Alam, Cinta, Eksistensialisme, Puisi, Uncategorized

Muazin

Dia memandang langit mendung dan kerinduan merundung
pada apa-apa di kegelapan, ketika waktu jadi lautan
ia terbawa jauh ke tengah, gelegak air asin masuk ke dada
tenggelam hingga pasrah, lalu mengambang tak berdaya

Bintang itu adalah rumahnya,
sebuah pulau di angkasa raya
di sana, ia lihat bapaknya, bercahaya,
tak tergapai, sinar yang sampai
sudah lama selesai

Suara adzan menggema semesta
menyambut kefanaan,
tak pernah habis
shalat tak pernah didirikan
Muazin terus bersenandung

Kidung sapaan Tuhan
hantu berjalan terbalik
likur garis angkasa
kasar mengabur
mengubur
buram
ramal
malam

Musafir yang selalu berikhtiar
adalah kafir bagi mereka
yang memuja dan melupa
bahwa hidup yang sementara
tak hanya untuk berdoa
tapi juga untuk bekerja
dan bersukaria

 

 

Moral Bengkok, Prosa, Uncategorized

Markus

Ketika D di kamar mandi, sahabatku Markus menelpon. Ia bilang ia butuh bantuanku, ingin curhat. Ya, aku memang gudang curhat kawan-kawanku, baik lelaki atau perempuan. Aku suka mendengarkan dan aku tak suka menasihati, aku lebih suka bertanya dan membiarkan kawan curhat menemukan sendiri jawabannya, atau tersesat lebih jauh. Aku tidak terlalu peduli, toh hidup-hidup mereka.

Tapi soal Markus, aku harus perduli. Sejak mahasiswa dulu, ia sahabat yang paling melankolis, sering coba-coba bunuh diri karena putus cinta. Plus, aku berdosa pada Markus. Aku merasa bersalah.

D keluar dari kamar mandi, wangi semerbak dan dadanya membuncah dibalik handuk putih.

“Siapa tadi?” tanyanya. “Muka lo kayak orang panik, pacar ya?”

“Kan pacar gue, elo.” Jawabku santai, melempar HP ke sofa di dekat tempat tidur. Ia harum sekali, langsung kupeluk lagi untuk babak entah ke berapa.

“Arrghhh! Gue baru mandiii!!” Tanganku bergerak menginvasi titik-titik strategis, ia tertawa sambil menggelinjang. Tubuh kembali telanjang.

“Gue harus pulang…” katanya setengah mendesah.

“Tenang aja, nggak ada yang nungguin lo di rumah.” kataku dengan pasti.

“Tahu dari mana lo?”

Mulutku sudah penuh payudaranya, tidak bisa menjawab apa-apa lagi.

***

Markus lelaki cengeng, pengecut. Ia tak pernah menang berkelahi karena ia tak pernah melawan. Sejak Mahasiswa, ia selalu menghindari masalah. Tak pernah ikut demonstrasi, tak pernah ikut aktivisime. Tidak populer. Kami cuma kebetulan satu kosan, kamarnya di depan kamarku, lebih dari 20 tahun yang lalu. Dan ia gampang menangis ketika cintanya ditolak, atau ketika dia diputuskan perempuan setelah beberapa hari pacaran.

Kami bertemu terakhir sekitar empat bulan lalu, ketika reuni akbar almamater kami. Markus nampak menyedihkan hari itu, bajunya kemeja lusuh yang agak kekecilan karena perut buncitnya, celana bahan yang juga lusuh. Ia nampak bahagia sekaligus miris bertemu denganku, orang yang seumuran dengannya, namun terlihat 10 tahun lebih muda dari dia.

“Lu udah punya anak, Bem?” Tanyanya basa-basi.

“Belom. Nikah aja belom.”

“Bisa ya lo nggak berubah gini dari kuliah. Masih playboy lo?”

Playman, dude. Playman. Haha.”

Semalaman itu Markus bicara denganku namun ia tidak bisa berhenti melirik bininya, dengan gaun berwarna merah, tubuh semampai, kulit putih halus. Bini Markus paling bersinar diantara tamu-tamu malam itu. Dia tiga tahun di bawah kami, satu kampus namun beda jurusan, anak manajemen. Ketika melihat istrinya bicara pada orang lain, ada rasa takut memancar di mata Markus. Ketika istrinya melirik, Markus menghela nafas.

loring dinersCR

Tapi malam itu, tidak ada sedikit pun rasa takut di mata Markus. Kami bertemu di sebuah bar blues di Jakarta Pusat, dan aku seperti bertemu orang lain. Markus berpakaian parlente, dengan kemeja bermerk mahal model baru, kancing atas terbuka, kalung emas, celana jeans dengan ikat pinggang berkepala elang, sepatu kulit buaya yang harganya kukisar puluhan juta, jam tangan rolex emas, dan batu akik di jari tengah, berlian di jari kelingking. Yang agak mengejutkan, perutnya agak meramping dan dia sedikit berotot. Kelihatan dia sudah workout banyak, semenjak kami terakhir bertemu.

“Gile, baru berapa bulan nggak ketemu. Kemaren bapak-bapak salting, kenapa sekarang model om senang gini lo, Kus?” Tanyaku kagum.

“Yah, kayak katalo,” jawab Markus. “Gue mau nikmatin hidup aja, Bem. Count my blessings.

“Kus, umur lo 42, bukan 24. Kalo mau gaya harusnya dari umur 24. Dan kalo boleh gue saranin, jangan pake gaya waktu umurlo 24 di tahun ini.”

Markus ikut tertawa bersamaku. “Ah, Bem, bentar lagi lo bakal kaget deh, ini gaya bisa dapet apa. ” katanya.

“Maksudlo?”

“Bentar, pesen minum dulu, gue traktir.”

Ketika dua gelas bir sampai bersama dengan sepiring nachos, Markus tanpa ragu meminum habis gelasnya dan memesan lagi.

“Haus, Kus?”

“Biar gampang ceritanya, roller coaster niih…”

Dan dimulailah narasi roller coaster Markus.

***

Markus lelaki yang lurus, bukan hanya secara seksual tapi juga secara filsafat hidup. Lulus kuliah ia bekerja jadi jongos di konsultan investasi, dan hari ini ia menjadi direktur di perusahaan yang sama. Ia menikah dengan gadis yang waktu itu masih mahasiswi, si gaun merah tadi. Aku tahu dari kawan-kawan kalau si gaun merah adalah anak bos Markus. Lagi-lagi si Markus cari aman. Tapi dia lelaki beruntung, dapat istri cantik, kaya pula. Dua anaknya kini tinggal di Amerika bersama kakek-nenek mereka, karena sekolah di Indonesia dinilai kurang baik. Aku tak tahu banyak tentang anak-anak Markus, ia cerita tapi aku lupa. Tidak penting.

Tapi menikah dengan perempuan cantik, anak orang kaya yang kebetulan bosnya, punya konsekuensi yang berat. Markus merasa kehilangan kelaki-lakiannya. Ia tinggal di rumah yang diberikan mertuanya, hidup berdasarkan dikte mertua dan istrinya. Ia selalu dirundung rasa takut, bukan takut kehilangan tapi takut dimarahi, takut dihukum oleh mertua atau istrinya. Ia merasa dihardik. Ketika anak-anaknya belum usia sekolah, Markus tidak bekerja tapi digaji. Ia tinggal di rumah, mengasuh anak-anaknya karena istrinya tidak ingin orang asing membesarkan anak-anak mereka sampai usia sekolah,

“Enam tahun pertama adalah masa krusial, Mey. Mereka harus sama orang tua kandungnya.” kata Markus memperagakan gaya bininya. Mey adalah panggilan sayang bininya untuk dia.

“Kurang cewek apa gue, Bem? Dipanggil Meymey.” pertanyaan retorik Markus padaku.

Selama Markus menjaga anak-anak, bininya kuliah S2 fashion business di Singapura, pulang seminggu sekali. Kini bininya itu punya galeri kain di Kemang.

Ketika anak-anak mulai sekolah SD di Amerika, bininya sempat menyuruh Markus ikut ke Amerika.

“Aku kan punya galeri di sini, nanti aku ke sana sebulan sekali,” kata bininya.

Markus sempat tinggal di Amerika setahun, namun mertuanya merasa Markus tidak bakat jadi warga internasional karena di sana ia sering sakit perut–tidak cocok dengan makanan Amerika. Maka itu Markus disuruh pulang untuk mengurus perusahaan keluarga saja, konsultan investasi itu.

Kembali ke Jakarta, artinya kembali ke haribaan bininya. Dari mulut singa, ke mulut buaya, ke mulut singa lagi. Markus stress. Kehidupan berjalan dengan sangat monoton, toh, kantor tempat ia bekerja pun adalah usaha keluarga yang tidak perlu banyak diurus karena sudah berjalan dengan sendirinya sebagai perusahaan cangkang saja dari proyek-proyek besar mertuanya. Markus mengisi hari-harinya di kantor dengan marah-marah pada anak buah dan browsing video porno.

Sampai ia bertemu denganku empat bulan yang lalu.

Markus bilang, ia iri sekali denganku. Aku terlihat bahagia, bebas. Ia iri dengan penampilanku, yang cuma kaos dan jeans. Ia iri dengan perutku yang belum buncit. Ia iri dengan gaya hidupku yang seperti bebas tanggung jawab. Ketika aku cerita soal pekerjaanku, ia tambah iri.

“Enak banget sih lo, kerjaan cuma jalan-jalan, motret, nulis, gajilo dollar, bujangan pula.” komentarnya lebih terdengar miris daripada sinis.

Malam reuni itu, ketika bini Markus sedang sibuk bergaul dengan kawan-kawan seangkatan Markus yang dia kenal, aku bilang pada Markus bahwa tak ada yang terlambat.

“Lo direktur, Kus. Gajilo pasti lebih gede daripada gaji gue. Mertualo jagain anak-anaklo. Binilo cantik setengah mati. Count your blessing, Man!

Kami berbincang tak banyak. Aku banyak bertanya padanya soal berkah hidupnya, kami berhitung. Markus usia 42, life begins at 40 kata pepatah lama. Maka kubilang pada Markus, kalau ia masih balita. Tenang saja. Aku coba bertanya soal kehidupan seksnya, dia jawab dia sudah enam tahun tidak tidur dengan istrinya, dan lebih banyak masturbasi. Jujur aku heran, apa yang membuat Markus menjadi pria yang menyedihkan (atau merasa menyedihkan) dengan hidup semacam itu. Aku tanya apa dia pernah selingkuh, dan dia jawab tidak pernah dan tidak mau. Panjang pembicaraan kami dalam waktu yang singkat itu, tentunya dengan interupsi beberapa kawan lama, tapi cuma basa-basi. Kebetulan geng kosan kami waktu mahasiswa tidak ada yang datang. Kami jadi cukup terasing berdua. Obrolan kututup dengan sebuah saran, “Coba lo cari konteks hiduplo. Kayaknya lo miserable karena gak paham kesempatan-kesempatan di hiduplo. Lo terlalu cari aman, Kus!”

Setelah itu, bini si Markus yang seksi datang menghampir kami dan mengajak Markus pulang. Markus menurut seperti anjing pudel. Markus enam tahun tidak tidur dengan dia, perempuan secantik itu! Markus pasti sudah gila!

Empat bulan kemudian, di bar Markus cerita, sepulang dari reuni, ia bertengkar hebat dengan bininya. Pertengkaran hebat pertama dalam 15 tahun pernikahan mereka. Pasalnya sederhana. Istrinya berkelakar bahwa ia kaget ia masih populer di antara kawan-kawan lamanya. Beberapa lelaki masih menggodanya, padahal mereka sudah beristri. Markus berkomentar ringan setengah bercanda, soal gaun merah yang belahan dadanya meruah, “Yah, dadamu dipamerkan begitu.”

Spontan bini Markus mulai membombardir Markus dengan makian, “Kamu seksis,” dan lain-lain. Entah kenapa malam itu, katanya setelah bertemu denganku, Markus jadi punya energi untuk melawan argumen istrinya. Ujung-ujungnya ia tetap kalah, ketika istrinya bilang, “Tanpa aku dan papi, kamu bukan apa-apa.”

“Tapi, Bem, malam itu gue nggak sakit hati!” katanya berapi-api setelah gelas ketiga. “Gue minta maaf sama dia, sok-sok-an nyesal, tapi itu akting aja. Gue langsung merasa bahwa itu titik balik gue.”

Malam itu Markus tidak tidur, tapi bukan karena galau. Dia merencanakan sesuatu, suatu niat jahat yang sudah terbesit di pikirannya beberapa tahun belakangan ini tapi tak pernah ia laksanakan. Biasanya ia jalan ke kantor jam 8 atau jam 9, tapi hari itu jam 5:30 pagi ia sudah mandi, dan bersiap. Hari itu ia pakai setelan jasnya yang paling bagus, ia berdandan rapih. Di cermin ia bilang, “Hari ini adalah hari gue!”

Hari itu, dia niat membuat akun Tinder, dan menyatakan bahwa dia bu-jang-an.

Ia sampai ke kantor jam 6:15, satpam belum ganti shift. Ia masuk ke ruangannya dan segera membuka komputer, dan membuat akun tinder. Ketika sedang mengisi formulir online, ia melihat orang kedua yang masuk kantor dan ia terkesima: seorang gadis magang sudah lebih dulu ada di kantornya, sebelum anak-anak buahnya. Namanya Clarissa, 21 tahun. Gadis itu datang begitu pagi dan menyiapkan kopi dan persediaan di dapur kantor. Markus mengambil nafas, membatalkan tinder-nya, berdiri dari mejanya, menuju dapur kantor, dan memulai dengan kalimat pertama yang sedikit gemetar, “Boleh saya minta satu sachet kopi?”

Clarissa sudah magang hampir sebulan, tapi itu adalah saat pertama pak direktur bicara padanya. Gadis itu salah tingkah, dan merobek satu box sachet kopi, membuat isinya berjatuhan. Mereka membersihkannya bersama-sama, dan Clarissa membuatkan secangkir kopi untuk bosnya.

“Waktu itu, Bem, yang gue pikirin  WWBD! What Would Bemby Do! Hahaha…” Markus tertawa sambil melempar butiran kacang ke mulutnya. Kacang complimentary, yang kami santap setelah nacho habis. Shit, aku jadi ingat, sejak dulu aku curiga Markus gay, karena sering mengikutiku kemana-mana dan memperhatikan gerak-gerikku. Mengutipku di depan kawan-kawannya—yang juga kawan-kawanku. Memalukan. Tapi sekarang aku sadar, Markus adalah Plato si tukang catat, dan aku adalah Sokratesnya.

Markus cerita bahwa semasa di kosan dulu, aku adalah orang yang paling sering bicara soal perempuan dan cinta-cintaan. Dia cerita, dulu waktu dia PDKT dengan bininya yang masih mahasiswi, ia menggunakan trik dariku. Triknya bernama, “Take it Slow and Let it Flow.” Dan sumpah, aku sendiri lupa pernah bicara macam itu pada anak-anak kosan.

Hari pertama itu, Markus bicara dengan Clarissa satu kali. Hari berikutnya dua kali. Minggu berikutnya tiga kali. Minggu ketiga, mereka lunch bareng. Dan bulan pertama itu, Markus menjadi mentor Clarissa, mendengarkan gadis itu bicara ngalor-ngidul soal bisnis dan investasi, serta cita-citanya. Memberikan sedikit kritik dan nasihat pada ide-idenya. Ia menjadi “om yang baik” untuk si gadis.

Beberapa karyawan tentunya sudah mulai omong belakang dan bergosip, apalagi karena Clarissa memang cantik, muda, dan mau disuruh-suruh. Sebagai anak magang, ia termasuk telaten. Namun gosip-gosip itu hanya berakhir sebagai bercandaan karena hubungan Clarissa dan bosnya cukup “umum.” Bicara seadanya di saat makan siang, atau di dapur ketika coffee break. Lagipula semenjak Markus sering bicara dengan Clarissa, ia jadi sering juga bicara dengan karyawannya, sering bercanda. Kantor jadi kurang tekanan karena mood bos selalu bagus.

Bulan pertama itu juga dipakai Markus untuk mengurus tubuhnya. Ia mulai sering fitness tiap pulang kerja, massage di akhir pekan. Memanjakan dirinya. Mengontrol makanannya. Ia juga jadi suka bersolek, belanja jam, dasi, kemeja, jas, sepatu. Semua hal yang, menurut Markus, harusnya dilakukan bininya.

Bulan kedua, adalah saat terakhir si gadis magang di kantor. Dan hari itulah Markus memberanikan diri mengajak Clarissa makan malam. Tanpa ragu Clarissa mengiyakan. Mereka makan malam di sebuah restoran mewah di atap hotel berbintang. Clarissa merasa agak kedinginan karena malam berangin, dan Markus memberikan jasnya untuk dipakai saat makan. Take it slow, let it flow, jadi mantera Markus di dalam hati. Ia sama sekali tidak bicara tentang maksud tersembunyinya: meniduri Clarissa. Ia bahkan berkali-kali membuang mata ketika insting heteroseksualnya melirik dada, atau bibir atau mata gadis itu. Markus cuma mendengarkan rencana-rencana Clarissa, lalu berjanji akan mereferensikan gadis itu ke kantor lain yang lebih bonafid.

“Aku sebenarnya seneng banget lho, kalo bisa kerja di kantor bapak. Udah biasa aja.” Kata gadis itu sambil meminum teh hangatnya setelah main course selesai mereka makan.

“Kalo lo nggak bakat akting, Kus, jujur aja. Berbagi pengalaman dan penyesalan sama tuh cewek.” kataku yang masih mahasiswa tahun terakhir pada Markus di tangga kosan ketika dia baru ditolak cewek, dua puluh tahun yang lalu. Maka hari itu di makan malam perpisahan, dia jujur pada Clarissa.

“Percaya deh, saya  belasan tahun kerja di situ dan saya muak.” Markus bicara soal kantornya yang perlahan-lahan jadi perusahaan cangkang mertuanya, hingga kehidupan perkawinannya yang hambar. Semua mengalir begitu saja, karena selama dua bulan ini, selalu Markus yang mendengarkan Clarissa. Malam itu, gantian, Clarissa dengan mata berkaca-kaca mendengarkan Markus.

“Cewek suka drama, Kus. Jadi lo jangan bohong, tapi kisahlo harus dramatis. Kalo lo pernah punya trauma, kasih elemen kecil gitu. Kayak diputusin abis nonton bioskop, terus lo pulang naik bis, ganti jadi pulang jalan kaki, ujan-ujan!”, kata Markus mengingat-ingat nasihatku zaman kuliah. Dengan cara itulah ia bercerita pada Clarissa.

Maka Markus tiba-tiba jadi bapak yang baik, yang terpisah dari dua anaknya. Markus jadi lelaki heroik, feminis yang tidak menuntut banyak dari istrinya dan memberikan istrinya banyak ruang untuk berkarir. Markus jadi menantu yang baik, yang membesarkan perusahaan mertuanya, membiayai orang tuanya dan keluarganya. Dan Markus menjadi korban keadaan, dimana istrinya yang berdigdaya tidak peduli lagi padanya, anak-anaknya direnggut, dan ia kesepian.

Di tengah cerita tanpa sadar Markus menangis. Di akhir cerita, tangan Markus dan Clarissa sudah bergenggaman. Clarissa pun menangis.

Di situ, Markus lupa bahwa drama yang ia ciptakan adalah bumbu belaka. Pikiran Markus berubah, dan bumbu menyatu dengan masakan, imajinasi jadi memori, dan memori jadi kenyataan. Markus adalah Pahlawan tragedi dalam kisah hidupnya yang selama ini ia anggap datar dan biasa saja.

Jam sudah hampir menunjukkan pukul sebelas malam. Markus menawarkan mengantar Clarissa pulang. Markus membayar makanan dan mereka berjalan berdua menuju elevator. Mereka berdua diam di elevator, agak menjaga jarak. Seorang pegawai hotel ada di dalam bersama mereka, untuk menekan tombol ke lantai mana mereka hendak turun.

“Basement, P2,” kata Markus.

“Lobby, Mas.” Kata Clarissa. Mereka berpandang-pandangan. Clarissa mengambil tangan Markus, menggenggamnya. Jantung Markus berdegup keras. Mereka turun di Lobby dan menuju resepsionis. Clarissa bertanya pada resepsionis apa ada kamar kosong. Resepsionis bilang ada. Clarissa mengeluarkan KTP dan credit card. Markus mengeluarkan dompet, tapi Clarissa menahannya. Tanpa bicara, Markus mengembalikan dompetnya ke dalam saku.

Jantung Markus semakin menggebu. Selain karena ini pertama kali ia check in di hotel dengan perempuan selain istrinya, ini juga pertama kalinya Markus melihat Clarissa bukan sebagai seorang gadis yang lebih muda dua puluh tahun dibanding dia, tapi sebagai perempuan dewasa.

Malam itu mereka bercinta untuk pertama kalinya, dan Markus, si balita berusia 42 tahun, langsung menjadi remaja.

Dua bulan sudah Markus dan Clarissa berhubungan, begitu panas, begitu bergelora. Seks yang kaku menjadi semakin menyenangkan, semakin menggebu. Mereka semakin hafal lekuk tubuh masing-masing, kontur bibir masing-masing, titik-titik peka di tubuh. Dan Clarissa tidak takut bereksperimen macam-macam. Markus pun jadi semakin pemberani. Markus adalah murid, dan Clarissa, gadis berusia 21 tahun itu, membuka Ipadnya dan memperlihatkan Markus dunia yang baru: segala video dan teknik macam-macam. Kama Sutra for Millenials. Pertama kali dalam hidupnya Markus merasa menjadi laki-laki.

Dan malam itu Markus bicara denganku untuk memantapkan sebuah niat, ia akan menceraikan bininya dan menikahi Clarissa.

***

“Konsekuensinya lo siap? Lo bisa miskin lho, Kus. Bokapnya bisa dendam sama elo, dan elo bisa nggak punya karir.” Kataku.

“Gue udah siapin semuanya, Bem. Gue udah tarik semua tabungan gue, dan tabungan gue banyak. Gue nggak hobi belanja bertahun-tahun. Gue juga banyak investasi di sana sini, gimana juga kita kan anak ekonomi, nggak mungkinlah gue pasrah makan duit mertua tanpa usaha,” Markus nampak begitu yakin.

“Lo yakin si Clarissa ini nggak bakalan kayak binilo? Dia cantik, berpendidikan, dan kalo dia bayarin hotel bintang lima buat pertama kali ML sama elo, artinya dia anak orang kaya juga. Lo yakin keluarganya mau nerima elo?” Seperti biasa, begitu orang curhat, aku akan bertanya banyak.

Markus punya segala rencana yang sudah ia pikirkan sejak pagi pertama ia melihat Clarissa tertidur di sampingnya. Ia akan memakai semua tabungannya untuk membiayai ide-ide usaha Clarissa, membangun bisnis dengan perempuan yang ia cinta. Untuk mencegah mertuanya balas dendam ia akan lakukan dua hal: mengajak bininya cerai dengan damai, dan memakai senjata rahasianya: ia telah mengcopy semua dokumen kantor yang sensitif, mengandung informasi tender dan proyek-proyek pembangunan dan investasi yang penuh korupsi. Kalau ia mau, ia bisa menjebloskan mertuanya ke penjara, membuat bininya bangkrut. Ia punya bargaining position yang tinggi.

“Emang lo udah ngelamar Clarissa? Yakin dia mau sama elo?”

Markus bilang, ini semua ide Clarissa. Clarissa adalah anak broken home, ia hampir tidak pernah bertemu orang tuanya beberapa tahun belakangan ini, dan kedua orang tuanya sudah punya keluarga sendiri-sendiri. Mereka takkan ikut campur kehidupan gadis itu.

“Kalo lo udah yakin, ngapain lo butuh gue?” kataku sambil tertawa kecil.

“Tanya gue lagi dong, apaan kek.” Kata Markus. “Gue takut gue terlalu yakin, Bem. Lo kan kritis.”

Kubilang pada Markus, kalau ia sudah yakin, kalau ia sudah sangat percaya bahwa Clarissa bukan perempuan yang hanya akan menguras duitnya, kalau dalam waktu dua bulan ia sudah merasa mengenal perempuan itu luar dalam, silahkan hajar.

“Tapi gue ingetin aja, cinta gak bakal bertahan. Coba lu inget, sama binilo dari lo PDKT sampe punya anak dua, ada cinta nggak di situ? Habis nggak?” tanyaku. “Darimana lo yakin kalo lo dan Clarissa nggak bakal abis. Lo pacaran sama bini lo nggak sebulan dua bulan kan?”

“Setahun, sih.”

“Nah! Setahun aja akhirnya begini, gimana dua bulan? Terus anak-anaklo gimana? Lo rela nggak ketemu lagi?”

Markus tertawa. “Jadi ini sebabnya lo nggak kawin-kawin, Bem!”

Aku menghela nafas, “Yep. This is exactly why.”

“Soal anak gue, mungkin itu juga kenapa gue mau nikah sama Clarissa. Gue pengen punya anak yang anak gue, Bem. Bukan anak mertua gue, yang bisa diambil dan dilempar-lempar seenak jidat mereka. Gue dan Clarissa udah ngerencanain semuanya. Kita akan punya anak setelah usaha kita kebangun.”

“Hokeh…” kataku. “Udah yakin? Udah dipikir mateng-mateng, jalanin aja.”

“Gue di sini mau bilang makasih sama elo, Bem. Kalo nggak gara-gara ketemu lo lagi, inget-inget masa-masa kuliah dulu, gue nggak bakal pernah ngerasa sebahagia ini.” Markus tersenyum lebar. Handphonenya berdering, nadanya sebuah lagu yang sering diputar hari-hari terakhir ini, Coldplay, I want something just like this. Up to date, for your date!

“Bentar Bem, Clarissa nih.”

Ia beranjak dari tempat duduk, berjalan sendirian ke arah panggung blues yang semenjak kami datang memang kosong tak terisi. Tidak ada pertunjukkan malam itu, dan semesta seperti kompak menyuruhku mendengarkan curhatan Markus. Markus tertawa-tawa, tersenyum-senyum bahagia. Sesekali ia berdansa memutar badannya yang masih gemuk tapi sudah sedikit berotot. Nikmatilah kebahagiaan itu selama masih bisa, Kus. Sudah terlalu lama kau galau.

Aku menghabiskan bir keduaku. Jam sudah lewat jam tengah malam. Aku mengacungkan jari minta tanda pembayaran. Pelayan datang dengan nampan berisi bon, Markus yang masih menelepon segera menerjang, melemparkan dompetnya. “Ambil kartu American Express gue!”

Aku mengambil kartu kreditnya dan menyerahkan ke pelayan.

“Pizza apa ayam? Deket sini masih ada chicken wings buka 24 jam.” Kata Markus pada Clarissa di telepon. “Oke, chicken wings. Bentar lagi aku sampe, paling setengah jam. Bye. Love you too.

Markus mematikan HP, melihat padaku sambil tersenyum lalu menandatangani bon. Memasukkan kembali kartu ke dalam dompet, dan dompet ke saku celana.

“Gue cabut, Bem.” katanya.

“Wuih, lo udah tinggal bareng dia juga?” tanyaku sebagai penutup.

“Udah dua minggu gue tinggal di apartemennya. Abis nikah kita akan cari kondo.” kebanggaan tersirat di nada bicaranya.

“Awas lho, ntar encok kebanyakan sama anak kecil gitu, dasar pedofil.” kataku, bercanda.

“Anjinglo, Bem. Hahaha. Gini-nih becanda jaman kosan! Haha, setan.” oh, ini yang dia maksud bercanda jaman kosan. Shit.

“Oke, Bem. Gue cabut, mumpung baru tipsy jadi masih bisa beli ayam.” Markus menyalamiku, lalu memelukku erat, seperti saudara lama yang baru bertemu. “Oh iya, untung gue inget. Satu hal yang gue harus bilang ke elo, gue menyempurnakan teori lo.”

“Oh ya?”

“Ya! Take it slow, let it flow… but when you’re in the flow, go with the stream!

“Alah, nggak berima! Haha.”

“Yang penting maknanya, Bem! Jangan kebanyakan slow dan flow, harus berani terjun. Gue terjun bebas buat Clarissa, dan gue rela nerima apapun yang terjadi nanti. Karena hari ini, semua penderitaan gue, semua kesepian, nggak bikin gue nyesel. Gue puas! Dan gue berani buat hidup! Lo juga harus berani, bro. Loncat ke arusnya, terjun ke jurang air terjun! Cari bini! Byee!”

Dan dengan teriakan itu, Markus keluar dari pintu Bar.

Terjun. Terakhir kali aku terjun, aku mati. Berkali-kali mati karena perempuan yang sama, yang namanya bahkan terlalu perih untuk disebut. Aku sudah lupa wajahnya, hanya rasanya. Entah sudah berapa lama. Tapi aku seangkatan Markus, aku pun masih balita. Mungkinkah kalau aku terjun hari ini, aku lebih siap?

Aku ambil HP-ku, lalu kutelpon D.

“Belum tidur, D?” tanyaku,

“Belum, masih di kantor. Ada event besok.” Jawabnya. Suaranya berat, jazzy, seksi. “Ini ketiga kalinya lo telfon gue. Katanya, lu nggak bakal nelfon cewek lebih dari dua kali.”

“Elo pengecualian, kan pacar gue.” kataku menggoda.

“Jangan bilang sesuatu yang lo nggak niat, Bem.” Tiba-tiba dia serius.

Okay, Bem. Take it slow, let it flow.

“Besok jam berapa pameran? Gue boleh dateng? Gue motret dan nulis deh buat elo.”

Wow, my pleasure. Datang aja. Tapi bener, ya nulis.”

“Iya, your gallery will be on the first page of the lifestyle and tourism section of the NYFM. Haha.”

“Okay, ketemu besok ya. Sorry, gue harus ngeliatin orang masang exhibit nih. Suka nggak beres vendornya.”

“Okay. Tapi gue boleh request nggak?”

“Apa?”

“Besok lo pake gaun merah, yang belahannya kebuka. Yang lo pake waktu pertama kali kita ketemu.”

“Welll.. gue jarang pake baju yang sama sih kalau trendnya udah lewat, but for you dear, I will feed your hunger.

“Nice. Bye, D.”

“Bye.”

 

Filsafat, Politik, Racauan, Uncategorized

September Tak Beradab

Civilization bukan hanya berarti peradaban, tapi juga lebih dalam lagi, ia berarti “membuat orang jadi beradab.”

Apa itu adab? Menurut KBBI artinya “kehalusan dan kebaikan budi pekerti; kesopanan; akhlak:”

Sejarah membuktikan bahwa Civilization, per-adab-an, dibentuk oleh dua institusi besar: Agama dan Negara. Negara lahir ketika Agama berkembang menjadi kelompok-kelompok yang berbeda, yang saling bersaing dan berkonflik, sehingga dibutuhkan kekuatan besar lain yang bisa menengahi konflik tersebut. Per-adab-an adalah masalah ada atau tidaknya pihak ketiga, wasit, sang Leviathan, dalam sebuah pertarungan politik.

Sang Leviathan mensponsori kekerasan untuk menundukan konflik politik. Perdamaian seringkali didapatkan dari opresi berbagai bentuk hasrat kuasa dalam masyarakat. Di masa Orde Baru, termin yang terkenal adalah SARA, Konfik kepentingan harus ditekan oleh satu kepentingan besar, kepentingan negara.

Sejalan dengan opresi negara untuk membuat perdamaian, ideological state apparatus juga berjalan melalui pendidikan. Inilah yang hari ini jadi masalah besar di Indonesia. Pendidikan yang diberikan pada masa orde baru, menuai bencana: ketika informasi bocor kemana-mana, negara masih sibuk untuk menyangkal sejarah yang senyata-nyatanya BOHONG BESAR. Salah satu dari banyak kebohongan itu adalah fitnah terhadap orang-orang yang dituduh PKI. Main tuduh Komunis menjadi budaya yang inheren di masyarakat menengah bawah, yang sudah terdidik untuk menjadi tidak beradab (De-civilize).

Dengan kata lain, negara Indonesia sejauh ini tidak berhasil, malahan memperparah peradabannya sendiri. Ketidakberadaban dapat dilihat dari mudahnya orang terprovokasi, mudahnya massa digerakan oleh sesuatu yang abstrak dan tidak bersifat material/nyata, seperti ketika agamanya tercoreng. Orang tidak bergerak ketika diopresi, ketika haknya diambil, tapi cepat naik pitam ketika agamanya atau pemuka agamanya dihina. Orang cepat marah dan manut ketika hantu masa lalu (Baca: PKI), menggerayangi layar handphonenya.

Maka tingkat kekerasan tidak kunjung turun. Hukum positif negara sering selingkuh dengan kekuatan politik akar rumput. Hari ini melarang diskusi sejarah, besoknya melindungi orang-orang yang sudah terjebak oleh massa otak tumpul yang kemarin difasilitasi polisi. Kan absurd?

Yang paling menyebalkan, ini isu basi yang selalu ditiupkan menjelang September, semenjak Jokowi naik. Biasanya isu ini punya agenda lain di bawahnya, sedang ada teater lain yang dimainkan secara sembunyi-sembunyi, entah itu misi pembangunan, atau taktik manipulasi politik. Saya tidak sedang berteori konspirasi; saya hanya melihat sebuah pola. Saya dan kalian akan terkejut ketika Oktober datang, membawa sebuah berita buruk yang sebenarnya bisa dicegah kalau kita tidak terlalu sibuk melindungi diri September ini dari fitnah-fitnah keji hasil Wawasan Wiyata Mandala dan P4.

Kembali ke soal per-adab-an. Presiden kita hari ini dulu disukai karena ‘kurang beradab’ sebagai presiden. Melanggar protokoler, menjadi ‘pejabat yang berbeda.’ Tapi setahun belakangan ini, kita melihat ketidakberadabannya semakin menjadi-jadi. Seperti lawan politiknya, ia sekarang tidak malu-malu ketika menjilat kiri-kanan-atas-bawah. Pendukungnya pasti selalu bisa mengambil hikmah bahwa presiden sedang berjuang untuk menggolkan misi politiknya–apapun itu–dengan menjilat ludahnya sendiri. Yang anti-presiden tidak punya banyak argumen lain selain kebencian akut, dan kekesalan karena presiden yang dulu difitnah sebagai komunis, hari ini jadi anti-komunis. Capek kan mencari bahan fitnahan baru.

Sementara itu, masyarakat yang tidak beradab dibuat semakin tidak beradab. Karena Negara bahkan seperti tidak ada niat sama sekali untuk melindungi Demokrasi, tidak ada niat untuk mengukuhkan nilai, ketika LBH, sebuah lembaga yang netral dan salah satu elemen terpenting demokrasi, dinafikan dengan mudahnya. Ketidakberadaban dikasih makan dengan plin-plannya.

Betapa mengecewakan. September hampir berakhir, linimasa masih akan penuh bahasan merah. Sepertih darah Jendral, yang cuma ada di filmnya Arifin.

Film, Kurasi/Kritik, Uncategorized

Millenial Menghadapi Zaman Gila

Ini film art yang cukup seru dengan kebermainannya. Pacing editingnya asik banget pula, dan sederhana. Itu yang paling gue suka, kesederhanaannya. Tapi dibalik kesederhanaan itu banyak banget referensi-referensi yang bisa digali, dari pallette warna terang tahunjn 80an, terus adegan-adegan khas Holy Mountain-nya Jodorovsky dan Andy Warhol.

Sabi bet. The video will speak for itself.