lagi yang mengaku mendengar wahyuNya
Bicara pada Tuhan itu waras, mendengarNya gila
untuk berkuasa bicaralah di atas namaNya
Ia maha besar maha rapuh selalu dibela

Kita membunuhnya
kita membunuhnya

dengan mengarang kata-kata
demi harta dan kuasa
untuk mewujudkan surga
di dunia fana

dengan mengumbar doa-doa
mengutuki yang berbeda
untuk panaskan neraka
demi golongannya

Akal dimatikan untuk menghidupkan iman
Iman tanpa ilmu memakan kemanusiaan
Ikut kata Imam yang gumamkan kebencian
Tunduk pada tafsir tanpa pernah memikirkan

Kita membunuhnya
kita membunuhnya