Anthropology, Ethnography, Film, Filsafat, Gender, Racauan

Ibu Kita Lonte, Lalu Mau Apa? Kajian Legenda Kelam Malin Kundang dan Pangku untuk Indonesia

Disclaimer: Tulisan ini mengandung spoiler.

Pengantar untuk yang malas baca atau terlalu sibuk bekerja

Kita mulai kisah ini dengan fiksi bertema ekofeminisme:

Sejak zaman kolonial, ibu pertiwi kita, Indonesia, dianggap lonte. Ia dieksploitasi habis-habisan lewat kolonialisme yang membawa industrialisasi dan modernitas ke tanah ini, memperbudak anak-anaknya, anak-anak lonte, nenek moyang kita. Ketika kita merdeka, anak-anak pertama ibu, penggagas kemerdekaan, berniat menaikkan harkat martabat ibu kita dengan mengatur sendiri bagaimana harusnya ibu kita melonte: memilih pelanggan yang mana untuk ibu, supaya keluarga kita bisa hidup lebih layak. Mas Nono adalah nama kakak kita yang menjadi pemimpin keluarga, ketika bapak kolonial kita sudah kabur ke negaranya.

Pergumulan kekuasaan antara adik-kakak, dengan dukungan beberapa pelanggan ibu yang kebapakan dengan ideologinya masing-masing, membuat saudara bunuh saudara, saling menggulingkan, saling fitnah untuk kekuasaan: anak lelaki mana yang bisa menguasai dan mengatur bagaimana ibu kita melonte, siapa saudara yang dapat lebih banyak uang dari tubuh ibu. Pada akhirnya Mas Nono lengser dan diambil alih oleh Mas Toto. Mas Toto berkuasa 32 tahun untuk menjadi mucikari Ibu. Mas Toto membayangkan ibu yang terhormat dengan propaganda “ibuisme negara”, dan memaksa anak-anak perempuan ibu untuk melonte hanya untuk suaminya—terlepas suaminya toksik atau diam-diam menjual istrinya demi bisnis, istri/ ibu yang baik menjaga rahasia opresi rapat-rapat, kata Mas Toto. 32 tahun kemudian anak-anak ibu bertengkar lagi, karena ibu kelelahan kerja dan tidak ada uang masuk. Anak-anak kelaparan dan lagi-lagi kekuasaan bergulir, minta tolong tetangga, minta tolong menir IMF untuk bayar hutang, nyonya World Bank untuk menolong keluarga lonte yang anaknya banyak dan entah bapak yang mana yang mau tanggung jawab.

Ibu sering lelah dan tak bisa kerja, atau kadang marah sampai menangis dan mengamuk karena anak-anaknya yang durhaka. Ketika itu terjadi, air mata ibu menjelma tsunami dan banjir bandang, kemarahan ibu menjelma gunung meletus, kebakaran hutan, dan gempa bumi. Anak-anak ibu yang paling bungsulah korbannya–termasuk adik-adik mereka yang masih dalam kandungan ibu yang terpaksa diaborsi. Anak-anak korban amarah ibu adalah yang tinggal paling dekat dengan ibu, dan sering disuruh kakak-kakaknya untuk melihat ibu diperkosa. Lalu kakak-kakak yang hidup akan mengubur adik-adik yang mati dekat ibu. Ada yang mengubur dengan menangis dan tersedu-sedu dan rindu dendam; ada juga yang mengubur karena takut sama ibu, tapi sebenarnya tidak peduli. Kakak yang tak peduli itulah yang sesungguhnya menunggu dirinya dewasa untuk bisa bersetubuh dengan ibu, seperti bapak-bapak yang membayarnya sebagai mucikari.

Tapi ada juga kalanya, anak-anak Ibu sayang sama Ibu. Ibu dilihat apa adanya, ibu dirawat, adik-adik dirawat, rumah dirawat, dibersihkan dan direnovasi di mana yang perlu. Tidak sembarang robohkan dan ganti seenaknya. Tubuh ibu dimandikan air kembang, ibu dimasakkan makanan enak, dan ibu bangga pada anak-anaknya yang nilai sekolahnya bagus. Dipuji tetangga bahkan sampai bisa merantau ke luar negeri. Anak-anak ini mengasuh dan mengayomi adik-adik kita yang muda dan bodoh, berusaha untuk membuat kerja Ibu semakin ringan. Sayangnya, anak-anak baik ibu semakin hari semakin sedikit–karena rumah tangga kita terpengaruh oleh kebijakan kampung global. Perang antar rumah tangga, dan bapak-bapak di rumah tetangga yang suka jajan di rumah kita, membuat anak-anak ibu yang paling jahat, seringkali berkuasa di rumah kita ini. Dan siklus kehancuran kembali dimulai.

Legenda Kelam Malin Kundang (LKMK) dan Pangku, adalah dua film Indonesia tahuh ini yang bicara soal Ibu yang Lonte. Ibu kita semua, orang Indonesia, orang terjajah. Kedua film punya dua tokoh ibu lonte di dunia yang berbeda. Pengantar untuk orang malas ini adalah buat mereka yang tidak punya daya baca, atau tidak punya waktu. Tapi jika sedang niat baca dan ada waktu, jika kalian telusuri blog ini, berikut yang akan kalian temukan: 

Di bagian pertama, Tentang Dua Film, saya akan menjelaskan kenapa saya memilih dua film ini, yang dibuat oleh sutradara rintisan, dalam ekologi film Indonesia hari ini yang menguasai 65% pasar film di negara kita. Film-film ini dibuat oleh sutradara-sutradara lelaki yang paham isu gender, berpikiran kritis, dan didukung oleh filmmaker dan kru yang paling mutakhir di Indonesia. Dan kesamaan kedua film ini secara tematis, membuat saya terdorong sekali untuk menulis kajian komparasi soal keduanya.

Di bagian kedua, Citra Tubuh Perempuan, saya menjelaskan bahwa nilai moral di masyarakat, ditentukan dari bagaimana masyarakatnya memaknai tubuh perempuan atau yang feminin (termasuk di dalamnya alam). Semakin parah pemaknaan terhadap tubuh perempuan, maka semakin jatuh moral sebuah masyarakat: parah artinya tubuh perempuan dianggap bukan tubuh manusia yang punya keinginan, punya kecerdasan, dan bisa mengambil keputusan sendiri. Kedua film melihat tubuh perempuan dengan cara berbeda, dan para perempuan mengambil keputusan dengan cara berbeda. Apa implikasinya? Silakan baca sendiri. 

Di bagian ketiga, saya bicara tentang Anak Lelaki Pelacur dalam Superstruktur Minang dan Pantura. Saya melihat kedua film digarap dengan baik, beberapa kru adalah orang lokal yang mengerti budayanya, atau melibatkan orang lokal sebagai bagian dari riset. Di sini saya akan menjabarkan bagaimana kedua film mempresentasikan moda produksi kebudayaan dalam memaknai pelacuran. Satu film melihat dari sudut pandang feminis radikal, dimana pelacuran adalah eksploitasi; film lain melihat dari sudut pandang feminis materialisme, dimana pelacuran adalah kerja buruh. Ini menghasilkan status berbeda pada anak lelakinya: yang pertama adalah anak pelacur tanpa status; yang kedua adalah anak kampung yang punya jejaring. 

Di bagian keempat, saya bicara soal Politik Estetika yang dipakai kedua film. Film pertama memakai impressionisme horor, untuk menyelami pikiran individu dan memberikan ketakutan dari dalam diri. Film kedua memakai realisme sosial untuk memaparkan relasi sosial dan memberikan ketakutan dari luar: negara, kapitalisme, pemerintah yang sama sekali tidak berperan kecuali merepotkan mereka yang kerja keras. Politik estetika bergerak dalam penentuan distribusi estetis: apa yang boleh dan tidak boleh di lihat, siapa yang boleh membuat dan boleh menontonnya, dan lain-lain. Saya berargumen bahwa kedua film memiliki rezim estetikanya sendiri, tapi sedang terancam oleh usaha negara yang buta fim tapi haus kepentingan untuk membuat kebijakan “membantu film Indonesia.” yang hendak memaksakan rezimnya (lagi) dalam film Indonesia–sesuatu yang kita semua harus waspadai.

Di setiap akhir halaman, saya akan kasih tombol “traktir yang nulis kopi,” buat yang ingin kasih saya bantuan reimbursement kopi-kopi sekeliling Yogyakarta selama JAFF 2025, yang habis buat bikin tulisan panjang ini–hanya untuk mereka yang sedang kelebihan rejeki dan tidak diteror pinjol tiap bulan. Selamat membaca!

Klik di sini untuk menuju halaman berikutnya: Tentang Dua Film.

Daftar Isi

Kontributor, Moral Bengkok, Prosa

Simbok

Semua orang yang tinggal di Jalan Kaki Lima, Desa Sukasari, Kecamatan Setiabudi, memanggil penjual nasi uduk/kunung di depan pos kamling dengan sebutan ‘Simbok’. Nama panggilan tersebut telah begitu saja menjadi identitasnya sehingga semua orang tak sadar bahwa itu bukan nama aslinya. Bahkan Pak RT saja, orang yang mengurus dokumen kepindahan Simbok dua tahun lalu, lupa bahwa Simbok punya nama asli. Simbok, bagaimanapun, tak keberatan dipanggil apa pun selama kehidupannya damai sentosa.

Selain menjual nasi uduk/kuning standard berisi tempe orek, telur dadar suwir dan bihun, Simbok juga menjual lauk lain. Seperti, telur rebus dan tongkol balado, serta ayam kecap dan ayam sambal padang. Gerainya di depan pos kamling sederhana, yaitu hanya terdiri dari meja untuk menaruh wadah lauk dan kursi untuk menaruh termos nasi. Jam buka gerai dimulai dari pukul 6 lewat sedikit sampai pukul 8.30. Tapi, jika kau baru datang pada pukul 8, kau mungkin hanya bisa membeli sisa lauknya atau bahkan sudah kehabisan kalau kau sedang kurang beruntung.

Warung Simbok begitu laris. Bukan hanya karena rasanya enak, tapi harganya juga murah meriah serta porsinya besar. Sungguh surga, terutama bagi para pemuda-pemudi indekos yang banyak tinggal di daerah itu. Sekarang tahun 2017, tapi dengan harga 6 ribu rupiah kau sudah bisa menambah satu butir telur atau ikan tongkol balado ke dalam nasi udukmu. Jika kau membeli seharga 8 ribu, kau bisa menambahnya lagi dengan satu ayam, atau dua jika hanya ayam yang kau beli.

Semua orang yang baru pertama kali makan di warung Simbok terkejut mengetahui harga dan melihat betapa dermawannya porsi nasi uduk/kuning yang mereka terima. Beberapa orang khawatir kalau-kalau Simbok tak akan dapat untung. Meskipun ukuran paha dan sayap ayam Simbok terbilang kecil, penjual lain menghargai sebungkus nasi uduk berisi tempe orek/bihun/telur suwir dan telur balado mereka minimal 8 ribu. Saking terlalu murahnya, ada juga yang mempertanyakan kwalitas ayam yang Simbok gunakan. Meski begitu, investigasi lebih lanjut tak dilakukan. Pembeli yang merasa sangsi itu pernah menemukan sehelai rambut di ayam kecap Simbok. Ia simpulkan, kurangnya kebersihan adalah penyebab harganya yang murah. Dan selayaknya penghuni indekos bokek, ia tak keberatan karena toh ia bisa membuang rambut itu.

Rumah Simbok berada di Gang Hamsad I yang ada di sebrang pos kamling. Letaknya tak terlalu dalam, mungkin hanya 80 meter dari pintu gang. Karena itu, ia tak kesulitan meskipun setiap pagi bulak-balik membawa dagangannya ke depan pos kamling sendirian.

Aktivitas Simbok pada umumnya adalah pergi ke pasar pukul 19.00 dan kembali ke rumahnya pada pukul 21.30. Kemudian, ia mencuci bersih ayam, merebus telur sambil menyiapkan bumbu, setelah itu mencuci muka, berganti pakaian, dan tidur. Pukul 2.30, ia bangun dan mulai memasak. Lalu, ia pergi ke pos kamling pada pukul 5.40, memasang gerai dan menata dagangannya. Ia akan pulang ke rumahnya pukul 9.00 setelah membenahi kembali gerainya dan menyapu jalan tempatnya berjualan. Selain saat berdagang dan belanja ke pasar, Simbok selalu berada di dalam rumahnya dan hanya sesekali terlihat saat menyapu di teras.

Apa saja kegiatan Simbok di rumahnya? Biasanya, ia akan menghabiskan waktunya menonton televisi di sofa sampai ketiduran. Atau lebih tepatnya, tiduran di sofa dengan televisi menyala. Tapi, tiga bulan lalu ia mulai terobsesi dengan drama Korea setelah berkenalan dengan seorang mahasiswa yang tinggal di kosan sebrang rumahnya. Sejak saat itu, waktu bersantainya pun jadi terasa lebih hidup dan mendebarkan. Ia bahkan membeli sebuah laptop untuk mendukung hobi barunya. Mahasiswa itu yang juga membantu memilihkannya.

Drama Korea pertama Simbok adalah The Heirs, dan ia segera jatuh hati pada Lee Min-ho karenanya. Baru-baru ini, ia mengubah meja konsul di dalam kamarnya menjadi altar berisi foto-foto aktor muda tampan itu. Sudah ada lima judul drama Korea yang ia selesaikan. Minggu ini, ia sedang dalam proses menonton yang keenam, drama berjudul Goblin.

Drama Korea jelas berpengaruh pada kesejahterasaan batinnya. Khususnya hari ini, mood Simbok yang baik membuat ia memberi ekstra ayam pada setiap orang yang belanja sebanyak sepuluh ribu. Mereka mungkin bisa menyisihkan sebagian lauknya untuk makan siang. Jualannya pun habis sebelum pukul 8.30. Tapi, saat Simbok sedang berbenah, seorang perempuan paro baya datang. Seketika mata mereka bertemu, Simbok membeku dan di wajahnya muncul kengerian.


Tatapan perempuan paro baya itu kejam, dan caciannya untuk Simbok seperti udara dingin yang menusuk. Simbok masih hanya diam seperti orang yang nyawanya menghilang, tapi keributan yang perempuan paro baya itu buat menarik perhatian orang-orang di sekitar. Tak butuh waktu lama hingga orang-orang mulai berkumpul untuk menonton mereka.


Ada yang berusaha menghentikan perempuan tak dikenal itu, tak tega melihat Simbok yang tubuhnya seperti tiba-tiba menyusut menyedihkan. Tapi, pada akhirnya mereka tak bisa berbuat apa-apa.


“Kalian harus tahu dari siapa kalian membeli sarapan kalian! Dia pembunuh! Dia membunuh anak dan suaminya sendiri!”


Pengumuman mengejutkan itu mengubah suasana menjadi canggung. Keheningan mencekam pun perlahan menelusup. Kini semua mata tertuju pada Simbok. Ada yang menatapnya takut dan curiga, tapi ada juga yang hanya ingin tahu. Mungkin tak ingin cepat-cepat menghakimi.


Simbok masih bungkam, tapi matanya yang beberapa detik lalu tanpa kehidupan tiba-tiba berkilat ngeri, diikuti dengan sebuah senyum aneh yang muncul di wajahnya. Pemandangan yang membuat bulu kuduk berdiri dan membawa keresahan di hati.

“Kau pikir kau bisa hidup damai dan memulai kembali? Apa yang membuatmu berpikir kau pantas?”
Suara tajam perempuan itu yang akhirnya memecah keheningan. Ia tampaknya belum puas meluapkan perasaannya dan tak menunjukan tanda-tanda akan segera berhenti. Tapi, seseorang yang bukan penduduk setempat menyelinap di antara kerumunan dan menariknya pergi. Tentu saja perempuan itu berontak. Sekuat tenaga ia mencoba melepaskan diri sambil tak henti-hentinya meneriaki lelaki yang menyeretnya.

Sepuluh menit kemudian, dua orang asing itu pergi, meninggalkan warga dengan mulut ternganga. Sementara itu, Simbok mulai kembali pada pekerjaannya yang tertunda. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya, serta tak sekalipun ia membalas tatapan ingin tahu orang-orang. Ia bersikap seolah tak ada yang terjadi. Tapi, keesokan harinya Simbok tak muncul untuk berjualan. Pun di hari berikutnya dan berikutnya.
Di belakang Simbok, tak hanya keributan tempo hari yang jadi topik pembicaraan, tapi rumor mengenai dirinya yang ternyata mantan narapidana pun mulai menyebar seperti wabah.

Rupanya, bertahun-tahun lalu ia sungguh membunuh dua anaknya yang masih balita. Simbok tak membunuh suaminya seperti yang dikatakan perempuan itu, tapi suaminya mati bunuh diri.
Simbok membayar kejahatannya di dalam penjara dalam waktu lama. Lima tahun lalu, ia akhirnya bebas. Meski begitu, dendam masa lalu tak mau melepas ia begitu saja. Perempuan yang tempo hari datang adalah adik suaminya, orang yang tak akan pernah memaafkannya.


Menurut desas-desus, Simbok kehilangan akal setelah mengetahui suaminya selingkuh. Ia lantas membunuh anak-anaknya untuk menghukum suaminya. Ia sudah mencoba bunuh diri untuk menyusul anak-anaknya, tapi gagal. Gosip lain mengatakan, Simbok bergabung dengan sebuah sekte sesat yang memuja setan, dan ia memberikan anak-anaknya sebagai persembahan. Gosip lainnya, kehidupan sebagai ibu rumah tangga yang mendorong Simbok pada kegilaan. Apa pun alasannya, membunuh anak sendiri tetap keji.
Simbok bukannya tak mengetahui itu. Hanya saja, keseruan drama Korea yang dua bulan belakangan menghiburnya membuat ia lupa akan siapa dirinya.

Tapi, di dalam kegelapan kamarnya yang sudah beberapa hari ini tak ia tinggalkan, ia kembali ingat. Apa yang dulu terjadi bermain di dalam kepalanya seperti film yang pemeran utamanya adalah dirinya.
Sambil menonton dirinya sendiri, Simbok menatap wajah Lee Min-ho di altar, yang ketampanannya telah menghipnotis dan menjadikannya tak tahu malu. Simbok pun bangkit dan berjalan mendekati altar. Setelah tersenyum pada Lee Min-ho, ia membuka lemari pakaian dan mengambil sebuah kain. Ia lantas menarik kursi, mengikat salah satu ujung kain pada pipa gantung bekas menghubungkan kipas angin ke plafon, lalu mengikatkan ujung lainnya sehingga membentuk celah yang cukup untuk kepalanya masuk.

Ia berpikir, apa yang selanjutnya mesti ia lakukan? Mungkin sudah saatnya ia pindah tempat tinggal lagi sebagaimana yang biasa ia lakukan setiap kali ia ditemukan oleh mantan adik iparnya. Tapi, orang sepertinya memang tak pantas memulai kehidupan baru. Kalau begitu, daripada susah payah melarikan diri, bukankah lebih baik sekalian saja ia pergi meninggalkan dunia?

Dari sudut matanya, Simbok bisa melihat senyum Lee Min-ho yang memesona. Dengan senyum di wajah, ia pun menendang kursi tempatnya berpijak.


Sakit yang tak tertahankan membuat tangan Simbok susah payah mencari pegangan untuk hidup. Sudah jadi insting manusia untuk menyelamatkan diri saat berhadapan dengan kematian sekalipun itu adalah pilihannya sendiri. Tapi, ia sudah kepalang menyebrangi jembatan maut. Ia tak bisa kembali.

Tok. Tok. Tok.

“Mbok?”
Di tengah pergulatannya dengan maut, tiba-tiba Simbok mendengar pintu rumahnya diketuk. Ia masih dapat mengenali suara yang memanggilnya itu. Itu milik mahasiswa yang mengenalkannya drama Korea. Mungkin ia datang untuk memberikan drama baru.

Tok. Tok.

“Simbok? Mbok ada di dalam?”

Simbok mulai merasa seolah ia sedang melayang, dan suara di depan rumahnya terdengar makin jauh. Saat Simbok merasa tubuhnya makin ringan dan yakin ia sudah sampai pada kematian, tiba-tiba ia terlempar ke lantai.

BUK!

Kain yang menggantungnya terlepas dari pipa, mengalirkan udara ke dalam dadanya yang beberapa detik lalu hampir meledak.

Sesaat setelah Simbok jatuh, pintu digedor.

Duk. Duk. Duk.
“Mbok? Simbok?!”
Duk. Duk. Duk.
“Mbok baik-baik saja?! Mbok!”

Simbok yang terkulai di lantai dengan nafas tersengal dan batuk di sela-selanya, terlalu lemah untuk dapat menjawab.
Air mengalir dari sudut matanya dan perasaan malu menyeruak di dalam hatinya. Diam-diam ia bersyukur telah gagal mati.

***

Terima kasih sudah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan. Jika kamu suka yang kamu baca dan ingin mendukung penulisnya atau website ini silahkan di share. Jika kamu ingin membantu patungan bayar domain dan server website ini, silahkan klik tombol traktir kopi di bawah ini.

Filsafat, Politik, Racauan

Radikal Bahas Radikal

Dari semua agama di dunia, ada satu agama yang hari ini paling ditakuti sama banyak orang termasuk penganutnya sendiri. Ini agama parah banget parnonya, dikit-dikit harus dibela, orang radikalnya galak-galak, rumah ibadah agama lain ditutup atau dilarang-larang dibikin, simbol agama lain dirusak, gak boleh dibikin bahkan yang menyerupai di jalan, kuburan yang beda agama ga boleh disatuin sama kuburan orang seagamanya, kalo demo teriak-teriak bakar, bunuh, ekstrim banget, terus kalo milih pemimpin harus yang seagama dengan dia bodo amat sama track record atau apapun, agama itu adalah agamaaa….

Kristen di Amerika! Buddha di Myanmar! Dan di Indonesia…, Wota. Bisa sampe ga mandi dan cuci tangan setahun setelah event handshake kan ya. Itu dulu sebelom pandemi. Sekarang agak kangen gue sama Wota. Eniwei, tulisan ini mau bahas soal radikalisme agama.

Kita bahas dulu dah dua poin, pertama radikalisme, kedua agama. Radikalisme itu ga buruk atau baik. Kita butuh radikalisme dalam banyak konteks yang urgen. Soal lingkungan, atau soal gender misalnya. Dan semua yang radikal pastinya punya aktivisnya sendiri-sendiri. Radikal berarti berkoar banyak, kekeuh, keras, dan seringkali maksa. Ini paham hadir karena perasaan terpojok, urgen, kepepet, mangkanya dirasa harus dilakukan.

Tindakan-tindakannya bisa dari demo keras-keras rame-rame, sampe tindakan vandal. Kayak Greenpeace bawa lumpur dari lapindo ke kantor Bakrie terus dilempar aje ke situ. Masalah dari gerakan ini adalah, mereka seringkali, demi media massa dan berita, melakukan pertunjukkan yang merugikan orang kecil. Emang dipikir siapa yang berbenah ngepel kantor Bakrie yang dilempar lumpur? Yang jelas bukan mamang rahang itu. OB yang kena megap-megap ngepel capek. Mending kalo ditambahin lembur, boro-boro.

Feminis radikal juga ngerasa kepepet dengan urgensi kayak UU PKS misalnya. Terus ya mereka bikin kampanye-kampanye, diskusi-diskusi, konser dll. Efek buruknya sih menurut gue ya: bias kelas. Coba lo ajak pembokatlo nonton punk cewek-cewek underground, kek mereka ngerti bae. Plus suka ada masalah sama radikal yang laen, radikal agama konservatif.

Tapi kita mah nggak ya, negara kita maju. Toleran! Progresif! Nggak ada yang make-make agama buat pilpres, nggak ada. Kerjanya baik terus membangun kan, infrastruktur bagus-bagus. Jalanan tingkat-tingkat, MRT, LRT, Pak RT, bu RT, semua lengkap lah ya. Nggak ada masalah!

HAM juga beres, semua cinta polisi dan tentara. Apalagi tentaranya doyan sama buku. Eh, kalian ga tau? Tentara kita paling demen sama buku, makanya dibakar-bakar. Nggak tau kan kalian, itu abunya dibawa pulang ke rumah, dicampur air terus diminum biar apal Das Kapital, Manifesto Komunis, dan Di Bawah Lentera Merah.

Ngaku siapa di sini yang waktu ujian nasional bakar buku pelajaran terus minum abunya? Hayo! Siapa di sini yang dateng subuh-subuh ke kelas buat ujian masuk PTN terus nyebar-nyebar tanah kuburan nenek moyang? Beneran tahu itu beneran bisa bikin lo tembus masuk UI. UI men! Kampus terbaik di Indonesia, kata anak UI. Itulah sebabnya waktu gue di UI, ada mahasiswa S3 yang percaya kalo Hitler itu Muslim dan missing link evolusi karena campur tangan alien. Eh serius! True story! Lo bisa tanya ke departemen antrop UI, lulus tuh orang S3!

Keren banget sih sebenernya radikalisme agama ini. Mereka suka banget pamer Tuhan siapa yang paling kuat.

Duh… agama, dari jaman Adam paling sering bikin ribut. Lagian Qabil ada-ada aja sih, ngapain nawarin buah-buahan ke Tuhan coba, dia pikir Tuhan itu Vegan? Kayak Habil dong mengorbankan daging kambing muda. Dari kapan tahu juga Tuhan sukanya dikasih daging. Kambing kek, anak sendiri kek kayak Ibrahim. Yang penting daging. Dari Dewi Hera jaman Herkules, dewa-dewa di Inca dan Maya, sampe Yahweh nya Yahudi yah mintanya daging. Dasar vegan-vegan ini! Mosok tuhan dipaksa jadi frutarian! Gila kalian, vegan! Atheis busuk kalian!

Kaum radikal ini… haduh kaum radikal ini. Gue sih bebas-bebas aja mereka mo radikal apa, cuman gue suka heran mereka suka bawa-bawa anak kalo demo. Ga demo agama, ga demo pilpres, ga demo feminis, ada aja bocah yang ikutan gitu. Ngakunya sih mengajarkan anak tentang agama dan ideologi sejak dini, tapi gue ga nemuin tuh bedanya antara aktivis yang bawa anak demo sama aktivis anti vaksin yang ga mau vaksin anaknya. Well, mungkin bedanya ada sih, kayak aktivis anti vaksin dari awal pilih kasih. Anjingnya divaksin, anaknya kagak. Lebih sayang sama anjing dan kucingnya mereka.

Agama itu, kayak kata pepatah lama, kayak dildo. Boleh dikasih tau ke orang-orang seberapa gedenya dildo lo, seberapa perkasanya vibratornya, tapi jangan dipamerin di muka umum dan jangan dicekokin ke bocah lah! Apalagi dibikin radikal! Sekarang agama kurang kepepet apa sih? Kurang penganut? kaga. Bakal bikin kiamat karena global warming? Kaga.

Agama seinget gue ada untuk membela, bukan buat dibela. Agama dulu bela kaum tertindas, membebaskan budak, membela perempuan jadi bayi perempuan ga dikubur hidup-hidup jaman jahiliah. Sekarang agama minta dibela. Terus mereka bela lingkungan kaga, bela perempuan kaga, bela capres? HOOOOO…. CAPRES! Jadi Pilih nomor 10 ya semuanya! DILDO!

***

Maaf ya kalau ada salah kata, semoga saya tidak kamu kategorikan sebagai Penista. Kalau kamu suka dengan tulisan ini dan mau website ini tetap jalan, boleh traktir saya kopi melalui tombol di bawah ini atau scan gopay code saya. Website ini hanya jalan lewat sumbangan, dan kontenya selalu gratis, karena saya maunya inklusif. Thanks.

Film, Kurasi/Kritik

5 Pelajaran Penting dari Film Selesai

Kalau kamu nonton film cuma ceritanya saja, tulisan ini mungkin bukan buat kamu. Tapi kalau kamu mau belajar untuk mengerti film lebih dari sekedar cerita, yuk terus baca.

To the point saja, film Selesai penting untuk belajar soal bikin film jelek, dan tidak penting untuk ada. Ini peringatan buat semua filmmaker pemula di Indonesia, yang ambil keuntungan besar dari bikin film jelek.

Apa itu film jelek: film jelek adalah film yang melanggar janjinya. Janji di iklan adalah film drama perselingkuhan untuk masyarakat banyak, namun yang disajikan adalah film yang merendahkan perempuan dan penderita sakit mental, dibuat dengan teknik yang sangat buruk, untuk keuntungan sebesar-besarnya. Film jelek adalah produk gagal yang menipu orang dengan iklannya.

Film jelek harus kita catat di sejarah sebagai hal yang harus diwaspadai, karena menyangkut martabat bangsa kita dan menghina kecerdasan penonton. Berikut lima pelajaran yang bisa kita petik dari film Selesai.

1. Awas asap hazer membuat set film seperti kebakaran.

Dari awal film, ketika kita dibawa bergerak ke kamar dua karakter, saya merasa terbawa ke rumah yang sedang kebakaran. Adegan tanpa suara yang didahului alarm menambah kuat kesan bahwa settingnya mungkin ada di rumah dekat dengan lokasi pembakaran hutan buat buka lahan sawit. Saya sempat berpikir, mungkin ini adalah film Dandy Laksono soal polusi akibat korporasi. Ternyata yang terbakar adalah pantat Gading Marten (if you know what I mean).

Di project Omnibus Q MondiBlanc, sutradara pemula Adinegoro Natsir awalnya ingin menggunakan hazer untuk membuat efek golden hour di film pendek berjudul Mithera. Tapi setelah menonton film ini, niat itu dibatalkan. Secara lighting film Selesai tidak punya logika waktu. Kita tidak tahu apakah shotnya siang, sore, atau pagi, karena cahayanya tidak konsisten. Kita jadi banyak belajar tentang apa yang seharusnya tidak kita lakukan di set. Terima kasih dr. Tompi.

2. Awas script dan art jelek tidak bisa diselamatkan aktor hebat.

Skin tone hilang, baju nyaru dengan background.

Naskah yang jelek biasanya bisa diperbaiki oleh aktor yang hebat. Aktor-aktor di film ini jelas hebat, dan ini bukan sarkas. Ariel Tatum sebagai Ayu membawa emosi yang berat di dalam karakternya, Gading sebagai Broto rela digoblok-goblokin ibu dan istrinya. Tapi kalau secara struktur dan logika sudah kacau, para aktor hebat ini kerja sia-sia. Emosi yang terbangun hancur sudah, dengan, misalnya, kedatangan selingkuhan (Anya Geraldine) ke rumah Broto (Gading Marten) di akhir film, padahal sejak awal film, rumahnya disegel gubernur karena lockdown COVID. Rumah disegel ketika lock down juga baru di film ini saja terjadinya. Epik.

Dan siapa production designer/wardrobe yang bikin baju aktor complementary color dengan setnya (orange, coklat)? Kamu mau aktor kamu jadi bunglon? Udah gitu digrading warm pula jadi banyak shot skin tone aktor hilang sama sekali. Dia pikir perawatan kulit aktornya murah? Kalo gue jadi producer sih, itu production designer sama colorist gue potong gajinya buat nombok skin tone aktor mahal yang hilang.

3. Awas lampu syuting bocor di film realis.

Bertold Brecht mengajarkan kita untuk mengasingkan penonton dengan cara meyakinkan penonton bahwa yang mereka lihat adalah sebuah drama di panggung. Dia sengaja kasih lihat lampu panggung bocor biar penonton fokus pada repertoir yang dibawakan, dan nggak terbawa dalam drama emosi di dalam pentas. Film Selesai sementara itu membiarkan lampu terlihat membias di kaca sebelah kanan atas shot wide. Dan adegan ini sampai masuk ke trailer juga. Saya pikir ini sengaja, tapi kok nggak konsisten? Deadpool aja konsisten suka ngomong sama penonton. Anyway, mungkin ini ga salah. Sutradara mungkin cuma mau bilang bahwa ini semua main-main dan mahal. Kok gitu? Karena dia bisa. Sementara kita menderita karena bingung lihat ini film apaan, berantakan amat bikinnya.

4. Awas kalau banyak teriakan, sound tidak boleh off peak.

Banyak sutradara atau aktor yang kurang berpengalaman berpikir bahwa kalau berantem dan marah-marah itu harus teriak-teriak. Yang kasihan ketika aktor teriak-teriak di set film, adalah sound recordist dan sound designer karena mereka denger semua suara teriakan itu langsung dari clip on aktor atau boom mic ke kuping mereka. Dalam beberapa kasus, sound recordist bahkan bisa mendengar suara pipis, berak, atau telpon perselingkuhan aktor yang lupa mematikan clip on sambil jalan-jalan pas break. #truestory.

Nah, waktu teriak-teriak, jika sound recordist tidak memastikan bahwa settingan clip on di bawah normal, dia akan mendapatkan apa yang disebut suara off peak, atau suara pecah karena mic tidak mampu merekam teriakan. Suara pecah ini sulit sekali untuk diedit (bahkan dalam beberapa kasus, hampir tidak mungkin). Dalam film Selesai, selesai sudah kualitas suaranya. Banyak suara pertengkaran off peak, dan berusaha diperbaiki dengan mengecilkan gain/volume di post production, tapi tidak dibalancing dengan baik hingga ketika bicara normal, suaranya kecil banget. Biasanya kejadian ini karena boom operator atau recordist yang disuruh ngerekam bukanlah profesional. Untuk film bertiket 38 ribu, soundnya sampah.

5. Awas tidak peka sosial politik.

Masalah film Selesai yang paling parah adalah ketidak-pekaan terhadap isu sosial dan politik yang ia bawakan. Film adalah alat propaganda paling kuat. Film membentuk bagaimana cara masyarakat berpikir, memaknai hidupnya, dan memaknai hidup orang lain. Selesai adalah satu lagi film Indonesia yang bukan cuma masa bodo, tapi juga memperparah permasalahan sosial di negeri kita.

Pertama, adalah stereotipe dan merendahkan perempuan. Di sini, plotnya sangat misoginis. Empat tokoh perempuan, semuanya kalau tidak gila, binal, goblok atau ketiganya. Ayu masik RSJ, ibu Sepuh ingin anaknya tidak cerai walau sudah saling selingkuh, Anya pelakor dan tidak suka pakai celana dalam, dan si pembantu ditipu pacarnya yang supir yang mencuri uangnya. Lelaki bisa selingkuh dan aman. Perempuan selingkuh bisa gila. Pembantu jadi bucin, duit diambil lelakinya, stereotipenya parah banget. Dan ini adalah representasi yang dihadirkan ketika Harvey Weinstein sudah dipenjara dan Hollywood dan Disney punya kebijakan supaya peran perempuan, ras, dan minoritas lebih banyak hadir di film box office. Film misoginis Selesai ini juga hadir ketika kita punya krisis: RUU PKS belum juga diresmikan, dan pelecehan seksual sering terjadi di set film. Sementara kampanye film ini lebih kenceng daripada kampanye pelecehan seksual. Bener-bener keterlaluan!

Kedua, ketidakpekaan terhadap isu mental health. Gejala delusi dan halusinasi Ayu sama sekali tidak didasarkan riset soal kesehatan mental yang benar. Dia bukan hanya diselingkuhi, dijebak, ditolak, tapi juga dibuat tidak sadar, dicekoki obat (yang ia lepeh di akhir film mungkin untuk membuat sequel). Obatnya tidak jelas apa, di kursi roda entah kenapa. Mungkin film ini bukan realisme, bukan komedi, bukan drama, bukan juga eksperimen. Mungkin film ini hanya bermain-main saja. Tapi permainan semacam ini punya implikasi serius untuk masyarakat. Dan ini sudah terjadi berulang-ulang di film Indonesia.

Dua contoh film lain adalah Antologi Rasa yang melanggengkan budaya perkosaan (lihat Aditya, 2019), dan Tilik yang melanggengkan stereotipe ibu-ibu penggosip dan perempuan muda perebut laki orang (lihat Darmawan, 2020). Kedua film ini punya plot misoginis dan stereotipe, tapi dibuat dengan baik. Sementara Selesai, plotnya merendagkan perempuan dan penyakit mental, dan dibuat dengan sembarangan. Ini menggandakan hinaan terhadap otak penonton Indonesia.

Ini juga berarti, filmmaker Indonesia banyak yang belum sadar betapa kuat dan pentingnya film untuk kebudayaan. Kebebasan bikin film tidak disertai pertanggungjawaban, sehingga plot dibuat semena-mena. Padahal jelas, film propaganda orde Baru seperti Pengkhianatan G 30 S, telah melahirkan ketakutan, paranoid, dan kebencian berkepanjangan terhadap komunisme. Atau film-film horor yang membuat orang-orang kampung sebagai antagonis yang bodoh dan klenik telah membuat gap antara desa-kota semakin menjadi-jadi. Film-film semacam ini adalah musuh bangsa ini, jika bangsa kita mau maju.

Kritik terhadap film macam Selesai ini harus gahar, keras, dan berkepanjangan, supaya film-film yang memarginalkan perempuan dan kesehatan mental semacam ini tidak dibuat lagi. Cukup terjadi tahun 80-90an saja ada film kayak gini, di zaman ketika Warkop DKI sudah tidak bisa melucu selain dengan cara pegang-pegang pantat Kiki Fatmala. Yang boleh membuat film macam ini hari ini cuma sutradara macam Amer Bersaudara yang jenius itu: mereka konsisten, cerdas, bertanggung jawab dan pecinta lingkungan karena mendaur ulang sampah semacam Film Selesai.

***

Terima kasih sudah baca tulisan ini sampai habis. Website ini jalan dari sumbangan. Kalau kamu suka sama yang kamu baca, boleh traktir kopi buat yang nulis biar dia bisa bayar hosting dan domain website ini, dan tetap semangat menulis. Klik tombol di bawah ini.

.