English, Filsafat, Racauan

That Vegetarian Plan

Some religious rituals, like the slaughter of livestock during Eid, is no longer endurable for me. I cannot fathom nor accept it, as it is a display of celebrated cruelty. Does that make me a hypocrite, since although I seldom eat meat and tried so much not to eat it at all, I still eat poultry and fish. Well, here is the thing: I am thinking of being a vegetarian, but not yet can do it because there is not enough vegetarian food around me. But that does not mean I cannot build the context of my life to be that.

Pain, suffering, can only occur with the development of the brain and nervous system. So every creature who has a brain will have to endure pain. I will stop endorsing it if I can. Slowly I will make these carcasses unavailable to me. I won’t take part of their bodies to my mouth. But if I care about others suffering, I also need to take care of my own suffering. I cannot suffer myself with hunger or malnutrition just because I don’t want other beings to suffer.

It turns out, fortunately, that I also have a disease that makes it hard to break down proteins. So I do need a hard hard diet. I think this intolerance is needed also because of my age and health condition which enables my behavior and hormones to become calmer. Being a vegetarian could ease my pain.

No meat is easy. No poultry or fish is harder. And the aim is to minimize my relationship with cruelty as little as possible. To be as humane as possible, because only humans can have this story.

Politik, Racauan

Kenapa Demonstrasi Umat Islam Ganyang Koruptor Takkan Pernah Ada

Ketika saya meliput demonstrasi 411 dan 212, saya menanyakan pertanyaan yang sama ke banyak orang soal Ahok, dan jawabannya semua sama: Ahok bersalah karena ia menistakan agama Islam. Ketika saya bertanya, apa ada hubungan demonstrasi ini dengan penggusuran, semua menjawab, “Itu masalah lain.” Sulit untuk tidak mengaitkan gerakan politik Islam 411 dan 212 dengan gerakan #2019gantipresiden, karena ada Persaudaraan Alumni 212 (PA 212) yang berusaha mencari tokoh Islam untuk menjadi pengganti Jokowi.

Related image

Artinya kesejahteraan-keadilan sosial dan isu kelas bukanlah hal yang penting untuk banyak umat muslim di Indonesia. Saya katakan umat Muslim, karena demonstrasi besar-besaran anti Ahok waktu itu melibatkan mobilisasi massa dari seluruh Indonesia. Dengan kata lain, saya rasa cukup valid kalau jutaan orang itu bisa merepresentasikan Gerakan Islam di Indonesia—terlepas apakaha insitusi besar macam Muhammadiyah atau NU merestui gerakan mereka atau tidak. Saya tidak ingin berspekulasi tentang keterlibatan dana-dana ajaib dalam gerakan-gerakan besar tersebut, ataupun peran oposisi politik termasuk gerakan makar (yang penangkapan tersangkanya cuma hangat-hangat taik entok).

Image result for just take my money gif

Namun banyak orang akan setuju, bahwa imbas gerakan Islam hari ini jauh lebih besar dari gerakan-gerakan pendahulunya, seperti gerakan mahasiswa, misalnya. Gerakan buruh pun yang sudah puluhan tahun dibangun, tidak akan mendapatkan hasil seinstan gerakan Islam. Pemerintah tentunya ikut ambil bagian dalam hal ini, dengan mendukung gerakan berbasis agama sambil waspada melihat siapa saja elit oposisi atau calon oposisi yang mengambil keuntungan dari gerakan-gerakan itu.

Image result for anies baswedan gif

Kelindan negara dan agama bukanlah hal baru. Tidak akan ada agama Kristen, misalnya, tanpa persatuan dan perjanjian Kerajaan Romawi dengan para martir dan Santo. Inggris takkan benar-benar ‘merdeka’, tanpa Anglikannya, dan Amerika Serikat tidak akan pernah menjadi negara Adikuasa tanpa etika Protestanismenya. Negara bersekongkol dengan agama itu biasa saja. Tapi agama sebagai perlawanan terhadap penguasa juga hal yang biasa. Muhammad takkan bisa menjadi Nabi, Rasul, dan penguasa Jazirah tanpa melawan kaum Quraisy. Yesus takkan menjadi besar kalau ia tidak disalib Romawi. Namun ujung-ujungnya, seperti pergerakan ideologi lain, ketika agama menang melawan negara, negara tinggal pindah agama (atau mendukung agama mayoritas) dan masalah selesai. Biasanya begitu.

Image result for trump christian catholic gif

Namun ketika kita bicara koruptor, kita bicara soal perbaikan sistem negara modern: transparansi dan proyek-proyek pembangunan ideologi modernitas. Korupsi adalah cara melancarkan kepentingan untuk menggolkan sebuah proyek, atau untuk mengembalikan modal politik. Sempat belum satu dekade lalu, korupsi menjadi salah satu cita-cita yang diinginkan banyak orang ketika ia jadi PNS/Birokrat atau politikus. Secara sederhana korupsi artinya tidak amanat, atau khianat. Itu adalah salah satu dosa besar dalam Islam. Lalu kenapa penistaan agama lebih penting dan lebih banyak massanya dari gerakan anti korupsi?

Satu hal yang pasti, gerakan anti korupsi tak punya aliran dana besar dan organisasi masssa yang sistematis. Pengusaha banyak diuntungkan oleh korupsi, jadi untuk apa memberikan kucuran dana anti-korupsi? Kecuali tentunya untuk memenangkan pertarungan politik, untuk menjebolkan proyek sebesar Meikarta, misalnya.

Terlebih lagi, kesadaran bahwa ada hubungan langsung antara pejabat korup dengan kemaslahatan hidup orang belum banyak. Kita masih terbiasa pada janji kampanye yang tidak pernah ditepati, dan kita juga sering memaklumi orang yang kita anggap jujur ternyata korup. Lebih kompleks lagi, beberapa orang yang jatuh karena korupsi biasanya ditengarai oleh sesama koruptor yang lebih besar, entah sebagai whistle blower, atau sebagai kambing hitam.

Gerakan Islam anti korupsi, pasti ada. Tapi kecil-kecil dan menyebar-nyebar. Tanpa koordinator dan kucuran dana besar, susah membesarkan gerakan ini. Sementara gerakan-gerakan politik besar seperi #gantipresiden2019 lebih mudah menggema–dengan para pengikut yang hardcore menghardik anak kecil dan ibu-ibu lawan politiknya, dimana pendukung dua kubu sama-sama tolol menggunakan CFD sebagai ajang kampanye prematur. Nyaris tidak ada gerakan besar untuk isu-isu spesifik seperti korupsi atau pelanggaran HAM. Kalau pun ada, mereka tidak bawa-bawa nama Islam.

Maka bagaimana Islam bisa tidak tercoreng, ketika pendomplengan namanya cuma dipakai untuk politik praktis dan terorisme? Mengapa, oh mengapa?

 

Alam, Cinta, Eksistensialisme, Puisi, Uncategorized

Muazin

Dia memandang langit mendung dan kerinduan merundung
pada apa-apa di kegelapan, ketika waktu jadi lautan
ia terbawa jauh ke tengah, gelegak air asin masuk ke dada
tenggelam hingga pasrah, lalu mengambang tak berdaya

Bintang itu adalah rumahnya,
sebuah pulau di angkasa raya
di sana, ia lihat bapaknya, bercahaya,
tak tergapai, sinar yang sampai
sudah lama selesai

Suara adzan menggema semesta
menyambut kefanaan,
tak pernah habis
shalat tak pernah didirikan
Muazin terus bersenandung

Kidung sapaan Tuhan
hantu berjalan terbalik
likur garis angkasa
kasar mengabur
mengubur
buram
ramal
malam

Musafir yang selalu berikhtiar
adalah kafir bagi mereka
yang memuja dan melupa
bahwa hidup yang sementara
tak hanya untuk berdoa
tapi juga untuk bekerja
dan bersukaria

 

 

Filsafat, Politik, Racauan, Uncategorized

September Tak Beradab

Civilization bukan hanya berarti peradaban, tapi juga lebih dalam lagi, ia berarti “membuat orang jadi beradab.”

Apa itu adab? Menurut KBBI artinya “kehalusan dan kebaikan budi pekerti; kesopanan; akhlak:”

Sejarah membuktikan bahwa Civilization, per-adab-an, dibentuk oleh dua institusi besar: Agama dan Negara. Negara lahir ketika Agama berkembang menjadi kelompok-kelompok yang berbeda, yang saling bersaing dan berkonflik, sehingga dibutuhkan kekuatan besar lain yang bisa menengahi konflik tersebut. Per-adab-an adalah masalah ada atau tidaknya pihak ketiga, wasit, sang Leviathan, dalam sebuah pertarungan politik.

Sang Leviathan mensponsori kekerasan untuk menundukan konflik politik. Perdamaian seringkali didapatkan dari opresi berbagai bentuk hasrat kuasa dalam masyarakat. Di masa Orde Baru, termin yang terkenal adalah SARA, Konfik kepentingan harus ditekan oleh satu kepentingan besar, kepentingan negara.

Sejalan dengan opresi negara untuk membuat perdamaian, ideological state apparatus juga berjalan melalui pendidikan. Inilah yang hari ini jadi masalah besar di Indonesia. Pendidikan yang diberikan pada masa orde baru, menuai bencana: ketika informasi bocor kemana-mana, negara masih sibuk untuk menyangkal sejarah yang senyata-nyatanya BOHONG BESAR. Salah satu dari banyak kebohongan itu adalah fitnah terhadap orang-orang yang dituduh PKI. Main tuduh Komunis menjadi budaya yang inheren di masyarakat menengah bawah, yang sudah terdidik untuk menjadi tidak beradab (De-civilize).

Dengan kata lain, negara Indonesia sejauh ini tidak berhasil, malahan memperparah peradabannya sendiri. Ketidakberadaban dapat dilihat dari mudahnya orang terprovokasi, mudahnya massa digerakan oleh sesuatu yang abstrak dan tidak bersifat material/nyata, seperti ketika agamanya tercoreng. Orang tidak bergerak ketika diopresi, ketika haknya diambil, tapi cepat naik pitam ketika agamanya atau pemuka agamanya dihina. Orang cepat marah dan manut ketika hantu masa lalu (Baca: PKI), menggerayangi layar handphonenya.

Maka tingkat kekerasan tidak kunjung turun. Hukum positif negara sering selingkuh dengan kekuatan politik akar rumput. Hari ini melarang diskusi sejarah, besoknya melindungi orang-orang yang sudah terjebak oleh massa otak tumpul yang kemarin difasilitasi polisi. Kan absurd?

Yang paling menyebalkan, ini isu basi yang selalu ditiupkan menjelang September, semenjak Jokowi naik. Biasanya isu ini punya agenda lain di bawahnya, sedang ada teater lain yang dimainkan secara sembunyi-sembunyi, entah itu misi pembangunan, atau taktik manipulasi politik. Saya tidak sedang berteori konspirasi; saya hanya melihat sebuah pola. Saya dan kalian akan terkejut ketika Oktober datang, membawa sebuah berita buruk yang sebenarnya bisa dicegah kalau kita tidak terlalu sibuk melindungi diri September ini dari fitnah-fitnah keji hasil Wawasan Wiyata Mandala dan P4.

Kembali ke soal per-adab-an. Presiden kita hari ini dulu disukai karena ‘kurang beradab’ sebagai presiden. Melanggar protokoler, menjadi ‘pejabat yang berbeda.’ Tapi setahun belakangan ini, kita melihat ketidakberadabannya semakin menjadi-jadi. Seperti lawan politiknya, ia sekarang tidak malu-malu ketika menjilat kiri-kanan-atas-bawah. Pendukungnya pasti selalu bisa mengambil hikmah bahwa presiden sedang berjuang untuk menggolkan misi politiknya–apapun itu–dengan menjilat ludahnya sendiri. Yang anti-presiden tidak punya banyak argumen lain selain kebencian akut, dan kekesalan karena presiden yang dulu difitnah sebagai komunis, hari ini jadi anti-komunis. Capek kan mencari bahan fitnahan baru.

Sementara itu, masyarakat yang tidak beradab dibuat semakin tidak beradab. Karena Negara bahkan seperti tidak ada niat sama sekali untuk melindungi Demokrasi, tidak ada niat untuk mengukuhkan nilai, ketika LBH, sebuah lembaga yang netral dan salah satu elemen terpenting demokrasi, dinafikan dengan mudahnya. Ketidakberadaban dikasih makan dengan plin-plannya.

Betapa mengecewakan. September hampir berakhir, linimasa masih akan penuh bahasan merah. Sepertih darah Jendral, yang cuma ada di filmnya Arifin.