Filsafat, Politik, Racauan

Menghadapi Disrupsi AI

Dengan perlombaan AI seperti sekarang, kerja-kerja yang repetitif dan kreatif pesanan pelan-pelan hilang—begitupun pekerjanya. Harga jadi jatuh, karena semua back office diambil oleh AI. Dan para manager yang berusaha up to date dan efisien menjadi kambing hitamnya.

Orang-orang sotoy banyak yang merasa bahwa ini disrupsi yang biasa. Seperti ojol dan ojek pangkalan, atau seperti uber dan taksi. Tapi sungguh, AI jauh dari itu semua. AI adalah disrupsi menuju ke bencana besar, yang kata Yuval Noah Harari adalah: nuklir dunia simbolik kita.

Apa itu dunia simbolik? Menurut Jacque Lacan, psikoanalis Prancis modern itu, dunia simbolik adalah struktur universal yang mencakup seluruh ranah dan tindakan manusia. Khususnya ia mencakup bahasa yang kita pakai untuk bicara, mencatat, merekam, dengan berbagai mode budaya dan akademiknya, dari bahasa kesukuan hingga bahasa pemrograman.

Artificial Generative Intelligence (AGI) seperti chatGPT dan beberapa AI lain yang sudah dan akan terbit, memakai keseluruhan ranah simbolik yang kita upload ke dunia digital: itu seperti seluruh peradaban kita! Mereka menamakan mesin ini sebagai Generative Large Language Model, atau model bahasa yang besar dan bisa mencipta. Apa yang diciptakan? Representasi bunyi, kata, kalimat, paragraf dan konteks, dalam bahasa verbal. Kode dalam bahasa pemrograman, rumus dalam bahasa ilmu eksakta, dan keseluruhan bahasa manusia disatukan dan saling diterjemahkan satu sama lain. Mereka bahkan bisa menciptakan kata baru, atau memecahkan masalah-masalah yang perlu interdisipliner tanpa clash kepentingan politik seperti kita manusia.

Kita, manusia, bahkan butuh waktu yang terlalu lama untuk saling berbagi informasi dan data dalam menanggulangi covid. Antar golongan dan departemen terhalang bias cerita dan kepentingan politik. GLLM tidak punya itu. Mereka praktikal, dan dengan cepat bisa belajar menjadi seperti manusia. CAPTCHA yang membuktikan user internet robot atau bukan, kini akan dengan mudah ditembus AI.

Ketakutan terbesar kita adalah, ketika kita tidak berhasil mengalahkan GLLM dalam berkomunikasi dan berkoordinasi antar bangsa dan negara-negara. Bayangkan senjata nuklir tanpa negara-negara yang bernegosiasi untuk mengontrolnya. Akan ada perang besar ketika tidak terjadi kesepakatan siapa yang boleh dan tidak boleh mengembangkannya.

Belum terbayang? Begini, kisanak. Kalau nuklir yang ditembakkan sebuah negara bisa menghancurkan alam fisik, maka AI yang ditembakkan negara atau teroris atau pengusaha iseng, atau startup yang ingin menang perlombaan peluncuran produk AI tanpa mengerti benar apa yang ia luncurkan, dapat menghancurkan dunia simbolik kita. Dengan apa? Bisa dimulai dengan merigging pemilu, mengaburkan informasi dan kebenaran, memborbardir dengan berita bohong, merusak sistem keuangan (itu simbolik lho), dan merusak kepercayaan antar manusia hingga koordinasi jadi susah, atau membuat propaganda otomatis yang terus menerus. Versi bets AutorGPT sedang dibangun untuk jadi pekerja-pekerja yang bisa kerja 24/7 non stop untuk menciptakan produk narasi tanpa henti.

Ini mimpi buruk.

Lalu bagaimana cara kita menghadapinya? Tidak ada yang tahu. Bahkan ilmuan yang membuat GLLM dan AI pun sekarang terkaget-kaget melihat barang ciptaannya berpikir sendiri dan memprogram dirinya sendiri. Mungkin itulah perasaan Tuhan ketika melihat manusia makan buah khuldi. Sayangnya kita tidak bisa membuang teknologi AI karena kita serakah. Yang bisa kita lakukan hanyalah berusaha berkumpul, berkoordinasi dan selalu waspada pada informasi dan narasi yang berseliweran. Cari cara untuk berpikir logis, dewasa dan tenang dan berusaha untuk menembus kecerdasan AI dengan kecerdasan kita sendiri, walau tidak akan bisa. Secerdas-cerdasnya seorang polyglot, ia tidak akan pernah menguasai semua bahasa. AGI, bisa.

Teknik automatic writing yang saya pakai untuk menulis esai ini adalah bentuk praktek belajar saya untuk secara spontan menulis dan membiarkan otak saya mengalirkan kata demi kata dalam sebuah struktur bahasa yang saya akrabi, dengan seluruh referensi yabg saya punya. Dan ini masih sangat jauh dari kemampuan AI yang tidak dikekang. Jadi harus apa? Mungkin kita bisa pakai AI untuk benar-benar mencari arti kehidupan, dan menemukan angka 42, lalu melanjutkan kehidupan kita dengan kebingungan. Aih, masa depan belum terlihat cerah. Masa kini terlalu bercahaya dan menyilaukan.

Paling tidak saya jadi semangat untuk menghabiskan hidup secara berfaedah. Minimal saya berhasil juga membuat beberapa dari kalian membaca tulisan saya ini sampai habis. Dan semoga kalian bisa berbagi rejeki sama saya untuk belikan saya kopi sachetan di restoran. Klik link di bawah ini kalau kalian mendukung saya ya. Tabik!

Filsafat, Politik, Racauan

Anak Sastra Harusnya Jadi Apa?

Di Fakultas Sastra/ilmu Budaya kita diajarkan prosa, puisi, drama, film, kritik, dan linguistik. Tapi kita gak diajarin hal terpenting: bahwa cerita adalah syarat untuk jadi manusia. Bahwasannya binatang yang punya akal bukan cuma manusia, tapi cuma manusia yang punya cerita dan tugas anak Sastra adalah mengerti cerita-cerita yang dibangun manusia.

FIB terjemahannya adalah Faculty of Humanity, ini aja udah ngaco, karena masa padanan kata budaya adalah humanity? Culture kemana culture? Culture adalah satu cerita saja. Gimana dengan cerita-cerita yang lain? Cerita ekonomi, bisnis, politik, kimia, biologi. Tidakkah sastrawan tugasnya menulis cerita-cerita asing untuk bisa menghubungkan manusia-manusia.

Dalam buku Sapiens, Harari bilang bahwa manusia bisa kerjasama karena cerita-cerita besar: agama, kapitalisme, ideologi, negara, perusahaan, itu semua naratif dan cerita, bentuknya abstrak.

Dan cuma manusia spesies yang bisa percaya pada cerita, kerjasama atau perang karena cerita, dan mati karena cerita. Spesies lain gak ada yang bisa gitu.

Pertanyaan gue jadinya, kenapa di FIB, ini gak diajarin sebagai dasar keilmuan gue dalam membuat peradaban? Padahal kerjaan gue sehari-hari, ya, bikin cerita. FIB ga ngajarin grand naratif kayak kritik kapitalisme. Definisi sastra jadi sempit banget. Gue dapet itu di FISIP & FISIP ga bilang itu cerita. Yang harusnya dipelajari FIB dari FISIP adalah: anak Sastra harus dapet penelitian lapangan! Kembalikan minimal matkul metodologi etnografi ke FIB.

FIB kayaknya takut ngomong kayak Rocky Gerung kalo agama, seperti semua institusi lain ya cuma cerita. Sapiens udah sangat bebal dengan itu semua, bahwa literally, kita hidup dalam sebuah cerita. Hell, gojek aja sekarang fiksi dalam surat legal dan kertas saham. Akhirnya anak Sastra banyak yang jadi pramugari, orang bank, apapun itu tanpa sadar kalo kantor mereka yang hidupi adalah fiksi yang dipercaya bareng-bareng, ampe pada depresi gara-gara kantor. Semua terlalu serius hidup dalam cerita.

Well, sekarang karena udah tahu, harusnya jadi punya pegangan kenyataan: kesehatan itu kenyatan, kematian itu kenyataan, makan, minum, berak, prokreasi itu kenyataan. Sisanya… Cuma cerita. Sans bae.

Dan anak Sastra/FIB harus bilang ini kalo ditanya kenapa kuliah di sastra: karena ilmu ini potensi kerjaannya adalah membuat peradaban, kehidupan. Dan cara lulusnya nggak cuma abstraksi doang, tapi juga melihat dengan jelas, cerita-cerita itu dipake buat apa di dunia nyata. Sastra adalah ilmu menciptakan… Termasuk menciptakan Tuhan, setan, atau ketiadaan. Serem kan.


Terima kasih sudah membaca sampe habis. Kalau kamu suka apa yang kamu baca, jangan lupa traktir saya kopi biar semangat menulis terus, dan saya jadi tahu bahwa ada yang membaca dan menghargai tulisan saya.

English, Memoir, Racauan

Dysphoria #1: Self-made Hell

This is a work fiction. All resemblance with the reality is on purpose. Explicit content.

It is obvious that my loneliness is the main cause of all these fuss, unfaithfulness, the distorted feeling of entitlement. It is my most deceptive defensive mechanism–that the truth, in itself, is self destructing. I am alienating people in order to alienate myself from the hell that they construct.

Creating my own hell, is better than living somebody else’s heaven.

Thus, I hurt myself again, just to find a way to make me forget that I am lonely. I hurt myself with bulimia, with days of sleep, with obsessive scratching, cutting, and obsessive exercise when the manic came, sleepless nights, and after that I still want to punch any guy, or fuck any girl that I think deserve my fist or my dick. I am all open to fight or fuck because I’m sick of flight.

And I’d desperately love anybody who wants to love me. And I’d burn myself, sacrifice myself, ready to be crucify like Jesus H. Christ, and I’d beg people not to leave me until they’d got annoyed and see me as a freak and they need to leave me to stay sane because I’d drive them crazy, so I’d drive my car. I’d drive and drink myself hope to die on the road, hopefully with other assholes that swarming the highways of this city.

And all of it would be my fault. Nobody can blame or even care about my disorder, my upbringing, the system that I am in. I and only I, will be held responsible for all this mess that’s happening with my life and other people that I dragged.

The fucking shrink might say that this thought is cognitive distortion, self entitlement, but fuck you, the court, the people’s court cannot hold my disorder, my upbringing responsible for my actions. They cannot put those abstract nouns in jail, they could not rehabilitate my illness. It is I and only I, will be held responsible for my actions.

And what else should I do but to embrace what the universe has given me? I have eliminate the choice to take my own life because of the meds or because I’m a fucking coward. Anyway, I have no choice but struggle against a sea of trouble and by opposing hope to end them. Even though I know, that I will lose and drown and will face inevitable slow death. But at least I did fight back and refuse to flight.

At least I did good, at being brave. To open my eyes every day, and trying hard to get out of bed and go out to the world. To fight or to fuck. And if I have to lose love again, I think it’s just because I don’t deserve love. I am condemn to beg. For mercy, for love, for attention, only to toss it all out, when I feel lonely.

Because of this distorted feelings and thought, that I’d rather be alone, than be lonely. And the only way to be out of the misery of loneliness, is to break all ties and be perfectly alone to face the misery of the ubermench, the homo deus. Until there is no happines or misery any more, until there is no value in the narrative of my life.

It is when I became forgetful, mad, or die.

Sickness unto death.

This site is run by donation. If you like what you read, please be a patron at by clicking this link.

Filsafat, Racauan

Manifesto Pedagogi Pandemi

Mari kita mulai tulisan ini dengan beberapa fakta soal kondisi belajar hari ini:

Pertama, sistem pendidikan sudah ketinggalan zaman dibanding sistem informasi. Pada akhirnya orang melakukan cara belajar sendiri yang otodidak seperti yang dikhayalkan oleh Wachowski bersaudara di film The Matrix: download, biasakan, dan voila! Kamu akan bisa. Hari ini kita punya youtube dan kursus-kursus online. Sudah pasti transfer skill akan menjadi kenyatakan, dan guru di masa depan bukan lagi manusia tapi artificial intelligence, atau data yang sudah dikompilasi.

Kedua, kelas-kelas menjadi tidak relevan. Infrastruktur pendidikan tidak lagi diperlukan kecuali dalam bentuk hardware dan software untuk transfer skill. Untuk bekerja, orang tinggal belajar di internet dan langsung mengerjakan. Untuk mengoperasikan alat, hal yang sama bisa dilakukan karena kebanyakan alat-alat kerja hari ini juga sudah otomatis. Dari mulai mobil sampai autocorrect di HP atau komputer saya.

Ketiga, production based learning. Belajar tidak lagi menjadi proses trial and error. Trial and error adalah proses penelitian yang dilakukan berdasarkan data terdahulu. Itu sudah sebuah kerja. Sisanya, proses belajar akan dilihat sebagai sebuah kerja/project yang menghasilkan sebuah produk. Produknya bisa berkualitas, jika seorang siswa-pelerja ini bisa mengolah data dengan baik.

Dari sinilah saya merasa bahwa program pendidikan di masa depan tidak lagi membutuhkan guru, tapi membutuhkan mentor/tutor yang bertindak sebagai partner kerja, bersama membuat produk atau project, yang menghasilkan  uang dan skill baru di saat bersamaan.

Ini masa depan pendidikan kita yang harus kita jelang bersama.