Politik, Racauan

Kita Semua Intoleran!

Sebenernya apa sih, toleransi dan intoleransi? Toleransi berasal dari kata toleran. Menurut KBBI, toleran adalah “bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri”.

Sesungguhnya definisi KBBI ini kurang tepat. Dalam bahasa Inggris di Kamus Besar Miriam Webster, arti kata toleransi lebih luas lagi. Ada 4 artinya. Pertama, dan yang paling penting, “kemampuan untuk menanggung sakit dan kesusahan” ; kedua “simpati atau mendukung kepercayaan yang berbeda dengan dirinya sendiri atau tindakan mengijinkan sesuatu yang berbeda”–ini mirip KBBI; ketiga, “sikap memperbolehkan sesuatu melenceng dari standar”; ke empat, “kapasitas tubuh untuk bertahan terhadap obat atau racun” atau “jumlah pestisida yang dapat dikonsumsi di dalam makanan.”

KBBI, dan bahasa Indonesia memang selalu berusaha menyederhanakan banyak hal, dan ini jadi masalah. MASALAH BESAR.

Intoleransi menjadi peyorasi, orang tersinggung dibilang intoleran. Toleransi menjadi pujian, dan terus menerus didengungkan. Dua hal oposisi biner, yang jadi sederhana sekali, seperti baik-jahat, atau muslim-kafir.

Padahal kerumitan toleransi ini bisa dijelaskan secara sederhana. Semua orang pada dasarnya toleran dan intoleran. Toleran dan intoleran itu seperti dua kutub, dimana kita, manusia, memiliki kadarnya masing-masing tergantung pengalaman dan pengetahuan kita.

Umpamakan orang yang alergi pada udang. Artinya tingkat toleransinya pada udang sangat kecil. Makan udang, dia langsung bengkak. Ada lagi lactose intolerant, atau tidak toleran pada susu. Minum susu, langsung berak-berak.

manfaatkan-minyak-jarak-untuk-atasi-alergi-udang-kepiting

Di Indonesia, toleransi hanya ditujukan pada budaya dan agama. Orang dibilang intoleran pada agama lain, ras lain, LGBT, jenis kelamin lain. Sementara itu, orang yang toleran pada agama lain, ras lain, LGBT dan jenis kelamin lain merasa dia lebih tinggi. Padahal dia belum tahu saja, siapa tahu dia intoleran pada hal lain–orang miskin pinggir kota yang digusur misalnya. Kawan-kawan saya yang mengaku toleran ini, banyak lho yang senang penggusuran untuk membuat kota lebih baik, dengan slogan “kalau miskin jangan hidup di Jakarta.” Apa itu toleransi?

Kemarin saya sempat berdebat dengan seorang kawan yang bilang bahwa ada kawannya seorang Islam konservatif yang toleran. Saya bilang, kalau dia konservatif artinya dia cenderung mempromosikan ‘intoleransinya”, dan itu bukan hal yang buruk. Muslim yang baik, sudah seharusnya intoleran pada dosa. Cuma kadar intoleransinya saja yang harus dikontrol. Kadar ini bisa terlihat dari cara dia memperlakukan hal yang ia takkan tolerir. Misalnya si Muslim ini percaya bahwa orang Islam tidak seharusnya memilih pemimpin non-muslim–sekompeten apapun dia. Di sini, agamanya berseteru dengan demokrasi dan konsep negara kesatuan. Di sini, ia memilih sebuah intepretasi agama, yang tidak kompatibel dengan demokrasi.

Mungkin ia toleransi pada non-muslim pada kehidupan sehari-hari. Mungkin juga di kantornya, ia punya bos non muslim. Tapi sendainya ia bisa memilih, dalam konsep demokrasi, ia akan memilih pemimpin Muslim sejelek-jeleknya, daripada pemimpin non-Muslim sebaik-baiknya–ini saya tidak bicara soal Anies-Ahok, karena Anies tidak sejelek-jeleknya pemimpin Muslim dan Ahok tidak sebaik-baiknya pemimpin non muslim.

Contoh lain, salah seorang sepupu saya, salah satu muslim baik yang saya kenal, tidak mentolerir LGBT. Tapi dia punya beberapa kawan gay, dan ia takkan lelah untuk mengingatkan bahwa yang baik adalah jadi straight. Tapi saya yakin, kalau ada yang hendak menyakiti kawan gay-nya itu secara fisik, melanggar hak asasi kawannya itu, pasti dia membela. Bukan karena gay itu benar, tapi karena gay juga manusia dan semua manusia punya hak asasi dasar. Nggak bisa ‘menyembuhkan’ gay dengan memukulinya, apalagi membunuhnya. Membunuh gay cuma akan membuat dia kehilangan kesempatan bertobat.

Dari ilustrasi itu saja kita lihat spektrum toleransi. Ada yang intoleransinya ekstrim sehingga mau membunuh dan menyakiti, ada yang medium, yang bisa mentolerir selama ‘lu gak pegang-pegang gue,” dan ada yang tingkat toleransinya tinggi, sehingga dengan sendirinya menjadi gay.

Soal gay, toleransi saya termasuk medium. Saya tidak percaya itu penyakit. Saya banyak punya teman gay. Tapi saya MEMILIH untuk straight. Bukan karena agama tapi karena pengalaman dan preferensi hidup saya saja. Namun soal pelecehan seksual, intoleransi saya lumayan tinggi. Ada yang menggrepe atau memaksa saya secara seksual (baik lelaki atau perempuan) ya saya jotos secara spontan.

Namun ada satu yang menggelitik saya soal toleransi kita di Indonesia mengenai LGBT–khususnya Gay. Secara kultural, kita punya banyak gender khususnya di budaya-budaya tradisi kita, seperti pendeta Bissu di Sulawesi. Agama semitik masuk dan mengajarkan kita untuk takut dan anti terhadap homoseksualitas. Neo-maskulinitas (keinginan untuk menjadi jantan karena takut disaingi perempuan atau diperkosa lelaki) juga menjangkiti perpolitikan kita, baik di tingkat individu atau di tingkat parlemen (lihat UU kita yang sangat bias gender). Namun sebenarnya di saat yang sama, kita mentolerir homoseksual dalam tingkatan tertentu.

Ambil kasus penggrebekan Atlantis Gym, dimana ratusan orang lelaki ditangkap dan diarak telanjang karena pesta seks. Kalau Anda iseng membaca koran-koran kelas menengah bawah, pengarakan telanjang tidak hanya terjadi pada gay. Seringkali penggrebekan di hotel-hotel melati, atau ketahuannya muda-mudi bercinta di taman kosong, juga berakhir ke penelanjangan dan pengarakan. Yang membuat kasus Atlantis spesial adalah ini kasus homoseksualitas dan pelakunya ratusan orang. Pada tahapan tertentu, ada egalitarian di mata hukum sosial: homo atau hetero, ketika ketahuan, Anda diarak telanjang.

Di sinilah lucunya. Seorang kawan saya yang gay berkata begini dalam facebook messenger: “Gue sih seneng lihat foto-foto [pria gay telanjang Atlantis] itu, six pack. Bagus-bagus. Coba kalo lo yang ketangkep Nos. Flabby, nggak enak dilihat.” Bitch.

Sebagai seorang gay yang sudah lama open ke tema-temannya, kawan saya ini nampaknya tidak begitu khawatir. “Kalo nggak mau digrebek ya main aman.” Kata dia.

six-pack-abs_14_3

Jadi menurut pendapat saya, selama tidak seperti di Aceh, dimana Gay harus dihukum cambuk lebih dari 80 kali, masih mending lah di Jakarta (dan banyak kota besar di Indonesia). Tingkat toleransi terhadap Gay cukup tinggi untuk ukuran negara mayoritas Islam di dunia. Media mainstream pun masih mengandalkan MC dan selebriti gay sebagai salah satu amunisi utama entertainment mereka, dengan syarat ‘Gayness’ hanya boleh simbolik (pakaian, cara bicara, gaya metroseksual). Toleransi kebanyakan orang Indonesia terbatas sampai pengakuan publik.

Permasalahan utama dalam kasus Atlantis, dan banyak penggrebekan lain baik yang hetero atau pun yang homo, adalah masalah politik tubuh. Negara selalu merasa punya hak atas tubuh warganya. Sehingga walau Indonesia mengakui standar hukum Internasional yang anti-penyiksaan, di sana-sini masih banyak kebocoran. Menelanjangi termasuk suatu bentuk penyiksaan, apalagi hukum pecut. Hukuman fisik, semestinya sudah tidak terjadi lagi hari ini, idealnya. Namun toh itu tetap masih dilakukan di banyak tempat, seperti dalam operasi intelijen/tentara, perpeloncoan kampus/akademi, dan tindakan main hakim sendiri masyarakat kita.

Politik tubuh juga menyangkut segala macam UU yang mengatur bagaimana cara warga negara berpakaian dan merasuki ranah privat kita–UU anti pornografi misalnya, yang pasal karetnya kini dipakai menjerat junjungan kita, yang mulia, HRS. Dalam konteks ini, hukum yang harusnya jadi batas toleransi Negara, dengan mudah dipermainkan oleh banyak pihak yang berebut kepentingan.

Oposisi HRS, Ahok BTP, nampaknya sudah sangat memahami ketika ia mencabut niatnya untuk banding atas vonis 2 tahun penjara yang lebih berat dari tuntutan Jaksa itu. Ia tahu, permainan demonstrasi artinya memberikan panggung untuk para provokator dan perusuh bayaran. Ia tidak mau memilih cara opresi yang sama. Ahok sepertinya akan kembali kepada idealismenya dalam mengopresi: menggunakan konstitusi dan taktik politik bawah tangan yang lebih jitu daripada main pertunjukkan otot massa. Ia tahu pasti, bahwa toleransi dan intoleransi orang Indonesia masih mudah untuk dipermainkan–spektrumnya masih luas. Hidup jadi seru, ketika kita menunggu manuver selanjutnya dari mantan Gubernur kita ini. Karena tidak seperti lawannya, ia tidak lari. Ia mencintai Indonesia dengan baik dan buruknya.

ahok2bhoax

Kesimpulan dari tulisan ini adalah: toleransi-intoleransi adalah barometer kemanusiaan kita, dan seperti identitas, ia tidak pernah saklek. Dengan semua hal besar yang terjadi beberapa bulan ini, kita semua baik yang liberal atau yang konservatif, bisa optimis pada perjuangan masing-masing. Seperti kata Efek Rumah Kaca, “Masih ada cara menjadi besar.”

 

 

 

 

 

Filsafat, Politik, Racauan

Politickle: Antara Trump & Rizieq

Secara global, salah satu ketakutan terbesar adalah bangkitnya kembali fasisme, rasisme, primordialisme dan chauvinisme di dunia. Menjadi fasis, rasis, primordial, dan chauvinis, bagi siapapun yang dididik etika moral dasar, jelas tidak benar. Tapi tahun ini suara-suara parau diberi ruang yang luar biasa besar oleh media massa dan media sosial. Karena formula lama, Bad News is Good News, yang diprakarasai oleh rating dan click bait kapitalisme internet, kini mencapai titik kulminasinya yang paling parah dalam berita pelintiran dan hoax.

Semua yang aneh dan lucu tiba-tiba jadi serius. Filmmaker Michael Moore tersentak pada kenyataan ini, hingga ia membuat drama pertunjukkan Trumpland, menghimbau agar masyarakat lebih serius menanggapi Donald Trump, yang ia anggap lebih jitu membaca keadaan Amerika Serikat yang sedang morat marit menghadapi kesenjangan sosial dan pendidikan. Perkiraan Moore benar, Trump menjadi presiden terpilih, walaupun kalah suara–karena ternyata Demokrasi Amerika ada di belakang Indonesia. Mereka tidak pernah benar-benar memilih langsung presidennya, Trump dimenangkan oleh Electoral College, sekelompok orang yang ‘mewakili’ populasi negara-negara bagian. Orang-orang ini tidak mewakili rakyat sepeti halnya parlemen, karena itulah banyak demonstrasi di Amerika akhir-akhir ini yang tidak mengakui Trump sebagai presiden mereka.

Saya jadi ingat kritik Hae Joon Chang tentang doktrin liberalisme barat. Menurut Chang, negara-negara macam Amerika dan Inggris, ditenggarai oleh Bank Dunia dan IMF berusaha membuat negara-negara berkembang mengikuti kebijakan ekonomi dan politik yang mereka desain tapi tidak pernah mereka alami sendiri. “Do what we say, don’t do what we did,” kata Chang meniru omongan ekonom liberal macam Milton Friedman. Namun berbeda dengan Chang, yang memandang doktrin liberalisme macam itu murni negatif, saya malah melihat sisi positifnya untuk Indonesia saat ini: bahwasannya presiden kita masih dipilih oleh rakyat yang ‘riil’, sementara kekuatan politik macam electoral college Amerika, tidak terlihat jelas di sini. Tapi bukan berarti tidak ada kekuatan lain selain suara rakyat di Indonesia. Untuk menang seorang capres harus punya backingan politik. Dalam konteks budaya kita, backingan ini adalah hantu-hantu feodal berwujud kartel dan oligarki politis yang bersembunyi dalam kemaluan mereka terhadap negara-negara maju yang mendoktrin demokrasi (baca: Barat). Kita bangsa yang memang jagonya berpura-pura, sementara Amerika Serikat lebih sering main frontal dan pamer.

Konstellasi politik kita pasca 1965 memang selalu mengikuti Amerika–Ketika Amerika pintar kita ikut macam orang bodoh yang mau belajar, dan ketika Amerika bodoh seperti sekarang ini, kita seperti tak mau kalah: kita buat kebodohan jadi populer. Orang-orang yang selama ini kita anggap becandaan, tiba-tiba naik ke ranah politik mainstream. Sebut saja Habib Rizieq, yang dengan modal suara lantang dan omong kasar, dianggap titisan Umar bin Khattab di Indonesia–bahkan bagi beberapa orang yang saya kenal, lidah sang Habib lebih tajam dari pedang Khalifah Umar. Untuk yang satu ini saya sedikit setuju, karena lidah Habib Rizieq memang senjata yang lebih mutakhir dari pedang orang Arab jaman dulu–lidahnya bermata dua. Satu tajam menohok ke atas dengan kata-kata kasar yang diamini kaum kelas menengah ke bawah, satu tajam ke bawah menipu kelas yang mengamininya. Kenapa saya bisa bicara begitu? Anda baca saja tesis sang Habib yang menyebar viral di media sosial. Tesis  itu adalah penjabaran strategi politik yang jitu.

Rizieq

Rizieq menjelaskan pemaknaan-pemaknaan pancasila dari rezim ke rezim. Ia lalu mengambil satu potongan sejarah, piagam Jakarta, dan mengakuinya sebagai Pancasila yang murni: pancasila yang Islami. Dalam tesisnya ia menjelaskan bahwa ia dan FPI yang dipimpinnya sering bersebrangan dengan banyak golongan lain, dari golongan yang paling ia hina-dinakan, Sepilis (Sekuler, Pluralisme, dan Liberalisme), sapai golongan Islam konservatif sendiri sepeti Partai Keadilan (PK), yang lebih percaya pada Syariat Islam versi Piagam Madinah, berlawanan dengan Rizieq yang percaya pada Piagam Jakarta sebagai adaptasi piagam Madinah di Indonesia (Shihab, 2012).

Nama Rizieq yang menggema, terlebih lagi dalam kasus penistaan agama Ahok, membuat banyak orang di luar lingkaran simpatisan FPI yang minor itu, menjadi kesal. Kekesalan menjelma rasisme dan stereotipe terhadap Arab-Indonesia, khususnya golongan habib dan keluarga keturunan Nabi Muhammad di Indonesia yang bukan hanya Rizieq Shihab. Sastrawan Ben Sohib, misalnya, menuangkan kegalauan ini tanpa menyebut-nyebut nama Rizieq dalam tulisannya di tirto.id. Konteks ‘panasnya’ penggorengan Sang Imam Besar FPI itu, membuat saya pribadi merasa bahwa tulisan itu sedikit banyak diarahkan pada congor mulut Rizieq. Sohib, yang juga keturunan marga Shihab, seperti menghimbau orang agar tidak stereotipe dan rasis hanya karena ulah Rizieq yang doyan mengkafirkan orang.

Kembali ke hal yang menggelikan, FPI yang biasanya terkenal dengan ormas bersifat paramiliter yang sering main fisik dan jadi vigilante syariat Islam, beberapa bulan ini sering main jadi korban (play victim). Kini mereka sering berkoar bahwa mereka dizalimi, mereka digebuki preman, dan lain-lain. Bahkan ketika beberapa simpatisan Ahok balas menuntut Rizieq atas penistaan agama non Islam yang ia lakukan dalam dakwahnya–pasal yang sama yang menjerat Ahok–ia langsung berkilah jadi korban dan mengcopy paste semua langkah-langkah Ahok sebelum sang gubernur kejam, tukang gusur, dan tiran modernis itu disidang. Entah kenapa, langkah bela diri Rizieq ini sedikit banyak mengingatkan saya pada pidato Melania Trump yang plek-plekan meng-copy-paste pidato Michelle Obama. Lucu kan? Iya lucu, sampai Trump menang, bahkan dengan cara-cara menggelikan semacam ini.

Dari sini kita tahu, bahwa kemungkinan Rizieq menang dalam perjuangannya menerapkan Syariat Islam untuk muslim Indonesia masih ada. Dia sendiri membeberkan fakta dalam tesisnya, bahwa syariat Islam sudah masuk ke dalam berbagai ranah kehidupan sosial-politik-ekonomi masyarakat Indonesia. Dia memaparkan produk-produk hukum yang mengandung syariat Islam, kebijakan-kebijakan pendidikan yang didominasi agama Islam, serta banyak hal lain yang sesungguhnya sangat berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Seperti Trump, Rizieq paham politik kebodohan: bahwa kuasa politik adalah kuasa yang membutuhkan penyebaran imajinasi dan pengimanan terhadap imajinasi itu oleh massa. Ketika Rocky Gerung bilang bahwa negara memiliki peralatan paling lengkap untuk menyebarkan Hoax, ia lupa bahwa di zaman ini, perlengkapan yang lengkap itu tidak lagi milik negara. Perlengkapan itu adalah milik kaum aristokrat  oligarki politik, seperti Donald Trump atau para kaum borjuis Indonesia. Rizieq punya jalur ke sana dengan berbagai macam traktat politik yang ia buat bertahun-tahun selama FPI menjadi anjing penguasa dulu. Kini anjing itu telah diangkat menjadi pelayan, yang sudah boleh punya suara dan tidak boleh menggigit lagi. Hanya boleh menyalak kadang-kadang, dan bermain teraniaya, seperti layaknya film-film Motinggo Busye yang melibatkan pembantu dan majikan.

Namun, seperti Marx yang ia kritik dalam tesisnya, perjuangan Rizieq belum selesai dan sepertinya takkan pernah selesai. Toh ia dan FPI-nya, kini sudah masuk ke ranah-ranah yang dilupakan pemerintah, dari masalah orang miskin, sampai aktivisme tani dan lingkungan. Tak percaya, cek saja video profil pesantren Habib Rizieq di akhir esei ini. Pada akhirnya kita semua harus berjuang untuk mewujudkan dunia yang ideal untuk kita. Kebanyakan orang cukup puas dengan mewujudkannya di rumah bersama keluarga dan anak-anak yang cukup mereka kasih uang, makan, serta pendidikan agama. Sisanya, seperti saya, akan selalu berusaha mewujudkan dunia dimana hasutan Rizieq cuma jadi obrolan warung kopi yang bisa dibicarakan berapi-api dengan saudara dan sahabat-sahabat, menajamkan pikiran dan kadang urat syaraf, tapi habis itu kembali ngopi dan ketawa-ketiwi menunggu mati.

 

 

 

 

Filsafat, Politik, Racauan, Uncategorized

Politik Kebodohan

Dalam politik, seringkali tidak diperlukan fakta, ilmu pengetahuan atau logika; namun fakta, ilmu pengetahuan dan logika memerlukan politik untuk bisa memajukan masyarakat.

Itu adalah hal yang saya pelajari ketika melihat bagaimana politik bekerja di banyak masyarakat di dunia. Politik adalah sebuah seni, dan seni selalu melebihi kenyataan, fakta atau logika. Seni memerlukan imajinasi, kreatifitas, dan kecakapan dalam menggunakan peralatannya: kostum, media, dll. Seni politik, sementara itu, adalah seni yang tujuannya hanya satu: kuasa.

Kuasa sendiri memiliki makna yang luas, dari yang sederhana dengan menggunakan kekuatan fisik semata, sampai yang kompleks dengan kekuatan simbolik seperti bahasa, referensi, hubungan sosial dan modal. Permainan kuasa, karenanya, menghalalkan apa saja, dari tipuan sampai manipulasi kenyataan. Dari membunuh satu orang martir, sampai membantai jutaan orang dalam sebuah genosida. Yang terpenting adalah tujuannya tercapai, dan tujuan ini tidak pernah sesederhana ‘menguasai dunia’.

 

insides-of-pinky-and-the-brain-80356

Tujuan politik, bahkan yang paling sederhana sekalipun, bergantung pada konteks yang lebih besar dari tubuh individual itu sendiri. Sebuah tindakan pembunuhan dalam masyarakat sederhana, macam Qabil membunuh Habil, mewakili sebuah perebutan kuasa atas tubuh perempuan dan kuasa akan lahan. Setiap individu membawa dalam dirinya representasi-representasi. Keempat anak Adam, misalnya, membentuk oposisi biner dalam budaya agama semit.  Habil sebagai lelaki ideal yang baik dan altruistik, Qabil sebagai lelaki jahat dan egoistik, Lubuda sebagai perempuan buruk rupa, dan Iqlima sebagai perempuan cantik. Di sini lelaki dinilai dari kualitasnya, dan perempuan dinilai dari kuantitasnya.

Representasi-representasi ini adalah imajinasi politik. 

Kuasa politik didapat dengan cara membuat imajinasi politik menjadi kenyataan. Caranya dimulai dengan berbagi imajinasi dengan masyarakatnya. Imajinasi yang pertama kali dibagi adalah melalui bahasa. Bahasa mengajarkan posisi diri sendiri dan orang lain. Ketika seorang bayi belajar menyebut bapak dan ibu, ia pun belajar posisinya sebagai seorang anak yang tidak boleh memanggil bapak atau ibunya dengan sebutan nama langsung, khususnya dalam budaya timur. Dalam keluarga konvensional anak akan belajar bahwa bapak adalah kepala rumah tangga dan ibu adalah ‘milik bapak.’ Bapak adalah imam dan anak istrinya adalah makmum.

Ketika masyakarat menjadi lebih kompleks dan teknologi media berkembang dengan ditemukannya tulisan, mesin cetak, lalu media elektronik, imajinasi-imajinasi semakin dinamis berbenturan satu sama lain, berebut tempat dalam kenyataan. Agama yang pada awalnya hanya dikuasai segelintir orang pemilik kitab suci, tiba-tiba mendapat perlawanan dengan cara-cara yang berbeda dalam menafsirkan firman Tuhan. Mashab-mashab bermunculan, perang saudara, perang agama, masa kegelapan berlangsung hanya demi mewujudkan imajinasi soal Tuhan dan dunia Tuhan yang ia percaya. Dunia dijalankan oleh para psikopat delusional. Masa-masa itu tak pernah berakhir, kita masih bisa melihatnya di Timur Tengah hari ini.

isis-2_2591265a
ISIS. Sumber gambar: The Sun

Imajinasi politik non-agama juga tidak kalah mengerikan. Sejarah mencatat Hitler sebagai salah satu diktator paling parah yang ingin mewujudkan dunia ras Arya. Dia berpikir ke depan dengan cara yang sangat-sangat salah. Efeknya tidak main-main: imajinasi Hitler yang telah membantai jutaan orang, membuat sekelompok ras/agama Yahudi mengamini imajinasi mereka yang lain soal negara bernama Israel. Itu jadi masalah kita hari ini, di mana mereka yang sekuler dan konon ras paling cerdas ini, menduduki Palestina dengan alasan Agama dan janji Tuhan mereka akan tanah Perjanjian. Kelindan antara sekularisme dan agama ini membingungkan, saya tahu. Tapi seperti pembukaan tulisan ini, politik tidak pernah masalah logika, tapi kuasa.

Raving_mad_Hitler.gif

Lalu kita bertemu dengan ilmu pengetahuan, sains, yang logis, matematis, eksakta, dan konon, tidak pernah bohong. Banyak orang atheis atau agnostik berharap bahwa ilmu pengetahuan tidak akan mengkhianati mereka; bahwa Tuhan tidak ada kecuali jika bisa dibuktikan ada secara rasional dan empiris. Selama seratus tahun belakangan ini, banyak dari kita percaya bahwa teknologi dan ilmu pengetahuan adalah mesin anti-politik (anti-political machine). Bahwasannya banyak masalah di dunia ini bisa diselesaikan dengan teknologi dan ilmu pengetahuan, karena itu objektif.

Tapi bisa jadi masalah terbesar kita di abad ini adalah karena ilmu pengetahuan dan sains. Seratus tahun belakangan ini, terjadi banyak revolusi. Dan kerusakan terbesar datang bukan dari revolusi politik, tapi dari revolusi industri dan Iptek. Perang memang membunuh banyak orang, tapi perang-perang seratus tahun belakangan ini bukan semata-mata karena Tuhan. Imajinasi akan negara dan industrialisasi menimbulkan perang-perang akan sumber daya alam. Lalu ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangan seratus tahun belakangan ini juga berpusat pada eksploitasi terhadap alam dan manusia. Sepanjang sejarah planet ini, sumber daya yang dibentuk ratusan juta tahun, benar-benar dikuras dalam jangka waktu kurang dari seabad. Global warming yang terjadi abad ini adalah yang tercepat dan yang terparah sepanjang sejarah homo sapiens tinggal di bumi.

tumblr_n48sxopo1z1sjwwzso1_500

Pola pikir sains dan Iptek yang seperti mesin ini butuh sentuhan perempuan, sentuhan seorang ibu yang memelihara dan membesarkan alam. Bukan sentuhan seorang bapak yang membentuk alam seperti apa maunya seperti yang selama ini dilakukan. Sains pun ternyata butuh untuk belajar pada suku-suku pedalaman yang memperlakukan alam seperti ibu mereka, termasuk dalam membuat energi terbarukan menggunakan tenaga matahari, tenaga air atau tenaga surya. Film dokumenter “This Changes Everything,” memaparkan perlawanan-perlawanan orang-orang di seluruh dunia terhadap ekspansi sains dan teknologi Industri yang merusak alam dan penghidupan banyak orang lokal. Argumen film tersebut sangat kuat: bahwa sains dan teknologi selama ini dibawa ke arah yang salah, arah eksploitasi sumber daya alam.

Namun tentunya, isu Climate Change juga mengalami perlawanan dari kaum pengusaha konservatif yang penghasilannya dari sumber daya alam. Semua perang yang telah terjadi untuk perebutan sumber daya alam bisa percuma kalau semua konsumen mengkonversi kebutuhan energinya pada matahari, air, atau angin. Teknologi-teknologi baru tersebut harus tetap dibuat mahal dan tak terjangkau, hingga teknologi lama yang eksploitatif tetap bisa laku. Inilah hubungan haram antara politik-ekonomi-teknologi yang harus kita kritisi tanpa lelah. Sudah saatnya sains lebih membuka diri pada apa yang mereka anggap ‘tradisional’, seperti budaya-budaya teknologi lokal, dan mengembangkannya untuk membuat teknologi yang lebih ramah lingkungan dan accessible untuk masyarakat luas. Namun lagi-lagi kita akan mentok pada kebodohan. Di sini saya akan mulai masuk ke Politik Kebodohan.

 

Politik kebodohan adalah sebuah cara menunjukkan kuasa dengan membuat pernyataan yang jelas-jelas salah secara faktual dan logika sederhana, jauh dari bukti atau argumen sahih, tapi toh tetap dimajukan sebagai argumen dan, ironisnya, seringkali dimenangkan.

Biasanya politik kebodohan bisa memungkinkan karena ada yang salah dalam sebuah institusi politik, atau representasi yang diwakili oleh seorang individual yang mengeluarkan pernyataan tersebut. Individualnya salah, namun institusinya memungkinkannya untuk bisa memberikan pernyataan salah tersebut. Contoh yang paling mendunia saat ini adalah Donald Trump.

trump-article-header

Bagaimana mungkin seorang pengusaha yang bukan politikus karir, dengan pernyataan-pernyataan yang seringkali seksis dan rasis, bisa menjadi satu-satunya calon dari partai Republican dan memiliki jutaan pendukung? Untuk itu, kita tidak harus membicarakan Donald Trump. Kita harus membicarakan institusi yang ia wakili: rakyat kulit putih konservatif Amerika dan partai Republican.

Rakyat kulit putih konservatif Amerika, yang sebutan stereotipenya adalah kaum Red Neck, mendukung Donald Trump karena alasan-alasan yang sederhana: ketakuan kehilangan kuasa atas tanah dan pekerjaan. Dalam perjalanan saya ke beberapa desa di Amerika, saya menemukan hal-hal yang luar biasa menakutkan untuk saya sebagai pendatang dari Asia: ada sebuah restoran yang menempatkan papan besar, “White people only,” (hanya untuk kulit putih). Ada juga sebuah gubuk kayu besar (Shack) dengan tulisan, “Guns available,” yang menandakan bahwa gubuk itu menjual senjata api secara bebas. Restoran dan gubuk senjata itu berada di dua desa yang berbeda yang tidak perlu saya sebutkan dimana. Toh, jikapun Anda ke sana, seperti saya, kemungkinan Anda tak sudi mampir, kecuali jika ingin merasakan panasnya peluru di pantat Anda. Kesamaan di dua desa ini adalah, banyak di halaman rumah mereka terpampang papan: “TRUMP: MAKE AMERICA GREAT AGAIN.”

12289674_865102096941936_1974828997264139924_n1

 

Sementara itu, politisi partai Republican kalang kabut mendapati Trump menang sebagai calon mereka. Ini membuktikan betapa hancurnya pengkaderan kepimimpinan partai sayap kanan tersebut. Pasca Bush dan 9-11, lalu krisis ekonomi Amerika tahun 2008, partai yang beranggotakan banyak orang Kristen kaya raya ini tidak berhasil membuat kader-kader yang berkualitas. Menurut saya ini terjadi karena cara politik mereka adalah Politik Kebodohan itu: dengan modal hubungan sosial dan modal, mereka tidak perduli apakah pembenaran mereka soal perang Timur Tengah, atau tuduhan merka bahwa Global Warming adalah propaganda itu salah. Mereka hanya perduli pada ‘kepentingan’ (interest) bahwa perang Timur Tengah menguntungkan pengusaha  dan industri senjata, dan jika Global Warming adalah propaganda, maka mereka bisa terus mengeksploitasi sumber daya. Imajinasi inilah yang mereka tekankan terus-menerus, dan akhirnya Trump masuk mengambil momentum. Karena dari semua capres Republican, Donald Trump adalah yang paling TIDAK PERDULI.

Trump tidak perduli kalau ia seringkali tidak konsisten dalam memberi pernyataan. Ia tidak perduli soal partai politik, ia tidak perduli soal ekonomi Amerika, atau politik luar negerinya. Trump adalah entertainer/entrepreneur sejati yang benar-benar mengenal penontonnya: orang kulit putih konservatif, atau orang yang punya ‘interest’ dalam usahanya. Pengalamannya di televisi membuatnya paham bahwa kontroversi menjual, dan media selalu akan membuat orang tolol semakin terkenal, jika orang tolol itu punya kuasa. Seperti anjing menggigit orang, Donald Trump tidak biasa karena dia orang tolol yang sangat kaya, dengan brand yang dekat dengan kata Triumph (menang). Ia ahlinya periklanan ilusi–propaganda industri dan pembangunan brand. Di sini kita bisa melihat satu lagi karakteristik Politik Kebodohan:

Politik kebodohan mengambil kuasa dari memperbodoh orang lain, dengan cara manipulasi informasi, propaganda, dan menghilangkan orang-orang yang memprovokasi massa untuk berpikir. Politik kebodohan berpegangan pada satu prinsip: menjadi bodoh adalah berkah (ignorant is a bliss).

Dalam politik kebodohan, kesederhanaan adalah segalanya. Pesan untuk massa rakyat harus sepopuler mungkin, dan sepopuler mungkin artinya sesingkat dan seklise mungkin. Masyarakat tak perlu tahu tujuan si politikus, tapi masyarakat hanya harus merasa berbagi imajinasi. Imajinasinya harus mendasar dan sederhana, seperti ketakutan akan kehilangan pekerjaan, atau iming-iming uang, atau  (ini yang akan selalu populer) ketakutan akan neraka.

Di Indonesia, politik kebodohan selalu bekerja dengan baik. Dalam pilpres Prabowo vs Jokowi tahun 2014 lalu, kedua kandidat sesungguhnya memiliki dua sisi tim kampanye: tim kampanye untuk elit politik, dan tim kampanye untuk massa rakyat. Tim kampanye untuk massa rakyat adalah tim yang menggunakan politik kebodohan itu. Prabowo menjual imej pemimpin keras, tegas, galak. Cocok dengan massa rakyat yang maskulin. Sementara itu Jokowi menjual sosok pemimpin yang wajahnya seperti petani, kurus, dan dekat dengan rakyat. Soal politik kebodohan, keduanya sama-sama. 50-50. Seandainya Demokrasi Indonesia diserahkan pada Rakyat sepenuhnya, tidak ada yang akan menang di antara Prabowo dan Jokowi.

14027988871694362327

Yang memenangkan Jokowi adalah politik elitnya. Pecahnya Golkar dengan merapatnya Jusuf Kalla ke Jokowi, serta diikatnya beberapa petinggi militer dan kepolisian dalam perjanjian politiklah yang memenangkan Jokowi. Belum lagi dukungan dari luar negeri seperti Amerika Serikat dan Australia–yang terus terang menentang Prabowo. Dari sisi Prabowo sendiri, kita melihat KMP yang isinya orang-orang oportunis dengan politik dua kaki: celup ke ember manapun yang menguntungkan. Seperti banyak pendapat para ahli, politik Koalisi ini takkan tahan lama begitu tidak dikasih makan kuasa.

Apakah ini artinya politik untuk rakyat adalah politik kebodohan dan politik untuk elit adalah politik sebenarnya? Ya dan tidak.

Pada negara-negara yang demokrasinya sudah maju, setiap rakyat adalah elit. Setiap rakyat sudah punya daya baca dan daya kritis untuk memilih dan paham konsekuensi pilihan politiknya. Kalau mau contoh, kita bisa melihat beberapa negara Eropa, dari pemilihan walikota di London, sampai negara-negara dengan sistem pendidikan dan demokrasi mutakhir seperti Finlandia, atau Islandia yang Perdana Menterinya langsung mundur begitu didemo soal Panama Papers. Tapi kalau daya baca rakyat dan elitnya rendah, dan hubungan antara pemerintah, rakyat dan militernya lebih banyak konflik daripada kerjasama, maka Politik Kebodohan akan mendominasi.

Maka itu muncullah imajinasi-imajinasi yang dipaksakan macam kebangkitan PKI. Imajinasi yang dipaksakan ini adalah sebuah delusi, yang ironisnya banyak dipercaya orang-orang dengan ketidakberdayaan intelektual yang sama. Orang-orang pengidap Phronemophobia akut, yang kebanyakan tidak bisa disembuhkan. Mereka hanya bisa menang lewat penipuan besar-besaran atau kekerasan. Dan ketika kalah argumen, mereka tidak akan mengaku kalah, tapi langsung menuduh dizalimi secara politik atau menuduh orang yang benar sebagai orang yang terdoktrin pihak lain. Kuliah umum Kiki Syahnakri soal Marxisme-Aristotelian, misalnya, jelas-jelas salah dan dihujat habis-habisan di Media Sosial. Tapi toh, nampaknya dia cuek saja.

Kiki Syahnakri tidak sendirian. Di Amerika, seorang pendukung Donald Trump garis keras yang masih misterius namanya, pernah melakukan hal yang sama di tahun 2013 ketika ia protes untuk melengserkan presiden Obama. Politik kebodohan ini adalah masalah universal, dan sesuatu yang terus-terusan dipakai dimana-mana.

mtm2njq0odk5njuzotuzmte5
Orang misterius yang protes melengserkan Obama dengan alasan bahwa Obama adalah Muslim dan Muslim adalah Marxist. Dia muncul lagi dalam kampanye Donald Trump tahun ini untuk mendukung sentimen anti-Islam.

Akhirnya, jika kita mau jadi orang baik, perjuangan utamanya adalah mencerdaskan bangsa. Membuat seluruh rakyat jadi elit yang berdigdaya, yang daya bacanya tidak hanya seperti anak kelas 4 SD jaman Orba. Membuat kesadaran dunia-akhirat, bahwasannya dunia tidak kalah penting dibanding akhirat. Warisan utama yang harus ditinggalkan adalah cara berpikir untuk bisa hidup menjadi manusia unggul yang bisa berfungsi baik secara sosial dan politik, dan mendasarkan hidupnya pada rasio dan empiris yang tidak terlepas dari kenyataan sosial yang ada. Warisan itu hanya bisa dilakukan dengan memenangkan politik kebodohan ini, dengan segala cara.