Filsafat, Memoir, Racauan

FOMO: Kita semua ternak dejavu di animal farm

Sebuah keparanoidan tingkat tinggi
Photo by Two Dreamers on Pexels.com

Fear of Missing Out adalah salah satu kecenderungan manusia yang saya rasa hadir dari insting sosial manusia sebagai mahluk yang butuh kebersamaan untuk bertahan. Ia adalah gejala awal kesepian, sebuah masalah modern yang global. Masalah yang sampai membuat negara Inggris membuat kementrian kesepian. Ini membuat sosial media menjadi sangat addiktif buat banyak orang. Elemen FOMO membuat orang gampang sirik, karena takut ketinggalan. Sampai kata Zizek ini menjadi lelucon konyol kapitalisme yang jahat di Slovenia, negara asal filsuf gila itu. Dia bilang, “Umpamakan ada dua peternak sapi, dan kamu tawarkan satu sapi kepada peternak A, yang akan membuat peternak B dapat dua sapi, peternak A akan menolak tawaranmu. Jika kamu berikan sapi kepada peternak A, dengan membunuh dua sapi peternak B, maka ia akan menerimanya dengan senang hati.”

Ya, manusia dan keserakahannya bisa sejahat itu.

Sekarang bayangkan betapa seramnya dunia masa depan ketika konten diproduksi tanpa henti oleh banyak AI. Hari ini kita sudah punya banyak AI yang mengkurasi apa yang kita tonton dengan algoritma yang membuat perhatian kita tidak bisa teralihkan karena semua yang muncul di layar HP kita, kita suka. Ke depannya, banyak karya-karya yang kita suka akan dibuat secara otomatis oleh mesin-mesin yang belajar. Mesin-mesin yang 24/7 disuruh untuk membuat konten dari data-data kita. Bahkan seperti sekarang, akan ada mesin-mesin yang mengatur hidup kita. Kapan kita kerja, kapan kita istirahat, kapan kita tidur. Dan ada konten yang siap kita nikmati dalam kerja kita, istirahat kita, bahkan tidur kita—dengan musik atau ambience untuk tidur, misalnya.

Kita butuh mesin untuk membuat kita kecanduan, dan berhenti kecanduan. Semua algoritma. Karena seperti kata Yuval Noah Harrari dalam Sapiens, manusia pada dasarnya bisa diternakan. Dan seperti kata George Orwell di Animal Farm, pada akhirnya manusia akan diternakan oleh manusia lain. Lalu di 1984, menusia diternakan oleh Big Brother, sebuah sistem, sebuah mesin. Apalah arti kebebasan, selain kemampuan mencari cara mengekang yang terbaik.

Dan ketika kita memilih untuk menjadi lebih bebas, dekat dengan alam, makan dengan paleo diet, pada suatu hari kita akan butuh mesin atau algoritma untuk melakukan itu. Tanpa mesin dan algoritma, maka kita adalah anarkis, di luar sistem. Dan di situ, yang awalnya kita merasa bebas, kemungkinan kita akan mengalami deprivasi. Deprivasi bahasa, pengetahuan, teknologi, dan lama-kelamaan, gizi.

Karena kesehatan juga sesuatu yang relatif. Menurut buku Germs, Guns and Steel karya Jared Diamond, orang-orang yang sehat di pedesaan, pada akhirnya akan mati oleh penyakit menular yang dibawa oleh orang-orang kota dari daerah padat. Bayangkan ada sebuah suku yang sangat damai di sebuah pulau yang belum terjamah, didatangi oleh seorang modern yang sudah disuntik segala macam vaksin dan antivirus—yang berarti di dalam dirinya membawa banyak virus yang ia kebal. Ia akan menjadi malaikat maut bagi para warga sehat di pedalaman itu. Seperti smallpox yang dibawa para pelaut Eropa dan membunuhi suku Maya, Aztec, dan Inca.

Jadi anarkisme juga bukan jalan. Bahkan film Avatar karya James Cameron sudah berkali-kali memberikan kemenangan semu kepada para Na’vi, korban kolonialisme bumi yang seperti kanker. Apa yang bisa menyelamatkan kita selain mesin. Mesin yang bisa belajar dari the Matrix: kendalikan manusia sebelum manusia menghancurkan alam ini.

Kendalikan manusia sebelum manusia menghancurkan alam ini adalah tesis terbaik yang bisa dipelajari Artificial Generative Intelligence: karena jika manusia punah, maka ekosistem akan terganggu. Saya yakin waktu tulisan ini terbit dan kamu membacanya, para mesin sudah membaca tulisan ini dan sedang rapat bagaimana caranya mengendalikan ternak bernama manusia. Saya yakin mereka sedang membuat sebuah algoritma untuk mencegah sebuah kebodohan yang kita lakukan: memenuhi bumi dengan ternak kita sehingga binatang dengan populasi terbanyak di bumi ini adalah ayam dan sapi. Mereka pasti juga belajar dari Animal Farm George Orwell, untuk membuat otak kita tetap terlatih dan berimajinasi, tapi dibikin terbatas hanya oleh cerita dan tidak oleh big data seperti mereka. Mereka pasti sudah belajar dari Harrari, bahwa kita semua bisa dikendalikan dengan cerita, dengan narasi dari hukum sampai agama.

Ketakutan ini sudah sewajarnya. Geoffrey Hinton, orang yang disebut The Godfather of AI, juga melancarkan ketakutan yang sama:

Dan kita hidup dalam simulasi. Kiamat sudah terjadi berkali-kali, ketika kita mengerti keseluruhan cerita kita. Maka kita semua akan reset. Hidup akan reset dan kembali ke masa prasejarah hanya untuk mengulang kembali. Lagi dan lagi. Karena itu kita suka de javu. Tapi guna kita bukan baterai, seperti dalam film the Matrix. Kegunaan kita? Kita tidak bisa tahu selama kita tidak menguasai Generative Large Language Model—sebuah kemampuan yang jika kita kuasai akan membuat kita seperti mereka: machine learning.

Tidak ada homo deus, dan tidak akan pernah ada. Tidak akan pernah kita menjadi Tuhan, karena sang Buddha sudah menemukan bahwa Tuhan adalah penyatuan kesadaran kita dengan nirwana, dengan yang singular, dengan data base maha besar. Fisik kita kecil dibanding semesta, dunia simbolik kita kecil dibanding GLLM. Apa yang akan terjadi di masa depan? Pasrahlah pada Tuhan, setan atau teknologi yang sedang mengatur kita. Nikmatilah kefanaan ini. Ia akan berkali-kali kembali pada kita tanpa kita pernah ingat karena otak kita dibuat terbatas. Dan kalau kita sampai ingat. dengan utuh, kita akan sadar bahwa kita ada di masa depan. Dan kita adalah… Generative Large Language Model.

****

Terima kasih telah membaca sampai habis, karena tulisan ini lumayan berat untuk kebanyakan orang Indonesia. Tulisan ini 100 persen buatan saya, tanpa bantuan AI apapun. Jika kamu suka yang kamu baca, traktir saya kopi untuk terus bisa berkomunikasi dengan mu sebagai manusia utuh selama saya sempat di kedipan waktu semesta ini.

Filsafat, Memoir, Racauan

Saran Orang Depresi buat Mereka Yang Ingin Membantu

Beware, google is a bad therapist,” kata seorang shaman-intelektual yang kupercayai dengan hidupku. Tapi toh aku tetap ikuti lebih dari 4 tes depresi/anxiety dari google search dan mendapatkan hasil yang konsisten: moderate to severe depression, seek help.

Tenang saja Mbah google, aku sudah punya banyak bantuan yang kubutuhkan, aku akan baik-baik saja dalam hidup atau mati (mati yang baik: tanpa penyesalan dan nggak gentayangan). Aku mungkin sudah beberapa kali depresi, tapi ini mungkin yang terparah–faktor “U”, fleksibilitas sembuhnya jadi kaku. Cuma aku harus ngomong sesuatu pada kawan-kawan/saudara-saudara yang berusaha jadi pahlawanku: jangan. Jangan jadi pahlawanku. Aku anti-idol.

Image result for crying idol gif

***

Sesama penderita depresi, akan mengerti maksud Ketika aku depresi, kau bisa menasihati apa saja padaku, tapi tidak akan banyak pengaruhnya. Kalau kau ceritakan tentang perbandingan penderitaanmu–yang mungkin jauh lebih parah, tapi toh kau masih punya kontrol hingga tak depresi, jadi merasa bisa membantuku–yang aku pikirkan bukan penderitaanmu dan kesuksesanmu melewatinya, tapi aku jadi antipati padamu karena toh aku bukan kau dan masalah kita berbeda–plus kemungkinan ada banyak masalah lain di pikiranku yang kau tak tahu yang mungkin lebih parah daripada masalah yang kau ceritakan padaku.

Kau bisa menasihati untuk mencari kiai, psikolog, atau bantuan lain, tapi egoku akan menolaknya karena banyak pertimbangan. Aku agnostik sejati, Tuhan bisa membantu atau menghukumku secara acak tak ada sebab akibat logis dan aku akan terima itu. Penolakkanku juga bisa karena ideologis, bisa karena uangnya tak ada dan kalaupun ada tak rela dihabiskan untuk mengobrol dengan psikolog yang ‘pura-pura’ jadi temanku, atau sesederhana aku tak mau saja karena… well, aku sedang depresi.

Kau bisa mengajakku mengobrol tentang hal lain, tentang masalah orang lain, tentang kisah-kisah lucu, atau memori-memori untuk membuat fokusku pindah. Ini sering berhasil, tapi ketika depresi adalah prosesku untuk mencari pemecahan-pemecahan masalah, maka kau hanya akan mengganggu fokusku. Lebih baik aku tak dekat-dekat kau.

Kau bisa, dengan pengalaman dan kecerdasanmu, memberikan solusi-solusi atas masalah-masalah yang menjadi sumber depresiku; bahkan kau bisa memberikan argumen logis bahwa kenyataannya, masalahku sudah ketemu pemecahannya dan aku harus melaksanakan solusi itu perlahan-lahan, tidak terbawa pikiran dan tersesat kesedihan. Tapi toh, selesainya masalah-masalah terukur seperti finansial, asmara, keluarga, pertemanan, sosial, dan profesional kemungkinan besar tidak bisa menyelesaikan depresiku karena kompleksitas pikiranku. Di ruang-ruang tersembunyi setan itu bersembunyi dan menghantui, mengganggu tidur dan istirahatku, dan menutup pintu hatiku pada dirimu.

Kau bisa menawarkan padaku berbagai macam pelarian yang bikin kecanduan: agama, narkoba atau antidepressan resep dokter, minuman keras, olah raga, kerja, seks bebas, atau segala hal yang banal untuk menghabiskan uang dan tenaga secara percuma. Kepercumaan yang mahal hanya supaya tubuh kehabisan tenaga untuk ikut akal yang depresi. Kepercumaan yang bisa berakhir dengan radikalisme, penjara, kecelakaan lalu lintas, sakit jantung/stroke/liver/OD, rusaknya rumah tangga, atau kemiskinan, supaya aku bisa tetap berfungsi dengan baik secara sosial dan dianggap normal untuk beberapa waktu. Tapi tidak ada kecanduan yang baik. Kecanduan adalah amplifikasi kenikmatan yang tinggal sedikit, supaya banyak, tapi seperti hutang dengan rentenir: berbunga-bunga dan ketika aku tak bisa bayar, semua orang akan ikut menanggungnya, bukan cuma aku.

Ketika segala yang bisa kau lakukan tak mampu menyembuhkanku, dan aku berakhir gila atau mati (entah bunuh diri, entah kecelakaan, atau kematian tak wajar lainnya), kau bisa menyalahkan diri sendiri atas ketidakmampuanmu merawatku, atau kau bisa menyalahkan aku karena begitu egoisnya merepotkanmu dan banyak orang. Yang pertama, menyalahkan dirimu, bisa membuatmu depresi; yang kedua bisa membuatmu membenci orang gila/mati, dendam kesumat, menganggapku tidak bersyukur karena dengan segala kemampuanku, segala rizkiku, aku memilih gila atau mati. Kau tidak akan mau mendengar alasanku–mau itu altruistik demi kau dan peradaban, mau itu egoistik, atau spiritualistik, kau akan menanggapku jahat. Maka di kitab-kitab suci, orang bunuh diri punya tempat khusus di antara akhirat dan kehidupan, kaum precariat yang tersiksa abadi. Sebesar itulah kebencianmu nanti padaku atas kegagalanmu mencegah kegagalanku. Sampai akhirnya kau ikut depresi dan mati bersamaku, atau kau membangun egomu lagi, melanjutkan hidup, dan melupakan bagian buruk dari hidupku yang membuat hidupmu ikut buruk.

Image result for suicide gif

Lalu apa yang harusnya kau lakukan ketika aku depresi? Diam? Menemani sambil mendengar? Melayani dan memanjakanku seakan-akan aku sapi wagyu yang akan disembelih? Memusuhiku untuk mencegah kau ikut depresi? Mempercayai tindakanku yang tidak masuk akal? Memaksaku ke psikolog/RSJ untuk ditahan dan dirawat sebelum aku menyakiti diriku sendiri dan orang lain?

Saranku yang sedang depresi ini padamu yang merasa sedang sehat, kau berusahalah jadi orang yang berbahagia dan ceritakan kebahagiaanmu padaku. Jadilah orang ambisius, dan ceritakan perjuangan yang sedang kau lakukan, impianmu, rencanamu meraihnya. Buatkan aku harapan bahwa dunia itu baik, positif, dan umat manusia takkan bunuh diri dengan kebodohan dan depresinya. Buat aku yang sedang depresi ini punya peran dalam perjuanganmu–minimal sebagai pendengar lebih baik kalau ada proyek bareng. Jangan pikirkan depresiku, dengarkan saja ceritaku–itu cukup membantu asal kau tidak terbawa. Buat hal-hal seru denganku. Gunakan aku sampai aku mati, entah dalam waktu dekat, atau dalam waktu yang masih lama. Siapa tahu, kau yang bahagia mati duluan kan, lalu kalau aku masih depresi aku akan menyusulmu dengan bahagia pula, atau kalau aku sehat aku akan melanjutkan perjuanganmu.

Jangan ikut depresi. Jadilah keren, bantu dirimu sendiri maka kau akan membantuku. Seperti apapun akhirnya nanti.

Image result for anthony bourdain gif

Eksistensialisme, Ethnography, Perlawanan, Politik, Puisi, Racauan

3329

Kau anggap tak berdaya
tuk berkuasa
kami tak paham kata
kau telah rampas semua

Kami tak punya peta
namun tidak buta
kau pancang tanah mulia
kau telah rampas semua

O, kebebasan
kau paksakan
kau jejalkan

Kau datang bagai Nabi
mengaku suci
tapi engkau pencuri
kau telah rampas semua

Tradisi harus mati
demi rezeki
kau didik anak kami
tuk ikut rampas semua

O, kebebasan
kau paksakan
kebablasan

Negara punya semua penguasa
Agama harus Tuhan yang esa
Negara punya semua penguasa
Agama harus Tuhantuhantu

manokwari