Eksistensialisme, Perlawanan, Puisi

GODOT

Semua nabi-nabi telah datang membawa wahyuNya
Kitab-kitab suci telah disebar bersama ulama
Biksu dan pendeta menggumamkan doa-doa
namun yang dinanti tidak juga pernah tiba

Kita membunuhnya
kita membunuhnya

Tak pernah ada lagi yang mengaku mendengar wahyuNya
Bicara pada Tuhan itu waras, mendengarNya gila
untuk berkuasa bicaralah di atas namaNya
Ia maha besar maha rapuh selalu dibela

Kita membunuhnya
kita membunuhnya

dengan mengarang kata-kata
demi harta dan kuasa
untuk mewujudkan surga
di dunia fana

dengan mengumbar doa-doa
mengutuki yang berbeda
untuk panaskan neraka
demi golongannya

Akal dimatikan untuk menghidupkan iman
Iman tanpa ilmu memakan kemanusiaan
Ikut kata Imam yang gumamkan kebencian
Tunduk pada tafsir tanpa pernah memikirkan

Kita membunuhnya
kita membunuhnya

Eksistensialisme, Ethnography, Perlawanan, Politik, Puisi, Racauan

3329

Kau anggap tak berdaya
tuk berkuasa
kami tak paham kata
kau telah rampas semua

Kami tak punya peta
namun tidak buta
kau pancang tanah mulia
kau telah rampas semua

O, kebebasan
kau paksakan
kau jejalkan

Kau datang bagai Nabi
mengaku suci
tapi engkau pencuri
kau telah rampas semua

Tradisi harus mati
demi rezeki
kau didik anak kami
tuk ikut rampas semua

O, kebebasan
kau paksakan
kebablasan

Negara punya semua penguasa
Agama harus Tuhan yang esa
Negara punya semua penguasa
Agama harus Tuhantuhantu

manokwari

Cinta, Eksistensialisme, Perlawanan, Puisi, Uncategorized

Membunuh Jim Morrison

 

tumblr_nie31ptuzs1u3m9fwo1_500

Siapa yang membuat dia terus berdansa? Siapa Homer yang menulisnya dan menempatkannya di antara dewa-dewa? Siapa yang mengumpulkan kutipan-kutipan dan membuatnya menjadi berharga? Menjadi ideal? Menjadi idola?

Apakah para sahabat yang menghargainya? Apa perempuan-perempuan yang menempatkan kelaminnya di kelamin mereka –melaluinya atau melalui imajinasi masturbasi semata? Apakah para pengusaha korporat yang mencari uang? Ataukah semua orang yang ingin romantika masalalu?

Apakah kau? Apakah aku?

Ia diabadikan melalui surat-surat. Kertas-kertas. Puisi-puisi. Siapa yang memilihnya?

Kematian meninggalkan artefak. Artefak diabadikan. Apapun yang tertinggal. Kulit menjadi jubah, Gigi menjadi kalung, Gading menjadi tombak.

 

Kata-kata menjadi doa.

Nekromaniak!

Kalian semua memakan mayat!

Kalian semua memakan mayat!

 

Margonda, 2008.

Alam, Eksistensialisme, Memoir, Perlawanan, Puisi

Melihat Indonesia Dari Jauh

freezing_rain_on_tree_branch

Aku di negeri orang dan tadi malam hujan batu menimpa kepalaku
Di kampung halaman aku dipandang terhormat, apa aku mesti pulang?

Melihat Indonesia dari jauh
Ada kerinduan kesumat yang salah alamat
Maksud hati memuja rumah tapi yang terlihat
adalah penjara dengan jeruji keacuhan tingkat

… Dewa

Di kelas, kami membaca teks dari para begawan
soal Indonesia dari mata tajam para ilmuan
kritik kebudayaan yang terasa merendahkan
kami tersinggung, kecewa meyadari pikiran
orang-orang cerdas melihat negeri tiran

Lalu kini kami yang jauh
meneropong negeri lewat jendela
dan kami mulai paham kenapa
para begawan menulis berpeluh

Karena cinta dari kejauhan
jarak dan waktu memberi kejernihan
melihat kebencian dan ketersesatan
lebih jelas daripada di pekarangan

Aih, jiwa ingin kembali
tapi tubuh tercekat
kami ingin kembali
tapi tidak terlalu cepat

Siapa yang tidak kangen
pada keluarga dan sahabat?

Siapa yang kangen
pada kemunafikan dan korupsi?

*

Aku di negeri orang dan tadi malam hujan batu menimpa kepalaku
Di kampung halaman aku dipandang terhormat, apa aku mesti pulang?

Kemanapun aku pergi rumah kubawa di hati
di sana, di rumah hatiku,
selalu hujan belati.

Washington DC, Maret 2016