Kontributor, Moral Bengkok, Prosa

Simbok

Semua orang yang tinggal di Jalan Kaki Lima, Desa Sukasari, Kecamatan Setiabudi, memanggil penjual nasi uduk/kunung di depan pos kamling dengan sebutan ‘Simbok’. Nama panggilan tersebut telah begitu saja menjadi identitasnya sehingga semua orang tak sadar bahwa itu bukan nama aslinya. Bahkan Pak RT saja, orang yang mengurus dokumen kepindahan Simbok dua tahun lalu, lupa bahwa Simbok punya nama asli. Simbok, bagaimanapun, tak keberatan dipanggil apa pun selama kehidupannya damai sentosa.

Selain menjual nasi uduk/kuning standard berisi tempe orek, telur dadar suwir dan bihun, Simbok juga menjual lauk lain. Seperti, telur rebus dan tongkol balado, serta ayam kecap dan ayam sambal padang. Gerainya di depan pos kamling sederhana, yaitu hanya terdiri dari meja untuk menaruh wadah lauk dan kursi untuk menaruh termos nasi. Jam buka gerai dimulai dari pukul 6 lewat sedikit sampai pukul 8.30. Tapi, jika kau baru datang pada pukul 8, kau mungkin hanya bisa membeli sisa lauknya atau bahkan sudah kehabisan kalau kau sedang kurang beruntung.

Warung Simbok begitu laris. Bukan hanya karena rasanya enak, tapi harganya juga murah meriah serta porsinya besar. Sungguh surga, terutama bagi para pemuda-pemudi indekos yang banyak tinggal di daerah itu. Sekarang tahun 2017, tapi dengan harga 6 ribu rupiah kau sudah bisa menambah satu butir telur atau ikan tongkol balado ke dalam nasi udukmu. Jika kau membeli seharga 8 ribu, kau bisa menambahnya lagi dengan satu ayam, atau dua jika hanya ayam yang kau beli.

Semua orang yang baru pertama kali makan di warung Simbok terkejut mengetahui harga dan melihat betapa dermawannya porsi nasi uduk/kuning yang mereka terima. Beberapa orang khawatir kalau-kalau Simbok tak akan dapat untung. Meskipun ukuran paha dan sayap ayam Simbok terbilang kecil, penjual lain menghargai sebungkus nasi uduk berisi tempe orek/bihun/telur suwir dan telur balado mereka minimal 8 ribu. Saking terlalu murahnya, ada juga yang mempertanyakan kwalitas ayam yang Simbok gunakan. Meski begitu, investigasi lebih lanjut tak dilakukan. Pembeli yang merasa sangsi itu pernah menemukan sehelai rambut di ayam kecap Simbok. Ia simpulkan, kurangnya kebersihan adalah penyebab harganya yang murah. Dan selayaknya penghuni indekos bokek, ia tak keberatan karena toh ia bisa membuang rambut itu.

Rumah Simbok berada di Gang Hamsad I yang ada di sebrang pos kamling. Letaknya tak terlalu dalam, mungkin hanya 80 meter dari pintu gang. Karena itu, ia tak kesulitan meskipun setiap pagi bulak-balik membawa dagangannya ke depan pos kamling sendirian.

Aktivitas Simbok pada umumnya adalah pergi ke pasar pukul 19.00 dan kembali ke rumahnya pada pukul 21.30. Kemudian, ia mencuci bersih ayam, merebus telur sambil menyiapkan bumbu, setelah itu mencuci muka, berganti pakaian, dan tidur. Pukul 2.30, ia bangun dan mulai memasak. Lalu, ia pergi ke pos kamling pada pukul 5.40, memasang gerai dan menata dagangannya. Ia akan pulang ke rumahnya pukul 9.00 setelah membenahi kembali gerainya dan menyapu jalan tempatnya berjualan. Selain saat berdagang dan belanja ke pasar, Simbok selalu berada di dalam rumahnya dan hanya sesekali terlihat saat menyapu di teras.

Apa saja kegiatan Simbok di rumahnya? Biasanya, ia akan menghabiskan waktunya menonton televisi di sofa sampai ketiduran. Atau lebih tepatnya, tiduran di sofa dengan televisi menyala. Tapi, tiga bulan lalu ia mulai terobsesi dengan drama Korea setelah berkenalan dengan seorang mahasiswa yang tinggal di kosan sebrang rumahnya. Sejak saat itu, waktu bersantainya pun jadi terasa lebih hidup dan mendebarkan. Ia bahkan membeli sebuah laptop untuk mendukung hobi barunya. Mahasiswa itu yang juga membantu memilihkannya.

Drama Korea pertama Simbok adalah The Heirs, dan ia segera jatuh hati pada Lee Min-ho karenanya. Baru-baru ini, ia mengubah meja konsul di dalam kamarnya menjadi altar berisi foto-foto aktor muda tampan itu. Sudah ada lima judul drama Korea yang ia selesaikan. Minggu ini, ia sedang dalam proses menonton yang keenam, drama berjudul Goblin.

Drama Korea jelas berpengaruh pada kesejahterasaan batinnya. Khususnya hari ini, mood Simbok yang baik membuat ia memberi ekstra ayam pada setiap orang yang belanja sebanyak sepuluh ribu. Mereka mungkin bisa menyisihkan sebagian lauknya untuk makan siang. Jualannya pun habis sebelum pukul 8.30. Tapi, saat Simbok sedang berbenah, seorang perempuan paro baya datang. Seketika mata mereka bertemu, Simbok membeku dan di wajahnya muncul kengerian.


Tatapan perempuan paro baya itu kejam, dan caciannya untuk Simbok seperti udara dingin yang menusuk. Simbok masih hanya diam seperti orang yang nyawanya menghilang, tapi keributan yang perempuan paro baya itu buat menarik perhatian orang-orang di sekitar. Tak butuh waktu lama hingga orang-orang mulai berkumpul untuk menonton mereka.


Ada yang berusaha menghentikan perempuan tak dikenal itu, tak tega melihat Simbok yang tubuhnya seperti tiba-tiba menyusut menyedihkan. Tapi, pada akhirnya mereka tak bisa berbuat apa-apa.


“Kalian harus tahu dari siapa kalian membeli sarapan kalian! Dia pembunuh! Dia membunuh anak dan suaminya sendiri!”


Pengumuman mengejutkan itu mengubah suasana menjadi canggung. Keheningan mencekam pun perlahan menelusup. Kini semua mata tertuju pada Simbok. Ada yang menatapnya takut dan curiga, tapi ada juga yang hanya ingin tahu. Mungkin tak ingin cepat-cepat menghakimi.


Simbok masih bungkam, tapi matanya yang beberapa detik lalu tanpa kehidupan tiba-tiba berkilat ngeri, diikuti dengan sebuah senyum aneh yang muncul di wajahnya. Pemandangan yang membuat bulu kuduk berdiri dan membawa keresahan di hati.

“Kau pikir kau bisa hidup damai dan memulai kembali? Apa yang membuatmu berpikir kau pantas?”
Suara tajam perempuan itu yang akhirnya memecah keheningan. Ia tampaknya belum puas meluapkan perasaannya dan tak menunjukan tanda-tanda akan segera berhenti. Tapi, seseorang yang bukan penduduk setempat menyelinap di antara kerumunan dan menariknya pergi. Tentu saja perempuan itu berontak. Sekuat tenaga ia mencoba melepaskan diri sambil tak henti-hentinya meneriaki lelaki yang menyeretnya.

Sepuluh menit kemudian, dua orang asing itu pergi, meninggalkan warga dengan mulut ternganga. Sementara itu, Simbok mulai kembali pada pekerjaannya yang tertunda. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya, serta tak sekalipun ia membalas tatapan ingin tahu orang-orang. Ia bersikap seolah tak ada yang terjadi. Tapi, keesokan harinya Simbok tak muncul untuk berjualan. Pun di hari berikutnya dan berikutnya.
Di belakang Simbok, tak hanya keributan tempo hari yang jadi topik pembicaraan, tapi rumor mengenai dirinya yang ternyata mantan narapidana pun mulai menyebar seperti wabah.

Rupanya, bertahun-tahun lalu ia sungguh membunuh dua anaknya yang masih balita. Simbok tak membunuh suaminya seperti yang dikatakan perempuan itu, tapi suaminya mati bunuh diri.
Simbok membayar kejahatannya di dalam penjara dalam waktu lama. Lima tahun lalu, ia akhirnya bebas. Meski begitu, dendam masa lalu tak mau melepas ia begitu saja. Perempuan yang tempo hari datang adalah adik suaminya, orang yang tak akan pernah memaafkannya.


Menurut desas-desus, Simbok kehilangan akal setelah mengetahui suaminya selingkuh. Ia lantas membunuh anak-anaknya untuk menghukum suaminya. Ia sudah mencoba bunuh diri untuk menyusul anak-anaknya, tapi gagal. Gosip lain mengatakan, Simbok bergabung dengan sebuah sekte sesat yang memuja setan, dan ia memberikan anak-anaknya sebagai persembahan. Gosip lainnya, kehidupan sebagai ibu rumah tangga yang mendorong Simbok pada kegilaan. Apa pun alasannya, membunuh anak sendiri tetap keji.
Simbok bukannya tak mengetahui itu. Hanya saja, keseruan drama Korea yang dua bulan belakangan menghiburnya membuat ia lupa akan siapa dirinya.

Tapi, di dalam kegelapan kamarnya yang sudah beberapa hari ini tak ia tinggalkan, ia kembali ingat. Apa yang dulu terjadi bermain di dalam kepalanya seperti film yang pemeran utamanya adalah dirinya.
Sambil menonton dirinya sendiri, Simbok menatap wajah Lee Min-ho di altar, yang ketampanannya telah menghipnotis dan menjadikannya tak tahu malu. Simbok pun bangkit dan berjalan mendekati altar. Setelah tersenyum pada Lee Min-ho, ia membuka lemari pakaian dan mengambil sebuah kain. Ia lantas menarik kursi, mengikat salah satu ujung kain pada pipa gantung bekas menghubungkan kipas angin ke plafon, lalu mengikatkan ujung lainnya sehingga membentuk celah yang cukup untuk kepalanya masuk.

Ia berpikir, apa yang selanjutnya mesti ia lakukan? Mungkin sudah saatnya ia pindah tempat tinggal lagi sebagaimana yang biasa ia lakukan setiap kali ia ditemukan oleh mantan adik iparnya. Tapi, orang sepertinya memang tak pantas memulai kehidupan baru. Kalau begitu, daripada susah payah melarikan diri, bukankah lebih baik sekalian saja ia pergi meninggalkan dunia?

Dari sudut matanya, Simbok bisa melihat senyum Lee Min-ho yang memesona. Dengan senyum di wajah, ia pun menendang kursi tempatnya berpijak.


Sakit yang tak tertahankan membuat tangan Simbok susah payah mencari pegangan untuk hidup. Sudah jadi insting manusia untuk menyelamatkan diri saat berhadapan dengan kematian sekalipun itu adalah pilihannya sendiri. Tapi, ia sudah kepalang menyebrangi jembatan maut. Ia tak bisa kembali.

Tok. Tok. Tok.

“Mbok?”
Di tengah pergulatannya dengan maut, tiba-tiba Simbok mendengar pintu rumahnya diketuk. Ia masih dapat mengenali suara yang memanggilnya itu. Itu milik mahasiswa yang mengenalkannya drama Korea. Mungkin ia datang untuk memberikan drama baru.

Tok. Tok.

“Simbok? Mbok ada di dalam?”

Simbok mulai merasa seolah ia sedang melayang, dan suara di depan rumahnya terdengar makin jauh. Saat Simbok merasa tubuhnya makin ringan dan yakin ia sudah sampai pada kematian, tiba-tiba ia terlempar ke lantai.

BUK!

Kain yang menggantungnya terlepas dari pipa, mengalirkan udara ke dalam dadanya yang beberapa detik lalu hampir meledak.

Sesaat setelah Simbok jatuh, pintu digedor.

Duk. Duk. Duk.
“Mbok? Simbok?!”
Duk. Duk. Duk.
“Mbok baik-baik saja?! Mbok!”

Simbok yang terkulai di lantai dengan nafas tersengal dan batuk di sela-selanya, terlalu lemah untuk dapat menjawab.
Air mengalir dari sudut matanya dan perasaan malu menyeruak di dalam hatinya. Diam-diam ia bersyukur telah gagal mati.

***

Terima kasih sudah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan. Jika kamu suka yang kamu baca dan ingin mendukung penulisnya atau website ini silahkan di share. Jika kamu ingin membantu patungan bayar domain dan server website ini, silahkan klik tombol traktir kopi di bawah ini.

Alam, Film, Kurasi/Kritik, Puisi, Uncategorized

Kehangatan Musim Dingin: Semua Berkat Ubi

Sebuah film dokumenter non naratif yang sangat indah menurut saya. Diambil dengan ketenangan, kamera diam tanpa gerakan, setiap frame bagai lukisan.

Karena seringkali, gerakan kamera tidak diperlukan untuk situasi yang sudah indah. Videografer mengambil momen dan membingkai kenyataan, memberikan perasaan hangat kepada penonton, itu sudah cukup bermakna–tanpa argumen, tanpa statement. Hanya rasa.

Dan kekuatan seorang perempuan sangat saya rasakan di video ini. Terlepas apakah perempuan di video ini adalah model atau bukan, ketiadaan lelaki di video ini, membuat keindahan yang luar biasa dalam menggambarkan independensi perempuan.

Menonton film ini adalah sebuah terapi.

Anthropology, Ethnography, Gender, Kurasi/Kritik, Politik, Racauan

Tubuh Yang Dibenarkan Politik

200606052036-pix1
“Rapuh Namamu Perempuan,” Hamlet babak I:2. (BME)

Adalah Hamlet yang bilang, “Tuhan memberikan perempuan wajah, tapi mereka melukis wajah lain.” Salah satu drama Shakespeare yang paling misoginis. Pertanyaannya adalah siapa sebenarnya yang menentukan standar kecantikan dan tubuh perempuan? Perempuan sendiri, laki-laki, atau jangan-jangan konsumen dari imaji perempuan yang bukan hanya laki-laki, tapi juga perempuan.

Kalimat Hamlet tadi dengan gamblang menyatakan bahwa wajah (atau tubuh) perempuan adalah kanvas yang bisa dilukis dan menjadi objek estetik. Ini terjadi sekian lama, setelah dimenangkannya perang gender oleh laki-laki di peradaban-peradaban tua.

Sejarah Singkat Politik Tubuh

indischer_maler_des_6-_jahrhunderts_001
Gambar Seksualitas di Gua Ajanta (Wikimedia)

Ada zaman dimana perempuan menjadi pemimpin dan menjadi pusat dari peradaban pra-agraris. Zaman ketika orang-orang masih membawa patung kecil Venus (lihat gambar heading) sebagai tanda pengagungan kepada perempuan yang maha subur. Kelompok manusia saat itu seperti lebah atau semut dengan ratu dan lelaki-lekai pekerja. Zaman itu berakhir, secara teoritis, ketika peradaban agraris berubah menjadi peradaban perang modern, dan manusia mulai berpikir soal hak milik atas tanah, harta dan wanita.

Teori lain mengatakan bahwa kemenangan kuasa lelaki (patriarki) adalah ketika ada kebutuhan masyarakat akan institusi keluarga dan perkawinan. Ada zaman ketika hubungan antar manusia bersifat promiscuos, atau seks bebas. Bahwasannya yang benar-benar instingtual dalam seksualitas manusia adalah kebutuhan untuk bereproduksi, tanpa pernah diajarkan objek hasrat seksualnya harusnya apa. Jadilah kita bisa menemukan lukisan-lukisan manusia bersetubuh dengan binatang di goa-goa prasejarah.

Manusia adalah spesies yang tidak butuh musim untuk kawin. Mereka bisa kawin kapan saja dan dimana saja dan kepada apa saja–lawan jenis satu spesies, spesies lain, bahkan benda mati seperti batu, kayu, atau apapun. Kehamilan dan kelahiran seorang anak, dianggap sebuah keajaiban karena butuh waktu ribuan tahun untuk menemukan hubungan antara persenggamaan dan kehamilan. Peradaban manusia memang selambat itu. Karena itu bisa disimpulkan bahwa persetubuhan lelaki dan perempuan adalah sesuatu yang dikembangkan dan diajarkan turun-termurun.

Peradaban dimulai ketika manusia menemukan sistem pertanian untuk menetap. Ditemukan juga istilah-istilah kepemilikan dan kebutuhan akan tenaga kerja dan kebutuhan akan unit ekonomi terkecil: keluarga. Promiscuity menimbulkan kekacauan ketika ibu bisa bersenggama dengan anak atau cucu, ayah bisa bersenggama dengan anak, keponakan atau siapapun, dan anak siapa tidak diketahui asalnya darimana.

Sistem menetap membuat dibutuhkannya semacam struktur hierarki keluarga. maka ketika satu laki-laki bisa membuahi banyak perempuan sekaligus, dan perempuan memiliki ketergantungan ketika hamil, dan bayi pun ketergantungan hingga remaja, dan anak-anak serta perempuan jadi tergantung pada lelaki dewasa—disitulah perang gender dimenangkan lelaki di peradaban-peradaban tua.

Peradaban patriarkal pun dimulai.

Tubuh Yang Dimenangkan

landscape_nrm_1422553268-body-image
Tipografi Tubuh Perempuan Modern (Elle.com)

Kemenangan patriarki atas tubuh perempuan membuat sistem ini membentuk imaji-imaji seperti apa tubuh yang ideal. Walau pada dasarnya bukan hanya perempuan yang diidealkan–karena kita juga membaca sejarah ketampanan lelaki-lelaki legendaris dari Narciscus, David, sampai Yusuf–tapi perempuan menjadi korban utama penubuhan ideal ini karena kebanyakan sistem masyarakat terlanjur menempatkan perempuan sebagai mahluk apolitis (tidak punya suara politik).

Dalam banyak konteks masyarakat tradisional, perempuan sebagai mahluk apolitis ini hadir sebagai akibat distribusi kerja dalam ekonomi dan dalam kerangka pertahanan struktur masyarakat–dapur, sumur, kasur adalah terma yang hadir dari kebutuhan akan perempuan apolitis sebagai istri dan ibu. Dan selama konteksnya masuk, sebenarnya tidak ada masalah besar. Hanya ketika struktur tersebut kemasukan agensi dari struktur lain, dan ada kebutuhan untuk perubahan struktural tentang peran perempuan, barulah pemberdayaan-pemberdayaan bisa dimulai. Pemberdayaan, seperti cinta, adalah sebuah ide yang harus diperkenalkan karena kebutuhan.

Namun pemberdayaan itu tidak semerta-merta menyatarakan. Dalam banyak konteks, logika berpikirnya masih sama dan cenderung memberatkan perempuan. Bayangkan pada masa Perang Dunia I-II ketika banyak lelaki di Eropa dan Amerika pergi perang, perempuan menjadi penggerak ekonomi negara sekaligus keluarga di rumah. Beban kerjanya menjadi ganda. Pasca perang dunia ke II, perempuan di Amerika dipaksa kembali ke rumah dan ini menjadi masalah karena banyak dari mereka sudah pernah bekerja dan ingin tetap bekerja. Terlebih lagi, Amerika pasca PD II butuh tenaga kerja lebih yang membuat pekerjaan ganda perempuan bisa dilakukan tapi sangat-sangat sulit. Walhasil pekerjaan rumah membutuhkan pembantu (yang biasanya kulit hitam sebelum ada aliran pekerja hispanik seperti dua puluh tahun belakangan ini).

Menurut ekonom Hae Joon Chang, salah satu hal yang membuat perempuan jadi bisa bekerja di luar dan meringankan kerja domestik adalah penemuan mesin cuci. Penghematan waktu memungkinkan kerja rumah tangga menjadi lebih cepat dan efisien. Industri-industri perawatan anak dan pembantu rumah tangga panggilan juga membuat wanita karir menjadi mungkin. Di ranah ekonomi, perempuan pekerja membuat ekonomi sebuah negara menjadi booming,  dan kapitalisme nampak membeabaskan. Tapi di saat yang sama ketidakadilannya tetap berjalan.

Dari pekerjaan paling rendah seperti pembantu rumah tangga, sampai pekerjaan paling tinggi seperti aktris hollywood, opresi toh terus berlanjut dengan berbagai macam cara. Dan ini membawa kita kembali kepada topik kita tentang tubuh: bahwa opresi terhadap gender yang kalah hari ini dilakukan dengan lapisan-lapisan pemaknaan yang lebih kompleks dengan permainan aturan political correctness dalam kapitalisme.

Memang kita perlu bersyukur, bahwa kapitalisme dan kebutuhan akan kerja membawa perempuan ke kelas-kelas, ke kantor-kantor, dan ke berbagai bidang yang sebelumnya ditutup. Kapitalisme dalam satu dan lain hal memang membantu. Namun di sisi lain, bantuan ini seringkali juga tidak memecahkan masalah. Masalah yang terbesar adalah soal imaji tubuh perempuan yang kalau kita telurusi kompleksitasnya bisa melebihi sekedar imaji di majalah tapi juga soal ras dan kelas ekonomi.

Mengambil Kembali Imaji

futurama-gender_war
Sumber Gambar: Futurama/Wikimedia

Kecantikan selalu didefinisikan dari waktu ke waktu dengan berbagai macam bentuk. Perempuan adalah kanvas dimana lelaki menentukan apa yang indah dan apa yang tak indah, apa yang pantas diperebutkan dan apa yang tidak. Dari zaman pra sejarah dimana obesitas jadi bentuk kecantikan, sampai kekurusan Audrey Hepburn. Hari ini, trend perempuan curvy kembali setelah sekian lama, tapi dengan logika yang sama, bahwa tubuh itu masih didikte.

Saya ingat di kelas feminis Intan Paramaditha dulu, kami pernah membahas betapa cairnya kapitalisme. Dia bisa masuk ke ranah apapun yang memberi untung. Sebuah produk sabun cuci piring bisa membuat dua versi iklan, yang pertama mendukung perempuan konservatif ibu rumah tangga yang ingin memberi kesan baik pada mertua, kedua tentang perempuan wanita karir yang jadi bisa kerja ke kantor karena efektifitas mencuci piring. Mereka terkesan tidak perduli ideologi dan hanya bertujuan mengikuti pasar.

Tapi tujuan mengikuti pasar itulah ideologi sebenarnya, itulah kapitalisme yang sebenar-benarnya yang bisa mengubah segala narasi atau karya demi kepentingan political correctness. Kritik saya terhadap Star Wars Episode VII menunjukkan bahwa cerita dan semesta Star Wars yang dibangun sejak tahun 1970an, bisa berubah demi memperluas pasar. Dengan ini apakah kita bisa bilang bahwa ideologi kapitalisme adalah ideologi pasif agresif yang mengikuti pasar saja? Ideologi yang bermain dengan bungkus tanpa peduli isi?

Saya rasa tidak begitu. Saya cenderung setuju dengan tesis yang diajukan Žižek dalam A Pervert’s Guide to Ideology, bahwasannya inti utama kapitalisme adalah adalah semacam kekosongan/kelaparan untuk mengkonsumsi. Ketika London Riot 2011, dimana orang-orang menjarah toko-toko, atau kerusuhan Mei 98 di Indonesia, ideologi yang berlaku adalah kapitalisme semacam itu. Di satu sisi ia bisa mengakomodir gerakan-gerakan politik dan pemberdayaan, di sisi lain ia bisa menghancurkan habis-habisan.

Jadi satu-satunya cara untuk mencari keseimbangan, menurut saya, adalah dengan menjadi kritis dan tetap menggunakan humanisme non-komersial sebagai sebuah alat ukur sejauh mana keserakahan itu mengkonsumsi kita. Melihat secara kritis apa yang dilakukan keserakahan itu ketika ia mengeksploitasi segala macam ideologi untuk kepentingan mengisi perut yang seluas semesta tanpa batas itu. Termasuk eksplotasinya terhadap tubuh perempuan.

HAMLET by Shakespeare,
Perempuan dengan Kamera. (Miriskusnik)

Kuncinya ada di representasi dan perjuangan dalam menghadirkan representasi itu. Dimulai dari siapa yang memegang kamera, siapa yang menyutradarai, memproduseri dan mengedit imaji-imaji itu. Dari situ kita bisa melihat pandangan siapa yang bekerja dan dengan cara apa. Dengan itu kesetaraan benar-benar bisa diraih dan peradaban bisa dimaksimalkan. Kita harus hidupkan kembali kritisisme yang selama ini dihajar habis pemenang perang dingin. Ada perjuangan-perjuangan untuk mendapatkan kontrol dan kuasa dari berbagai pihak, dari negara sosialis hingga negara-negara Islam yang begitu dendam dan tak mengertinya hingga mereka rela menghancuran peradaban.

Tapi saya yakin kebanyakan kita tidak berada di titik-titik ekstrim itu. Kita ada di tengah-tengah, di titik paradox manusia. Dan kitalah yang akan mengendalikan kemana arah peradaban kita. Semoga peradaban ini bisa berlangsung lebih lama daripada Mesopotamia, Mesir, Yunani atau Roma, dan kita bisa meninggalkan makna yang banyak gunanya untuk peradaban-peradaban selanjutnya.