Politik, Racauan

Yang Muda dan Tak Berdaya

Pemilu 2024, para politisi dan capres akan didominasi dua macam orang. Pertama, orang tua yang banyak jaringan dan kaya raya. Kedua, anak-anak politikus lama yang orang tuanya banyak jaringan dan kaya raya. Inilah buruknya sistem oligarki kita. Apa kabar reformasi?

Jokowi hadir sebagai harapan, karena ia tidak berasal dari elit politik, dan tidak berhubungan langsung dengan para oligarki. Karir politiknya pun seperti naik tangga, dari walikota, gubernur lalu presiden. Ketika terpilih dulu, Jokowi sangat terlihat belum siap, dan lebih kelihatan seperti calon “tertuduh” dari PDIP karena populis, bukan calon yang matang secara politik. Saat itu semua calon yang matang sudah busuk.

Namun toh, setelah dua periode, anaknya menjadi walikota dan sim salabim, keluarganya menjadi elit politik. Lagu lama. Mirip presiden pertama yang anaknya jadi presiden keempat. Sementara presiden kedua, bikin komplek rumahnya jadi terkenal, seperti presiden ke lima. Presiden ke lima anaknya mencalonkan diri menjadi presiden ke tujuh. Presiden ke enam, anaknya walikota dan mungkin akan jadi presiden ke…10 atau 11.

Indonesia cukup maju soal pemerintahan sipil, sejak 25 tahun yang lalu. Kita tidak ada kudeta militer lagi, Alhamdulillah. Sementara Thailand masih ada, Myanmar jelas banget junta. Kita mirip Filipina yang presidennya sekarang adalah anak presiden sebelumnya. Di Thailand, pemilu kemarin hampir memenangkan kembali trah Shinawatra sebagai perdana menteri sipil. Untungnya yang menang bukan militer atau elit lama, tapi seorang duda keren berumur 42 bernama Pita Limjaroenrat. Si Duren adalah pengusaha yang kuliah di Harvard dan MIT. Bahasa Inggrisnya wasweswos. Tapi dia agak nyolot, karena mau ngubah undang-undang penistaan raja, yang mirip UU penistaan kepala negara atau UU ITE di sini. Kita lihat aja apa dia akan dikudeta atau nggak.

Di Indonesia, yang cukup saya harapkan Jadi presiden adalah Nadiem Makarim karena dia pinter banget dan berani ngubah sistem gila-gilaan, masih keturunan Arab tapi nggak bawa-bawa nenek moyang kayak mantan gubernur Jakarta itu. Tapi nampaknya, dia belum niat jadi presiden atau masuk parpol atau mengajukan jadi calon independen. Mungkin karena dia bukan duren seperi mas Pita. Maaf OOT.

Anyway, menyedihkan amat capres-capres kalo nggak tua, anak elitis, atau orang populis yang cuma mau mecah suara partai doang buat bikin koalisi. Kita masih kalah jauh sama Finlandia, yang perdana menterinya, Sanna Marin yang waktu diangkat jadi PM umurnya baru 34. Keluarganya bukan elit politik, bapaknya alkoholik, dan cerai sama ibunya yang akhirnya jadi lesbian. Dia tinggal sama ibunya dan istrinya, jadi anak di keluarga homoseksual. Mirip Soekarno yang bikin partai umur 21, Sanna masuk partai sosial demokrat waktu masih kuliah.

Di Indonesia, partai-partai juga mulai pengkaderan di sekolah dan kampus-kampus. Bahkan ada partai tertentu yang pake dalil agama nganu yang konon menyuruh kadernya kawin muda untuk jadi pemimpin rumah tangga dulu sebelum jadi pemimpin di dalam partai. Ini partai ketuanya koruptor dan om poligami dengan anak SMA belasan tahun, dan salah satu kadernya dulu suka dagang perempuan dari kampus yang di plangnya ditulis “beragama”.

Kader muda partai-partai ini disuruh berkarir jadi caleg kacung sampe tua, dan baru diharapkan jadi pemimpin kalau umurnya sudah tua-tua. Nggak diendorse anak-anak mudanya kecuali jadi caleg aja. Kalau anak-anak mudanya mau diendorse, dia kudu jadi anak siapa dulu pembesar pantai. Tokai lah.

Akhirnya anak-anak muda bikin partai sendiri, salah satunya Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Partai ini habis-habisan di kritik Panji Pragiwaksonono karena kelakuannya udah kayak partai orang tua-tua: ngandalin popularitas buat nyari calek atau capres. Cara mainnya sama aja, dan nggak berhasil bikin kebanyakan anak muda kita tertarik politik. Salah satu pendirinya, Tsamara Amany Alatas, sempet saya bayangkan seperti Sanna Marin. Ngomong jago, pendidikan hebat, intelektual. Dia nikah sama salah satu antropolog favorit saya, Ismail Fajri Alatas, badai banget nih laki bini. Dia hengkang dari PSI buat jadi aktivis perempuan. Umurnya baru 26 sih, masih ada 10 tahun lagi sampe dia bisa jadi presiden Indonesia. Baguslah sekarang dia mundur dulu dari politik praktis. Semangat mbaknya! Semoga jadi presiden perempuan termuda di dunia mengalahkan Sanna Marin!

Kembali ke krisis kepemimpinan, kita dihadapkan sama capres-capres yang… Lulagi lulagi. Oligarki lagi, oligarki lagi. Terus kayaknya saya bakal golput lagi golput lagi–kecuali kalo ada capres yang frontal ngomong mau bantu kebudayaan dan film, okelah saya coblos nanti.

Well, kita lihat aja.

Filsafat, Racauan

Siap-siap Indonesia Tamat

Beberapa bulan terakhir ini, khususnya menjelang dan setelah pemilihan umum presiden, politik Indonesia menjadi semakin tidak menarik untuk saya. Semakin mudah tertebak, pola oligarki tidak berubah, janji perubahan tidak ditepati, lanjutan pembangunan infrastruktur yang meminggirkan orang terus berlangsung, papua begitu-begitu saja, pelanggaran HAM terjadi tiap hari dan ditumpuk karena yang lama juga tidak pernah diselesaikan, kebakaran hutan lagi dan lagi, izin lahan keluar lagi dan lagi.

Lalu akhirnya mau nulis apa lagi soal politik? Bahan sudah habis diulang-ulang buzzer. Perjuangan toh seperti pekerjaan sehari-hari saja, dan mulai membosankan–padahal perjuangan saya toh cuma membuat berita yang akurat, video yang cukup imbang dan tidak memihak. Tetap saja jadi gemas dan tidak menarik untuk dibicarakan lagi. Apakah karena saya sudah jadi terlalu nyaman? Mungkin saja. Tapi ya bagi-bagi kue di elit politik ini kan biar pada diem tuh, jadi agenda pemerintah bisa jalan. Jadi muak aja sih.

Hari ini facebook saya menunjukkan satu postingan lama soal seorang mahasiswa tajir yang mau membayar saya tiga juta untuk membuat tugas kuliahnya. Saya sarankan pada dia untuk cari pisau yang tajam dan bunuh diri saja. Saran itu tak mungkin ia laksanakan, dan ia cuma akan cari orang lain yang mau membuat tugasnya dan membuatnya lulus. Ketika dewasa dia mungkin akan jadi anggota DPR, atau pejabat–orang pragmatis gini biasanya karirnya lulus. Dan fuck banget saya akan berhadapan dengan produk-produk hukum dan politik buatan dorang.

Jadi saya sedang berpikir untuk bikin rencana apokaliptik: apokaliptik dalam artian, bagaimana kalau semua sistem di Indonesia turn off–seperti lampu mati Jawa-Bali beberapa bulan silam. Saya jadi berencana untuk membeli diesel, membeli back pack kiamat, yang isinya persediaan makanan dan minuman, dan duit cash beberapa juta cuma buat dipake sementara sebelum semua collapse. Terus saya mau ambil kursus pramuka dan kemping lagi deh. Kabur ke gunung atau kemana gitu.

Serem banget masa depan bangsa ini. Camping di kolong jembatan layang Jokowi kayaknya asik juga, siapa tahu proyeknya mangkrak kan. Kayak jaman-jaman waktu sistem ngedrop dulu di jaman orba. Tapi ya nyambi kerja biasa, ngajar semau saya, dan bikin-bikin film deh. Sambil nyicil persediaan.

Photo by Heorhii Heorhiichuk on Pexels.com
Filsafat, Politik, Racauan, Uncategorized

Politik Kebodohan

Dalam politik, seringkali tidak diperlukan fakta, ilmu pengetahuan atau logika; namun fakta, ilmu pengetahuan dan logika memerlukan politik untuk bisa memajukan masyarakat.

Itu adalah hal yang saya pelajari ketika melihat bagaimana politik bekerja di banyak masyarakat di dunia. Politik adalah sebuah seni, dan seni selalu melebihi kenyataan, fakta atau logika. Seni memerlukan imajinasi, kreatifitas, dan kecakapan dalam menggunakan peralatannya: kostum, media, dll. Seni politik, sementara itu, adalah seni yang tujuannya hanya satu: kuasa.

Kuasa sendiri memiliki makna yang luas, dari yang sederhana dengan menggunakan kekuatan fisik semata, sampai yang kompleks dengan kekuatan simbolik seperti bahasa, referensi, hubungan sosial dan modal. Permainan kuasa, karenanya, menghalalkan apa saja, dari tipuan sampai manipulasi kenyataan. Dari membunuh satu orang martir, sampai membantai jutaan orang dalam sebuah genosida. Yang terpenting adalah tujuannya tercapai, dan tujuan ini tidak pernah sesederhana ‘menguasai dunia’.

 

insides-of-pinky-and-the-brain-80356

Tujuan politik, bahkan yang paling sederhana sekalipun, bergantung pada konteks yang lebih besar dari tubuh individual itu sendiri. Sebuah tindakan pembunuhan dalam masyarakat sederhana, macam Qabil membunuh Habil, mewakili sebuah perebutan kuasa atas tubuh perempuan dan kuasa akan lahan. Setiap individu membawa dalam dirinya representasi-representasi. Keempat anak Adam, misalnya, membentuk oposisi biner dalam budaya agama semit.  Habil sebagai lelaki ideal yang baik dan altruistik, Qabil sebagai lelaki jahat dan egoistik, Lubuda sebagai perempuan buruk rupa, dan Iqlima sebagai perempuan cantik. Di sini lelaki dinilai dari kualitasnya, dan perempuan dinilai dari kuantitasnya.

Representasi-representasi ini adalah imajinasi politik. 

Kuasa politik didapat dengan cara membuat imajinasi politik menjadi kenyataan. Caranya dimulai dengan berbagi imajinasi dengan masyarakatnya. Imajinasi yang pertama kali dibagi adalah melalui bahasa. Bahasa mengajarkan posisi diri sendiri dan orang lain. Ketika seorang bayi belajar menyebut bapak dan ibu, ia pun belajar posisinya sebagai seorang anak yang tidak boleh memanggil bapak atau ibunya dengan sebutan nama langsung, khususnya dalam budaya timur. Dalam keluarga konvensional anak akan belajar bahwa bapak adalah kepala rumah tangga dan ibu adalah ‘milik bapak.’ Bapak adalah imam dan anak istrinya adalah makmum.

Ketika masyakarat menjadi lebih kompleks dan teknologi media berkembang dengan ditemukannya tulisan, mesin cetak, lalu media elektronik, imajinasi-imajinasi semakin dinamis berbenturan satu sama lain, berebut tempat dalam kenyataan. Agama yang pada awalnya hanya dikuasai segelintir orang pemilik kitab suci, tiba-tiba mendapat perlawanan dengan cara-cara yang berbeda dalam menafsirkan firman Tuhan. Mashab-mashab bermunculan, perang saudara, perang agama, masa kegelapan berlangsung hanya demi mewujudkan imajinasi soal Tuhan dan dunia Tuhan yang ia percaya. Dunia dijalankan oleh para psikopat delusional. Masa-masa itu tak pernah berakhir, kita masih bisa melihatnya di Timur Tengah hari ini.

isis-2_2591265a
ISIS. Sumber gambar: The Sun

Imajinasi politik non-agama juga tidak kalah mengerikan. Sejarah mencatat Hitler sebagai salah satu diktator paling parah yang ingin mewujudkan dunia ras Arya. Dia berpikir ke depan dengan cara yang sangat-sangat salah. Efeknya tidak main-main: imajinasi Hitler yang telah membantai jutaan orang, membuat sekelompok ras/agama Yahudi mengamini imajinasi mereka yang lain soal negara bernama Israel. Itu jadi masalah kita hari ini, di mana mereka yang sekuler dan konon ras paling cerdas ini, menduduki Palestina dengan alasan Agama dan janji Tuhan mereka akan tanah Perjanjian. Kelindan antara sekularisme dan agama ini membingungkan, saya tahu. Tapi seperti pembukaan tulisan ini, politik tidak pernah masalah logika, tapi kuasa.

Raving_mad_Hitler.gif

Lalu kita bertemu dengan ilmu pengetahuan, sains, yang logis, matematis, eksakta, dan konon, tidak pernah bohong. Banyak orang atheis atau agnostik berharap bahwa ilmu pengetahuan tidak akan mengkhianati mereka; bahwa Tuhan tidak ada kecuali jika bisa dibuktikan ada secara rasional dan empiris. Selama seratus tahun belakangan ini, banyak dari kita percaya bahwa teknologi dan ilmu pengetahuan adalah mesin anti-politik (anti-political machine). Bahwasannya banyak masalah di dunia ini bisa diselesaikan dengan teknologi dan ilmu pengetahuan, karena itu objektif.

Tapi bisa jadi masalah terbesar kita di abad ini adalah karena ilmu pengetahuan dan sains. Seratus tahun belakangan ini, terjadi banyak revolusi. Dan kerusakan terbesar datang bukan dari revolusi politik, tapi dari revolusi industri dan Iptek. Perang memang membunuh banyak orang, tapi perang-perang seratus tahun belakangan ini bukan semata-mata karena Tuhan. Imajinasi akan negara dan industrialisasi menimbulkan perang-perang akan sumber daya alam. Lalu ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangan seratus tahun belakangan ini juga berpusat pada eksploitasi terhadap alam dan manusia. Sepanjang sejarah planet ini, sumber daya yang dibentuk ratusan juta tahun, benar-benar dikuras dalam jangka waktu kurang dari seabad. Global warming yang terjadi abad ini adalah yang tercepat dan yang terparah sepanjang sejarah homo sapiens tinggal di bumi.

tumblr_n48sxopo1z1sjwwzso1_500

Pola pikir sains dan Iptek yang seperti mesin ini butuh sentuhan perempuan, sentuhan seorang ibu yang memelihara dan membesarkan alam. Bukan sentuhan seorang bapak yang membentuk alam seperti apa maunya seperti yang selama ini dilakukan. Sains pun ternyata butuh untuk belajar pada suku-suku pedalaman yang memperlakukan alam seperti ibu mereka, termasuk dalam membuat energi terbarukan menggunakan tenaga matahari, tenaga air atau tenaga surya. Film dokumenter “This Changes Everything,” memaparkan perlawanan-perlawanan orang-orang di seluruh dunia terhadap ekspansi sains dan teknologi Industri yang merusak alam dan penghidupan banyak orang lokal. Argumen film tersebut sangat kuat: bahwa sains dan teknologi selama ini dibawa ke arah yang salah, arah eksploitasi sumber daya alam.

Namun tentunya, isu Climate Change juga mengalami perlawanan dari kaum pengusaha konservatif yang penghasilannya dari sumber daya alam. Semua perang yang telah terjadi untuk perebutan sumber daya alam bisa percuma kalau semua konsumen mengkonversi kebutuhan energinya pada matahari, air, atau angin. Teknologi-teknologi baru tersebut harus tetap dibuat mahal dan tak terjangkau, hingga teknologi lama yang eksploitatif tetap bisa laku. Inilah hubungan haram antara politik-ekonomi-teknologi yang harus kita kritisi tanpa lelah. Sudah saatnya sains lebih membuka diri pada apa yang mereka anggap ‘tradisional’, seperti budaya-budaya teknologi lokal, dan mengembangkannya untuk membuat teknologi yang lebih ramah lingkungan dan accessible untuk masyarakat luas. Namun lagi-lagi kita akan mentok pada kebodohan. Di sini saya akan mulai masuk ke Politik Kebodohan.

 

Politik kebodohan adalah sebuah cara menunjukkan kuasa dengan membuat pernyataan yang jelas-jelas salah secara faktual dan logika sederhana, jauh dari bukti atau argumen sahih, tapi toh tetap dimajukan sebagai argumen dan, ironisnya, seringkali dimenangkan.

Biasanya politik kebodohan bisa memungkinkan karena ada yang salah dalam sebuah institusi politik, atau representasi yang diwakili oleh seorang individual yang mengeluarkan pernyataan tersebut. Individualnya salah, namun institusinya memungkinkannya untuk bisa memberikan pernyataan salah tersebut. Contoh yang paling mendunia saat ini adalah Donald Trump.

trump-article-header

Bagaimana mungkin seorang pengusaha yang bukan politikus karir, dengan pernyataan-pernyataan yang seringkali seksis dan rasis, bisa menjadi satu-satunya calon dari partai Republican dan memiliki jutaan pendukung? Untuk itu, kita tidak harus membicarakan Donald Trump. Kita harus membicarakan institusi yang ia wakili: rakyat kulit putih konservatif Amerika dan partai Republican.

Rakyat kulit putih konservatif Amerika, yang sebutan stereotipenya adalah kaum Red Neck, mendukung Donald Trump karena alasan-alasan yang sederhana: ketakuan kehilangan kuasa atas tanah dan pekerjaan. Dalam perjalanan saya ke beberapa desa di Amerika, saya menemukan hal-hal yang luar biasa menakutkan untuk saya sebagai pendatang dari Asia: ada sebuah restoran yang menempatkan papan besar, “White people only,” (hanya untuk kulit putih). Ada juga sebuah gubuk kayu besar (Shack) dengan tulisan, “Guns available,” yang menandakan bahwa gubuk itu menjual senjata api secara bebas. Restoran dan gubuk senjata itu berada di dua desa yang berbeda yang tidak perlu saya sebutkan dimana. Toh, jikapun Anda ke sana, seperti saya, kemungkinan Anda tak sudi mampir, kecuali jika ingin merasakan panasnya peluru di pantat Anda. Kesamaan di dua desa ini adalah, banyak di halaman rumah mereka terpampang papan: “TRUMP: MAKE AMERICA GREAT AGAIN.”

12289674_865102096941936_1974828997264139924_n1

 

Sementara itu, politisi partai Republican kalang kabut mendapati Trump menang sebagai calon mereka. Ini membuktikan betapa hancurnya pengkaderan kepimimpinan partai sayap kanan tersebut. Pasca Bush dan 9-11, lalu krisis ekonomi Amerika tahun 2008, partai yang beranggotakan banyak orang Kristen kaya raya ini tidak berhasil membuat kader-kader yang berkualitas. Menurut saya ini terjadi karena cara politik mereka adalah Politik Kebodohan itu: dengan modal hubungan sosial dan modal, mereka tidak perduli apakah pembenaran mereka soal perang Timur Tengah, atau tuduhan merka bahwa Global Warming adalah propaganda itu salah. Mereka hanya perduli pada ‘kepentingan’ (interest) bahwa perang Timur Tengah menguntungkan pengusaha  dan industri senjata, dan jika Global Warming adalah propaganda, maka mereka bisa terus mengeksploitasi sumber daya. Imajinasi inilah yang mereka tekankan terus-menerus, dan akhirnya Trump masuk mengambil momentum. Karena dari semua capres Republican, Donald Trump adalah yang paling TIDAK PERDULI.

Trump tidak perduli kalau ia seringkali tidak konsisten dalam memberi pernyataan. Ia tidak perduli soal partai politik, ia tidak perduli soal ekonomi Amerika, atau politik luar negerinya. Trump adalah entertainer/entrepreneur sejati yang benar-benar mengenal penontonnya: orang kulit putih konservatif, atau orang yang punya ‘interest’ dalam usahanya. Pengalamannya di televisi membuatnya paham bahwa kontroversi menjual, dan media selalu akan membuat orang tolol semakin terkenal, jika orang tolol itu punya kuasa. Seperti anjing menggigit orang, Donald Trump tidak biasa karena dia orang tolol yang sangat kaya, dengan brand yang dekat dengan kata Triumph (menang). Ia ahlinya periklanan ilusi–propaganda industri dan pembangunan brand. Di sini kita bisa melihat satu lagi karakteristik Politik Kebodohan:

Politik kebodohan mengambil kuasa dari memperbodoh orang lain, dengan cara manipulasi informasi, propaganda, dan menghilangkan orang-orang yang memprovokasi massa untuk berpikir. Politik kebodohan berpegangan pada satu prinsip: menjadi bodoh adalah berkah (ignorant is a bliss).

Dalam politik kebodohan, kesederhanaan adalah segalanya. Pesan untuk massa rakyat harus sepopuler mungkin, dan sepopuler mungkin artinya sesingkat dan seklise mungkin. Masyarakat tak perlu tahu tujuan si politikus, tapi masyarakat hanya harus merasa berbagi imajinasi. Imajinasinya harus mendasar dan sederhana, seperti ketakutan akan kehilangan pekerjaan, atau iming-iming uang, atau  (ini yang akan selalu populer) ketakutan akan neraka.

Di Indonesia, politik kebodohan selalu bekerja dengan baik. Dalam pilpres Prabowo vs Jokowi tahun 2014 lalu, kedua kandidat sesungguhnya memiliki dua sisi tim kampanye: tim kampanye untuk elit politik, dan tim kampanye untuk massa rakyat. Tim kampanye untuk massa rakyat adalah tim yang menggunakan politik kebodohan itu. Prabowo menjual imej pemimpin keras, tegas, galak. Cocok dengan massa rakyat yang maskulin. Sementara itu Jokowi menjual sosok pemimpin yang wajahnya seperti petani, kurus, dan dekat dengan rakyat. Soal politik kebodohan, keduanya sama-sama. 50-50. Seandainya Demokrasi Indonesia diserahkan pada Rakyat sepenuhnya, tidak ada yang akan menang di antara Prabowo dan Jokowi.

14027988871694362327

Yang memenangkan Jokowi adalah politik elitnya. Pecahnya Golkar dengan merapatnya Jusuf Kalla ke Jokowi, serta diikatnya beberapa petinggi militer dan kepolisian dalam perjanjian politiklah yang memenangkan Jokowi. Belum lagi dukungan dari luar negeri seperti Amerika Serikat dan Australia–yang terus terang menentang Prabowo. Dari sisi Prabowo sendiri, kita melihat KMP yang isinya orang-orang oportunis dengan politik dua kaki: celup ke ember manapun yang menguntungkan. Seperti banyak pendapat para ahli, politik Koalisi ini takkan tahan lama begitu tidak dikasih makan kuasa.

Apakah ini artinya politik untuk rakyat adalah politik kebodohan dan politik untuk elit adalah politik sebenarnya? Ya dan tidak.

Pada negara-negara yang demokrasinya sudah maju, setiap rakyat adalah elit. Setiap rakyat sudah punya daya baca dan daya kritis untuk memilih dan paham konsekuensi pilihan politiknya. Kalau mau contoh, kita bisa melihat beberapa negara Eropa, dari pemilihan walikota di London, sampai negara-negara dengan sistem pendidikan dan demokrasi mutakhir seperti Finlandia, atau Islandia yang Perdana Menterinya langsung mundur begitu didemo soal Panama Papers. Tapi kalau daya baca rakyat dan elitnya rendah, dan hubungan antara pemerintah, rakyat dan militernya lebih banyak konflik daripada kerjasama, maka Politik Kebodohan akan mendominasi.

Maka itu muncullah imajinasi-imajinasi yang dipaksakan macam kebangkitan PKI. Imajinasi yang dipaksakan ini adalah sebuah delusi, yang ironisnya banyak dipercaya orang-orang dengan ketidakberdayaan intelektual yang sama. Orang-orang pengidap Phronemophobia akut, yang kebanyakan tidak bisa disembuhkan. Mereka hanya bisa menang lewat penipuan besar-besaran atau kekerasan. Dan ketika kalah argumen, mereka tidak akan mengaku kalah, tapi langsung menuduh dizalimi secara politik atau menuduh orang yang benar sebagai orang yang terdoktrin pihak lain. Kuliah umum Kiki Syahnakri soal Marxisme-Aristotelian, misalnya, jelas-jelas salah dan dihujat habis-habisan di Media Sosial. Tapi toh, nampaknya dia cuek saja.

Kiki Syahnakri tidak sendirian. Di Amerika, seorang pendukung Donald Trump garis keras yang masih misterius namanya, pernah melakukan hal yang sama di tahun 2013 ketika ia protes untuk melengserkan presiden Obama. Politik kebodohan ini adalah masalah universal, dan sesuatu yang terus-terusan dipakai dimana-mana.

mtm2njq0odk5njuzotuzmte5
Orang misterius yang protes melengserkan Obama dengan alasan bahwa Obama adalah Muslim dan Muslim adalah Marxist. Dia muncul lagi dalam kampanye Donald Trump tahun ini untuk mendukung sentimen anti-Islam.

Akhirnya, jika kita mau jadi orang baik, perjuangan utamanya adalah mencerdaskan bangsa. Membuat seluruh rakyat jadi elit yang berdigdaya, yang daya bacanya tidak hanya seperti anak kelas 4 SD jaman Orba. Membuat kesadaran dunia-akhirat, bahwasannya dunia tidak kalah penting dibanding akhirat. Warisan utama yang harus ditinggalkan adalah cara berpikir untuk bisa hidup menjadi manusia unggul yang bisa berfungsi baik secara sosial dan politik, dan mendasarkan hidupnya pada rasio dan empiris yang tidak terlepas dari kenyataan sosial yang ada. Warisan itu hanya bisa dilakukan dengan memenangkan politik kebodohan ini, dengan segala cara.